Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَظۡلِمُ
menganiaya
ٱلنَّاسَ
manusia
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلنَّاسَ
manusia
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka sendiri
يَظۡلِمُونَ
mereka menganiaya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَظۡلِمُ
menganiaya
ٱلنَّاسَ
manusia
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلنَّاسَ
manusia
أَنفُسَهُمۡ
diri mereka sendiri
يَظۡلِمُونَ
mereka menganiaya
Terjemahan
Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.
Tafsir
(Sesungguhnya Allah tidak berbuat lalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat lalim kepada diri mereka sendiri).
Tafsir Surat Yunus: 41-44
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah, “Bagiku amalku, dan bagi kalian amal kalian. Kalian berlepas diri dari apa yang aku kerjakan, dan aku berlepas diri terhadap apa yang kalian kerjakan.”
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar, walaupun mereka tidak mengerti.
Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.
Sesungguhnya Allah tidak sedikit pun berbuat zalim kepada manusia, tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.
Ayat 41
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, bahwa jika orang-orang musyrik itu mendustakan kamu, maka berlepas dirilah kamu dari mereka, juga dari amal perbuatan mereka.
“Maka katakanlah, ‘Bagiku amalku, dan bagi kalian amal kalian. (Yunus: 41)
Ayat ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah’.” (Al-Kafirun: 1-2), hingga akhir surat.
Dan Nabi Ibrahim Al-Khalil beserta para pengikutnya berkata kepada kaumnya yang musyrik, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah.” (Al-Mumtahanah: 4), hingga akhir ayat.
Ayat 42
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu.” (Yunus: 42)
Yakni mendengarkan ucapanmu yang bagus dan mendengar Al-Qur'an, serta hadis-hadis sahih yang fasih lagi bermanfaat bagi hati, agama, dan diri pendengarnya.
Sebenarnya usaha itu sudah cukup besar, tetapi hal tersebut bukan merupakan tanggung jawabmu, juga tidak dibebankan kepada mereka. Karena sesungguhnya kamu tidak akan dapat membuat orang yang tuli mendengar. Kamu pun tidak akan dapat memberi petunjuk kepada mereka kecuali jika Allah menghendakinya,
Ayat 43
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang melihat kepadamu.” (Yunus: 43)
Maksudnya, memandangmu dan memandang apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu berupa ketenangan, sifat yang baik, dan akhlak yang agung; serta dalil yang jelas yang membuktikan kenabianmu bagi orang-orang yang mempunyai akal dan pandangan hati. Mereka memandang kepadamu sebagaimana orang lain memandangmu, tetapi mereka tidak memperoleh hidayah sedikit pun.
Sebaliknya orang-orang mukmin memandangmu dengan pandangan yang mengandung pengagungan, sedangkan orang-orang kafir itu memandang kepadamu dengan pandangan menghina, seperti yang disebutkan dalam ayat lain: “Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, niscaya mereka tidak lain hanyalah membuat kamu menjadi olok-olok.” (Al-Anbiya: 36), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dia tidaklah menzalimi seorang pun, sekalipun dia telah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, membuat melihat orang yang tadinya buta, membuka mata yang tadinya terkatup, membuka telinga yang tadinya tuli, membuka hati yang tadinya tertutup rapat, dan membuat orang yang selain mereka sesat dari jalan keimanan. Karena Dia adalah Penguasa Yang Maha Mengatur segala sesuatu yang ada di dalam kerajaanNya, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Dialah Tuhan yang tidak ada seorang pun meminta pertanggungjawaban-Nya dari apa yang telah dtperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya. Demikian itu berkat ilmu-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan keadilan-Nya.
Ayat 44
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (Yunus: 44)
Di dalam sebuah hadis dari Abu Zar, dari Nabi ﷺ, dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Nabi ﷺ dari Tuhannya disebutkan: “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zalim atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram pula di antara kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat zalim.” Dan pada akhir hadis Qudsi ini disebutkan: “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah hasil amal perbuatan kalian yang Aku catatkan untuk kalian, kemudian Aku membalaskannya kepada kalian secara penuh. Maka barang siapa yang menjumpai kebaikan (pada catatan amal perbuatannya), hendaklah ia memuji dan berterimakasih kepada Allah; dan barang siapa yang menjumpai(nya) selain dari itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.”
Hadis ini secara panjang lebar diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, karena Dia sudah memberikan petunjuk menuju jalan kebenaran dan melarang ke jalan kesesatan serta memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihan, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri dengan berbuat kejahatan dan mengabaikan kebenaran.
Setelah dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwa Allah tidak sedikit pun menzalimi hamba-Nya, lalu dijelaskan tentang kebenaran ajaran Al-Qur'an, diantaranya adalah datangnya Hari Pembalasan. Dan ingatlah pada hari ketika Allah mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar, mereka merasa seakan-akan tidak pernah berdiam di dunia kecuali sesaat saja pada siang hari, pada waktu mereka saling berkenalan. Sungguh rugi orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan siksa dan pahala dari Allah dan mereka itulah orang-orang yang benar-benar tidak mendapat petunjuk.
Kemudian Allah menandaskan kepada kaum Muslimin, bahwa Dia tidak akan menganiaya hambanya dan tidak akan mengurangi daya indera dan semua alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh petunjuk, agar mereka sampai kepada kebenaran dan dapat mempedomani petunjuk itu sehingga dapat melaksanakannya untuk mencapai segala sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, asalkan manusia itu sendiri mau mempergunakan pancainderanya sebaik-baiknya. Kalau terjadi sebaliknya, merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena mereka diberi mata dan telinga, tetapi tidak mau memahami petunjuk Allah berarti merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena mereka tidak mau mendengar, dan diberi hati tetapi tidak mau mengerti, maka sepantasnyalah apabila mereka disiksa sebab menganiaya diri mereka sendiri. Allah telah menurunkan utusan untuk membimbing mereka kepada kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, tetapi mereka tidak mau mendengar dan tidak mau menaatinya, maka apabila mereka tersesat di dunia dan di akhirat kelak dijatuhi siksaan yang berat, maka yang menganiaya mereka itu tiada lain adalah diri mereka sendiri.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 41
“Dan jika mereka dustakan engkau, maka katakanlah: Bagiku amalku dan bagi kamu amal kamu."
Artinya, jika mereka masih saja bersitegang urat leher membantah, menyatakan tidak mau percaya, bahkan mendustakan lagi, maka matilah kita tegak pada amal usaha kita masing-masing. Bagiku adalah amalku sendiri. Amalku ialah menyampaikan keterangan ini, terus-menerus mengadakan dakwah, tidak akan berhenti. Amalku ialah selalu menyerukan perbaikan dan mengajarkan bakti kepada Allah. Memberikan kabar ancaman bagi yang menolak dan membawa berita gembira bagi yang percaya. Bagaimanapun kamu men-dustakannya, namun aku tidak akan berhenti dari amalku ini. Dan kamu pun boleh terus-menerus mendustakan, terus-menerus di dalam kufur dan syirik, berbuat fasad (kerusa-kan) dan zalim (aniaya).
“Kamu semua bebas dari apa yang aku amalkan dan aku pun bebas dari apa yang kamu semua amalkan."
Marilah kita tegak di dalam usaha dan pilihan hidup masing-masing. Kalian boleh meneruskan pendustaan dan kekufuran dan aku pun akan terus pula dalam iman dan keyakinan hidupku. Segala hasil dari amalku tidak ada sangkut pautnya dengan amalan kamu dan amalan kamu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan amalanku. Ujung dan akibat amal kita masing-masing itu pasti ada kepastiannya kelak. Yang baik tidaklah mungkin membuahkan yang buruk dan yang buruk pun tidaklah mungkin menimbulkan buah yang baik. Dan kalau sekiranya kelak kamu mendapat hasil yang buruk, baik di dunia dengan kekalahan dan kehancuran, ataupun di akhirat dengan siksaan adzab, tidaklah ada sangkut-pautnya lagi dengan daku, sebab aku pun telah menumpahkan segenap tenagaku buat melanjutkan amal yang dibebankan kepadaku. Janganlah kelak, setelah akibat yang buruk itu kamu terima, lalu kamu menyesali aku. Sebab tidaklah pernah aku berhenti berusaha, cuma kamu jualah yang ingkar.
Ayat 42
“Dan setengah dari mereka ada yang datang mendengarkan kepada engkau."
Di pangkal ayat ini diakui, memang ada juga dari kalangan kafir musyrik itu yang suka mendengarkan perkataan Rasul ﷺ. Tepatnya ialah mendengar apabila Al-Qur'an beliau bacakan. Dahulu sudah pernah kita salinkan riwayat bahwa Abu Jahal dan Abu Sufyan pernah dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi datang malam hari ke pekarangan rumah Rasulullah ﷺ sengaja hendak mendengar Al-Qur'an beliau baca."Tetapi, apakah engkau dapat membuat mendengar orang yang tuli?" Banyak di antara mereka suka sekali mendengarkan engkau membaca Al-Qur'an. Tetapi, hanya telinga mereka saja
yang mendengarkan, entah karena indah bunyi Al-Qur'an itu, entah karena rapi susun katanya, tetapi hati mereka sendiri tidak mendengarkan. Tidak ada pertalian di antara telinga mereka dengan perhatian mereka. Oleh sebab itu, bertanyalah Allah kepada Rasul-Nya; adakah orang-orang yang hanya telinganya saja yang terbuka, padahal hati mereka pekak tuli bisa engkau suruh mendengar?
“Walaupun mereka tidak mau memikirkan."
Tegaslah bahwa yang mereka dengarkan itu hanya susun katanya, indah bacaannya, bukan maksud isinya. Sampai pada zaman kita ini pun masih beribu-ribu banyaknya orang yang asyik sekali mendengarkan bunyi Al-Qur'an, apalagi jika qira'at-nya baik, lagunya merdu, sampai dijadikan perlombaan memakai hadiah-hadiah istimewa, tetapi isi dari ayat yang dibaca itu tidak masuk ke dalam hati, sebab tidak menjadi perhatian dan tidak mau mempergunakan akal bagi memikirkan dan mengamalkan.
Ayat 43
“Dan setengah dari mereka ada yang memandang kepada engkau."
Serupa juga dengan mendengar apabila Nabi ﷺ membacakan ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi tidak ada hubungan di antara telinga mereka dengan perhatian mereka, demikian pula di antara mereka itu yang memandang Nabi Muhammad ﷺ dengan mata. Mereka mengenal dia, ataupun memang berkenalan baik. Baik ketika mendengar sambil meman-dang wajahnya, ataupun di dalam pergaulan tiap hari. Tetapi, sungguh pun mata mereka memandang Nabi ﷺ, hati mereka buta, tidak melihat apa yang dibawakan oleh Nabi ﷺ itu. Sebab itu bertanyalah Allah, secara istifham inkari, pertanyaan membantah, apa-kah kepada orang yang semacam itu, buta hatinya, engkau akan memberinya petunjuk?
“Walaupun mereka tidak mau melihat?"
Di sini pun bertemulah pertalian mata lahir dengan mata hati. Walaupun mata mereka terbelalak melihat Rasul ﷺ atau melihat kenyataan ajaran yang beliau bawa, bagaimana mereka akan dapat diajak kalau hati mereka sendiri yang tidak mau melihat? Manakah yang lebih berbahaya, orang yang buta mata sedang hatinya terang-benderang, dengan orang yang matanya berkembang terbelalak, sedang hatinya buta? Diajak bagaimanapun, mereka tidak akan mau melihat. Bukankah kerap kita melihat orang yang melengahkan penglihatan matanya ke tempat lain, jika bertemu dengan barang yang tidak disukai hatinya?
Ayat 44
“Sesungguhnya Allah tidaklah menganiaya manusia sedikit pun."
Bolehlah kata-kata zhulm yang kita pada umumnya memberi arti aniaya, diperluas lagi pengertiannya. Yaitu tidaklah ada yang kurang, yang diberikan Allah kepada manusia. Cukup manusia itu diberi bekal. Ada penglihatan, ada pendengaran dan indra kelimanya, dan diberi pula akal. Di dalam ayat ini ditegaskan betapa lengkap genapnya anugerah ilahi kepada manusia; an-nas. Di antara segala yang bernyawa di dalam dunia ini, nyata benar kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia. Binatang hanya diberi naluri saja untuk penjaga hidup, tidak diberi akal buat berpikir. Binatang hanya diberi indra saja. Bagi manusia, pancaindra itu semata-mata alat buat berjalannya akal. Binatang melihat dan mendengar, manusia pun mendengar dan melihat. Binatang hanya telinga dan matanya yang mendengar dan melihat, namun pada manusia yang terlebih penting ialah pertimbangan akal yang di belakang pendengaran dan penglihatan itu. Sebagai makhluk yang istimewa, sebagai khalifatullah di bumi ini, tidak ada yang kurang yang dianugerahkan
Allah kepada manusia. Dan inilah maksud ayat ini
“Akan tetapi manusia sendirilah yang menganiaya diri mereka."
Karena manusia tidak mempergunakan pemberian Allah yang mulia dan amat berharga itu menurut patutnya, sebagai yang telah dijelaskan pula oleh Allah pada surah al-A'raaf (ayat 178) yang telah kita uraikan pada Juz 9, yaitu bahwa Allah telah menyediakan untuk neraka Jahannam, kebanyakan dari jin dan manusia, yang telah diberi Allah Ta'aala hati, yaitu akal dan pikiran tetapi tidak dipergunakan buat berpikir. Telah diberi Allah mata, tetapi tidak dipergunakan buat melihat. Telah dianugerahi Allah telinga, tetapi tidak dipergunakan buat mendengar. Sampai Allah mengatakan dalam ayat tersebut bahwa orang yang demikian sama saja dengan binatang, bahkan lebih sesat lagi dari binatang; sebabnya yang utama ialah lantaran kelalaian.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, mengajak manusia berpikir bahwasanya hidup tidaklah hanya hingga ini saja. Hidup di sini hanya sebentar saja. Yang sangat penting buat di-pikirkan ialah hidup masa depan, hidup yang sesudah mati.
Ayat 45
“Dan (ingatlah) hari yang Dia akan mengumpulkan mereka."
Ingatkanlah kepada mereka hari itu, hari yang akan dituju, hari yang sebenar-benarnya hari, yaitu hari segala insan akan dikumpulkan oleh Allah di hadapan-Nya. Hari yang bernama Yaumul Jatn'i; Hari Kumpulan. Yaumul Hasyr; Hari Himpunan. Hari untuk memperhitungkan dosa dan pahala, ganjaran atau siksaan. Hari yang akan datang itu memang tidak kelihatan oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, tetapi di dalam merenung alam yang ada ini, akal telah menyimpulkan bahwasanya segala yang berpangkal mesti berakhir. Hari yang kita pakai sekarang, walaupun berapa puluh tahun usia kita, belumlah ada arti apa-apa jika dibanding dengan hari yang akan dihadapi kelak itu."Seakan-akan tidaklah mereka berhenti melainkan sesaat dari siang hari, berkenal-kenalan mereka di antara mereka." Artinya, jika dibanding dengan hari depan, hari akhirat yang akan kita tempuh itu, dengan hari hidup kita di dunia ini, tidaklah ada ubahnya kehidupan di dunia ini laksana seorang tengah berjalan, tiba-tiba berhenti sejenak di tengah jalan karena bertemu teman-teman, lalu yang belum berkenalan menjadi berkenalan, membicarakan suka duka kehidupan sesaat lamanya, lalu meneruskan perjalanan lagi. Alangkah singkatnya pertemuan itu, dan belum pula tentu nilai apa yang telah dibicarakan dengan berkenal-kenalan itu. Setelah perjalanan akan terus lagi, menghadapi pintu maut dan menghadapi pintu Akhirat. Sebab itu, berfirmanlah Allah selanjutnya, “Sungguh rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah itu." Bagaimana tidak akan rugi, padahal mendustakan pertemuan kelak dengan Allah itu menyebabkan hidup yang hanya sepanjang saat pertemuan perkenalan dengan teman itu, akan dibiarkan tinggal kosong tidak berisi dan tidak ada persiapan.
“Dan bukanlah mereka tnang-orang yang dapat petunjuk."
Seluruh hidup dunia ini menjadilah tumpukan dari kerugian, kalau iman akan hari kemudian tidak ada. Rugi karena tidak mendapat pegangan hidup di kala hidup, dan tidak mendapat limpahan karunia bahagia dalam kehidupan yang kekal. Sebab iman sebagai pendirian, dan amal sebagai pelancaran iman adalah alat belaka buat membersihkan dan menyucikan jiwa, dan buat meningkatkan martabat ruh menjadi naik. Pada tubuh yang lemah gemulai ini, hendaklah bersemayam suatu jiwa yang kuat, bersih dan selalu terlatih. Jiwa seperti inilah yang berhak ditumpahi Allah dengan pimpinan-Nya dan karamah-Nya. Jiwa yang seperti ini hidup terus, khulud terus, tidak mengenal berhenti. Di dunia ini dia hanya merasa sebagai orang singgah, dan perjalanan akan terus. Sebab itu, dia tidak takut menghadapi maut. Malahan tersebut di dalam suatu hadits, bahwasanya seorang yang mati karena berjuang menegakkan iman dan amal saleh, tegasnya seorang yang mati syahid, tidak keberatan jika dihidupkan kembali oleh Allah untuk syahid lagi. Karena demikian enaknya rasa syahid itu bagi jiwa yang terlatih.
Cobalah kita renungkan!
Alangkah beruntungnya dan bahagianya jiwa yang telah mencapai rasa ini! Dan alangkah rugi hidupnya kalau batas pikiran hanya sehingga ujung hayat dunia yang pendek dan hina-lata ini. Maka orang-orang begitu menjadi rugi, karena mereka tidak mempelajari nilai itu, lantaran itu mereka pun tidak mendapat hidayah dari Allah. Kegagalan mereka di dunia ini menyebabkan pula kegelapan mereka di akhirat.
Peringatan ini datang kepada penduduk Mekah yang musyrikin ketika Rasul ﷺ me-nyampaikan dakwahnya di Mekah. Tetapi dia telah terlukis sebagai ayat yang muhkamah, yang tidak akan bergeser dan tidak ada takwil atau arti lain lagi, menjadi pegangan juga bagi kita yang datang di belakang, dan telah tahu bahwa percaya akan hari akhirat adalah salah satu dari rukun (tiang) iman. Tetapi dalam pelaksanaan hidup sehari-hari kita telah kerap kali lupa sehingga hidup kita sudah sebagai orang menghasta kain sarung; berputar-putar, berbelit-belit, tetapi masih di sana saja.
Oleh sebab itu, hendaklah kita ukurkan hidup kita dengan petunjuk yang dibawakan oleh Rasul ﷺ kepada kita, dan hendaklah tegaskan terus ke mana dan apa yang kita tuju dalam hidup ini. Pengalaman-pengalaman yang pahit hendaklah kita jadikan pengajaran, dan di dalam waktu hidup yang singkat ini hendaklah kita isi penuh dengan amal yang berharga, yang menyebabkan hidup akhirat kita kelak menerima penghargaan yang tinggi daripada Allah.