Ayat
Terjemahan Per Kata
هُوَ
Dia
يُحۡيِۦ
menghidupkan
وَيُمِيتُ
dan mematikan
وَإِلَيۡهِ
dan kepadaNya
تُرۡجَعُونَ
kalian dikembalikan
هُوَ
Dia
يُحۡيِۦ
menghidupkan
وَيُمِيتُ
dan mematikan
وَإِلَيۡهِ
dan kepadaNya
تُرۡجَعُونَ
kalian dikembalikan
Terjemahan
Dialah yang menghidupkan dan mematikan serta hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.
Tafsir
(Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan) di hari kemudian, kemudian Dia membalas kalian atas amal perbuatan kalian.
Tafsir Surat Yunus: 55-56
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.
Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia adalah yang memiliki langit dan bumi; dan janji-Nya adalah benar pasti akan terjadi, tidak terelakkan lagi. Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan, kemudian hanya kepada-Nyalah mereka dikembalikan. Dia mampu berbuat demikian, lagi Maha Mengetahui semua tubuh yang telah hancur luluh lagi berserakan dan bertebaran di seluruh kawasan bumi, lautan, dan padang-padang sahara.
Sebagai salah satu bukti kekuasaan Allah, Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan setelah kematian menghampirimu. Setelah diingatkan pada ayat sebelumnya bahwa semua yang hidup pasti akan mati dan akan kembali kepada Allah, lalu manusia diingatkan: Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran berupa Kitab Suci Al-Qur'an dari Tuhanmu, obat penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, yakni dalam hati manusia, seperti iri hati, dengki, dan lain-lain, dan petunjuk menuju kebenaran serta rahmat yang besar bagi orang yang benar-benar beriman.
Allah menandaskan bahwa Dialah Zat yang menunjukkan, yang dapat menghidupkan dan mematikan. Dia berkuasa untuk menentukan hidup dan mati semua makhluk dan benda hidup yang ada di langit dan bumi ini. Tak ada Zat lain yang mempengaruhi-Nya dan menghalang-halangi kehendak-Nya. Dia berkuasa pula untuk membangkitkan manusia dari alam kuburnya dan mengembalikan mereka kepada-Nya, pada saat hari yang telah dijanjikan, yaitu hari pembalasan, yang saat itu manusia akan diadili, dan akan diberi pembalasan sebagaimana mestinya, setimpal dengan amal perbuatannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 56
“Dialah yang menghidupkan, dan Dialah yang mematikan, dan kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan."
• Dan apakah sangkaan orang-orang yang telah mengada-adakan suatu dusta atas nama AJIah pada hari Kiamat? Sesungguhnya Allah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak berterima kasih.
Laksana bergelombang-gelombang kita diberi petunjuk, setelah ayat-ayat di atas dite-rangkan bahwa Allah Mahakuasa mendatangkan adzab-Nya dengan tiba-tiba, baik tengah malam maupun tengah hari, dan bahwasanya segala janji Allah adalah benar dan bahwa Dia yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada-Nya semua akan kembali. Sedangkan kita termenung dan tafakur memikirkan bagaimana hendaknya kita menempuh segala kemungkinan zaman depan itu, dalam hidup dunia yang pendek ini untuk mencapai akhirat yang panjang itu, maka tibalah ayat,
Ayat 57
“Wahai manusia."
Memulai ayat sebagai seruan kepada seluruh manusia, supaya manusia tidak usah bingung memikirkan hari depannya. Sebab pimpinan ada:
“Sungguh telah datang kepada kamu pengajaran dari Allah kamu, dan suatu obat bagi apa yang dalam dada, dan petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."
Dalam kebingungan manusia, Allah menunjukkan jalan. Allah menerangkan bahwa betapapun sulitnya jalan yang akan ditempuh, akan dapatlah dia diatasi, sebab Allah telah memberikan pedoman. Itulah dia kitab Al-Qur'an yang mengandung empat unsur penting di dalam menempuh kehidupan.
Pertama, Dia berisi pengajaran atau tuntunan, baik dalam pembangunan akhlak, karakter, sikap hidup, maupun dalam mengamalkan suatu pekerjaan. Dia adalah pendidikan untuk memperhalus sikap jiwa. Dengan pengajaran Al-Qur'an itu dapatlah kamu, wahai manusia, membedakan baik dengan buruk, mana pekerjaan yang diridhai Allah dan mana yang dikutuki-Nya. Mana pula sikap dan pekerjaan yang akan membawa keuntungan lahir dan batin. Dengan terang-terang beberapa ayat Al-Qur'an menganjurkan pekerjaan baik, misalnya tolong-menolong, hormat-menghormati, berkasih sayang, dan bersedekah. Dengan terang-terang pula dia melarang perbuatan jahat, seumpama mencuri harta orang lain, meminum minuman yang merusak akal, berzina dan memakan harta anak yatim. Maka banyaklah ayat-ayat yang demikian, sebagai tersebut di dalam surah an-Nisaa' ataupun surah al-Israa', atau Luqmaan (wasiat Luqman kepada putranya), atau yang lainnya. Berapa banyak ayat yang menyuruh memegang amanah, meneguhi janji, menghukum dengan adil, menghormati ayah-bunda, menghormati guru (seperti Musa kepada Khaidir), semuanya itu adalah pengajaran dan didikan, agar baiklah hubungan di antara manusia dengan Allah dan di antara manusia sesamanya manusia. Nasihat ini lang-sung datang dari Allah, bukan filsafat hasil akal manusia; untuk kebahagiaan hidup hamba Allah pada tiap-tiap waktu dan tempat.
Kedua disebutkan bahwa dia adalah suatu obat bagi apa yang ada dalam dada. Baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa kita Indonesia (Melayu) dan seluruh bahasa di dunia ini, diakui orang tentang adanya hati. Disebut juga hati sanubari, hati nurani. Kadang-kadang disebut juga dia jantung. Tetapi yang dimaksud dengan hati itu bukanlah semata-mata segumpal darah atau segumpal daging yang terletak di dada sebelah kiri itu, sebagai pusat perjalanan darah yang beredar tiap detik di dalam tubuh kita. Yang dimaksud dengan hati dalam pemakaian bahasa itu ialah akal, budi, ilmu pengetahuan, perasaan halus. Hati tempat ambilan pertama tadi terletak di dalam dada, didinding oleh tulang-tulang dada. Oleh sebab itu, di dalam membicarakan urusan hati, orang selalu membicarakan juga tentang isi dada. Seumpama ungkapan yang terkenal, “Ini dadaku, mana dadamu!" Lantaran itu termasuk jugalah dalam isi dada atau isi hati itu segala naluri dan kekuatan-kekuatan yang memengaruhi daya hidup kita, termasuk syahwat, hawa nafsu, marah, iba hati dan se-bagainya, yang telah ditambah orang lagi namanya dalam perkembangan bahasa kita yaitu sentimen. Ketika orang gembira disebut besar hati, seketika dia sedih disebut iba hati, atau kecil hati.
Memang penyelidikan biologis tentang tubuh manusia menunjukkan bahwa pusat manusia berpikir ialah otaknya, bukan hatinya. Kecerdasan otak itulah kecerdasan akal dan pikiran, usaha menembus kesulitan. Dan kalau diambil oleh seorang dokter jantung dan hati manusia, lalu diteliti, tidaklah terdapat di sana kegiatan sebagai kegiatan otak, meskipun terang bahwa dari jantunglah darah terbagi ke seluruh tubuh. Tetapi sungguh pun demikian, baik manusia pada zaman purbakala maupun manusia di zaman modern, selalu menyebut juga tentang hati, tentang isi dada. Maka kebiasaan manusia itulah yang dipakai Al-Qur'an menyebut dada atau hati, sebagai pusat dari gejala-gejala perasaan. Hati senang, hati susah, hati kecewa, hati gembira, dan teranglah bahwa segala yang mengenai perasaan, terpusatlah ke dalam nama hati atau dada.
Kalau diungkapkan orang sakit otak, teringatlah kita akan orang gila. Namun, kalau di-sebut sakit hati, teringatlah kita kepada orang yang berdendam lantaran dia dikecewakan.
Setelah kita mengetahui maksud hati atau dada ini, dapatlah kita pahamkan tujuan Al-Qur'an yang kedua, yaitu bahwasanya Al-Qur'an adalah mengandung suatu obat bagi apa yang ada' dalam dada. Sebab memang
banyak perasaan hati yang menghendaki segera diobat. Kalau tidak segera diobati, dia akan menjadi penyakit yang berlarut-larut. Tadinya hanya sakit hati, tetapi akhirnya akan menjadi penyakit ruhani dan jasmani, tubuh halus dan tubuh kasar. Setengah dari penyakit yang menimpa hati ialah bodoh dan jahat sangka, ragu-ragu dalam memegang suatu kepercayaan, munafik, benci, dendam, hasad dengki, niat jahat, keji kehendak, busuk laku, putus asa, tertumbuk pikiran, gelap mata, dan lain-lain. Hilang kepercayaan kepada sesama manusia karena pernah dikecewakan. Takut menghadapi sesuatu tanggung jawab karena pernah terlantar.
Ada disebut tentang kekecewaan dengan “Makan hati terulam jantung." Yaitu orang yang merasa kecewa, tetapi tidak dapat melampiaskan kekecewaannya itu.
Kemajuan pengetahuan kedokteran tentang penyakit hati ini telah sampai kepada kesimpulan, bahwa sakit dalam hati dapat memengaruhi juga kepada badan. Bisa timbul penyakit-penyakit yang lain pada tubuh karena ada penyakit dalam hati. Misalnya sesak nafas, darah tinggi, darah rendah, penyakit gula, ek-sem dan sebagainya. Dan apabila badan telah sakit-sakit, murunglah mata memandangi tugas hidup, sehingga berlarut-larut. Sakit hati memengaruhi sehingga badan jadi sakit, dan sakit badan memengaruhi sehingga jiwa jadi sakit, jiwa sakit melarut-Jarut sehingga segala-galanya sakit.
Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Allah berfirman bahwasanya unsur kedua dari Al-Qur'an, selain dari berisi pengajaran ialah berisi sesuatu obat bagi yang dalam dada.
Sederhana saja dapat kita pikirkan mengenai pengaruh Al-Qur'an bagi hati yang sedang sakit. Misalnya kita ditimpa cobaan yang hebat dengan tiba-tiba. Misalnya anak yang kita cintai tiba-tiba mati. Hati kita sedih pada waktu itu sehingga muram rasanya hidup ini. Tak ada manusia yang dapat mengobati pada masa itu. Orang hanya datang membujuk-bujuk. Kalau kita perturutkan, bisalah hati sedih kematian anak itu berlarut-larut sehingga pekerjaan yang lain terbengkalai, terkendala. Lalu kita ambil obat dari dalam Al-Qur'an. Di sana bertemu bahwa segala yang bernyawa mesti mati, dan yang menentukan mati itu ialah Allah. Sebagaimana anak yang meninggal itu adalah anugerah dan pinjaman Allah kepada kita, hak milik Allah yang mutlak. Maka Allah pun Mahakuasa mengambilnya kembali, bahkan diri kita sendiri pun, nyawa dan tubuh kita, semuanya kepunyaan Allah, dan kita pun akan mati. Semua tersebut di dalam Al-Qur'an, lalu kita baca dan pahamkan dengan tenang, maka berangsur terobatlah isi dada itu.
Baca jugalah misal yang lain. Al-Qur'an obat dari kesombongan seketika naik dan megah. Dan sombong adalah penyakit! Sebab Al-Qur'an mengajarkan sabar. Al-Qur'an juga mengajarkan ridha. Ini penting sekali buat hidup kita. Misalnya pada suatu waktu kemer-dekaan kita dirampas sehingga kita merasa dibelenggu lahir batin oleh sesama manusia. Selama kita belum ridha menerima “hilangnya kemerdekaan" itu, selama itu pula hati kita akan menderita. Tetapi, apabila kita telah ridha menerima hilangnya kebebasan, di saat itu pulalah kita mulai bebas. Ini adalah ajaran Al-Qur'an. Dia membebaskan jiwa dari segala ikatan, dan hanya dikumpul ke dalam satu ikatan saja, yaitu Allah. Itu sebabnya, Nabi Yusuf merasa bebas seketika dia dipenjarakan selama hampir tujuh tahun. Sebab hanya badannya yang dirampas kemerdekaannya, adapun jiwanya bebas dari alam, sebab ber-gantung kepada Allah. Ini dinyatakannya kepada kedua temannya semasih dalam penjara yang memintanya mentakwilkan mimpi mereka. Nanti akan kita temui lagi dalam surah Yuusuf.
Kalau hati yang dalam dada ini telah ditimpa penyakit sombong karena berkuasa, obatlah dia dengan Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an mengatakan bahwa yang benar berkuasa hanyalah Allah. Manusia tidak berkuasa. Kalau manusia diberi sejemput kecil kekuasaan dunia oleh Allah, tetapi kekuasaan itu sangat terbatas, dan tidak menjadi dan tidak berjalan, kalau tanpa izin Allah.
Demikianlah seterusnya. Amat luaslah yang dicakup oleh kata bahwa Al-Qur'an adalah mengandung sesuatu obat bagi apa yang dalam dada. Sesuatu kumpulan dari resep-resep ruhani.
Tetapi setengah ulama lagi berpendapat bahwa Al-Qur'an itu pun bisa menjadi obat dari penyakit badan. Mereka beralasan pada sebuah riwayat yang dikeluarkan Ibnul Mundzir dan Ibnu Mardawaihi, yang diterima dari sahabat Rasulullah ﷺ Abu Sa'id al-Khudri. Kononnya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ mengadukan halnya bahwa dadanya sakit. Maka bersabda Rasulullah ﷺ kepadanya, “Bacalah Al-Qur'an, sebab Allah telah bersabda bahwa dia adalah suatu obat bagi yang ada dalam dada."
Riwayat hadits ini bisa kita pahamkan dalam dua arti. Dadanya sakit, disuruh Nabi membaca Al-Qur'an, mungkin sakit hati dalam segala pengalaman yang telah kita sebutkan tadi. Seumpama rasa takut karena ada bahaya mengancam, atau rasa duka cita kemuraman yang sangat memengaruhi karena kemiskinan. Bukankah kemiskinan pun pangkal penyakit? Maka tidaklah dapat kita pahamkan bahwa seorang yang ditimpa penyakit TBC atau bronkitis, atau asma, lalu disuruh saja oleh Rasulullah ﷺ membaca Al-Qur'an. Kalau untuk itu Rasulullah ﷺ menyuruh berobat. Akan tetapi, hati yang ditimpa penyakit putus asa karena sakit TBC itu dapat diobat dengan membaca Al-Qur'an sehingga walaupun sampai meninggal dunia karena penyakit TBC itu, hati tetap tabah dan beroleh husnul khatimah.
Memang, ada juga hadits lain dari Abu Sa'id al-Khudri juga yang menerangkan perawian beliau sendiri. Dia mengadakan kunjungan ke dalam satu desa Badui, tetapi sampai di sana penduduk desa itu benci saja menerima mereka. Sebab penduduk desa itu masih benci pada Islam pada permulaan dakwah. Sebab hari malam, terpaksalah Abu Sa'id dan kawan-kawannya memasang kemah di pinggir desa dengan kelaparan, sebab kepala desa itu tidak mau menjamu mereka atau menjual makanannya kepada mereka. Setelah hari malam, kira-kira pukul sepuluh, datanglah utusan kepada desa itu tergopoh-gopoh meminta tolong kepada kaum Muslimin itu, kalau-kalau ada di antara mereka yang ahli mengobat bisa, karena anak kepala desa itu disengat kalajengking, memekik, merintih terus-menerus karena kesakitan.
Malapetaka yang menimpa anak kepala desa telah mengubah suasana. Mereka yang tadinya menunjukkan kebencian, sekarang bertukar dengan orang yang datang memohon pertolongan. Abu Sa'id tidak melepaskan peluang sangat baik ini. Disuruhnya bawa anak itu ke hadapannya. Setelah datang, dipegangnya kaki anak yang sudah mulai mem-bengkak, lalu dibacanya surah al-Faatihah dengan khusyuknya, lalu ditepuk-tepuknya kaki anak itu, dan ajaib! Anak itu mulai merasa dingin, mulai merasa turun panas infeksi yang ditimbulkan sengatan kala itu. Sampai anak itu tertidur dengan nyenyaknya sebab sakitnya telah hilang.
Untuk menghargai jasa baiknya itu datanglah kepala desa itu membawa hadiah beberapa ekor kambing. Karena mereka telah sangat lapar, disembelihlah beberapa ekor dan dimakan. Tetapi, ada dua tiga orang yang tidak mau memakannya, sebab takut kalau-kalau perbuatan itu salah, termasuk “menjual ayat dengan harga yang sedikit". Besoknya mereka pulang ke Madinah dan hal ini diceritakan kepada Rasulullah ﷺ Dengan cepat, beliau jawab, “Mana dagingnya, beri aku!"
Dengan keterangan kejadian Abu Sa'id ini dapatlah kita katakan bahwa sekali-kali, suatu penyakit yang belum parah dapat disembuhkan Allah dengan membaca ayat Al-Qur'an dengan khusyuk, terutama al-Faatihah. Sebab isi al-Faatihah ialah tauhid, demikian juga Qul Huallahu Ahad. Ini bukan takhayul dan khurafat, tetapi ketulusan hati kepada Allah.
Imam al-Baihaqi mengeluarkan dalam kitabnya, Sya'hul Iman, suatu hadits dari Wa-ilah bin al-Asqa', bahwa seseorang mengadukan kepada Rasulullah ﷺ tentang kerongkongannya yang sakit. Lalu, berfirmanlah Rasulullah ﷺ kepadanya,
“Hendaklah engkau baca AlQur' an dan minum manisan lebah. Sebab Al-Qur'an adalah obat dari apa yang di dalam dada, dan madu adalah obat dari tiap penyakit."
Hadits ini menguatkan perumpamaan kita sebelumnya, tentang orang sakit dada. Yaitu berobat dengan dua macam sekali jalan. Obat ramuan yang biasa, ketentuan-ketentuan dokter, sampai obat yang paling modern, dalam pada itu obat pula hati atau jiwa atau perasaan dengan membaca Al-Qur'an. Untuk ini biarlah kita jadikan pegangan perkataan Hasan al-Bishri yang dirawikan oleh Abusy-Syaikh, “Allah telah menjadikan Al-Qur'an itu jadi obat bagi apa yang ada di dalam dada kamu, bukan obat dari penyakit kamu."
Keterangan beliau ini menambah jelas pula bahwa yang diobat dengan Al-Qur'an, dengan memahamkan isinya, ialah jiwa kita. Bertambah mendalam memahamkan Al-Qur'an, bertambah teguhlah hati menghadapi segala perjuangan hidup. Menjadi tenang di kala suka dan duka, tidak gelisah dan resah. Dalam pada itu berobat menurut ketentuan yang berlaku, pergi kepada dokter, meminum ramuan menurut resep dokter, injeksi dan suntikan dan sebagainya, operasi besar dan kecil, terus kita laksanakan; dan tetap ber-tawakal kepada Allah.
Dan sekali-sekali tidak pula ada faedahnya jika dituliskan ayat Al-Qur'an pada kertas, lalu digulung dan diletakkan di pinggang dijadikan azimat.
Ini adalah pekerjaan takhayul yang tidak datang dari pikiran waras.
Ketiga, Hudan yang berarti petunjuk. Al-Qur'an adalah penunjuk jalan, pemandu atau pelopor, untuk menempuh semak belukar kehidupan ini, supaya kita jangan tersesat. Sebab baru sekali ini kita datang ke dunia ini. Jangan sesat dalam i'tikad dan kepercayaan, jangan salah di dalam amal dan ibadah. Menuntun akal, agama dan kemasyarakatan.
Keempat, rahmat, yaitu karunia kasih dan sayang kepada orang-orang yang beriman.
Ini adalah hasil atau akibat yang wajar dari urutan tiga pertama. Bila pengajaran Allah dipegang teguh, bila Al-Qur'an dijadikan obat hati penawar dada, dan dijadikan petunjuk dalam perjalanan hidup, pasti tidak dapat tidak akan dirasailah rahmat ilahi bagi diri dan rumah tangga dan masyarakat. Dengan memegang pengajaran Allah, otak pun terang. Dengan memegang resep dan ramuan Allah, dada pun bersih dari penyakit. Dengan memegang hidayah Allah, terhindar diri dari kesesatan. Ketiganya menumbuhkan rahmat dalam peri hidup. Pertama, rahmat Allah yang meliputi kita. Kedua, rahmat itu pun tumbuh dalam hati sanubari kita. Hilang rasa benci. Rasa rahmat inilah perhiasan hidup orang Mukmin, yang sangat bertolak belakang dengan paham kekafiran dan kebendaan, ma-terialistis. Sebab paham Materialis Ateis ditegakkan atas dasar benci dan dendam.
Filsafat Neitzsche yang terkenal mengajarkan bahwa rasa kasih sayang dan cinta yang terpancar dari rasa rahmat itu ialah jiwa budak dan tanda kelemahan. Tetapi, praktik hidup Mukmin bukanlah semangat budak.
Nietzsche tidak mengenal itu sampai kepada rumpun asalnya. Sebab nanti ahli penyelidik yang lain akan berkata pula, bahwa tentara Islam itulah tentara yang paling gagah berani di dalam menghadapi musuh, padahal mereka penuh rasa rahmat. Kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang ahli-ahli sejarah Eropa sendiri mengakui, adalah contoh teladan dari rasa rahmat orang beriman. Musuh-musuhnya raja-raja Eropa mengakui bahwa Shalahuddin adalah pahlawan Islam yang gagah perkasa, disegani dan ditakuti, dan seram kejam kalau dia tengah menghadapi musuhnya. Tetapi setelah didengarnya bahwa musuh besarnya Richard Hati Singa ditimpa sakit tengah berperang, segera dikirimnya dokter pribadinya membawakan obat dan merawat raja itu, sampai sembuh.
Banyaklah bertemu dalam hadits-hadits, yang tidak akan kita salinkan seluruhnya di dalam tafsir ini betapa penafsiran rahmat itu dilakukan oleh Rasulullah ﷺ Di dalam se-buah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dan Abu Dawud, tersebut tentang seorang perempuan lacur, diberi tobat dosanya oleh Allah, karena sedang dia menimba air dengan sepatu panjangnya, datang seekor anjing yang sangat kehausan, terjulur lidahnya karena amat haus, memohon diberi minum, lalu diberinya minum. Dan di dalam hadits yang lain lagi, diterangkan tentang seorang perempuan yang dipikulkan Allah dengan dosa besar, sebab dia mengurung kucingnya di dalam rumah ketika dia akan keluar, sehingga kucing itu mati. Dan di dalam hadits lain lagi, dipujinya seorang perempuan yang memungut anak-anak burung kecil yang sarangnya terjatuh, lalu induknya menciap-ciap meratapi anaknya, padahal dia tidak berdaya. Datang perempuan itu, dipungutnya anak-anak burung itu, lalu dibawanya ke hadapan Rasulullah ﷺ. Sedang induk burung itu masih hinggap dari dahan ke dahan melihat anak-anaknya dari jauh. Kemudian, Rasulullah ﷺ menyuruh perempuan itu mengantarkan anak-anak burung itu kembali ke tempatnya semula, sampai dia bertemu dengan induknya. Dan hadits lain lagi, ialah larangan Rasulullah ﷺ memanah, melempari burung atau seumpama menembak dengan senapang angin di zaman kita sekarang ini, sebagai iseng saja. Bukan untuk dimakan. Dan dalam hadits lain lagi, disalahkannya seorang yang telah lepas dari satu bahaya dengan mengendarai seekor unta lalu dia berniat bahwa sesampai di tempat yang dituju dia hendak menyembelih unta itu.
Banyak lagi hadits-hadits yang lain, yang mengenai sayang kepada binatang.
Satu kali menjalar-jalar cucunya di hadapan mata beliau, lalu beliau ambil anak itu dan diciumnya. Seorang sahabat yang baru datang dari kampung tercengang melihat. Kemu-dian dia bertanya, “Engkau mencium cucumu, ya Rasulullah ﷺ?" Beliau melihat kepada sahabatnya itu dengan tercengang pula, dan bertanya pula, “Apakah engkau tidak pernah mencium anak-cucumu?"
Maka bersabda beliau,
“Orang-orang yang mempunyai rasa Rahmat, akan dirahmati oleh Allah yang Rahman. Sebab itu sayanglah apa yang ada di muka bumi, supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit."
Tersebut pulalah dalam sebuah hadits bahwa rahmat itu diciptakan Allah 100 banyaknya, tetapi yang diturunkan ke dunia ini sekarang barulah satu saja, yaitu yang sekarang merata di antara jin, manusia dan binatang dan serangga. Dengan rahmat yang satu itulah mereka berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, bahkan dengan rahmat yang satu itulah induk binatang menyusukan anaknya. Adapun rahmat yang 99 lagi, kata hadits itu, disediakan Allah buat diterima hamba-Nya di hari Kiamat.
Lawan dari rasa rahmat ialah rasa benci, sempit hati, sempit dada, dendam dan kesumat. Dan yang demikian tidak mungkin ada dalam hati orang yang beriman. Itulah yang ditegaskan di ujung ayat, bahwa pengajaran dari Allah itu adalah rahmat bagi orang-orang yang beriman. Itulah kekayaan yang paling besar di dalam hati yang Mukmin, yang tidak dapat dinilai dengan benda. Apa guna kaya raya dengan harta benda, emas dan perak, kalau hati kosong dari rahmat. Segala amal ibadah yang dikerjakan, menjadi kehilangan nyawa kalau hati kosong dari rahmat. Sebab itu, ayat selanjutnya menegaskan lagi,
Ayat 58
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya, maka dengan yang demikian seyogianyalah mereka bersuka cita."
Bersuka citalah engkau kalau Allah telah melimpahkan petunjuk-Nya kepada engkau. Limpah karunia ilahi meliputi segenap hamba-Nya, tetapi berlipat gandalah limpah ka-runia itu dirasai oleh orang yang beriman. Limpah karunia Ilahi itu diiringi lagi dengan rahmat. Dalam hati Mukmin menurut ayat tadi, tumbuh rahmat itu. Rahmat yang dalam hati Mukmin itu mendapat lagi sambutan dari Allah. Kepada orang yang berhati rahmat, Allah pun melimpahkan rahmat-Nya. Maka bergembiralah engkau dengan dia, sebab dengan demikian cita-citamu di dalam hidup telah tercapai. Alam ini telah dibukakan un-tukmu! Karena telah bertemu rahmat yang tumbuh dalam diri, dengan rahmat yang turun dari langit. Gembiralah, karena tidak ada lagi kekayaan yang lebih dari itu. Harta benda dunia dicari, dikumpul. Tetapi satu waktu dia akan meninggalkan kita atau kita tinggalkan. Tetapi rahmat yang telah berjalin itu tidak akan hilang lagi untuk selama-lamanya. Diri pun bersedia hidup, bersedia mati. Sebab itu, ujung ayat menegaskan,
“Itulah yang lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
jika orang yang tidak beriman mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, dan mereka bersuka cita dengan apa yang telah mereka kumpulkan itu, maka engkau wahai Mukmin, kumpulkan iman, amal saleh, karunia dan rahmat Ilahi itu. Kumpulkan pedoman hidup, tuntunan Allah, petunjuk yang kekal. Itulah kekayaan yang sejati dan itulah yang akan di-dahulukan. Karena kalau karunia ilahi dan rahmat-Nya itu hilang, runtuh hancurlah harga segala benda yang dikumpulkan itu. Dengan ini tidaklah berarti bahwa terlarang mengumpul benda. Tetapi disuruh mengumpul karunia dan rahmat Ilahi ini terlebih dahulu, sehingga benda ada harganya. Sebagai orang yang beriman, Mukmin itu percaya bahwa hidup ini tidaklah berhenti hingga ini saja, melainkan ada kelanjutannya. Maka harta benda yang dikumpulkan itu bolehlah dijadikan jembatan untuk menempuh bahagia akhirat; dan bahagia akhirat adalah lanjutan daripada karunia dan rahmat yang diterima di dunia.
Kemudian, datanglah ayat 59. Allah menyuruh Rasul-Nya menanyakan,
Ayat 59
“Katakanlah: Bagaimana pendapatmu, tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kamu dari anugenah-Nya, lalu kamu jadikan di antaranya itu haram dan halal."
Dahulu di surah al-An'aam telah diingatkan Allah tentang kesalahan kaum musyrikin yang mengharamkan memakan berbagai macam binatang, ada yang dinamai Sa'ibah, ada yang dinamai Washilah, ada yang dinamai Ham (Lihat Tafsir Juz 7). Allah telah memberi karunia binatang-binatang ternak, baik kambing atau unta, halal mereka makan. Tetapi mereka sendiri membuat peraturan-peraturan sendiri, mengatakan ini haram, itu halal, lain tidak hanya karena menghormati berhala. Maka ayat ini pun memperingatkan kembali kepada musyrikin itu (surah Yuunus pun diturunkan di Mekah). Allah telah menurunkan karunia-Nya kepada kamu, sekarang kamu bikin-bikin dan kamu ada-adakan peraturan, mengatakan ini haram ini halal."Katakanlah: Apakah Allah yang telah mengizinkan kepada kamu." Menentukan ini haram dan itu halal? Kalau Allah yang menentukan itu, adakah itu syari'atyang kamu terima dari seorang Rasulullah ﷺ sebelum Muhammad ﷺ? Kalau ada mana kitabnya? Mana ayatnya? Bagaimana bunyinya.
“Atau adakah atas Allah kamu mengada-ada?"
Yaitu kamu karang-karangkan sendiri suatu peraturan, lalu kamu katakan bahwa itu adalah aturan dari Allah?
Teguran kepada musyrikin ini patutlah diperhatikan oleh kita zaman sekarang. Seumpama peraturan yang dibuat orang di kampung-kampung.
Sudah menjadi adat istiadat seisi negeri di beberapa negeri, karena setiap tahun orang mengadakan kenduri maulid di masjid. Karena adat itu berlaku tiap tahun, lalu dipeliharalah ikan di tebat (kolam) besar, yang hanya sekali setahun dikeluarkan isinya, untuk makanan kenduri itu. Tetapi di beberapa negeri, ikan-ikan di tebat besar itu tidak diambil-ambil lagi. Sebab menurut kepercayaan, ikan itu bertuah dan keramat, tidak boleh diambil-ambil. Barangsiapa mengambilnya akan ditimpa sakit dan sengsara. Ada pula yang mengatakan bahwa ikan itu adalah asal dari manusia, yaitu seorang anak yang saleh, pada satu ketika hilang tenggelam dalam tebat itu. Maka mulailah orang pergi berniat, bernazar, kepada ikan-ikan yang dikatakan keramat itu. Dan bermacam-macamlah dongeng yang tumbuh dari tahun ke tahun. Tetapi setelah tentara Jepang masuk ke negeri kita, nyarislah musnah ikan-ikan itu habis dibunuh dengan dinamit oleh tentara Jepang yang amat rakus kepada ikan di air tawar itu.
Kepercayaan begini sudah menyerupai kepercayaan jahiliyah Quraisy tadi.
Ayat 60
“Dan apakah sangkaan orang-orang yang telah mengada-adakan mata dusta atas nama Allah pada hari Kiamat?"
Ayat ini bersifat pertanyaan, tetapi untuk menambah beratnya perhatian, bahwasanya sangatlah besar dosanya manusia mengada-adakan peraturan sendiri, terutama mengha-ramkan sesuatu yang tidak ada nash yang jelas daripada Allah tentang haramnya. Sebab kaidah yang pertama dan yang pokok dari Allah terhadap rejeki yang dikaruniakan Allah adalah halal atau ibaahah. Baik tumbuh-tumbuhan, ataupun binatang, ataupun barang-barang yang lain. Orang boleh tidak senang memakan daging untuk dirinya, tetapi dia tidak boleh menyatakan bahwa; daging itu haram dimakan. Orang boleh membatasi makan sayur kepada kesehatan, tetapi dia tidak boleh meratakan peraturan buat umum, karena kepentingan dirinya.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dengan ayat ini Allah sangat mengingkari atas orang yang mengharamkan barang yang dihalalkan Allah atau yang menghalalkan barang yang diharamkan Allah, hanya semata-mata dengan pendapat sendiri dan hawa nafsu dengan tidak ada tempat sandaran dan tidak ada dalil."
Mengharamkan sesuatu hendaklah dengan nash yang qath'i, seumpama tentang haramnya meminum minuman memabukkan (tuak, alkohol). Al-Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa tidak ada ulama yang berani mengatakan sesuatu adalah haram, melainkan bila ada keterangannya dari Kitab Allah, dengan tidak dapat lagi ditafsirkan pada yang lain.
Oleh karena itu, ketentuan syara' atau tasyri' tentang haram dan halal keagamaan hanyalah serrfata-mata hak Allah Ta'aala. Kalau
kita terima lagi peraturan haram dan halal dari yang lain, mulailah kita menjadi muysrik. Dan orang-orang yang mengakui ulama yang lancang mengeluarkan fatwa memutuskan se-suatu adalah haram, adalah lancang pula untuk masuk neraka. Di dalam surah an-Nahl, ayat 116, akan bertemu lagi peringatan Allah, supaya kamu jangan mengatakan terhadap apa yang disifatkan oleh lidah kamu yang dusta, bahwa ini halal dan ini haram, karena hendak mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Agama yang begitu lapang, janganlah dipersempit dengan lidah orang yang lancang.
Seorang bertanya kepada penafsir, “Bagaimana hukumnya kalau saya memelihara dan menernakkan kodok hijau dan bagaimana hukum memakannya?"
Saya jawab dengan tegas, “Saya sendiri jijik memeliharanya, apatah lagi untuk me-makannya. Tetapi kejijikan saya bukanlah menjadi dasar hukum. Karena saya tidak bertemu satu nash yang qath'i melarang memelihara kodok hijau dan memakannya."
Di setengah negeri, termasuk di negeri di tempat saya dilahirkan, orang tidak biasa me-makan kodok hijau itu, tetapi di negeri lain diternakkan orang dan dimakan. Kejijikan orang yang tidak biasa memakannya, janganlah dijadikan hukum buat mengharamkan. Tiruan Nabi Muhammad ﷺ yang seketika Khalid bin Walid membawa Dhab (sejenis biawak) yang telah dikeringkan, dan mempersilakan beliau turut memakannya, beliau menjawab, bahwa Dhab itu tidak ada di negerinya. Tetapi seketika Khalid bin Walid memakannya, tidak beliau larang, dan beliau sendiri tidak turut memakannya. Negeri Nabi ﷺ dengan negeri Khalid sama-sama di Mekah. Mungkin Khalid pernah memakannya di negeri lain, dan telah biasa. Maka karena tidak ada larangan dari Al-Qur'an dengan tegas, tidaklah Nabi ﷺ berani melarang, meskipun beliau secara pribadi tidak menyukainya. Oleh sebab itu, timbullah ijtihad ulama menyatakan bahwa makan Dhab itu makruh saja, (kurang baik), sebab Nabi ﷺ tidak memakannya.
Datanglah ayat ini sebagai suatu pertanyaan, yang mengandung ancaman keras, ba-gaimanakah persangkaan orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah? Berani-berani saja membuat hukum haram hanya dengan ijtihad atau main qias-qiasan, padahal Allah tidak menurunkan agama dengan sempit? Bagaimanakah pendapat dan persangkaan mereka tentang hukum yang akan mereka terima di akhirat esok?
“Sesungguhnya, Allah mempunyai karunia atas manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak berterima kasih."
Di dalam surah al-Baqarah ayat 29 dengan tegas Allah mengatakan bahwa seluruh isi bumi adalah dijadikan untuk kamu, semuanya. Kalau dikatakan semuanya, artinya tidak ada batas. Dan kalau ada batas, maka batas itu wajib datang dari Allah sendiri, atau dari Rasul-Nya sebagai penafsiran dari ketentuan Allah. Karunia yang seluas itu, yang meliputi langit dan bumi telah terbentang luas di hadapan kita. Teringatlah kita akan karunia dan rahmat Allah tadi. Yang kita jaga tidak banyak, hanya semata-mata batas yang ditentukan Allah dan Rasul saw,. Adapun ijtihad ulama terbatas ruang dan waktu. Berubah ruang dan berubah waktu, bisa mengubah pula kepada hukum yang timbul dari ijtihad ulama tadi. Adapun hukum haram dan halal dari Allah, tetaplah mutlak kita taati.
Misalnya kita dapati dalam Al-Qur'an haram makan bangkai, haram makan segala macam darah (kecuali hati dan limpa), dan haram makan daging babi dan haram makan sembelihan yang disembelih untuk berhala. Haram yang demikian, tidak akan kita ganggu-gugat lagi. Tetapi sungguh pun begitu keras haramnya, kalau kita terpaksa (darurat), ka-rena tidak ada makanan lain lagi, kita dibolehkan memakannya (rukhshah). Maka alangkah sempitnya dunia tempat kita tegak, kalau misalnya kita tidak mau musafir meninggalkan kampung halaman kita, pergi menuntut ilmu ke Benua Eropa atau ke Eskimo misalnya, karena kita mendengar bahwa di sana makanan tidak disembelih dengan membaca bismillah?
Bandingkanlah hal ini dengan persoalan yang lain. Kita diperintahkan puasa bulan Ramadhan. Ketika puasa, haram bersetubuh dengan istri. Kalau setubuh, batal puasa dan wajib membayar kafarat. Tetapi ada orang yang sangat saleh sehingga pada malam hari pun dia tidak mau bersetubuh dengan istrinya. Ingatlah ayat-ayat tentang puasa Ramadhan dalam surah al-Baqarah. Sikap yang demikian dicela Allah, malahan disindir dan dikatakan bahwa dia diberi tobat atas kesalahannya itu.
Pada kira-kira tahun 1910, ributlah ulama-ulama di Padang, tentang perkara memakai dasi. Ulama Kaum Muda mengatakan halal, tetapi Ulama Kaum Tua mengatakan haram, dengan mengemukakan alasan hadits,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia pun terhitung jadi kaum itu."
Tegasnya, oleh karena dasi adalah pakaian kafir Belanda, maka barangsiapa orang Islam memakai dasi, menjadilah dia kafir seperti Belanda. Begitu cara mereka memahamkan.
Akhirnya apa yang kejadian? Memakai dasi menjadi merata, padahal yang memakainya itu tetap orang Islam juga. Sebab fatwa haram Kaum Tua tadi, timbul daripada pengaruh ruang dan waktu. Padahal dalam Al-Qur'an atau hadits tidak ada larangan memakai dasi, pada zaman Rasul ﷺ tidak atau belum ada dasi. Dan hadits perkara menyerupai (tasyabbuh) dengan suatu kaum tadi, tetap dalam peringatannya yang tinggi dan tujuannya bukan kepada dasi.
Maka bernazamlah Ayah dan Guru saya kala itu:
“Tercengang aku di kaum kuna, memakai cepiau dipandangnya hina.Meniru kafir seperti Cina, penangkis panas itulah guna."
Sebab itu, di ujung ayat yang tengah kita tafsirkan ini kita mendapat inti ajaran Allah yang sangat membuka lapang perjuangan hidup bagi kita sebagai Muslim. Amat banyak karunia Allah kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak pandai berterima kasih, sebab kesempitan pahamnya.
Zaman sekarang, bangsa-bangsa Amerika dan Rusia berlomba hendak pergi ke bulan, hendak menyelidiki bulan. Tidak ada dalam Al-Qur'an atau hadits satu ayat pun yang mengharamkan kita menyelidiki bulan. Cuma malang kita telah didahului orang lain. Tetapi, orang-orang yang sempit paham agamanya, menjadi takut turut pergi menyelidiki bulan itu. Apa sebab? Sebabnya karena dia merasa musykil, kalau sampai di bulan ke mana menghadap shalat? Maka orang yang tidak berterima kasih itu, agama bukanlah menjadi karunia dan rahmat Allah kepadanya, tetapi menjadi rantai yang membelenggunya pada bumi sehingga tidak dapat bangkit untuk mengecap rahmat yang telah disediakan Allah buat dia sebagai manusia.
Adapun orang-orang yang berterima kasih, yang dadanya telah dipenuhi cahaya iman, diambilnyalah kesempatan menampung karunia Allah Mahaluas itu, disertai rahmat-Nya, dan hidayah pun memenuhi dadanya buat mengetahui mana pekerjaan yang diridhai Allah dan mana yang tidak diridhai-Nya.