Ayat
Terjemahan Per Kata
قُلِ
katakanlah
ٱنظُرُواْ
perhatikanlah
مَاذَا
apa yang ada
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۚ
dan bumi
وَمَا
dan tidak
تُغۡنِي
berguna
ٱلۡأٓيَٰتُ
ayat-ayat/keterangan-keterangan
وَٱلنُّذُرُ
dan ancaman
عَن
dari
قَوۡمٖ
kaum
لَّا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
قُلِ
katakanlah
ٱنظُرُواْ
perhatikanlah
مَاذَا
apa yang ada
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۚ
dan bumi
وَمَا
dan tidak
تُغۡنِي
berguna
ٱلۡأٓيَٰتُ
ayat-ayat/keterangan-keterangan
وَٱلنُّذُرُ
dan ancaman
عَن
dari
قَوۡمٖ
kaum
لَّا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Perhatikanlah apa saja yang ada di langit dan di bumi!” Tidaklah berguna tanda-tanda (kebesaran Allah) dan peringatan-peringatan itu (untuk menghindarkan azab Allah) dari kaum yang tidak beriman.
Tafsir
(Katakanlah,) kepada orang-orang kafir Mekah ("Perhatikanlah apa) apa-apa (yang ada di langit dan di bumi) yaitu tanda-tanda yang menunjukkan akan keesaan Allah ﷻ (Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan) lafal an-nudzur adalah bentuk jamak dari kata tunggal nadzir yang artinya para rasul (bagi orang-orang yang tidak beriman.") yang hal ini diketahui oleh Allah ﷻ atau dengan kata lain, hal-hal tersebut tidak ada manfaatnya bagi mereka.
Tafsir Surat Yunus: 101-103
Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.
Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali (kejadian-kejadian) yang sama dengan kejadian-kejadian (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka. Katakanlah, "Maka tunggulah, sesungguhnya aku pun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kalian.”
Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman; demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.
Ayat 101
Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan semua makhluk yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, yang semuanya itu mengandung tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan akan kekuasaan Allah Yang Maha Besar bagi orang-orang yang berakal. Makhluk Allah yang ada di langit antara lain ialah bintang-bintang yang bersinar terang; ada yang tetap dan ada yang beredar, juga matahari serta rembulan, adanya siang dan malam yang keduanya silih berganti. Salah satunya masuk kepada yang lain hingga menjadi panjang waktunya, sedangkan yang lainnya menjadi pendek waktunya; demikian pula sebaliknya.
Langit yang tinggi dan luas serta keindahannya dan semua hiasan yang ada padanya adalah makhluk Allah pula. Allah menurunkan hujan dari langit, dengan hujan itu Allah menghidupkan bumi sesudah matinya; dan dikeluarkan-Nya dari bumi berbagai macam tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan yang menghasilkan biji-bijian dan buah-buahan serta bunga-bunga yang beraneka ragam warnanya.
Dan Allah menyebarkan di bumi berbagai macam hewan dan ternak yang beraneka ragam bentuk, warna dan kegunaannya. Di bumi terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi, dataran-dataran yang luas menghampar, padang-padang sahara, hutan belantara, dan daerah-daerah yang layak untuk dihuni.
Begitu pula di laut dengan ombaknya, di dalamnya terkandung banyak hal yang menakjubkan. Sekalipun demikian, laut ditundukkan oleh Allah dan dimudahkan sehingga dapat ditempuh oleh bahtera. Laut membawa kapal-kapal dan perahu-perahu berlayar dengan lembutnya berkat kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menundukkannya. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Firman Allah ﷻ: “Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Yunus: l01)
Artinya, adakah lagi yang dapat memberikan manfaat kepada kaum yang tidak beriman sesudah adanya tanda-tanda kekuasaan Allah yang di langit dan di bumi, serta rasul-rasul yang datang membawa ayat-ayat-Nya, hujah-hujah-Nya, dan bukti-bukti dari-Nya yang menunjukkan kebenaran apa yang disampaikan oleh rasul-rasul itu? Ayat ini semakna dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman.” (Yunus: 96)
Ayat 102
Firman Allah ﷻ: “Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali (kejadian-kejadian) yang sama dengan kejadian-kejadian (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka.” (Yunus: 102)
Yakni tidaklah mereka yang mendustakanmu, hai Muhammad, menunggu pembalasan dan azab, melainkan seperti apa yang telah diberlakukan Allah terhadap orang-orang yang sebelum mereka yang mendustakan rasul-rasul-Nya.
Ayat 103
“Katakanlah, ‘Maka tunggulah, sesungguhnya aku pun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kalian.’ Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman.” (Yunus: 102-103)
Artinya, Kami binasakan orang-orang yang mendustakan rasul-rasul itu.
“Demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Yunus: 103)
Yaitu suatu keharusan yang ditetapkan oleh Allah atas diri-Nya sendiri Yang Maha Mulia.
Ayat ini semakna dengan firman-Nya: “Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Al-An'am: 54)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda:” Sesungguhnya Allah telah menulis suatu kitab yang ada di sisi-Nya di atas 'Arasy, bahwa sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murkaKu.” Menurut salinan Makkiyyah disebutkan: "Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”
Setelah dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwa Allah akan menimpakan azab kepada orang yang tidak mau mempergunakan akalnya, lalu pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, katakanlah kepada mereka, Perhatikanlah ciptaan Allah, yaitu apa saja yang ada di langit dan di bumi! Jika mereka mau menggunakan akal mereka untuk memikirkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, tentu mereka sudah beriman. Namun mereka enggan melakukannya, sehingga tidaklah bermanfaat tanda-tanda kebesaran Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman, karena mereka menutup hati mereka untuk menerima kebenaran. Kalau keberadaan tanda-tanda kebesaran Allah di langit dan di bumi serta diutusnya para rasul tidak juga menjadikan mereka beriman, maka mereka tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan kejadian-kejadian masa lalu, yakni azab yang menimpa orangorang terdahulu sebelum mereka. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad Maka tunggulah kedatangan azab itu, sesungguhnya aku pun termasuk orang yang menunggu bersama kamu untuk menyaksikan ketetapan Allah itu menimpa kamu.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah-Nya kepada Rasul-Nya, agar dia menyeru kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala dan akal mereka segala kejadian di langit dan di bumi. Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, dan menumbuhkan tanam-tanaman dan pohon-pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna rasanya. Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang bermacam-macam hidup di bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit bagi manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang luas, dataran yang subur, samudera yang penuh dengan ikan berbagai jenis, kesemuanya itu tanda keesaan dan kekuasaan Allah, bagi orang yang mau berfikir dan yakin kepada Penciptanya.
Akan tetapi bagi mereka yang tidak percaya akan adanya Pencipta alam ini, karena fitrah insaniahnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kesemua tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah dalam alam ini tidak bermanfaat baginya.
Demikian pula peringatan nabi-nabi kepada mereka tidak mempengaruhi jiwa mereka. Akal dan perasaan mereka tidak mampu mengambil pelajaran dari ayat Allah dan tidak membawa mereka pada keyakinan adanya Allah Yang Maha Esa. Mereka tidak memperoleh pelajaran dari Sunnah Allah pada umat manusia di masa lampau. Sekiranya mereka memperoleh pelajaran dari pada ayat-ayat Allah itu dan dari Sunnah Allah pada umat manusia, tentulah jiwa mereka bersih dan terpelihara dari kotoran dan najis yang mendorong mereka kepada kekafiran dan kesesatan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 98
“Maka sekiranya ada suatu negeri yang beriman, lalu memberi manfaat kepadanya imannya itu, kecuali negeri kaum Yunus?"
Untuk penyelesaian terjemah, di sini kita terangkan bahwa ‘falauia" di pangkal ayat kita terjemahkan “Maka sekiranya." Karena kata-kata fa, lau dan la, adalah gabungan tiga huruf yang masing-masing pada asalnya berarti, jikalau dan tidak. Tetapi satu-satu waktu, bila ketiga huruf itu telah tergabung, tidaklah dia dapat diartikan, jikalau tidak; tetapi dia telah bermaksud sebagai suatu tahdhidh, anjuran atau penyesalan, yang berarti alangkah baiknya, atau sekiranya atau jika sentana. Maka bolehlah kita tafsirkan bahwa ayat ini sangat menyayangkan negeri-negeri yang menantang ajaran dan ajakan nabi-nabi itu, mengapalah mereka mendurhakai Allah dan menentang ajaran nabi-nabi. Padahal kalau sekiranya mereka terima dan mereka imani seruan nabi-nabi itu, akan bermanfaatlah kepada mereka iman mereka dan terlepaslah mereka dari adzab Allah."Kecuali kaum Yunus." Cuma satu saja negeri yang terlepas dari adzab, padahal nyaris mereka musnah oleh adzab Allah itu, yaitu kaum Yunus. Sebelum adzab datang, mereka telah beriman.
“Tatkala mereka telah beriman, Kami hindarkanlah dari mereka adzab kehinaan di dalam kehidupan dunia, dan Kami beri mereka kesenangan sampai suatu masa."
Menurut suatu riwayat dari Qatadah, kaum Yunus ada di negeri Nainawi (Ninive), tempatnya di dalam wilayah Maushul sekarang ini (Dekat batas negeri Irak dengan negeri Turki, tetapi sehabis Perang Dunia I diputuskan termasuk wilayah negeri Irak. Tambang minyak terbesar).
Di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Ibnu Mardawaihi dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceritakan bahwa Nabi Yunus itu telah datang pada mulanya kepada kaumnya itu menyampaikan dakwah Allah, agar mereka kembali ke dalam agama yang benar. Tetapi kaum itu ingkar dan menolak. Lantaran iba hati beliau melihat keing-karan kaumnya itu, beliau pergilah meninggalkan negeri itu dan belayar ke negeri lain. Setelah beliau meninggalkan ancaman, bahwa kalau mereka tidak juga tobat, tidak lama sepeninggal dia akan turunlah adzab Allah kepada mereka. Rupanya setelah Nabi Yunus pergi, mereka pun menyesal dan tobat, sehingga adzab yang nyaris turun itu tidak jadi diturunkan Allah, Menurut satu riwayat tafsir dari Ibnu Abbas, adzab itu mengancam me-reka barulah sepertiga mil saja setelah Nabi Yunus meninggalkan mereka. Nanti kita akan mendapat kejelasan lagi, baik di dalam surah al-Anbiyaa' (ayat 87) maupun surah ash-Shaffat ayat 139 sampai ayat 196; bahwa Nabi Yunus terlalu memperturutkan murka hatinya, karena seruannya yang bermula itu tidak diterima kaumnya, maka dia pun meneruskan perjalanannya juga, sampai dia belayar naik kapal. Rupanya muatan kapal terlalu sarat dan dijalankanlah undian siapa yang akan dilemparkan ke laut agar kapal yang sarat itu ringan dan bisa meneruskan pelayaran. Rupanya beliaulah yang terkena undian, lalu dia dilemparkan oleh nakhoda ke laut, maka di-telanlah beliau oleh ikan paus yang bernama Nun itu. Tetapi sesampai dalam perut ikan itu senantiasalah beliau bertasbih kepada Allah dan menyesali kesalahan beliau meninggalkan kaumnya itu, lalu dilepaskan Allah-lah beliau dari dalam perut ikan; dan kembalilah beliau kepada kaumnya yang telah bertobat sepeninggalnya, lebih dari 100.000 orang banyaknya (Lihat ash-Shaffat ayat 147 dan 148). Dihindarkan Allah mereka dari adzab yang nyaris menimpa mereka itu dan hiduplah mereka dengan bahagia, mengerjakan perintah Allah di bawah pimpinan Yunus, sampai kepada suatu masa, yaitu menurut ajal mereka yang wajar.
Ayat ini adalah dalam rangka peringatan kepada kaum Quraisy juga, bahwa jika mereka segera tobat, dan tidak terus-menerus menentang Rasulullah ﷺ, Muhammad ﷺ, mereka pun akan dapat dibegitukan pula oleh Allah. Dan ini pun peringatan halus agar seorang pemimpin jangan patah hati melihat keingkaran kaumnya.
Ayat 99
“Dan kalau Allah engkau menghendaki, sesungguhnya berimanlah (manusia) yang di bumi ini semuanya."
Rasulullah saw, tentu ingin sekali agar seluruh isi bumi ini beriman kepada Allah. Jangan ada juga hendaknya orang yang durhaka kepada Allah, Ibaratnya penuh sesaklah masjid oleh orang yang beribadah kepada Allah, tidak ada lagi yang masih bersilang-siur di luar tidak memedulikan shalat. Semua orang akur dan setuju. Semua manusia yang hidup di dunia percaya kepada Allah, tidak seorang juga yang membantah. Allah pun Mahakuasa berbuat yang demikian itu. Bukankah Allah telah menjadikan jenis malaikat yang taat setia saja selalu? Bukankah Allah pun telah menjadikan jenis semut atau lebah, yang sepakat tak pernah bertingkah? Tetapi kalau Allah menjadikan yang demikian itu, niscaya manusia bukan manusia. Niscaya dicabut darinya kemerdekaan akal dan hanya tinggal naluri saja. Allah menjadikan manusia, dan dia diberi akal. Manusia menjadi khalifah Allah di atas bumi ini, satu makhluk yang luar biasa ajaibnya. Dengan adanya manusia berakal itu timbullah pertimbangan mencari perbedaan yang buruk dengan yang baik, dan untuk mengetahui apa artinya iman, manusia tidak akan tahu kalau tidak ada kufur. Di dalam menilai mana yang baik tidaklah orang dapat mengetahui kalau tidak ada yang buruk. Maka kalau Allah menghendaki supaya manusia itu beriman semuanya, seluruhnya, mudah saja bagi Allah, Yaitu dihentikan kegiatan manusia berpikir dan dihilangkan segala perjuangan buat mencari nilai-nilai di dalam hidup, yang mengistimewakan manusia, sehingga dia menjadi khalifah di bumi.
TIDAK ADA PAKSAAN
“Maka apakah hendak engkau paksa manusia sehingga mereka itu semuanya jadi beriman?"
Ujung ayat ini berbentuk pertanyaan: “Apakah engkau hendak memaksa orang?" Bisakah paksaan menghasilkan maksud? Padahal paksaan hanya bisa dilancarkan untuk mengubah kulit, namun batin manusia tidaklah dapat dikuasai. Kewajiban rasul bukanlah memaksakan, melainkan menyampaikan, memberikan dakwah, menerangkan bahaya yang mengancam bagi orang tidak mau percaya dan memberikan kabar gembira bagi siapa yang beriman. Paksaan hanya akan memperbanyak kurban, dan tidak menunjukkan bijaksana. Paksaan hanya dapat dilakukan oleh golongan berkuasa, yang hati kecilnya sendiri pun tidak yakin bahwa dia di pihak yang benar.
Ayat ini dan ayat 256 dari surah al-Ba-qarah, yang bermakna tidak ada paksaan dalam agama, adalah pokok asas dari dakwah Tslam. Paksaan tidak perlu, yang perlu adalah kegiatan dakwah. Manusia mempunyai inti akal yang waras, dan dia mempunyai fitrah. Pandangannya tentang hidup dipengaruhi biah atau lingkungan. Penilaiannya tentang benar dan salah, adalah lantaran pengaruh alam sekelilingnya, ruang dan waktunya. Kalau dia mendapat keterangan atau dakwah yang sesuai dengan suatu batinnya, bebas dari tekanan dan paksaan, mereka akan menyerah. Kalau orang dipaksa masuk, padahal batinnya tidak menerima, keadaan yang sebenarnya tidaklah akan berubah.
Untuk mengetahui betapa cara Rasulullah ﷺ melaksanakan tidak memaksa ini, ingatlah kembali apa yang telah kita tuliskan pada tafsir ayat 256 surah al-Baqarah pada Juz
• Yaitu bahwa sebelum orang Madinah (al-Anshar) menerima Islam, ada di antara me-reka menyerahkan putra-putra mereka yang masih kecil ke dalam asuhan orang Yahudi Bani Nadhir, sampai anak-anak itu hidup di kalangan Yahudi dan karena didikan mereka, mereka pun telah memeluk agama Yahudi. Kemudian datanglah waktunya buat Bani Nadhir diusir seluruhnya dari Madinah, karena ke-khianatan mereka kepada Rasul dan Islam. Maka bermaksudlah bapak-bapak mereka yang telah Islam hendak menarik anak-anak itu dengan paksa, padahal mereka telah Yahudi. Nabi ﷺ memberi keterangan bahwa paksaan tidak boleh. Melainkan disuruh anak-anak itu sendiri memilih, apakah mereka akan terus bersama pindah dengan Bani Nadhir yang telah mengasuh mereka itu, atau akan tinggal di Madinah menjadi orang Islam; ada di antara mereka yang turut meninggalkan Madinah dan banyak yang tinggal.
• Fitnah pihak orientalis dan zending serta misi Kristen yang mengatakan Islam dise-barkan dengan paksaan, tidaklah beralasan sama sekali, selain dari menutupi peperang-an-peperangan agama yang timbul dalam kalangan mereka sendiri, karena paksa-me-maksa, sebagai yang terjadi di antara Katolik dan Protestan sesudah Gerakan Luther, dan paksaan hebat terhadap orang Islam yang dilakukan oleh Gereja Katolik sesudah kalah kekuasaan Islam di Spanyol. 700 tahun Islam menguasai Spanyol dan memberikan per-lindungan yang baik bagi pemeluk Kristen. Setelah mereka berkuasa kembali, air susu telah mereka balas dengan tuba. Dan bukti yang paling terang dan segar bugar sampai se-karang ialah masih adanya pemeluk Kristen Koptik di Mesir sejak Islam masuk ke sana, dan demikian juga di Sirya, Libanon dan Palestina. Sehingga pada zaman sekarang mereka dapat mendirikan Negara Spanyol Merdeka dengan dasar kekuasaan Kristen. Sedang satu keluarga pun dari orang Islam tidak ada lagi di seluruh Spanyol, yang kekuasaannya baru habis di tahun 1492.
Ayat 100
“Dan tidaklah seseorang akan beriman, melainkan dengan izin Allah"
• Artinya, Allah telah memberikan kepada manusia akal dan pikiran buat menimbang di antara buruk dan baik. Manusia yang lain, bahkan nabi atau rasul sendiri pun tidaklah berkuasa membuat orang menjadi beriman. Manusia hanya berikhtiar mengingatkan sesa-manya manusia. Adapun yang akan menganugerahkan iman yang begitu mulia, iman yang menjadi sinar dari hidup manusia ialah Allah sendiri. Manusia memang bebas memilih sesuatu di daiam lingkaran sebab dan akibat, Wat dan ma'Iul, tetapi kebebasannya itu ter-batas dalam susunan sunatullah dan takdir. Di ayat ini disebut “Dengan izin Allah/' artinya dengan kehendak Allah yang sesuai dengan hikmah-Nya yang tertinggi. Laksana maut juga adanya. Allah berfirman di dalam surah ali-Imran ayat 145 bahwa seseorang tidak akan mati, kalau tidak ada izin dari Allah. Maka ada orang yang telah mencoba membunuh dirinya. Dilompatinya air sungai yang sedang mengalir dengan derasnya dari satu jembatan. Tiba-tiba di luar perhitungannya, tersangkut celananya di salah satu kaitan besi jembatan, sehingga dia tidak jadi hanyut di sungai, tetapi tersangkut dan dapat ditolong. Demikian pulalah soal iman. Nabi berusaha, guru-guru agama berusaha, dan orang yang bersangkutan pun berusaha, tetapi keputusan memberikan iman itu adalah hak Allah Ta'aala sendiri.
“Dan dijadikan-Nya kekolotan atas otang-otang yang tidak mau berpikir."
Artinya, meskipun di pangkal ayat sudah dijelaskan bahwa meresapnya iman ke dalam hati seseorang dengan izin Allah—moga-moga Allah memudahkan menurut kudrat dan sunnah-Nya—namun di ujung ayat ini Allah memberikan titik terang bagi orang yang suka mempergunakan akal dan berpikir. Sebab manusia itu telah diberi akal oleh Allah. Dengan akal itulah hendaknya manusia sendiri memilih mana yang baik dan menjauhi mana yang buruk. Mempertimbangkan mana yang manfaat dan mana yang mudharat. Tetapi orang yang tidak mau mempergunakan akalnya, atau tidak tahu kegunaan akal sebagai manusia, bermata tidak mau melihat, bertelinga tidak mau mendengar dan berotak dan berhati tidak mau berpikir, itulah yang akan diliputi oleh kekotoran. Yaitu kekotoran batin. Sebab yang mereka ikuti bukan akal, melainkan hawa dan nafsu.
• Rijs terkadang diartikan najis, terkadang diartikan kotor atau kumuh, atau jijik, kacau balau, tidak teratur. Tidak tentu halal haram. Maka rijs itulah pangkal dosa, pelanggar dan maksiat dan gelap batin dari kebenaran. Dahulu telah kita uraikan hal ini ketika menerangkan bahaya minuman keras dan berjudi yang tersebut di dalam surah al-Maa'idah ayat 90 (Juz 7), dan ketika menerangkan rijs-nya kaum munafik di akhir surah al-Bara'ah.
Dan ini pun menjadi ketegasan bahwa menurut ajaran Islam, iman yang sejati itu, baru diizinkan Allah dapat menyinari jiwa kita dan menghilangkan daki-daki dan kekotoran jiwa, ialah dengan mempergunakan akal, Dengan berpikir. Kalau ada orang mengatakan bahwa kepercayaan segala agama lebih banyak didasarkan pada emosi atau perasaan, maka hal itu mungkin ada pada agama yang lain. Adapun dalam Islam, akal itulah pokok utama di dalam menumbuhkan iman.
• Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di semua langit dan bumi. Dan tidaklah berguna tanda-tanda dan ancaman itu bagi kaum yang tidak mau percaya.
(102) Maka adakah yang mereka tunggu selain dari yang serupa dengan hari-hari yang telah berlalu sebelum mereka? Katakanlah: Maka tunggulah olehmu, aku pun bersama-sama kamu, dari orang-orang yang menunggu.
(55) Kemudian akan Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orangorang yang beriman. Demikianlah, kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.
Sudah dikatakan pada ayat 99 bahwasanya masuknya iman ke dalam jiwa manusia tidaklah boleh dengan paksaan, dan di ayat 100 telah diterangkan pula bahwasanya ma-suknya iman itu ke dalam hati manusia hanyalah semata-mata dengan izin Allah. Tetapi ujung ayat membuka titik terang bagi kita untuk berpikir tentang izin Allah itu. Yaitu kekotoran batin adalah pada orang yang tidak mempergunakan akalnya. Dengan demikian, teranglah betapa pentingnya akal bagi hidup dan tidak ada artinya manusia kalau akal tidak ada. Setelah keterangan yang demikian jelas, datanglah ayat 101 yang akan kita tafsirkan ini menyuruh Rasul ﷺ mengajak semuanya mempergunakan akalnya.
Ayat 101
“Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di semua langit dan bumi."
Pasanglah mata dan telinga. Mata buat melihat dan telinga buat mendengar, dan bawalah hasil penglihatan dan pendengaran itu ke dalam pencernaan akal.
Manusia hidup di tengah-tengah alam, melihat dan mendengar, ke atas dan ke bawah. Apabila dia telah memandang, merenung dan meninjau, niscaya dia berpikir. Baik pandang sepintas lalu, atau pandang yang mendalam; semuanya itu menimbulkan pikir. Kalau tidaklah pandang dan dengar, tidaklah akan timbul rasa keindahan, dan rasa keindahan menimbulkan rasa seni. Dari rasa seni akan naiklah dia ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu filsafat. Dari filsafat akan naik kepada puncak atas sekali, yaitu rasa kelemahan diri di tengah-tengah alam raya itu, yang akhirnya akan membawa diri pada menyerah, atau taslim dan Islam. Mengakui bahwa tidak mungkin bahwa langit lazuardi biru, bintang yang ber-kelap-keiip di malam hari, awan yang berarak indah, ombak yang memukul pantai, pasir yang berderai, kayu-kayuan di rimba, buah-buahan dan bunga kembang, burung-burung dengan kicau dan nyanyian, kelompok berbagai binatang. Tidak mungkin semuanya itu terjadi dengan sendirinya atau menjadikan diri sendiri. Itulah taraf pertama dari bendul agama, yaitu kepercayaan akan adanya Maha Pencipta.
Kelak apabila diperhatikan lagi adanya kesatuan langit dengan bumi, pergeseran musim karena perkisaran jalan matahari, ber-talinya hidup di dunia dengan turunnya hujan, perlainan bahasa karena perbedaan daerah, dan diperhatikan lagi sangkut paut hidup ma-nusia sesama manusia di dalam bintang yang bernama bumi ini, rasa pikiran beragama yang' telah mulai memasuki bendul pertama tadi, akan melangkah lebih maju kepada akhir berpikir, yaitu tentang kesatuan semuanya atau unit. Waktu itu masuklah manusia ke dalam arena tauhid.
Kita akan sampai kepada kesadaran diri bahwasanya kita bukanlah berdiri sendiri di dalam alam ini. Manusia bertali dengan alam sekelilingnya dan ada yang menghubungkan-nya, yaitu akalnya. Akal itulah yang sampai pada pengakuan tadi, ialah bahwa alam ada bertuhan.
Di dalam memberikan bimbingan mempergunakan akal melihat dan merenung alam itu, Nabi ﷺ memberikan bimbingan dengan sabda beliau yang terkenal,
“Pikirkanlah tentang makhluk yang dijadikan Allah, dan janganlah dipikirkan tentang Allah itu .sendiri, sujbtryu jangan binasa." (Hadits SHahih)
Alam yang banyak dengan serba bagai ragamnya itulah ayat, atau tanda tentang adanya Allah. Mengenal pencipta ialah setelah melihat ciptaan. Tidak usah didaki lagi hendak menyelidiki Zat atau diri dari yang mencipta itu sendiri, sebab untuk menyelidiki ciptaan itu saja, sudah lebih dari cukup. Bahkan usia kita tidak sampai menyampai buat mengetahui hakikatnya.
Di dalam surah adz-Dzaariyaat ayat 20 dan 21, ada diterangkan pertalian tanda-tanda di bumi dengan kejadian diri sendiri.
“Dan di bumi terdapat beberapa ayat, untuk orang-orang yang mau yakin. Dan pada diri kamu sendiri, tidakkah kamu perhatikan?" (adz-Dzaariyaat: 20-21)
inilah salah satu kesan yang didapat dalam merenung alam. Setelah merenung alam, ma-nusia akan menilik kepada dirinya sendiri. Aku menilik alam, dengan apa aku menilik alam itu? Dan apakah akal itu? Dan siapa aku? Di sana akan terasalah bahwa diri manusia adalah satu rahasia Allah (Sirrillah). Kerbau, kambing, dan sekalian binatang, tidaklah sampai kepada menyadari ada diri setelah meninjau merenung alam. Maka dengan ajakan memikirkan apa yang ada di semua langit dan di bumi, yang akhirnya berpikir tentang adanya diri sendiri ini. Timbul pertanyaan mengapa ada penglihatan pada mata ini, mengapa ada pendengaran pada telinga ini, mengapa dan mengapa, dan akhir sekali timbulnya iman tentang adanya Maha Pencipta, memberi kita petunjuk bahwa Islam tidaklah menghalangi orang berfilsafat. Tetap oleh karena mendapat bimbingan, dapat membuat manusia ragu dalam seluruh hidupnya, sehingga tidak ada pegangan, jadilah agama filsafat terpimpin. Dipimpin oleh wahyu ilahi.
“Dan tidaklah berguna—atau tidaklah berfaedah—"Tandu-tanda." Yaitu segala yang kelihatan dan terdengar, yang dipertimbangkan oleh akal murni itu, baik di langit maupun di bumi, atau pada diri sendiri “dan ancaman itu," yaitu peringatan-peringatan keras, ten-tang bahaya tidak mau mempergunakan akal, yang menyebabkan jiwa menjadi kotor, yang diperingatkan dan diancamkan dengan perantaraan Rasul.
“Bagi kaum yang tidak mau percaya."
Di sini, terdapatlah dua kitab yang hendaknya dibaca oleh manusia dengan akalnya. Pertama, kitab alam yang terbentang, dibaca oleh penglihatan dan pendengaran, yang luas seluas langit dan bumi, yang kita hidup di tengah-tengahnya. Kedua, ialah peringatan dan ancaman Allah yang disampaikan oleh Rasul; dinamakan wahyu. Keduanya itu tidak berfaedah dan tidak berguna bagi kaum yang tidak mau beriman. Meskipun mereka mem-punyai akal, namun akal itu tidak mereka pergunakan sebagaimana mestinya. Kadang-kadang hati sanubari, atau jiwa murni telah menerima, tetapi karena hasutan daripada hawa nafsu, sengaja mereka lawan suara hati karena menuruti suara nafsu. Lantaran itu di dalam jiwanya sendiri terdapat kekotoran atau kekacauan, dan seluruh hidupnya pun menjadi kacau-balau. Kalau terang-terang mereka gila, tidaklah mengapa. Meskipun orang lain susah melihat orang gila, namun si gila sendiri tidaklah susah dalam kegilaannya. Yang susah ialah manusia yang ada akal, namun akalnya itu tidak dipergunakannya sebagaimana mestinya, untuk menyampaikannya kepada puncak nilai kehidupan, yang bernama ma'-rifatullah.
Ayat 102
“Maka adakah yang mereka tunggu selain dari yang serupa dengan hari-hari yang telah berlalu dari sebelum mereka?"
Suatu istifham inkari, yaitu, cobalah gunakan pikiranmu, bagaimana jadinya orang yang telah kotor jiwanya karena tidak mempergunakan akal dengan sewajarnya di tengah alam yang dijadikan Allah. Yang hanya memikirkan benda, tetapi tidak menyampaikan pikiran kepada Pencipta benda. Orang ini telah kotor! Dan orang yang telah kotor betapa akhir kesudahannya? Tentulah sebagai orang-orang kotor yang terdahulu juga. Kotor pikiran Fir'aun, maka tenggelamlah dia ke dasar laut. Kotor kaum nabi-nabi yang lain, maka hancurlah kampung halaman mereka karena adzab. Atau suatu masyarakat atau suatu ne-gara, yang di dalamnya orang tidak berpedoman kepada akal sehat, tetapi hawa nafsu atau mabuk kekuasaan. Adakah jalan lain yang akan mereka tempuh dan akhir dari perjalanan hidup mereka, selain dari kehancuran? Dibawa kepada kaum musyrikin Mekah yang tidak mau mempergunakan akal, dan hanya memperturutkan hawa nafsu, apakah akhir yang akan mereka hadapi selain dari keruntuhan? Kalau yang ditegakkan bukan barang yang benar, mungkinkah dapat dipertahankan?
“Katakanlah: Maka tunggulah olehmu, aku pun bersama-sama kamu dari orang-orang yang menunggu"
Ucapan seperti ini, yang disuruh Allah kepada Rasul-Nya ialah suatu keyakinan akan menang. Sunatullah tidak dapat diubah, bagaimanapun manusia mencoba menghambat-nya. Mustahil yang salah akan dapat bertahan lama. Mempertahankan yang batil sama artinya dengan menunda-nunda kekalahan. Nabi berkata, “Mari sama-sama kita tunggu! Siapa di antara kita yang akan menang, yang mempertahankan yang benarkah, menurut akal yang waras, atau yang tidak suka mempergunakan akal? Yang bersihkah, yang jaya atau yang kotor? Sudah pasti bahwa keingkaran kamu, kekufuran dan kepala batu, semua-nya akan binasa. Mari kita menunggu dan ber-duga siapa yang paling panjang napasnya."
Ayat 103
“Kemudian akan Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman."
Meksipun yang berhadapan dengan ke-durhakaan musyrikin ialah Nabi Muhammad ﷺ tetapi Allah telah bersabda menyebut rasul-rasul, artinya bukan Muhammad ﷺ
saja. Sebab dalam sejarah perkembangan agama yang diturunkan Allah kepada manusia, di dalam perjalanan utusan-utusan Allah soalnya adalah sama sehingga walaupun coraknya berbeda, daerahnya tidak sama dan waktunya berlain-lain, namun hakikat perkara hanyalah satu jua, yaitu tantangan dari golongan yang tidak mau mempergunakan akal sehat terhadap seruan yang benar dan suci. Dalam babak terakhir selalu rasul-rasul yang menang, demikian juga orang-orang yang beriman pada seruan yang dibawa rasul itu.
“Demikianlah, kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman."
Dalam suku pertama dari ayat telah diberikan janji bahwa rasul-rasul dan orang-orang yang beriman akan diberi keselamatan oleh Allah. Dan ini telah terjadi di kala Nabi Muhammad ﷺ masih hidup. Surah Yuunus turun di Mekah, pada saat kesulitan dan ba-nyak penderitaan. Rasul disuruh mengucapkan, mari sama-sama kita tunggu. Kamu yang kufur kepada ayat Allah pasti binasa dan hancur. Kemudian pada suku kedua, Allah memberi jaminan lagi bahwa Allah memiliki kewajiban, Allah mewajibkan kepada diri-Nya sendiri menyelamatkan orang-orang yang beriman. Firman Ilahi di suku yang kedua ini adalah untuk menghilangkan ragu bagi kaum yang beriman sendiri, bahwa bukan Rasul saja yang akan diselamatkan. Yang percaya kepada seruan Rasul pun pasti selamat. Tidak berapa waktu kemudian mereka telah disuruh hijrah ke Madinah dan selamat di dalam menegakkan cita Islam, menegakkan masyarakat yang di-ridhai oleh Allah. Dan satu demi satu benteng pertahanan kemusyrikan itu runtuh, sampai habis takluk sama sekali.
Ujung janji Allah ini pun dapat dipahamkan lebih lanjut oleh orang beriman yang tidak lagi bersama hidup dengan Rasul ﷺ. Rasulullah ﷺ telah wafat dalam usia 63 tahun. Tetapi kauin yang beriman bertambah banyak dan berkembang. Asal saja mereka masih tetap membersihkan jiwa dengan memakai akal sehat tidak dikotori dengan hawa nafsu dan keengganan berpikir, walaupun mereka tidak lagi hidup pada zaman Rasul ﷺ, mereka pun dijamin akan diberi kemenangan. Di sinilah dapat kita memahamkan perkataan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq setelah Rasulullah ﷺ menghembuskan napasnya yang penghabisan.
“Barangsiapa yang menyembah kepada Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak akan mati-mati."