Ayat
Terjemahan Per Kata
فَمَنۡ
maka siapakah
أَظۡلَمُ
lebih zalim
مِمَّنِ
daripada orang
ٱفۡتَرَىٰ
mengada-adakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
كَذِبًا
kedustaan
أَوۡ
atau
كَذَّبَ
dia mendustakan
بِـَٔايَٰتِهِۦٓۚ
dengan ayat-ayatNya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
لَا
tidak
يُفۡلِحُ
beruntung
ٱلۡمُجۡرِمُونَ
orang-orang yang berbuat dosa
فَمَنۡ
maka siapakah
أَظۡلَمُ
lebih zalim
مِمَّنِ
daripada orang
ٱفۡتَرَىٰ
mengada-adakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
كَذِبًا
kedustaan
أَوۡ
atau
كَذَّبَ
dia mendustakan
بِـَٔايَٰتِهِۦٓۚ
dengan ayat-ayatNya
إِنَّهُۥ
sesungguhnya ia
لَا
tidak
يُفۡلِحُ
beruntung
ٱلۡمُجۡرِمُونَ
orang-orang yang berbuat dosa
Terjemahan
Maka, siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya para pendurhaka itu tidak akan beruntung.
Tafsir
(Maka siapakah) artinya, tiada seorang pun (yang lebih lalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah) yaitu dengan melakukan kemusyrikan terhadap Allah (atau mendustakan ayat-ayat-Nya?) yakni Al-Qur'an. (Sesungguhnya) pada kenyataannya (tiadalah beruntung) tiadalah berbahagia (orang-orang yang berbuat dosa) yaitu orang-orang musyrik.
Tafsir Surat Yunus: 17
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang berbuat dosa itu tidak akan beruntung.
Allah ﷻ berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang lebih zalim, tidak pula yang lebih angkara murka, dan tidak pula yang lebih jahat “daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (Yunus: 17) Yakni membuat-buat kebohongan terhadap Allah, lalu ia mengaku bahwa Allah telah mengutusnya, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Dan tidak ada seorang pun yang dosanya lebih besar dan kejahatannya lebih parah daripada orang seperti itu.
Orang seperti itu jelas perkaranya bagi orang bodoh sekalipun, karena mana mungkin orang seperti itu serupa dengan para Nabi. Seseorang yang mengucapkan kata-kata seperti itu, baik dia benar atau dusta, pasti Allah akan menegakkan hujah-hujah yang menunjukkan akan kebenaran atau kebohongannya dengan bukti-bukti yang lebih jelas daripada matahari. Sesungguhnya perbedaan antara Nabi Muhammad ﷺ dan Musailamah Al-Kazzab bagi orang yang menyaksikan keduanya akan lebih jelas baginya daripada membedakan antara waktu duha (siang hari) dengan pertengahan malam hari yang gelap gulita.
Orang yang menyaksikan ciri-ciri khas keduanya melalui sepak terjang dan ucapan-ucapannya bagi orang yang mempunyai pandangan hati akan menyimpulkan kebenaran Nabi Muhammad ﷺ dan kebohongan Musailamah Al-Kazzab serta lain-lainnya yang serupa, seperti Sajjah dan Al-Aswad Al-Anasi.
Abdullah bin Salam mengatakan, "Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, orang-orang (Yahudi) merasa tidak senang dengan kehadirannya, dan aku termasuk salah seorang yang tidak senang. Ketika aku melihatnya langsung, aku menyimpulkan bahwa dia (Nabi ﷺ) bukanlah orang yang berpenampilan seperti orang yang pendusta." Abdullah bin Salam melanjutkan kisahnya, bahwa ucapan Nabi ﷺ yang mula-mula didengarnya ialah sabdanya: "Hai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang-orang yang miskin, hubungkanlah silaturahmi, dan shalatlah di malam hari ketika orang-orang lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan sejahtera.”
Ketika delegasi yang dipimpin oleh Dammam bin Sa'labah sebagai utusan dari kaumnya (yaitu Bani Sa'd bin Bakar) datang kepada Rasulullah ﷺ, di antara pertanyaan yang diajukan oleh Dammam kepada Rasulullah ﷺ ialah, "Siapakah yang meninggikan langit ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Allah." Dammam bertanya, "Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Allah." Dammam bertanya, "Siapakah yang menghamparkan bumi ini?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Allah." Dammam bertanya, "Demi Tuhan yang telah meninggikan langit ini, yang telah memancangkan gunung-gunung ini, dan yang telah menghamparkan bumi ini, apakah Allah yang telah mengutusmu kepada seluruh umat manusia?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, Allah, memang benar." Kemudian Dammam bertanya kepada Nabi ﷺ tentang shalat, zakat, haji, dan puasa; pada setiap pertanyaan Dammam mengajukan sumpah tersebut, dan Rasulullah ﷺ mengucapkan sumpah itu kepada Dammam. Maka Dammam berkata, "Engkau benar, demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, aku tidak akan menambahi dan mengurangi dari hal tersebut."
Ternyata Dammam percaya kepada Rasulullah ﷺ hanya dengan cara itu, dan dia telah merasa yakin kepada Rasulullah ﷺ melalui dalil-dalil yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri dari diri Rasulullah ﷺ.
Hissan bin Sabit mengatakan dalam salah satu bait syairnya: “Sekalipun dia (Nabi ﷺ) tidak membawa ayat-ayat yang jelas, maka dari penampilannya saja sudah cukup membawa kebaikan bagimu. Adapun Musailamah, apabila orang yang menyaksikannya itu mempunyai pandangan hati, pasti akan mengetahui keadaan yang sebenarnya, melalui ucapan-ucapannya yang rapuh lagi tidak fasih dan melalui perbuatan-perbuatannya yang tidak baik, bahkan jelek, serta ucapan-ucapan yang dibuat-buatnya yang menyebabkan dia kekal di dalam neraka kelak pada hari penyesalan dan permaluan.”
Alangkah jauhnya perbedaan antara firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya; tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Al-Baqarah: 255) hingga akhir ayat, dengan perkataan-perkataan Musailamah -semoga Allah memburukkan dan melaknatinya- berikut ini: “Hai katak, anak sepasang katak, bersuaralah, berapa banyak kamu bersuara, tetapi kamu tidak dapat mengeruhkan air dan tidak pula dapat mencegah orang yang meminumnya. Allah melimpahkan nikmat kepada wanita yang mengandung, bila Dia melahirkan darinya seorang manusia yang dapat berjalan, yaitu dari selangkangan dan perutnya. Gajah, tahukah kamu apakah gajah itu, gajah mempunyai belalai yang panjang. Bahan-bahan roti yang telah dijadikan adonan, dan roti-roti yang telah dipanggang, dan makanan-makanan yang telah disuap, lauk pauk dan saminnya, demi semuanya, sesungguhnya orang-orang Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.
Dan perkataan Musailamah lainnya, yang tidak lain mengandung berbagai macam khayalan dan ingauan serta khurafat sehingga anak-anak kecil pun tidak mau mengucapkannya melainkan dengan nada sinis dan mengejek. Karena itulah Allah menghinakannya dan membuatnya mati terhina dalam Perang Al-Hadiqah, sehingga tercabik-cabiklah kekuatannya. Ia bahkan dilaknat oleh teman-temannya dan keluarganya sendiri yang datang kepada Khalifah Abu Bakar dalam keadaan bertobat; mereka datang dengan penuh harapan untuk memeluk agama Islam.
Ketika Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta mereka untuk membacakan kepadanya sesuatu yang pernah dikatakan oleh Musailamah, mereka meminta Khalifah Abu Bakar agar tidak usah disebutkan karena memalukan. Akan tetapi, Khalifah Abu Bakar tetap bersikeras meminta agar mereka mengucapkannya, supaya didengar oleh orang-orang yang belum pernah mendengarnya. Dengan demikian, mereka akan mengetahui keutamaan hidayah dan ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur'an yang jauh lebih utama daripada apa yang dikatakannya. Lalu mereka membacakan apa yang telah kami sebutkan di atas dan hal-hal lainnya yang serupa.
Setelah mereka selesai membacakannya, maka Khalifah Abu Bakar berkata kepada mereka, "Celakalah kalian, kalian buang ke mana akal kalian? Demi Allah, kata-kata seperti itu hanya pantas keluar dari pantat."
Diceritakan bahwa Amr ibnul As menjadi delegasi untuk menghadap Musailamah yang telah menjadi temannya sejak zaman Jahiliah, saat itu Amr ibnul As belum masuk Islam. Lalu Musailamah berkata kepadanya, "Celakalah engkau, hai Amr, apakah yang telah diturunkan kepada teman kamu maksudnya Nabi ﷺ dalam masa sekarang ini?" Maka Amr menjawab, "Sesungguhnya aku mendengar sahabat-sahabatnya membacakan surat yang besar tetapi pendek." Musailamah bertanya, "Bagaimanakah bunyinya?" Amr membacakan firman-Nya: “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (Al-Asr: 1-2) hingga akhir surat.
Kemudian Musailamah berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku pun baru menerima hal yang serupa yang telah diturunkan kepadaku." Amr bertanya, "Coba sebutkan." Musailamah berkata: “Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya engkau hanyalah sepasang telinga dan dada, sedangkan anggotamu yang lain kecil lagi pendek. Bagaimanakah menurutmu, hai 'Amr?” Amr menjawab kepada Musailamah, "Demi Allah, sesungguhnya engkau benar-benar mengetahui bahwa aku mengetahui bahwa engkau dusta." Apabila penilaian ini dari seorang musyrik di saat ia dalam kemusyrikannya, berarti jelaslah baginya keadaan Nabi Muhammad ﷺ dan kebenarannya, serta keadaan Musailamah dan kebohongannya.
Terlebih lagi menurut penilaian orang-orang yang mempunyai akal dan pandangan hati yang tajam. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kebohongan terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya,’ padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, ‘Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah’.” (Al-An'am: 93)
Sedangkan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang berbuat dosa itu tidak akan beruntung.” (Yunus: 17) Demikian pula halnya orang yang mendustakan kebenaran yang disampaikan oleh para rasul, padahal hujah-hujah (bukti-bukti)nya telah jelas baginya.
Sebagai jawabannya dikatakan, "Tentu saja tiada yang lebih zalim dari orang seperti itu," seperti yang disebutkan oleh sebuah hadits: “Orang yang paling dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang membunuh nabi atau dibunuh oleh nabi.”
Karena mereka tetap keras menolak kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu dari Allah dan menuduh Nabi Muhammad berbohong, maka ditegaskan dalam bentuk pertanyaan, siapakah yang lebih zalim daripada orang yang dengan sengaja mengada-adakan kebohongan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya' Sungguh tidak ada orang yang lebih zalim daripada mereka dan mereka tidak akan mendapatkan keberuntungan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat dosa itu tidak akan pernah beruntung.
Setelah dijelaskan kerugian yang akan diperoleh oleh orang yang berbuat zalim karena ingkar terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, lalu dijelaskan bentuk lain dari kezaliman mereka yaitu syirik. Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang dijadikan sembahan yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka, apabila mereka tidak menyembahnya, dan tidak pula memberi manfaat dan tidak bisa menolak madarat ketika mereka menyembahnya, dan mereka dengan yakin berkata, Mereka berhala dan sembahan kami lainnya itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah. Padahal sembahan tersebut tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak madarat atas diri mereka sendiri.
Ayat ini menerangkan perbuatan orang yang paling zalim di sisi Allah ialah:
1. Orang yang berbuat dusta terhadap Allah, seperti yang telah dilakukan orang-orang musyrik karena keingkaran mereka, yaitu meminta Rasulullah menukar ayat-ayat Al-Qur'an dengan perkataan yang lain yang tidak bertentangan dengan kepercayaan mereka.
2. Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Ayat ini memberi peringatan bahwa orang yang melakukan salah satu dari perbuatan yang paling zalim itu adalah orang yang pantas mendapat kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Mereka telah berbuat dosa, mereka tidak akan memperoleh keberuntungan dengan perbuatan-perbuatan itu. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 15
“Dan apabila dibacakan kepada mereka itu ayat-ayat Kami yang jelas-jelas."
Yakni jika dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an itu di hadapan mereka, yang isinya jelas, te-rang, jitu, tepat, yang kerap kali membongkar kejahatan musyrikin itu, mencela penyem-bahan mereka kepada berhala dan membuka rahasia-rahasia yang mereka sembunyikan."Berkatalah orang-orang yang tidak mengharap pertemuan Kami itu." Atau orang-orang yang tidak mempunyai harapan akan hari depan, karena iman tidak masuk dalam hati, sebagai yang telah kita uraikan di beberapa ayat di atas tadi. Kata mereka, “Datangkanlah Al-Qur'an selain dari ini atau gantilah dia."
Isi ayat-ayat yang dibacakan Rasulullah ﷺ kepada mereka itu amat jitu dan payah di-bandingkan Bayyinaatin. Jelas, terperinci dan fasih sehingga mesti membuat tunduk pikiran yang mendengarnya. Tetapi mereka tidak mau percaya! Bukan karena seruan itu tidak benar, melainkan karena mereka merasa sakit oleh pukulannya. Karena mereka telah membuat dasar pendirian bahwa Nabi Muhammad ﷺ itu bukanlah rasul, hanya seorang tukang sihir, mereka minta supaya didatangkan Al-Qur'an yang lain, jangan wahyu yang sekarang itu. Atau ganti ucapannya itu dengan ucapan lain.
Apa sebab mereka meminta demikian? Mereka tahu, sebelum Nabi Muhammad ﷺ berusia 40 tahun, sebelum memaklumkan dirinya sebagai Rasulullah ﷺ, tidaklah beliau pernah terkenal sebagai seorang ahli syair atau ahli pidato. Tidak satu huruf pun namanya termasuk dalam daftar sastrawan ataupun penyair atau pujangga. Tidak pernah dia turun dalam perlombaan syair di Pasar ‘Ukaz. Sekarang tiba-tiba dia muncul dengan susun kata yang lain. Mereka tuduh bahwa ini adalah sihir, dengan maksud hendak menjatuhkan. Mereka menuntut Nabi Muhammad ﷺ mengemukakan Al-Qur'an lain dari yang dia ucapkan itu, atau ganti kata-katanya dengan yang lain. Tetapi Rasulullah ﷺ sudah disuruh Allah menjawab, “Katakanlah: “Tidaklah ada hak bagiku bahwa akan menggantinya dengan kemauan diriku sendiri." Tidak ada upayaku untuk menggantinya dengan Al-Qur'an lain. Sebab bukan aku sendiri yang empunya karangan."Tidak ada yang aku ikut, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku Segala yang telah aku sampaikan itu bukan dari kata-kataku sendiri melainkan aku terima langsung. Akd sendiri tidak pandai mengarang
kata seperti itu. Buat menggantinya dengan kata lain, aku tidak sanggup dan tidak boleh.
“Sesungguhnya aku takut jika aku mendurhakai Allahku, akan adzab baru yang besar."
Pekerjaan ini bertanggung jawab di hadapan Allah. Aku ini Utusan-Nya. Kalau aku berani menambah-nambah atau mengganti-ganti sabda Ilahi yang telah aku terima itu, aku pun berdosa. Allah akan menyiksaku di hari Kiamat atas perbuatan khianat itu. Itu namanya pendurhakaan.
Ayat 16
“Katakanlah: “Kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah aku membacakannya kepada kamu."
Aku menyampaikan wahyu kepadamu ini adalah atas kehendak Allah. Kalau dia kehendaki pula di lain waktu, untuk menahan, niscaya aku sendiri tidak kuasa buat membacakan macam lain kepada kamu. “Dan tidak Dia akan memberi pengertian kamu dengan dia." Dengan wahyu itu Allah memberi kamu pengertian dan ilmu, dan kepadaku dia diturunkan untuk aku sampaikan kepada kamu. Kalau Allah memakai kekuasaan-Nya, sehingga wahyu itu tidak turun lagi kepadaku, sehingga aku tidak dapat membacakannya kepada kamu, dan kamu tidak dapat lagi mengetahui apa-apa atas petunjuk Allah, tidaklah ada lagi sumber wahyu yang lain. Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
“Maka sesungguhnya aku telah tinggal di antara kamu sekian lama sebelumnya." Sudah lama aku hidup di tengah-tengah kamu sehingga kamu telah mengetahui keadaan diriku, sampai aku berusia 40 tahun. Selama 40 tahun, sebelum aku menjadi Rasul itu, pernahkah ada kamu mendengar bahwa aku pandai bercakap seperti itu? Adakah kata-kataku di masa itu yang patut kamu catat karena keistimewaannya? Sudah terang tidak ada, karena kamu sendiri telah tahu bahwa aku ini bukan penyair, bukan terkemuka dalam soal sastra.
“Apakah tidak kamu pikirkan?"
Apakah tidak kamu pikirkan? Empat puluh tahun aku hidup di tengah-tengah kamu. Kamu tahu aku tidak pandai menulis dan membaca. Kamu tahu bahwa di masa itu aku tidak menganut semacam agama yang biasa kamu pegang. Aku tidak ahli dalam satu macam ilmu dan pengetahuan. Aku tidak mengerti apa syari'at, dan aku tidak terlatih berpidato, atau syair atau natsar, dan tidak pula aku belajar kitab nabi-nabi yang telah lalu, dan tidak ada seorang guru pun tempat aku belajar. Sekarang kamu tuntut kepadaku mendatangkan Al-Qur'an lain dari wahyu yang aku terima ini, manakah aku bisa?
Yusuf, ketika dijadikan anak angkat oleh Menteri Bendahara Kerajaan Mesir dan dipe-lihara dalam rumahnya, telah diberi Allah kebijaksanaan dan ilmu, karena selalu melihat betapa bapak angkatnya itu mengatur siasat negara di bawah kuasa Fir'aun. Dalam pada itu Yusuf diberikan tuntunan-tuntunan ilham dari Allah, diberikan pula ilmu tentang ta'wil mimpi, padahal usianya waktu itu belum 40 tahun. Penderitaan beberapa tahun dalam penjara menambah matang pengetahuannya pula. (Lihat surah Yuusuf: 22)
Musa a.s. dari mulai kecil sudah tinggal dalam istana Fir'aun dan dijadikan anak angkat pula. Hidup sebagai anak raja dan apa-apa yang dilihat dan dialaminya di dalam istana menambah pula pengetahuannya dan persediaannya buat menjadi Rasulullah ﷺ kelak. Di dalam surah al-Qashshash ayat 14 diterangkan bahwa setelah beliau cukup dewasa dan biasa tegak sendiri, diberilah dia pengetahuan hukum, sebagai yang dahulu diberikan kepada kakeknya Yusuf itu. Cuma di dalam hal keadaan Musa ini, nampaknya usianya waktu dia mulai bangkit itu sudah lebih dewasa daripada Yusuf,
seketika Yusuf akan dipindahkan dari gedung istana ke dalam penjara.
Nabi Yahya a.s., masih kecil usia belasan tahun, telah diberi kitab (wahyu) dengan ke-teguhan dan telah diberi pula hukum. (Lihat surah Maryam: 12)
Nabi Sulaiman dapat merangkap menjadi Nabi, Rasul dan Raja, karena ayahnya Dawud adalah nabi, rasul dan raja. (Lihat surah an-Naml: 16)
Nabi kita Muhammad ﷺ tidaklah ada pengenalan orang tentang riwayatnya sebelum menjadi Rasul dalam usia 40 tahun itu. Yang dikenal dalam sejarah hanya dalam usia 25 tahun dia pergi ke Syam, membawa perniagaan Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Dalam usia 35 tahun terkenal dia dapat mendamaikan di antara ketua-ketua Quraisy yang bertengkar, karena semuanya merasa masing-masingnyalah yang berhak meletakkan Batu Hitam (al-Hajarul Aswad) ke tempatnya kembali. Untuk mengamankan perselisihan, mereka putuskanlah bahwa yang akan dijadikan hakim ialah barangsiapa yang dulu sekali masuk masjid pagi-pagi. Padahal Muhammad ﷺ tidak hadir dalam musyawarah orang memutuskan itu. Dia mula-mula datang masuk masjid pagi-pagi dengan tidak mengetahui terlebih dahulu bahwa dia yang akan dijadikan hakim. Ketika keputusan itu disampaikan kepadanya, terpaksa diterimanya. Kemudian, diangkatnya Batu Hitam itu ke dalam serbannya, dan dipersilakannyalah ketua-ketua Quraisy itu mengangkat serbar. itu bersama-sama sehingga semua merasa diri kebahagiaan, dan dengan demikian per-selisihan pun hilanglah. Sesampainya d: tempat yang ditentukan, dengan kerelaan mereka bersama, Muhammad pula yang mengangkat batu itu kembali dan meletakkan ke tempat sediakala dengan tangan beliau yar.g muiia. Sejak itu, beliau diberi orang gelar kehormatan al-Amin. Orang yang dipercaya.
Ketika terjadi ketua-ketua Quraisy membuat satu perjanjian, yaitu akan tetap memuliakan dan melindungi tamu-tamu Allah yang datang berziarah ke Ka'bah, Muhammad saw, turut hadir dalam perjanjian itu, tetapi bukan sebagai anggota penting, hanyalah mengikut paman-pamannya dari Bani Hasyim.
Hasilnya, sebelum usia 40 tahun itu, tidaklah dia termasuk orang penting dalam masya-rakat Quraisy, hanya terhitung orang baik dan jujur. Tidak ada ambisi kata orang sekarang buat merebut kedudukan-kedudukan penting dalam masyarakat aristokrasi Quraisy itu.
Apatah lagi, di zaman itu kemegahan yang utama orang Arab pada umumnya dan Quraisy pada khususnya ialah berlomba syair-syair. Sampai diadakan tiap tahun suatu pasaran buat berlomba syair di ‘Ukaz. Sangatlah rendah gengsi satu kabilah kalau kabilah itu tidak mempunyai ahli syair yang bisa dibanggakan. Sampai syair-syair yang terhitung indah diberi kemuliaan dengan digantungkan di dinding Ka'bah, buat dibaca oleh tiap-tiap orang yang datang thawaf. Maka urusan bersyair-syair itu tidak pula menarik minat beliau. Tidak ada satu riwayat pun mengatakan bahwa dia pernah pergi menghadiri perlombaan-perlombaan itu. Kala dia telah menjadi Rasul saw,, dia senang kalau ada orang membacakan syair-syair ahli syair itu, tetapi dia sendiri tidak pandai mengulang-ulangnya, tandanya tidak ada perhatian.
Membaca dia tidak pandai, menulis pun tidak. Seketika Jibril menyuruhnya membaca (iqra') pada wahyu yang pertama turun, dikatakannya terus-terang bahwa dia tidak pandai membaca.
Keadaan hidupnya yang seperti itu sebelum usia 40 tahun diketahui dan disaksikan orang-orang yang kemudian menentangnya. Semua mereka menganggapnya orang baik, orang yang dipercaya, tidak memiliki keinginan-keinginan pribadi, bukan sastrawan melainkan seorang suami yang baik dalam satu rumah tangga bahagia. Tidak ada orang terkemuka yang sakit hati kepadanya, karena tidak ada persaingan merebut kedudukan.
Semua itu membuktikan bahwa apa yang disampaikan dan dibacanya sekarang adalah semata-mata wahyu dari Allah. Bukan karangannya sendiri.
Tidak mungkin seseorang akan muncul menjadi sastrawan besar dalam usia 40 tahun, mengeluarkan susun kata yang mengherankan dan mengagumkan ahli sastra sendiri, sebagai al-Walid ai-Mughirah, kalau sebelum itu tidak ada bakat atau dasar-dasar yang telah ditanam terlebih dahulu.
Pendeknya, dari kecilnya bukanlah dia terdidik di istana raja-raja sebagai Yusuf dan Musa. Bukan anak raja sebagai Sulaiman, dan bukan ahli hukum sejak kecil sebagai Yahya.
Kemudian untuk menguatkan lagi bahwa dia tidak bisa menambah-nambah dan meng-ganti-ganti karena dia bukan seorang yang ahli untuk itu, sebab yang demikian wajib ber-gantung kepada keahlian, kelanjutannya disuruh Allah pula dia menjelaskan,
Ayat 17
“Maka siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang mengada-adakan suatu kedustaan di atas nama Allah, atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya?"
Ayat ini adalah lanjutan penjelasan dari ayat sebelumnya. Yaitu bahwa kalau Nabi Muhammad ﷺ misalnya sanggup mengabulkan permintaan mereka, membuat Al-Qur'an lain, atau mengganti kalimat-kalimatnya dengan semau-maunya, nyatalah dia telah ber-buat suatu dosa besar, yaitu mengada-adakan dusta atas nama Allah. Yang tidak wahyu di-katakan wahyu. Kalau demikian dia bukan Rasul lagi, tetapi seorang pemalsu. Tidak ada kejahatan dan aniaya yang lebih besar daripada itu.
“Sesungguhnya tidaklah akan berbahagia orang-orang yang durhaka itu."
Artinya, apabila aku mengencong keluar dari garis wahyu karena hendak memperturutkan kehendak kamu, niscaya aku berlaku curang dan bohong. Aku ada-adakan perkara yang tidak dititahkan Allah, dan aku perbuat suatu ayat palsu atau kataku sendiri aku katakan wahyu. Ini namanya cara durhaka, dosa besar, curang. Bagaimanapun pintarnya aku menyusun kata, namun aku tidak akan berbahagia, tidak akan dapat melanjutkan kecu-rangan itu. Yang busuk, bagaimanapun pandai manusia menyembunyikan, akhirnya mesti berbau juga. Yang demikian ialah misalnya kalau aku sanggup membuatnya. Dalam hal keadaanku sekarang ini mengarang-ngarang dan mengada-adakan dusta itu pun aku tidak sanggup. Karena pada diriku sendiri tidak ada satu ilmu lain pun kecuali apa yang diajarkan Allah kepadaku. Kamu sendiri menyaksikan bahwa sebelum usia 40 tahun bukanlah aku ini seorang yang pintar.