Ayat
Terjemahan Per Kata
الٓرۚ
Alif Lam Ra
تِلۡكَ
ini
ءَايَٰتُ
ayat-ayat
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
ٱلۡحَكِيمِ
hikmah
الٓرۚ
Alif Lam Ra
تِلۡكَ
ini
ءَايَٰتُ
ayat-ayat
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
ٱلۡحَكِيمِ
hikmah
Terjemahan
Alif Lām Rā. Itulah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang penuh hikmah
Tafsir
Yunus
(Alif, laam, raa) hanya Allahlah yang mengetahui maksudnya. (Inilah) artinya ayat-ayat ini (ayat-ayat Alkitab) yakni Al-Qur'an. Diidhafatkan lafal ayaatul pada lafal Alkitab mengandung makna min, yakni bagian daripada Al-Qur'an (yang mengandung hikmah) yang padat akan hikmah-hikmah.
Tafsir Surat Yunus: 1-2
Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hikmah.
Patutkah manusia menjadi heran bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman, bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka. Orang-orang kafir berkata, "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata."
Ayat 1
Mengenai huruf-huruf yang mengawali surat-surat Al-Qur'an, telah disebutkan keterangannya pada permulaan tafsir surat Al-Baqarah.
Abud Duha telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Alif Lam Ra.” (Yunus: 1) Yakni Aku, Allah, melihat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya.
“Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hikmah.” (Yunus: 1) Artinya, inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hukum yang jelas.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Kitab yang mengandung hikmah.” (Yunus: 1) Menurut Al-Hasan, yang dimaksud dengan 'Kitab' adalah kitab Taurat dan Zabur.
Qatadah mengatakan bahwa makna tilka ayatul kitab ialah 'inilah ayat-ayat kitab', yakni kitab-kitab terdahulu sebelum Al-Qur'an. Pendapat ini menurut penulis (Ibnu Katsir) tidak dikenal jalurnya, demikian juga maknanya.
Ayat 2
Firman Allah ﷻ: “Patutkah manusia menjadi heran.” (Yunus: 2), hingga akhir ayat.
Allah ﷻ mengingkari sikap orang-orang kafir yang merasa heran terhadap para rasul karena para rasul itu dari kalangan manusia, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam kisah-Nya mengenai umat-umat terdahulu melalui firman-Nya: “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami? “ (At-Taghabun: 6)
Nabi Hud dan Nabi Saleh berkata kepada kaumnya masing-masing, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan apakah kalian tidak percaya dan heran bahwa datang kepada kalian peringatan dari Tuhan kalian dengan perantaraan seorang laki-laki dari golongan kalian.” (Al-A'raf: 63) Allah ﷻ pun berfirman menceritakan perihal orang-orang kafir Quraisy, bahwa mereka telah mengatakan: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Maha Esa? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa setelah Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ menjadi rasul, maka orang-orang Arab mengingkari hal tersebut, atau ada sebagian dari mereka yang mengingkarinya. Lalu mereka berkata, "Maha Besar Allah, bila Dia mengutus Rasul-Nya seorang manusia seperti Muhammad ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Patutkah manusia menjadi heran.” (Yunus: 2), hingga akhir ayat.
Mengenai firman Allah ﷻ: “Bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” (Yunus: 2) Para ulama berselisih pendapat tentang takwil ayat ini. Ali bin Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “gembirakanlah orang-orang beriman, bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” (Yunus: 2) Bahwa dalam kitab terdahulu (Lauh Mahfuz) telah dituliskan bahwa mereka memperoleh kebahagiaan.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” (Yunus: 2) Yakni pahala yang baik karena amal perbuatan yang telah mereka kerjakan.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak, Ar-Rabi' bin Anas, dan Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam. Makna ayat ini sama dengan firman-Nya: “Untuk memberi peringatan akan azab yang sangat pedih.” (Al-Kahfi: 2), hingga akhir ayat.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.” (Yunus: 2) Yakni amal-amal saleh, yaitu salat, puasa, sedekah, dan tasbih mereka. Mujahid mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memberikan syafaat kepada mereka. Hal yang sama telah dikatakan oleh Zaid bin Aslam dan Muqatil bin Hayyan.
Qatadah mengatakan, makna ayat ialah kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka. Ibnu Jarir memilih pendapat yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa makna yang dimaksud ialah amal-amal saleh yang telah mereka kerjakan dan menjadi tabungan bagi mereka di sisi Tuhannya.
Perihalnya sama dengan kalimat yang mengatakan, "Qadamun fil Islam,” yakni mempunyai jasa dalam Islam. Hassan bin Sabit telah mengatakan: Kami mempunyai jasa yang besar kepadamu dan kami berbeda dengan para pendahulu kami berkat ketaatan (kami) kepada Allah, sebagai jasa berikutnya. Zur Rummah dalam salah satu bait syairnya mengatakan: Kalian mempunyai jasa yang besar yang tidak dilupakan oleh semua orang, bahwa jasa itu sekalipun dari yang berkedudukan biasa, keharumannya dapat menutupi laut.
Firman Allah ﷻ: “Orang-orang kafir berkata, ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata’.” (Yunus: 2)
Dengan kata lain, sekalipun Kami telah mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yakni dari kaum mereka sendiri untuk menyampaikan berita gembira dan memberi peringatan kepada mereka: “Orang-orang kafir berkata, ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata’.” (Yunus: 2) Mubin artinya jelas dan nyata, padahal mereka adalah orang-orang yang dusta dalam hal tersebut.
Alif Lam Ra. Hanya Allah yang mengetahui secara pasti makna hurufhuruf yang menjadi pembuka surah-surah dalam Al-Qur'an. Inilah ayatayat Al-Qur'an yang keseluruhannya penuh hikmah, yakni petunjuk yang hak dan terbaik bagi semua umat manusia. Apabila petunjuk tersebut diperhatikan dan dijalankan, maka akan mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan keburukan. Oleh karena itu, pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu, yakni memberi informasi dan tuntunan agama secara pasti, cepat, dan berbentuk rahasia, kepada seorang laki-laki di antara mereka, yakni Nabi Muhammad yang dikenal sangat jujur sehingga mendapat gelar al-Amin. Melalui wahyu tersebut Kami perintahkan kepadanya: Berilah peringatan kepada manusia bahwa Hari Pembalasan itu pasti datang dan orang yang jahat akan disiksa karena kejahatannya, dan gembirakanlah orang-orang beriman yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni kemuliaan di sisi Tuhan kelak di akhirat. Setelah mendengar dan menyaksikan ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ternyata sangat mempesona, maka Orang-orang kafir berkata, Orang ini, yakni Nabi Muhammad, benar-benar pesihir yang nyata, dan yang dibawanya adalah sihir, sehingga membuat orang-orang terpesona dan mengikuti seruannya. Demikianlah sifat angkuh orang-orang yang tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah.
Lihat arti "Alif Lam Ra", pada keterangan tentang "mafatihus suwar" pada jilid pertama.
Allah menerangkan bahwa ayat-ayat yang dibaca ini adalah ayat-ayat yang tinggi nilainya, tersusun rapi lagi kokoh, baik lafaz maupun maknanya, berisi petunjuk bagi orang-orang yang mau mengikutinya. Dari ayat-ayat ini tersusun surah-surah itu dan disusun Al-Qur'an. Pada firman-Nya yang lain Allah menjelaskan sifat ayat Al-Qur'an.
Alif Lam Ra, (inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Mahateliti. (Hud/11: 1)
Dari susunan ayat ini dipahami bahwa Allah memerintahkan manusia agar mengetahui, mempelajari dan mengingat ayat-ayat yang menjadi petunjuk itu, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah Yuunus
(NABI YUNUS A.S.)
SURAH KE-10,109 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-109)
Ayat 1
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat yang pertama dipangkali lagi dengan huruf-huruf. Yaitu alif lam ra. Sebagaimana te-lah diterangkan terlebih dahulu, hendaklah huruf-huruf ini dibaca menurut bunyi hurufnya dalam susunan huruf hijaiyyah:
Alif
Lam
Ra
Sudah kita uraikan pada beberapa surah yang telah lalu bahwa huruf-huruf di pangkal surah-surah itu oleh sebagian sahabat Rasulullah ﷺ tidak diterangkan artinya, tetapi dipulangkan saja pada pengetahuan Rasulullah ﷺ. Hanya Ibnu Abbas yang kerap kali menjelaskan arti dari huruf-huruf di pangkal surah itu. Tentang alif lam ra di pangkal surah Yuunus ini, menurut Ibnu Abbas ialah
Artinya, “Aku Allah, Aku Melihat."
Kemudian datang sambungan ayat,
“Inilah ayat-ayat dari Kitab yang bijaksana"
Setelah perhatian dihimpunkan kepada ayat-ayat yang akan turun selanjutnya, dengan memulai panggilan dengan huruf-huruf di awal surah dan ayat, barulah datang keterangan selanjutnya dari Allah. Bahwasanya isi surah Yuunus ini pada khususnya, ataupun isi Al-Qur'an seluruhnya ialah ayat-ayat.
Ayat berarti luas sekali. Satu waktu dia sekian. Satu waktu dia berarti tanda. Langit terbentang di atas kepala kita, bumi terhampar di bawah kaki kita, semuanya berjalan dengan teratur sempurna. Itu adalah ayat! Musim kemarau, tumbuh-tumbuhan kering dan mati, kemudian turunlah hujan. Satu hari saja sesudah hujan turun, tumbuh-tumbuhan kelihatan hidup kembali. Semuanya itu adalah ayat, yaitu tanda dari adanya Allah Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, seluruh alam sekitar kita ini, yang dapat dijangkau oleh pancaindra kita, ditinjau oleh akal kita, semuanya itu adalah ayat.
Sesekali ditimbulkan ayat yang dikhususkan Allah, seperti Ibrahim yang tidak hangus dibakar api dan tongkat Musa membelah lautan yang dinamai mukjizat. Maka mukjizat itu pun disebut ayat.
Kadang-kadang datanglah perintah Allah, supaya mengerjakan barang yang makruf, menghentikan, atau mencegah perkara yang mungkar. Maka perintah-perintah itu, baik be-rupa suruhan maupun berupa larangan, dinamai juga ayat.
Di dalam ayat ini disebutkan bahwasanya ayat-ayatyangAkandiutaikan ini adalah isi dari satu kitab, dan kitab itu adalah amat bijaksana. Dapatlah kita pahamkan setelah merenungkan ayat ini, bagaimana dengan selayang pandang Allah, menurunkan Kitab Yang Bijaksana itu ke muka dunia ini, yaitu Kitab Al-Qur'an, yang diturunkan kepada Utusan-Nya, Muhammad ﷺ.
Amat bijaksanalah Allah menurunkan kitab itu sehingga isinya pun penuhlah dengan kebijaksanaan. Dia tidak diturunkan sekaligus, meskipun catatan asli telah tersedia di dalam Lauh Mahfuzh. Dia turun dengan teratur dalam masa 23 tahun, yaitu 13 tahun zaman Mekah dan 10 tahun zaman Madinah. Dan turunnya selalu tepat pada waktunya sehingga Asbabun Nuzul-nya, sebab turunnya itu pun bisa dijadikan pedoman di dalam memahamkan isinya. Baru kemudian setelah Rasulullah ﷺ wafat, dibukukan atau dimushafkan, dan pengumpulan jadi Mushaf itu pun menambah bukti akan kebijaksanaannya. Inilah satu-satunya kitab suci yang diterima dari bapak turun ke anak, dari nenek turun ke cucu, dan dari Arab turun ke Ajam dengan jalan mutawatir. Yaitu diterima dari orang yang sangat banyak, disampaikan kepada orang yang sangat banyak, yang mustahil bahwa mereka bersepakat terlebih dahulu dalan berdusta. Oleh sebab itu, Al-Qur'an, Kitab Yang Bijaksana ini, tetap begitu bunyi bacaannya dan susunannya sejak diterima dari Nabi ﷺ, dimushafkan yang pertama oleh Abu Bakar dengan anggota pa-nitianya, yang disaksikan beribu-ribu orang, dinaskahkan yang kedua oleh Utsman bin Affan menjadi lima naskah, kemudian disalin dan disalin lagi, sampai pada zaman Perang Shiffin di antara Ali dan Mu'awiyah, terdapat berpuluh ribu naskah yang diangkat di ujung tombak sebagai seruan peletakan senjata, dan sampai di zaman kita, baik yang ditulis dengan tangan, atau setelah dicetak berjuta-juta, namun dia tetap satu dan tetap dalam keaslian bijaksananya, sehingga Al-Qur'an di Sin Kiang (Cina) dapat dibaca dengan huruf yang sama oleh Muslim di Afrika.
AI-Kitab al-Hakim, kitab yang bijaksana itu tidaklah akan usang dan basi isinya, sebab dia adalah Kebenaran. Dan, Kebenaran adalah salah satu dari sifat Allah yang kekal.
Ayat 2
“Apakah ada bagi manusia suatu keheraan bahwa Kami telah mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara mereka?'"
Ayat ini dimulai berupa pertanyaan, yang artinya mengapa manusia menjadi heran kalau Allah menurunkan wahyu-Nya kepada salah seorang di antara mereka?
Kalau sekiranya manusia itu sama rata dalam keadaan sebagai manusia, mencengang-kankah kalau dalam hal jiwa, dalam hal akal dan budi keadaan manusia itu berlebih ber-kurang? Bukankah ada orang yang diberi Allah ilmu yang lebih tinggi dan ada pula orang yang sangat bodoh. Kalau sekiranya dalam derajat akal sudah terbukti manusia tidak sama, mengapa akan heran dan tercengang kalau ada pula manusia satu-satu yang dipilih Allah buat tempat menurunkan wahyu-Nya?
Yang dimaksud dengan manusia di dalam ayat ini ialah kaum musyrikin Mekah dan segala orang yang sama pahamnya dengan musyrikin Mekah itu, yaitu tidak mau percaya bahwa Muhammad menerima wahyu dari Allah, Di dalam surah al-An'aam ayat 8 dan ayat 9 yang turun di Mekah juga, dinyatakan-lah bantahan mereka, mengapa Rasul ﷺ itu tidak disertai seorang malaikat atau mengapa tidak malaikat saja diutus Allah menjadi rasul kepada manusia. Dan di dalam surah al-Furqaan, dijelaskan lagi ketercengangan dan keheranan mereka, mengapa manusia dikirim menjadi rasul, yang keadaannya sama saja dengan manusia biasa. Memakan makanan dan berjalan di pasar. Di dalam surah al-An'aam, keheranan itu telah disuruh jawab oleh Allah. Yaitu oleh sebab yang akan diberi petunjuk ialah manusia, niscaya yang diutus manusia pula. Kalau malaikat yang diutus Allah, niscaya malaikat itu harus disamarkan berupa manusia juga, supaya memakai pakaian seperti manusia, makan minum sebagai manusia. Ini pun lebih sulit bagi manusia daripada kalau Allah Yang Mahakuasa mengutus manusia sendiri.
Bantahan dan keheranan musyrik dan kafir sebab sesama manusia diutus menjadi rasul, bukan terdapat pada musyrik dan kafir Mekah saja, melainkan sudah sejak dari zaman Nabi Nuh dan nabi-nabi yang lain, sebagaimana banyak kita dapati di dalam ayat-ayat dalam surah-surah yang lain.
“Yaitu supaya: ancamlah manusia." Yakni sebagai lanjutan tugas yang diberikan kepada rasul itu, yang menyebabkan mereka heran tercengang. Yaitu bahwa rasul adalah membawa peringatan kepada manusia agar mengisi jiwa dengan tauhid, kepercayaan ke-pada Allah Yang Tunggal dan percaya bahwa hidup ini tidak berhenti sehingga di sini saja, melainkan akan bersambung lagi dengan Hari Baats (ganjaran). Dengan demikian, per-lulah rasul itu menyampaikan nadzir, yaitu menerangkan ancaman bahaya yang akan me-nimpa mereka kelak, dari sebab kemurkaan Allah, kalau ajaran itu mereka tolak dan bantah dan tidak mereka percaya.
“Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman." Artinya, kalau kiranya manusia yang durhaka, yang heran tercengang karena ada orang yang diberi Allah keutamaan karena kepadanya diturunkan wahyu, lalu mereka itu tidak mau percaya, mereka itu diancam de-ngan adzab siksa neraka, orang-orang yang beriman hendaklah diberi berita gembira bah-wa dengan sebab beriman hidup mereka selamat. “Bahwasanya untuk mereka adalah pen-dirian yang benar di sisi Allah mereka."
Di sini bertemu dua kalimat, yaitu qadama shidqin. Qadama artinya kaki, atau ketegakan, atau tempat tegak, atau tempat berdiri. Boleh disebut juga pendirian.
Shidqin atau shidiq, artinya benar, jujur, teguh, dan tidak diragukan lagi. Sebab mereka telah mempunyai arah yang akan ditempuh dalam hidup, mereka telah mendapat pegangan yang tidak akan lepas lagi. Kalau tempat tegak sudah benar, artinya tidak berumbang-ambing lagi, terkadang condong ke kanan dan condong ke kiri, jalan raga yang lurus dan langkah yang tetap, untuk maju menempuh jalan yang selamat, dunia dan akhirat. Biarpun orang lain tersesat, orang Mukmin tidak akan sesat, sebab tempat mereka tegak sudah jelas dan benar di sisi Allah.
Dalam ayat ini bertemu dua tugas agung bagi Nabi ﷺ. Pertama memberi ancaman kepada yang tidak mau percaya, kedua memberi kabar gembira kepada yang mau percaya, kedua memberi kabar gembira kepada orang yang telah menanam iman dalam dirinya, yang menyebabkan tempatnya tegak tidak berubah-ubah lagi.
“Berkata orang-orang kafir itu, ‘Sesungguhnya orang ini adalah seorang ahli ... yang nyata.'"
Oleh karena tidak paham apa maksud kedatangan Rasul ﷺ atau karena takut pada pengaruh ajaran itu, yang telah meruntuhkan kepercayaan mereka yang salah, mereka tu-duhlah bahwa Rasul saw, itu hanya seorang tukang sihir. Mereka merasa terpesona oleh keterangan itu, mereka tidak dapat membantah kebenarannya. Tetapi kalau mereka terima, berarti kepercayaan yang mereka pusakai dari nenek moyang akan hancur. Sebab itu, mereka tuduh saja bahwa Nabi ﷺ adalah tukang sihir yang nyata. Buktinya ialah karena Nabi ﷺ itu tidak dapat dikalahkan dengan alasan dari pihak mereka.
Menurut qiraat Ibnu Katsir dan ahli qi-raat Kaufah, ialah sahirun mubinun. Artinya ialah Ahli Sihir yang nyata. Yang mereka cap demikian ialah diri pribadi Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Mushaf yang beredar ialah qiraat Kaufah dan Jbnu Katsir itu. Tetapi pada qiraat yang lain dibaca sihrun mubinun, yang berarti sihir yang nyata. Dengan qiraat kedua ini, Al-Qur'an itu sendirilah yang mereka anggap sebagai sihir. Sihir Al-Qur'an itu dipakai oleh Muhammad!
Perbedaan qiraat (bacaan) ini dapat kita pahami karena pada masa permulaan, Al-Qur'an itu tidak berbaris. Tulisan keduanya satu saja, yaitu tetapi membacanya berbeda.
Setelah Al-Qur'an diberi baris, kalau sahirun mubinun, diberilah (alif kecil di atas huruf sin. Sahirun mubiinun—
Dan, kalau bacanya sihrun mubin diberilah baris di bawah pada sin, yang dinamai kasrah dan diletakkan butatan tanda mati di atas huruf haa.
Di atas tadi telah dinyatakan bahwa mereka heran tercengang, mengapa manusia jadi rasul, mendapat wahyu, padahal manusia itu makan minum dan mandi, ke jamban, berjalan-jalan di pasar, berbini dan beranak, mengapa tidak malaikat saja. Setelah diberi keterangan bahwa manusia diangkat menjadi Rasulullah ﷺ, tidak usahlah diherankan, sebab Allah Mahakuasa Yashthafi dan Yajtabi, artinya memilih dan menunjuk manusia yang akan Dia jadikan Rasul-Nya. Sebab itu dengarkanlah dan perhatikan wahyu yang mereka sampaikan itu.
Kalau kamu perhatikan itu, kamu akan insaf bahwa itu bukanlah perkataan Rasul ﷺ itu sendiri. Itu memang perkataan berasal dari Allah, dibawa Malaikat dan disampaikan ke-pada kamu dengan perantaraan lidah Rasul ﷺ.
Mereka sendiri mengakui, mereka memang terpesona dengan susun kata dan isi dari wahyu itu. Tidak ada seorang pun yang dapat membantah atau membuat tandingannya. Karena mereka memang telah kafir, tidak mau percaya bahwa itu datang dari Allah, mereka tuduhlah bahwa Rasul ﷺ yang membawa itu adalah pandai sihir. Dan, wahyu yang beliau sampaikan itu memanglah semacam sihir.
Kita telah tahu arti sihir. Yaitu suatu perbuatan yang mencengangkan, yang jarang terjadi, yang memesonakan, karena kemahiran manusia melakukannya. Al-Qur'an mereka tuduh sihir dan Nabi Muhammad ﷺ mereka tuduh pandai sihir, sebab apabila suatu ayat beliau baca, mereka pun terpesona, dan mereka tidak dapat menandinginya, jangankan mengatasinya. Orang yang paling benci kepadanya, yaitu Abu Jahal dan Abu Sufyan pernah beberapa malam berturut-turut, datang dengan sembunyi-sembunyi ke pekarangan rumah Rasulullah ﷺ buat mendengar ayat-ayat wahyu itu dibacakan. Mereka benci, tetapi mereka tertarik buat mendengar.
Al-Walid seorang ahli bicara, syair pula, terkemuka di dalam kaumnya. Abu Jahal datang kepadanya menanyakan apa pendapat al-Walid tentang apa yang disebut Muhammad ﷺ sebagai wahyu itu. Abu Jahal meminta keterangan yang tegas kepadanya, sebab sudah amat banyak orang yang terpesona. Abu Bakar membaca Al-Qur'an dalam pekarangan rumah Ibnu Dughanah, datang orang-orang perempuan dan kanak-kanak berkerumun untuk mendengarkan kata-kata yang sangat tinggi berisi itu. Apa ini? Kata siapa ini? Dari mana ini?
Abu Jahal mendesak-desak, hendaklah al-Walid menerangkan pendapatnya, apakah yang dikatakan Muhammad itu. Al-Walid setelah meninjau dan meneliti, kian ditinjau kian diteliti, dia pun kian terpesona. Sedang maksud Abu Jahal kalau al-Walid telah mengeluarkan pertimbangannya, akan dijadikan alat dan alasan buat meruntuhkan kepercayaan kaumnya kepada Muhammad. Ketika didesak juga, al-Walid menjawab, ‘Apa yang mesti kukatakan? Kalian sudah tahu bahwa tidak seorang pun di antara kalian yang lebih pintar daripadaku dalam soal syair, baik rajaznya atau qadhi'ahnya, ataupun syfir-syfir yang dari jin sekalipun. Sudah aku selidiki, namun kata-kata yang dikeluarkan Muhammad ini, bukanlah syi'ir dan bukan buatan jin. Demi Allah, perkataan ini sangat indah diucapkan dan merdu didengar telinga. Dan, dia terang bagian atasnya dan memancarkan sinar sebelah bawahnya. Perkataan ini selalu di atas dan tidak dapat diatasi, bahkan yang di bawahnya akan dihancurkannya."
Abu Jahal tidak puas akan jawaban itu, lalu dia berkata, “Kaum engkau menunggu apa pertimbanganmu atas kata-kata ini. Kalau seperti itu kata engkau, kaummu tidak puas. Selidiki lagi dan katakan!"
Al-Walid menjawab, “Biarkan aku berpikir sejenak!"
Inilah yang diisyaratkan Allah di dalam surah al-Muddatstsir, ayat 11 bahwa Allah berfirman kepada Nabi Muhammad ﷺ, janganlah dia bersusah hati atas gangguan al-Walid itu, biarkan sajalah Allah sendiri menyelesaikan urusan-Nya dengan makhluk-Nya yang bernama al-Walid itu.
Setelah berpikir sejenak, disampaikan-nyalah kesimpulannya yang terakhir kepada Abu Jahal."ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dengan tekun. Ini tidak lain hanyalah kata-kata manusia." (Lihat al-Muddatstsir ayat 24 dan ayat 25).
Itulah kesimpulan yang terpaksa dikeluarkan al-Walid, pertama untuk memuaskan hati Abu Jahal sebab dia mendesak-desak juga,
kedua karena al-Walid sendiri tidak percaya bahwa ini wahyu Allah. Lalu dituduhnya sihir dan Muhammad saw, dituduhnya tukang sihir.
Sedangkan ahli pidato yang andal, berpidato di hadapan beribu-ribu manusia dapat mempesonakan orang, meskipun terkadang pidato itu di luar dari ukuran logika (Daema-gog). Nabi ﷺ pun mengakui bahwa
“Sesungguhnya setengah dari cara menerangkan itu pun ada mempunyai sihir."
Pendeknya bisa lupa diri karena dipe-sona pidato. Tetapi ini bukan pidato, bukan syi'ir, ini adalah wahyu. Pidato bisa berkobar-kobar diucapkan, tetapi menjadi basi apabila dipindahkan dan dituliskan di kertas. Dan pidato bisa membosankan kalau selalu itu ke itu saja. Al-Walid bin al-Mughirah, salah seorang sasterawan besar pada zaman itu mengakui bahwa dia tidak dapat di atasi, yang di bawahnya mesti hancur diinjaknya, demikian besarnya. Dia tidak mau mengerti bahwa itu adalah wahyu dari Allah. Lalu diputuskan riya saja: Sihir!
Meskipun al-Walid telah mengambil kesimpulan bahwa ini tidak lain dari sihir yang dipelajari dengan tekun, namun kesimpulan yang dikemukakannya ini tidak dapat berta-han lama. Pemuka-pemuka Quraisy itu sendiri, orang-orang yang lekas terpukau dengan kata-kata yang tinggi bermutu, bukan bertambah lari, melainkan bertambah mendekat. Isi kata tidak dapat dibantah, cuma hawa nafsu ingin mempertahankan kedudukan selama ini, itulah yang menghambat mereka buat percaya. Kesudahannya meratalah keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Ilahi.