Ayat
Terjemahan Per Kata
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَمۡلِكُ
aku berkuasa
لِنَفۡسِي
bagi diriku
ضَرّٗا
mendatangkan kemudharatan
وَلَا
dan tidak
نَفۡعًا
manfaat
إِلَّا
melainkan
مَا
apa
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُۗ
Allah
لِكُلِّ
bagi tiap-tiap
أُمَّةٍ
umat
أَجَلٌۚ
ajal
إِذَا
apabila
جَآءَ
telah datang
أَجَلُهُمۡ
ajal mereka
فَلَا
maka tidak
يَسۡتَـٔۡخِرُونَ
mereka mengundurkan
سَاعَةٗ
sesaat
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَقۡدِمُونَ
mereka mendahulukan
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَمۡلِكُ
aku berkuasa
لِنَفۡسِي
bagi diriku
ضَرّٗا
mendatangkan kemudharatan
وَلَا
dan tidak
نَفۡعًا
manfaat
إِلَّا
melainkan
مَا
apa
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُۗ
Allah
لِكُلِّ
bagi tiap-tiap
أُمَّةٍ
umat
أَجَلٌۚ
ajal
إِذَا
apabila
جَآءَ
telah datang
أَجَلُهُمۡ
ajal mereka
فَلَا
maka tidak
يَسۡتَـٔۡخِرُونَ
mereka mengundurkan
سَاعَةٗ
sesaat
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَقۡدِمُونَ
mereka mendahulukan
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak kuasa (menolak) mudarat dan tidak pula (mendatangkan) manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.” Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak (pula) dapat meminta percepatan.
Tafsir
(Katakanlah, "Aku tidak berkuasa untuk mendatangkan kemudaratan kepada diriku) yang aku dapat menolaknya (dan tidak pula kemanfaatan) yang aku dapat menariknya (melainkan apa yang dikehendaki Allah?") bila memang Allah telah memastikannya terhadap diriku. Bagaimana aku dapat berkuasa untuk menurunkan azab kepada kalian. (Tiap-tiap umat mempunyai ajal) masa yang telah dimaklumi bagi kebinasaan mereka. (Maka apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat menangguhkannya) tidak dapat menangguhkan kedatangan azab itu (barang sedikit pun dan tidak pula mendahulukannya) menyegerakan datangnya azab itu.
Tafsir Surat Yunus: 48-52
Dan mereka mengatakan, "Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika memang kalian orang-orang yang benar?”
Katakanlah, "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak (pula) manfaat kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah. Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mempercepatnya barang sedikit pun.
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku, jika datang kepada kalian azab-Nya di waktu malam atau di siang hari, waktu yang manakah yang diminta untuk disegerakan oleh orang-orang yang berdosa itu ?
Kemudian apakah setelah terjadinya (azab itu), lalu kalian baru mempercayainya? Apakah sekarang (baru kalian mempercayai), padahal sebelumnya kalian selalu meminta supaya disegerakan?
Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu, "Rasakanlah oleh kalian azab yang kekal, kalian tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kalian kerjakan."
Ayat 48
Allah ﷻ menceritakan tentang kekufuran orang-orang musyrik itu dalam permintaan mereka yang memohon agar azab disegerakan kepada mereka, demikian pula permintaan mereka mengenai waktu datangnya azab itu sebelum ditentukan, yang hal tersebut tiada faedahnya sama sekali bagi mereka.
Hal ini disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).” (Asy-Syura: 18) Yakni pasti akan terjadi dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, sekalipun mereka tidak mengetahui waktunya secara tepat.
Ayat 49
Karena itulah Allah ﷻ memberikan petunjuk kepada Rasul-Nya dalam menjawab ucapan orang-orang musyrik itu melalui firman-Nya: “Katakanlah,’Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak(pula) manfaat kepada diriku’.” (Yunus: 49), hingga akhir ayat. Maksudnya, aku tidak mengatakan kecuali apa yang telah diajarkanNya kepadaku, dan aku tidak mempunyai kemampuan terhadap sesuatu yang pengetahuannya hanya ada pada sisi Allah, kecuali bila Allah memperlihatkannya kepadaku.
Aku adalah hamba dan utusan-Nya kepada kalian. Aku telah memberitakan kepada kalian akan kedatangan hari kiamat, bahwa hari kiamat itu pasti terjadi, dan Allah tidak memperlihatkan kepadaku mengenai waktunya, tetapi “tiap-tiap umat mempunyai ajal.” (Yunus: 49) Setiap generasi mempunyai batas usia yang telah ditentukan bagi mereka, dan apabila batas usia itu telah habis masanya “maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mempercepatnya barang sesaat pun.” (Yunus: 49)
Perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.” (Al-Munafiqun: 11), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah ﷻ memberitahukan bahwa azab Allah pasti akan datang menimpa mereka dengan sekonyong-konyong. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
Ayat 50
“Katakanlah, ‘Terangkan kepadaku, jika datang kepada kalian azab-Nya di waktu malam atau di siang hari’.” (Yunus: 50)
Yang dimaksud dengan bayatan ialah di waktu malam hari.
“Waktu yang manakah yang diminta untuk disegerakan oleh orang-orang yang berdosa itu?”
Ayat 51
“Kemudian apakah setelah terjadinya (azab itu), lalu kalian baru mempercayainya? Apakah sekarang (baru kalian mempercayai), padahal sebelumnya kalian selalu meminta supaya disegerakan?” (Yunus: 50-51)
Yakni manakala azab datang menimpa mereka, maka mereka mengatakan seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya:
“Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar.” (As-Sajdah: 12), hingga akhir ayat.
“Maka tatkala mereka melihat azab Kami mereka berkata, ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami mempersekutukan (nya) dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat azab Kami. Itulah sunnatullah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Al-Mumin: 84-85)
Ayat 52
Adapun firman Allah ﷻ: “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu, ‘Rasakanlah oleh kalian azab yang kekal’.” (Yunus: 52)
Pada hari kiamat dikatakan kata-kata tersebut kepada mereka sebagai kecaman dan cemoohan buat mereka. Sama halnya dengan apa yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
“Pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kalian selalu mendustakannya. Maka apakah ini sihir? Ataukah kalian tidak bisa melihat? Masuklah kalian ke dalamnya (rasakanlah kepanasan apinya), maka baik kalian bersabar atau tidak, sama saja bagi kalian; kalian diberi balasan terhadap apa yang telah kalian kerjakan’.” (Ath-Thur: 13-16)
Setelah mendengar permintaan orang-orang kafir sebagaimana terungkap pada ayat di atas, lalu Allah memerintahkan: Katakanlah wahai Nabi Muhammad, Aku hanyalah seorang utusan yang tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat kepada diriku sendiri maupun kepada kalian, kecuali apa yang Allah kehendaki. Allah telah menetapkan bagi setiap umat mempunyai ajal, yakni batas waktu hidup dan lainnya. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik, Terangkanlah kepadaku, jika datang kepada kamu siksaan-Nya pada waktu malam ketika kamu tidur nyenyak, atau siang hari ketika kamu sibuk dengan urusan duniamu, manakah yang diminta untuk disegerakan orangorang yang berdosa itu' Allah mampu menyegerakan azab yang mereka minta, tetapi Dia menunda, karena memberi kesempatan kepada para pendurhaka untuk bertobat dari perbuatan maksiat.
Allah mengajarkan kepada Rasulullah ﷺ jawaban yang harus dikatakan kepada mereka dengan memerintahkan kepada Rasulullah ﷺ agar mengatakan kepada mereka bahwa Rasulullah tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak pula mendatangkan kemanfaatan kepada dirinya. Sebab Rasulullah hanya utusan Allah yang tidak berkuasa untuk mempercepat ataupun memperlambat datangnya siksaan yang dijanjikan Allah kepada mereka, sebagaimana ia juga tidak dapat memperlambat datangnya pertolongan Allah yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang Muslimin. Akan tetapi datangnya manfaat dan mudarat yang ditimpakan kepada manusia, tiada lain hanyalah atas kehendak Allah semata. Itu berarti apabila Allah menghendaki terjadinya sesuatu, maka hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kehendak rasul-Nya, karena kehendak itu hanyalah semata-mata milik Allah yang memelihara alam semesta. Tugas Rasul hanyalah menyampaikan kehendak Alllah, bukan menciptakan kehendak. Apabila Rasulullah mengetahui akan hal-hal yang gaib, tidak lain hanya karena mengetahuinya dari wahyu Allah semata.
Firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (al-Araf/7: 188)
Sebagai penegasan Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat mempunyai ajal yang telah ditentukan waktunya oleh Allah. Ajal itu akan tiba saatnya apabila waktu yang telah ditentukan Allah telah tiba. Waktu tibanya ajal itu termasuk pengetahuan Allah yang tidak dapat diketahui oleh siapapun juga selain-Nya. Maka apabila ajal mereka telah tiba mereka tidak mampu menundanya sesaat pun, dan mereka tidak pula mampu memajukan waktunya dari waktu yang telah ditentukan. Demikian pula Rasulullah ﷺ tidak akan berkuasa untuk menentukan panjang pendeknya ajal yang telah ditentukan Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 46
“Dan jika Kami perlihatkan kepada engkau sebahagian dari yang telah Kami janjikan kepada mereka, atau engkau Kami wafatkan."
Artinya, Allah telah menentukan, dan sudah memastikan di dalam sunatullah, bahwasanya kebaktian yang dipertahankan oleh musyrikin itu selama ini akan datang waktunya, mesti hancur. Mungkin sebahagian dari kehancuran itu engkau lihat sendiri dengan mata kepala engkau, wahai utusan-Ku, dan mungkin juga engkau telah meninggal sebelum kehancuran pertahanan mereka itu terjadi."Namun kepada Kami jugalah tempat kembali mereka." Artinya, kehendak Allah pasti terjadi, baik waktu engkau hidup dan dapat engkau lihat, atau engkau telah mati. Proses atau perkembangan kehendak Allah akan berjalan terus. Sebab urusan ini bukan bergantung kepada Muhammad. Muhammad alat Allah, utusan Allah buat menyampaikan. Meskipun dia wafat, kehendak Allah pasti berlaku, dan mereka pun—si musyrik itu— akan mati pula dan akan bertanggung jawab pula di hadapan Allah.
“Kemudian Allah jadi saksi atas apa yang mereka perbuat."
Meskipun Nabi ﷺ tidak ada lagi, Allah tetap ada. Di akhirat Allah akan tetap mempertimbangkan dan menilai amalan mereka. Yang kufur dan syirik akan tetap mendapat siksaan yang setimpal.
Ayat 47
“Dan bagi tiap-tiap umat ada Rasul."
Hal ini diperingatkan Allah, bahwasanya Rasul ﷺ bukan hanya datang kepada umat yang sekarang saja, atau umat Arab sebagai penyambut Muhammad ﷺ yang pertama, kemudian sampai sekarang menjadi suatu umat besar. Umat Muhammad ﷺ yang menghuni seluruh pelosok dunia. Allah utus rasul-rasul itu, sampai datang rasul terakhir Muhammad ﷺ “Maka apabila telah datang rasul mereka dan rasul itu telah menyampaikan dakwah dan tabligh kepada umat yang didatanginya itu, membawa basyir dan nazir, berita gembira dan ancaman, tuntunan syari'at dan ibadah menurut zaman dan tempat, maka berdirilah hujjah pada umat itu. Artinya, tidaklah dapat lagi umat yang didatangi itu mencari dalih buat melanggar kebenaran Allah."Diputuskanlah di antara mereka dengan adil." Berlakulah hukum keadilan Allah. Yang berbuat baik, mendapat balasan baik, bahkan berganda lipat. Yang berbuat jahat pun mendapat siksaan Allah, yang sesuai dengan kejahatan yang diperbuatnya.
“Dan tidaklah mereka dianiaya."
Lantaran itu dijelaskan bahwa ayat ini memberikan pengertian bagi manusia, bahwa manusia yang pada ayat-ayat di atas tadi telah diterangkan, diberi hati, pendengaran dan penglihatan. Tidak cukup hingga itu saja anugerah Allah, bahkan ditambahi lagi dengan mengutus rasul-rasul itu membawakan dakwah penerangan, barulah buruk dan baik amal manusia mendapat penilaian. Tidaklah datang-datang saja siksaan ditimpakan kepada seseorang yang berdosa, melainkan peringatan rasul didatangkan terlebih dahulu.
Ayat 48
“Dan mereka bertanya: Bilakah penjanjian itu? Jika memang kamu orang-orang yang benar."
Tiap-tiap rasul yang datang diutus Allah, pokok ajaran mereka dapat disimpulkan pada tiga perkara. Pertama, percaya kepada Allah dengan cara tauhid. Kedua, percaya akan hari perjanjian atau Kiamat itu. Ketiga, supaya manusia beriman dan beramal saleh untuk persiapan menempuh hari yang pasti datang itu. Kadang-kadang bertanyalah kaum musyrikin itu kepada Rasul ﷺ, Kalau memang ada hari perjanjian itu, bilakah akan ter-jadinya? Bilakah akan datangnya? Kalau kamu, wahai Muhammad ﷺ dan orang-orang yang beriman kepadamu memang percaya akan adanya hari perjanjian itu, niscaya kamu dapat menerangkan kepada kami, bila akan
terjadinya. Tetapi, kalau kamu tidak dapat menerangkan, tandanya kamu bukan orang-orang benar.
Nabi ﷺ disuruh menjawab pertanyaan itu.
Ayat 49
“Katakanlah: Tidaklah aku memiliki bagi diriku sendini suatu bahaya dan tidak suatu manfaat, melainkan apa yang dikehendaki Allah."
Di sini disuruh menyatakan kepada musyrikin itu terus terang bahwa sedangkan mengelakkan diri dari bahaya atau hendak mencapai suatu manfaat untuk diriku sendiri, tidaklah ada kekuasaanku, sebab itu adalah semata-mata hak Allah, apatah lagi akan mengetahui detik saat ketika bila akan terjadi Kiamat. Maka seluruh pengelakan dan bahaya, dan seluruh manfaat yang akan diraih, dan seluruh ilmu tentang jangka waktu yang gaib, adalah hak Allah semata-mata. Yang aku ketahui pasti hanyalah bahwa segala yang berpangkal mesti berakhir, dan yang kekal hanya Allah.
“Bagi tiap-tiap umat ada ajal; apabila datang ajal mereka, maka tidaklah dapat mereka minta dimundurkan satu saat pun dan tidak dapat mereka minta dimajukan."
Segala umat ada ajal, ada janji. Ada masa suatu umat lahir dan tumbuh dan ada masa naik dan akan tiba pula masa jatuh dan hancur. Tidak ada umat yang kekal abadi di dunia ini sejak dunia terkembang sampai dunia Kiamat. Masa naiknya tidak dapat dihalang-halangi oleh siapa pun dan masa runtuhnya pun begitu. Ilmu sosiologi dan filsafah sejarah pun mengakui yang demikian itu. Ibnu Khaldun menyebut tentang masa mulai tumbuh, masa berkembang, masa mendatar dan mempertahankan yang ada dan masa menurun, lalu masa hancur. Kalau masa itu datang, maka Rasul ﷺ tidaklah berdaya untuk mendahulukan atau menta'khirkan, sebab itu adalah hak Allah semata-mata.
Keterangan ayat ini sudah membuka sejelas-jelasnya bahwa Rasul ﷺ sendiri yang mengakui bahwa beliau tidak memiliki pengetahuan tentang rahasia gaib. Dia hanya ber-usaha dan berikhtiar menolak bahaya meraih manfaat. Dia hanya mengetahui garis besar kehendak Allah, suatu umat naik dan suatu umat jatuh. Tetapi bahwa yang demikian akan terjadi pada tahun sekian, bulan sekian dan hari sekian, beliau tidaklah tahu. Sekiranya Rasul ﷺ sendiri disuruh Allah di dalam wahyu menyatakan hai itu, bahwa mengetahui yang gaib hanyalah hak Allah Ta'aala, bagaimana lagi ada makhluk lain yang akan mengetahui itu? Padahal makhluk lain itu diberi nyawa, diberi tubuh, diberi makan dan minum hanya oleh Allah?
Suatu perbuatan sesatlah kalau kita meminta kepada manusia yang hidup supaya mendatangkan suatu manfaat atau menolak mudharat dari kita. Satu perbuatan sesatlah apabila kita memercayai tukang tenung yang meramalkan akan terjadi begini dan begitu pada tahun anu, atau di musim anu. Dan lebih tersesat lagi jika meminta tolong kepada orang yang telah mati, atau kepada kuburannya. Sedangkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri di kala hidupnya telah menyatakan bahwa dia tak kuasa, hanya Allah Yang Kuasa, betapa lagi kalau kita meminta kepada orang yang telah mati.
Menulis Imam asy-Syaukani di dalam tafsirnya Fathul Qadir dan disalinkan juga oleh muridnya Hasan Khan Bahadur dalam tafsirnya Fathul Bayan demikian.
“Di dalam ayat ini terkandunglah sebe-sar-besar pengajaran dan sepuas-puas peringatan kepada orang yang telah menjadi kebiasaannya dan kesukaannya menyeru-nyeru nama Rasulullah ﷺ dan meminta pertolcmg-an kepadanya ketika turun kepadanya suatu bala bencana, yang tidak ada yang berkuasa
menghindarkan bencana itu selain Allah sendiri. Demikian juga orang yang memohonkan kepada Rasul ﷺ sesuatu hal yang Rasul ﷺ itu sendiri tidak ada upaya menghasilkannya, selain hanya Allah. Karena sesungguhnya itu adalah maqam kedudukan Rabbul ‘Alamin yang telah menjadikan nabi-nabi dan orang-orang yang saleh itu, menjadikan sekalian makhluk dan memberi mereka rejeki dan menghidupkan mereka dan mematikan mereka. Bagaimana dia meminta kepada seorang dari nabi-nabi atau seorang dari antara malaikat atau seorang di antara orang-orang saleh, padahal semuanya itu tidak upaya memberi dan mengabulkan dan tidak berkuasa apa-apa, seraya mereka tinggalkan memohon langsung kepada Rabbul Arbab, Allah dari segala Penguasa, yang menciptakan segala sesuatu, yang memberi rejeki. Yang Memberi dan Yang Menahan?
Patutlah ayat ini menjadi ajaran bagimu. Perhatikanlah, sesungguhnya penghulu dari sekalian anak Adam dan penutup dari sekalian rasul telah diperintah Allah menyampaikan kepada sekalian hamba Allah, “Bahwasanya Aku tidaklah memiliki bagi diriku sendiri suatu bahaya dan tidak suatu manfaat!" Kalau Allah telah menyuruh menjelaskan yang demikian kepada Rasul-Nya sendiri, bagaimana pula yang lain akan dapat memilikinya?
Heranlah kita terhadap kaum yang duduk tekun i'tikaf di hadapan kubur orang-orang yang telah mati, yang telah bergelimang di bawah lapisan tanah, mereka minta kepadanya apa yang mereka hajatkan, yang tidak kuasa memberikannya kecuali hanya Allah saja. Mengapa mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjerumus ke dalam syirik, dan tidak insaf bahwa mereka telah mengerjakan sesuatu perbuatan yang bertentangan sama sekali dengan isi makna kalimat “La llaha lUallah", dan maksud dari “Qul huallahu Ahad". Dan yang lebih mengherankan kita lagi ialah segala perbuatan ini dilihat oleh orang-orang yang berilmu, lalu mereka biarkan saja tidak mereka cegah, dan tidak mereka bendung orang-orang itu, yang telah hanyut kembali ke dalam jahiliyah pertama, bahkan lebih jahat lagi. Karena orang-orang jahiliyah dahulu itu tetap mengakui bahwa Allah sajalah Yang Khalik (Maha Pencipta). Dialah yang memberi rejeki, Dia yang menghidupkan, Dia Yang mematikan, Dia saja yang berkuasa memberi mudharat dan memberi manfaat. Mereka ha-nya semata-mata menjadikan berhala-berhala mereka itu sebagai syafa'at (pembela) di sisi Allah dan pendekat di antara mereka dengan Allah. Sedang pemuja-pemuja kubur sekarang ini menganggap orang yang telah di dalam tanah itu mempunyai kuasa memberi mudharat dan manfaat. Kadang-kadang mereka seru namanya tunggal, kadang-kadang namanya diseru dan diserentakkan dengan menyebut nama Allah. Cukuplah engkau pa-hami betapa jahatnya pendengaran ini. Moga-moga Allah tetaplah menolong agamanya dan membersihkan syari'atnya. Sebab setan yang terkutuk itu tetah memperalat cara-cara yang dipakai mereka ini untuk membawa jadi kafir umat yang diberkati Allah ini. Senang hati setan melihatnya sebab mereka sendiri menyangka bahwa perbuatan mereka itu baik. Innaa lil Laahi Wa Innaa Ilaihi Raji'un"
Sekian asy-Syaukani di dalam Fathul Qadir-nya.
Kadang-kadang iman kita diuji di dalam menegakkan keyakinan yang ditanamkan Nabi ﷺ itu, bahwa beliau sendiri pun tidak berkuasa mendatangkan mudharat ataupun man-faat.
Seketika penulis tafsir ini ditahan polisi karena fitnah orang, merasalah diri terlalu sepi sunyi, dipencilkan dari kaum keluarga berbulan-bulan. Maka salah seorang polisi yang menjaga itu, timbullah belas kasihannya karena belum juga tentu bisa akan dikeluarkan. Dia menyatakan bahwa dia bersedia menolong, Dia akan pergi menemui seseorang dukun yang sangat mahir dan mujarab, yang telah banyak menolong orang yang sengsara. Maka saya pikirkan, Apakah kekurangan daku daripada dukun itu? Aku tetap mengerjakan shalat lima waktu. Dalam shalat aku berdoa, di luar shalat pun aku berdoa. Dan Alhamdulillah aku mengerjakan juga shalat nawafil, shalat-shalat yang sunnah, sampai shalatul lail (ta-hajjud), sebelum ditahan dan sesudah dalam tahanan. Hatiku pun rasanya lebih dekat kepada Allah pada saat-saat seperti ini. Mengapa aku akan meminta tolong kepada seorang dukun, untuk mengobatkan agar aku terlepas dari bala bencana ini, padahal barangkali lebih banyak aku bertekun menghadap Allah, daripada dukun itu sendiri. Sebanyak itu aku mengerjakan shalat. Yah, aku mengakui mungkin banyak yang tidak khusyuk, tetapi kalau aku mengerjakan shalat wajib 5 x 365 dalam setahun, agaknya ada juga yang khusyuk, dan Allah lebih tahu bahwa aku mengakui kelemahan diriku.
Lantaran itu tidaklah aku meminta tolong kepada orang lain, melainkan langsung kepada Allah, disertai keyakinan tawakal, menyerah bulat dan ridha. Sebab di mana pun aku ditahan dan berapa lama pun, hanya satu yang aku takutkan, yaitu jangan hendaknya ingatanku lepas daripada Dia.
Terpikirlah olehku, kalau kiranya tempat dukun itu memohon Allah juga, sedangkan tempat aku memohon tidak lain melainkan Allah Yang Satu itu juga, mengapa kepada si dukun aku mesti meminta tolong menyampaikan permohonanku agar aku dilepaskan dari percobaan pahit ini, padahal dia berdoa dan aku pun berdoa? Bahkan bukan dukun itu saja, anak-anak dan istriku jauh lebih khusyuk mendoakan daku. Siang dan malam, petang dan pagi mereka berdoa agar aku lekas keluar dengan selamat.
Sudah terang bahwa derajat dukun itu sama saja dengan daku di sisi Allah, yaitu sama-sama makhluk-Nya. Dukun itu tidak berkuasa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat. Apakah aku telah putus asa berdoa dengan usahaku sendiri, lalu aku minta tolong kepada orang lain? Lebih celaka lagi ialah apabila dukun itu meminta tolong bukan kepada Allah, melainkan kepada makhluk lain selain Allah. Entah kepada jin atau kepada setan atau ruh-ruh yang jahat, dengan mantra-mantra tertentu. Padahal yang pasti akan melepaskan daku dari bahaya tidak ada yang lain melainkan Allah juga.
Kalau kebetulan Allah melepaskan daku dari bahaya bertepatan dengan mantra si dukun atau permintaannya pada hantu, niscaya membanggalah dukun itu, dan bertambah berpengaruhlah orang-orang yang memercayainya. Dibuatnyalah propaganda di mana-mana, bahwa saya terlepas dari bahaya itu ialah karena pertolongannya. Lantaran itu dia yang telah menjadi musyrik itu bertambah musyrik lagi. Itulah yang bernama Istidraj, yaitu Allah memudahkan pertolongannya bagi orang yang telah menggelincir keluar dari jalan Allah, untuk menambah kesesatannya dengan tidak disadarinya.
Dan bagaimana dengan daku sendiri?
Pasti aku akan menyesali diriku sendiri kalau itu kejadian. Padahal doa-doaku sendiri dan munajatku kepada Allah, ditambah dengan doa anak-anak dan istriku, ditambah dengan pengharapan murid-murid dan han-dai-taulankulah yang dikabulkan Allah secara langsung, yang menyebabkan aku keluar kelak dengan selamat. Bukan permohonan dukun yang sengaja dicari dan diisi syarat-syarat tertentu; entah ayam putih, ayam hitam, bubur merah putih, kain sekabung dan sebagainya. Alangkah malunya aku kepada diriku sendiri jika hal ini terjadi. Dan aku akan keluar juga, in syaa Allah. Hanya kegelisahan yang wajib aku hapuskan dari dalam dadaku, supaya aku jangan merasa terlalu lama menunggu. Karena soal cepat atau lambat, adalah nisbi belaka, atau relatif belaka.
Lantaran itu dengan tegas aku tolaklah uluran polisi penjaga yang kasihan kepadaku itu, dan aku berilah kepadanya keterangan tentang inti sari tauhid, sampai dia mengerti bahwa aku bukanlah orangnya, yang dapat dipengaruhi dengan dukun sakti atau klenik, atau kebatinan.
Dan tidak berapa lama setelah permintaannya hendak menolong itu aku tolak, tiba-tiba pada pagi-pagi hari Jum'at tanggal 1 Oktober 1965, pagi-pagi sekali, polisi penjagaku itu pun datanglah dengan tergesa-gesa dan berkata dengan terburu-buru, mengatakan bahwa tadi malam telah terjadi tembak-menembak. Dan bahwa Presiden sendiri tidak ada di istana, belum diketahui ke mana beliau pergi. Dia mengharap kepada saya supaya tenang-tenang saja.
Setelah itu dari hari ke hari lebih jelaslah berita tentang percobaan merebut kekuasaan dari kaum komunis dan percobaan itu gagal. Tiga bulan setelah itu, saya pun dipindahkan ke dalam tahanan rumah, kembali hidup dikelilingi anak istri dan cucu-cucu. Dua bulan sesudah itu dilapangkan tahanan menjadi tahanan kota. Kian sehari keamanan kian pulih, dan akhirnya dari teman-teman yang kembali dari mengerjakan haji, di antaranya al-Ustad Bey Arifin di Surabaya, saya mendengar berita yang amat mengharukan saya. Yaitu bahwa beratus-ratus jamaah haji dari Indonesia baik ketika thawaf sekeliling Ka'bah maupun ketika wuquf di Arafah telah bersama-sama mendoakan agar saya dan beberapa teman pejuang Islam yang lain, yang sama ditahan pemerintah Soekarno, dibebaskan Allah dan keluar dengan selamat, untuk melanjutkan jihad menegakkan cita-cita Islam.
Apakah suatu kebetulan?
Tidak! Tidak ada yang kebetulan pada ketentuan Allah.
Tanggal 9 Dzulhijjah 1385 mereka wuquf sambil munajat memohonkan agar kami lepas dari penganiayaan ini, dan pada tanggal 10 Dzulhijjah besoknya, pada hari Nahar atau Adha, saya telah jadi imam shaiat Hari Raya Idul Adha di lapangan Masjid Agung al-Azhar, dalam status tahanan kota, dan sebulan sesudah itu bebas sama sekali (26 Mei 1966).
Banyaklah yang patut saya syukurkan kepada Allah. Dan di antara yang sangat saya syukuri itu ialah saya menolak dengan tegas uluran tangan polisi yang jujur, tetapi jahil itu, buat meminta tolong kepada dukun. Kalau itu terjadi, menjadi cacatlah pertolongan kawan-kawan, taulan, sahabat, murid-murid, yang bermunajat memohonkan agar kami dibebaskan Allah sedang mereka wuquf di Padang Arafah itu.
Lanjutan tafsir:
Ayat 50
“Katakanlah: Tidaklah kamu perhatikan."
Betapa ngerinya “Jika datang kepada kamu adzab-Nya di tengah malam atau di siang h ari?" Artinya, katakanlah olehmu wahai utusan-Ku, kepada mereka, sebab mereka telah menentang, meminta adzab itu disegerakan datangnya. Kalau permintaan itu dikabulkan, sehingga datang adzab itu tiba-tiba, baik di waktu malam sedang kamu tidur nyenyak, atau di siang hari ketika kamu sibuk dalam urusan kehidupanmu sehari-hari, bagaimanalah ngeri dan dahsyatnya hal itu.
“Apakah yang diminta lekaskan oleh orang-orang yang durhaka itu?"
Yang mereka minta segera itu, sanggup Allah mengabulkannya. Dan amatlah ngeri kalau itu terjadi. Kalau adzab itu datang malam, kamu akan musnah semuanya sedang enak tidur: Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, anak-anak yang tidak bersalah pun akan menjadi kurban. Kalau dia terjadi siang hari, kamu pun akan musnah dalam kebingungan, janganlah hal itu dipermainkan, janganlah sikap syirik dari kufur sampai membawa kepada
menentang Allah. Karena yang akan celaka ialah dirimu sendiri.
Ayat 51
“Apakah kemudian, apabila telah terjadi, kamu beriman dengan dia?"
Kamu tantang Allah, minta diturunkan adzab itu sekarang juga. Kalau misalnya per-mintaanmu itu dikabulkan, lalu datang adzab kemusnahan di tengah malam sedang kamu tidur, atau di tengah hari sedang kamu sibuk, apakah di saat itu baru kamu akan beriman? “Apakah sekarang?" Setelah rumah-rumahmu hancur, kaum keluargamu habis mati, dan negerimu hancur-lebur karena adzab, pada saat itukah kamu hendak beriman? Apakah arti iman kalau sudah saat yang demikian? Padahal iman itu ialah untuk pegangan hidup, untuk beramal yang saleh, untuk hidup damai dengan sesama manusia di samping berbakti takwa kepada Allah? Apakah artinya lagi iman pada waktu itu
“Padahal sesungguhnya kamu telah minta dilekaskan?"
Sungguhlah ayat ini menjadi teguran yang keras sekali kepada musyrikin yang sombong mempertahankan perdiriannya itu, sampai menentang Rasul ﷺ agar didatangkan adzab itu dengan segera. Padahal kalau adzab itu datang, pada waktu itulah mereka akan kocar-kacir, menjadi manusia yang sangat hina, lari mengadu kepada Allah, meminta tolong di-lepaskan dari adzab. Tidak akan ada yang akan tetap bertahan dalam kesombongannya dalam saat yang sangat dahsyat dan mengerikan itu. Bahkan orang-orang yang kufur itulah yang lebih kelihatan kecil kerdil jiwanya pada saat seperti demikian.
Ayat 52
“Kemudian akan dikatakan kepada orang-orang yang zalim itu: Rasakanlah olehmu adzab yang kekal."
Adzab melalui dua gelombang. Yaitu adzab kemusnahan di atas dunia, sebagaimana yang telah dirasai oleh kaum-kaum dan umat nabi-nabi yang terdahulu, atau adzab kehinaan yang menimpa Quraisy di dalam peperangan Badar. Atau adzab keruntuhan suatu negeri, hina sesudah mulia, terjajah sesudah merdeka, karena nilai-nilai budi tidak ada lagi dalam negeri itu, sehingga mudah dimasuki oleh musuh dari luar.
Adzab begitu pun datang juga kepada orang-seorang. Misalnya mati dengan tiba-tiba di saat hati sedang terikat teguh kepada dunia, atau jatuh dari pangkat jabatan yang dimegahkan, pada saat-saat yang tidak disangka-sangka. Gelombang adzab yang kedua ialah adzab yang kekal di akhirat, adzab neraka sebagai balasan daripada amalan jahat yang diperbuat masa di dunia, dan adzab itu tidaklah lebih daripada patut.
“Apakah kamu diganjal, berlain daripada apa yang telah pernah kamu usahakan 7"
Maka jikalau kamu kelak diadzab, kekal dalam neraka, hal yang demikian itu tidak lebih dan tidak kurang, adalah balasan yang wajar daripada bekas usahamu sendiri di kala hidup. Kalau perbuatan di kala hidup hanya banyak yang jahat, zalim (aniaya), baik kepada orang lain atau kepada diri sendiri, fasad, mengusut yang selesai, mengeruhkan yang jernih, membuat contoh teladan yang buruk, dan kufur kepada Allah, dan tidak mau surut melangkah kepada kebenaran, maka segala adzab siksaan yang diterima, bukanlah aniaya sewenang-wenang dari Allah, melainkan yang bersangkutan sendirilah yang telah memilihnya. Tidak ada aniaya, sebab peringatan Allah sudah selengkapnya disampaikan lebih dahulu dengan perantaraan Rasul ﷺ. Kalau seseorang ditimpa penyakit yang berbahaya, karena dia melampaui pantang, tidak mengindahkan nasihat orang, seumpama seorang pemuda yang ditimpa penyakit sifilis sampai tembus-tembus alat kelaminnya oleh hama kuman sifilis misalnya, janganlah orang lain disalahkan. Jangan pula Allah yang dituduh kejam, melainkan dia yang ditimpa penyakit itulah yang harus disalahkan. Sebab dia yang telah salah pilih. Kecuali kalau Allah tidak memperingatkan lebih dahulu.
Ayat 53
“Dan mereka akan meminta berita kepada engkau: Apakah itu sebenarnya?"
Maka di antara kaum musyrikin itu ada yang akan meminta keterangan lebih jelas tentang berita itu, yaitu bahwa Allah Mahakuasa mendatangkan adzab dengan tiba-tiba, baik tengah malam atau tengah hari tepat, dan kelak di akhirat pun akan ditimpakan adzab yang kekal. Mereka itu selama ini menjadi kafir atau musyrik, karena belum mendapat keterangan yang jelas dan sesungguhnya. Orang yang seperti ini kalau mendapat ke-terangan yang jelas dan jujur, bisa kembali kepada jalan yang benar. Apatah lagi banyak pula di kalangan mereka yang mengakui bahwa Muhammad ﷺ itu bukanlah seorang pendusta sejak dia sebelum menjadi rasul. Sekarang mereka bertanya, apakah hal-hal yang seperti itu benar-benar bisa terjadi?
“Katakanlah: Memang! Demi Tuhanku! Sesungguhnya itu adalah sebenarnya/' Artinya dengan nama Allah aku bersumpah, dan aku tidaklah bercakap dusta kepada kamu, tidak ada faedahnya bahwa hal yang sedahsyat ini akan aku katakan sambil berolok-olok ber-main-main terhadap kamu. Kalau kamu masih saja berlarut-larut dalam kekafiran, malahan Enenentang lagi kepada Allah agar cepat mendatangkan adzab, maka adzab itu akan tiba.
“Dan kamu tidaklah akan terlepas."
Artinya, tidaklah ada bumi lain tempat kamu tari menyembunyikan diri atau mengelak dari kehendak Allah itu. Siapakah orangnya yang dapat mengelakkan diri daripada maut?
Ayat ini menunjukkan bahwasanya setengah manusia ada yang masih kafir karena belum mendapat keterangan yang jelas, padahal hatinya jujur dan sudi mendengar dan menerima kebenaran. Sekali dia bertanya secara jujur, lalu dijawab secara tegas dan jujur pula, masuklah itu ke dalam hatinya. Contohnya ialah sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim dan beberapa ahli hadits yang lain, yang mereka terima dari riwayat Anas bin Malik, bahwa di suatu hari sedang Rasulullah ﷺ duduk dihadapi oleh sahabat-sahabat beliau di dalam masjid, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki mengendarai unta. Tiba-tiba unta itu dibawanya masuk ke dalam pekarangan masjid dan diikatkannya, lalu dia masuk. Sesampai di dalam dia bertanya, “Siapa di antara tuan-tuan ini yang bernama Muhammad saw,?" Lalu kami jawab, “Orang yang putih tengah bersandar ini."
‘Apakah anak Abdul Muthalib?" tanyanya pula.
“Telah aku jawab!" sambut Nabi ﷺ
Maka orang itu pun meneruskan perkataannya, “Aku hendak bertanya, tetapi caraku bertanya agak kasar, aku harap engkau jangan kecil hati."
“Tanyakanlah apa yang terasa di hatimu," jawab Nabi ﷺ
“Aku hendak bertanya, demi Allah dan Allah dari orang-orang yang sebelum engkau, apakah Allah yang mengutus engkau kepada sekalian manusia?"
“Allahumma. Benar!" jawab Nabi ﷺ.
“Aku hendak bertanya kepada engkau dengan nama Allah. Allah itukah yang memerin-tahkan engkau menyuruhkan kami shalat lima waktu setiap hari setiap malam?"
Nabi ﷺ menjawab, “Ya Allah, benar!"
“Aku bertanya lagi kepada engkau, dengan nama Allah: Allah itukah yang menyuruh eng-kau memerintahkan kepada kami agar puasa satu bulan dalam setahun?"
Beliau jatfrab, “Ya Allah, benar!"
“Aku bertanya lagi kepada engkau, dengan nama Allah. Allah itu jugakah yang memerin-tahkan engkau mengambil harta zakat dari orang yang kaya di kalangan kamu, lalu raem-bagi-baginya kepada orang-orang fakir kami?" Nabi ﷺ menjawab, “Ya Allah, benar!" Setelah menerima segala penjawaban yang tegas dari pertanyaan yang dia sendiri mengakui, yaitu agak kasar, dia pun berkata, “Sekarang aku nyatakan bahwa aku percaya kepada segala perintah yang engkau bawa itu. Dan aku ini adalah utusan dari kaumku. Namaku adalah Dhiman bin Tsa'labah, saudara dari Bani Sa'ad bin Bakr."
Di dalam riwayat lain dari Anas juga, yang dirawikan oleh Muslim, bahwa kami telah di-larang bertanya-tanya terlalu banyak kepada Rasulullah ﷺ. Oleh sebab itu, kami tidak berani bertanya-tanya lagi kalau tidak sangat penting. (Lihat Tafsir juz 6, ketika menafsirkan ayat 104 dari surah al-Maa'idah, yaitu larangan terlalu banyak bertanya kepada Nabi ﷺ). Maka sangatlah senang hati kami kalau datang seorang laki-laki yang berasal dari dusun. Dia bertanya, kami mendengar. Suatu hari datanglah seorang dusun dan berkata, “Ya Muhammad ﷺ! Pernah datang ke tempat kami seorang utusan engkau, dia mengatakan bahwa engkau mengakui dirimu sebagai Rasulullah ﷺ, apakah itu betul?"
Nabi ﷺ menjawab, “Benar katamu itu!" Lalu, dia bertanya pula, “Siapa yang menja-dikan langit?"
Nabi ﷺ menjawab, “Allah."
Dia bertanya lagi, “Siapa yang menjadikan bumi?"
Nabi ﷺ menjawab, “Allah."
Dia tanya lagi, “Siapa yang memancangkan gunung-gunung ini, sehingga dijadikannya apa yang dia jadikan?"
Nabi saw, menjawab, “Allah."
Maka dia pun berkata pula, “Demi yang menjadikan langit dan bumi dan memancangkan gunung-gunung itu, Allah itukah yang mengutus engkau?"
Nabi ﷺ menjawab, “Memang!"—(Kemudian dia tanyakan tentang perintah shalat, zakat, puasa bulan Ramadhan dan tentang haji. Yang semuanya dijawab oleh Nabi ﷺ dengan, “Benar!").
“Setelah itu," kata Anas selanjutnya, “Dia pun berpaling hendak pergi, sambil berkata: “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, semua yang telah engkau terangkan itu tidak akan aku tambah-tambah dan tidak akan aku kurangi sedikit pun."
Dan bersabda Nabi ﷺ, “Jika katanya itu benar, dia akan masuk surga." Demikian hadits kedua, pencukupkan riwayat hadits pertama tadi.
Dhiman bin Tsa'labah, hanya sekali itu datang kepada Nabi ﷺ. Utusan Nabi ﷺ telah datang ke negerinya dan telah didengarnya segala keterangan utusan itu, tetapi dia belum mau percaya. Dia hendak bertanya sendiri berhadapan dan maksudnya itu telah berhasil, dia telah bertemu dengan Nabi ﷺ. Oleh karena dia bertanya benar-benar karena hendak mengamalkan, pertanyaannya pun tidak berpanjang-panjang dan bertele-tele, meskipun bunyinya terdengar kasar. Dia seorang yang jujur mencari kejujuran pada orang yang jujur pula. Setelah bertemu sekali itu dengan Rasulullah ﷺ, dia pulang ke kampungnya dan tidak ada riwayat menerangkan bahwa sesudah itu dia bertemu lagi dengan Nabi ﷺ, sebab dia datang sesudah peperangan Tabuk, yaitu saat-saat banyak utusan kabilah-kabilah datang ke Madinah (tahun ke-8 dan ke-9). Tetapi, hasil pertanyaannya yang hanya sekali itu telah dipegangnya erat, dibuhulnya mati, tidak dilepaskannya lagi, dan diturutilah pemimpin yang jujur itu oleh seluruh kaumnya Bani Sa'ad bin Bakr, semuanya masuk Islam.
Lanjutan tafsir:
Ayat 54
“Dan walaupun andaikata ada bagi tiap-tiap jiwa yang zalim itu segala yang ada di bumi, niscaya akan ditebusnyalah dengan dia."
Sebagai lanjutan ayat tersebut tentang datangnya adzab yang kekal di akhirat itu, atau sebagai tambahan jawab dan yang jujur tadi, bahwasanya jika adzab itu datang kelak, orang yang telah berdosa itu andaikata mempunyai kekayaan sepenuh bumi ini yang dipergunakannya untuk menebus dosanya, untuk menjadi tebusan ampun atas kesa-lahannya, niscaya harta itu akan diserahkannya. Artinya, pada saat itu tidak berguna lagi kekayaan, walaupun orang seorang mempunyai kekayaan sepenuh bumi. Sedangkan di dunia ini sendiri pun, kalau badan sudah sakit-sakit, sudah tinggal jengat pembalut tulang dalam sakit merana, kekayaan berjuta-juta tidak ada gunanya lagi, apatah lagi di akhirat kelak,
“Dan mereka simpanlah rasa penyesalan tatkala mereka telah melihat adzab" Setelah berhadapan dengan siksaan Allah yang sudah pasti itu, terpendamlah rasa menyesal di da-lam dada, bahkan kadang-kadang menyesak jadi keluhan. Akan surut tidak bisa lagi, akan ditempuh, merekalah yang akan di muka. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."Dan diputuskanlah hukum dengan adil." Yaitu sesudah penyelidikan dan pertimbangan yang mendalam, melihat berkas perkara yang jelas dan lengkap, sebesar biji sawi pun tidak ada yang ketinggalan, lalu dikeluarkan keputusan Allah seadil-adilnya.
“Sedang mereka tidaklah dianiaya."
Tidak mungkin atau mustahil hukum itu akan dijatuhkan Allah dengan zalim. Sebab hukum zalim hanya terdapat di dalam dunia ini oleh manusia kepada manusia, karena pi-hak yang menzalimi ada kepentingan dengan kezaliman itu. Di atas dunia ini, dua orang penjahat bisa berhadap-hadapan, sedangkan yang seorang berpakaian orang rantai karena dia pesakitan, tertuduh mencuri ayam dan yang seorang lagi penjahat juga, tetapi berpakaian jaksa penuduh, karena kejahatannya menyalah-gunakan kekuasaan dalam la-pangan lain.
Selanjutnya berfirmanlah Allah memberi ingat.
Ayat 55
“Ketahuilah, sesungguhnya bagi Allah-lah apa yang ada di semua langit dan bumi."
Kalau sudah disebut semua langit dan bumi, artinya telah seluruh alam ini, yang bernyawa ataupun tidak, semuanya adalah di bawah kuasa Allah. Supaya ingatlah tiap-tiap orang bahwa kekuasaan mutlak adalah pada Allah, dan dia bertanggung jawab di hadapan Allah, dan dia tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan itu. Dia lahir, dia hidup dan dia akan mati. Lahir dari kehendak Allah, hidup di bawah kuasa Allah, dan mati kembali kepada Allah."Ketahuilah, sesungguhnya janji Allah adalah benar." Yang tampak sekarang adalah kuasa Allah meliputi semua langit dan bumi dan hidup kita. Adapun yang di balik ini ada lagi, yaitu “janji Allah" Hari perhitungan dan pertemuan dengan Allah, yang mesti kita tempuh.
“Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui."
Tidak mengetahui, atau tidak mau tahu, atau tidak sadar, bahwa hidup ini adalah di bawah kuasa Allah dan sesudah mati akan menemui Allah. Yang menjadikan sebab manusia tersesat, terpesong, menyeleweng, lain tidak adalah oleh karena melupakan kuasa Allah atas alam dan janji Allah di kemudian hari.
Lahir ke dunia dan hidup; putus napas dan mati. Selalu kita lihat dan selalu kita dengar, kita begitu, orang lain pun begitu. Sesudah itu kembali kepada Allah, pulang kepada-Nya, untuk menerima perhitungan dan ganjaran.
Jangan dilupakan ini, supaya kita jangan kehilangan pedoman dalam pelajaran hidup dengan alun, gelombang, ombak, riak dan arusnya ini.