Al-An'am: 103

Ayat

Terjemahan Per Kata
لَّا
tidak
تُدۡرِكُهُ
dapat dicapaiNya
ٱلۡأَبۡصَٰرُ
penglihatan (mata)
وَهُوَ
dan Dia
يُدۡرِكُ
dapat mencapai/melihat
ٱلۡأَبۡصَٰرَۖ
penglihatan/yang kelihatan
وَهُوَ
dan Dia
ٱللَّطِيفُ
Maha Halus
ٱلۡخَبِيرُ
Maha Mengetahui

Terjemahan

Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Mahahalus lagi Mahateliti.

Tafsir

Tafsir Surat Al-An'am: 102-103 Itulah Allah Tuhanmu, tidak ada Tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah Dia. Dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Ayat 102 Adapun firman Allah ﷻ: “Itulah Allah Tuhanmu.” (Al-An'am: 102) Maksudnya, yang menciptakan segala sesuatu, tidak beranak, dan tidak pula memiliki pasangan. “Tidak ada Tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah Dia.” (Al-An'am: 102) Artinya, sembahlah Dia satu-satunya, tidak ada yang dapat disembah selain-Nya, dan akuilah ketauhidan-Nya (keesaan-Nya), bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, tidak memiliki pasangan, dan tidak ada yang sama dan setara dengan-Nya. “Dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” (Al-An'am: 102) Yakni Dialah Yang memelihara, mengawasi, dan mengatur segala sesuatu, Dia memberi mereka rezeki dan melindungi mereka sepanjang malam dan siang hari. Ayat 103 Firman Allah ﷻ: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-An'am: 103) Sehubungan dengan makna ayat ini, ada beberapa pendapat di kalangan para imam dari kalangan ulama Salaf. Menurut pendapat pertama, Allah tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata di dunia, meskipun nanti di akhirat dapat dilihat. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh banyak hadits mutawatir dari Rasulullah ﷺ melalui berbagai jalur periwayatan yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Musnad, dan kitab-kitab Sunnah. Sehubungan dengan hal ini Masruq telah meriwayatkan dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Barang siapa yang menduga bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, sesungguhnya ia telah berdusta." Menurut riwayat lain yaitu 'melihat Allah', karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, melalui hadits Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud, dari Abud Duha, dari Masruq. Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang atau dari Masruq. Tetapi ditetapkan pula di dalam kitab Shahih dan kitab-kitab lainnya, dari Siti Aisyah melalui berbagai jalur periwayatan. Sedangkan Ibnu Abbas mempunyai pendapat berbeda. Menurut riwayat yang bersumberkan darinya, penglihatan ini bersifat mutlak (yakni terjadi di dunia dan akhirat). Menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya, Nabi ﷺ pernah melihat Tuhannya dengan pandangan kalbunya sebanyak dua kali. Masalah ini disebutkan di dalam permulaan tafsir surat An-Najm, Insya Allah. Ibnu Abu Hatim menceritakan bahwa Muhammad ibnu Muslim pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu'in, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Isma'il ibnu Ulayyah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-Anam: 103) Yaitu saat di dunia. Ayah Ibnu Abu Hatim pernah mengatakan dari Hisyam ibnu Ubaidillah yang telah mengatakan hal yang sama. Pendapat lain mengatakan bahwa makna firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-Anam: 103) Yakni semua penglihatan mata. Hal ini telah di-takhsis (dijelaskan) oleh hadits yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Tuhannya. Pendapat lain yaitu dari kalangan Mu'tazilah mengatakan sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat ini, yaitu bahwa Allah tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, mereka berpendapat berbeda dengan ahli sunnah wal jama'ah dalam masalah ini karena ketidakmengertian mereka kepada apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Adapun dalil dari Al-Qur'an, firman Allah ﷻ: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri, kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23) Allah ﷻ telah berfirman pula, menceritakan perihal orang-orang kafir: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (melihat) Tuhan mereka.” (Al-Muthaffifin: 15) Imam Syafii mengatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak terhalang untuk melihat Tuhan mereka Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Adapun mengenai dalil dari sunnah, maka banyak hadits mutawatir diriwayatkan dari Abu Sa'id, Abu Hurairah, Anas, Juraij, Suhaib, Bilal, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, dari Nabi ﷺ, semuanya menyebutkan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah di 'Arasat (halaman-halaman surga) dan di taman-taman surga. Semoga Allah menjadikan kita dari golongan mereka berkat karunia dan kemuliaan-Nya, amin. Menurut pendapat lain sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-An'am: 103) Yakni oleh akal. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dari Ali ibnul Husain, dari Al-Fallas, dari Ibnu Mahdi, dari Abul Husain Yahya ibnul Husain qari' ahli Mekah, bahwa dia telah mengatakan hal tersebut. Tetapi pendapat ini gharib sekali, dan berbeda dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan dia berpandangan bahwa lafal idrak di sini bermakna ru-yah. Ulama lain mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara melihat dan tidak melihat serta yang lebih khusus daripada sekadar ru-yah (melihat), karena sesungguhnya pengertian idrak (mencapai) tidak memastikan adanya penghilangan atau peniadaan hal yang lebih khusus dengan peniadaan yang lebih umum. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai pengertian idrak yang ditiadakan (yang di-nafi’-kan), yakni bagaimana hakikatnya? Menurut suatu pendapat, yang di-nafi-kan adalah mengetahui hakikat-Nya, karena sesungguhnya tidak ada yang mengetahui-Nya selain Dia sendiri, meskipun orang-orang mukmin dapat melihat-Nya. Sama halnya dengan orang yang melihat rembulan, sesungguhnya dia tidak dapat mengetahui hakikat, keadaan, dan materinya. Maka Tuhan Yang Maha Besar lebih tinggi dari itu semua, dan hanya Dialah Yang memiliki perumpamaan Yang Maha Tinggi. Ibnu Ulayyah mengatakan bahwa pengertian tersebut (yakni mustahil mengetahui hakikat Allah), hanya terjadi di dunia. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa makna “idrak” lebih khusus daripada “ru-yah”, makna idrak sama dengan meliputi. Mereka mengatakan bahwa, tidak adanya peliputan bukan berarti memastikan tidak adanya penglihatan atau tidak melihat sesuatu bukan berarti tidak melihat sama sekali, sama halnya dengan tidak memahami (ilmu) sesuatu bukan berarti sama sekali tidak ada pemahaman (ilmu). Allah ﷻ telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.” (Thaha: 110) Di dalam sebuah hadits shahih Muslim disebutkan: Saya tidak bisa memuji Engkau sebagaimana layaknya Engkau memuji diri-Mu sendiri. Hal ini menegaskan bahwa tidak mungkin kita memuji Allah sebaik pujiannya terhadap diri-Nya sendiri. Maka demikian pula dalam masalah tersebut. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah (penglihatan) seseorang tidak dapat meliputi (melihat) Kerajaan (Allah) dengan mata kepala mereka. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qannad, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Sammak, dari Ikrimah, bahwa pernah ditanyakan kepadanya mengenai makna firman Allah ﷻ: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (Al-An'am: 103) Ikrimah berkata, "Tidakkah engkau melihat langit?" Si penanya menjawab, "Ya, tentu saja melihat." Ikrimah berkata, "Apakah semuanya dapat terlihat?" Sa'id ibnu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Bahwa Dia Maha Besar dari kemampuan penglihatan mata untuk dapat melihat-Nya.” Bahwa Dia Maha Besar dari segala sesuatu, sehingga kemampuan penglihatan manusia tidak mampu untuk melihat-Nya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'd ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Abu Urfiyah, dari Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyamah: 22-23) Atiyyah mengatakan bahwa mereka melihat Allah, tetapi pandangan manusia tidak dapat meliputi-Nya karena keagungan-Nya, sedangkan pandangan Allah meliputi semua manusia. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Sehubungan dengan makna ayat ini, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam bab ini. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris As-Sahmi, telah menceritakan kepada kami Bisyr Ammarah, dari Abu Rauq, dari Atiyyah Al-Aufi, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Nabi ﷺ bersabda: “Seandainya semua makhluk baik itu jin, manusia, dan setan serta para malaikat, sejak awal penciptaan mereka hingga kematian mereka, dibariskan menjadi satu saf, niscaya mereka tetap tidak akan mampu meliputi Allah selama-lamanya.” Tetapi hadits ini gharib (asing) dan tidak dikenal, hanya melalui jalur ini, tidak ada seorang pun dari pemilik kitab Sittah yang meriwayatkannya. Ulama lainnya lagi mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini dengan mengetengahkan apa yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Jami-nya, Ibnu Abu ‘Ashim di dalam kitab Sunnah-nya, Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Al-Hakam ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah berkata, "Aku pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, 'Muhammad pernah melihat Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.' Maka aku berkata, 'Bukankah Allah telah berfirman: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103)?' Ibnu Abbas berkata kepadaku, 'Semoga engkau tidak beribu (yakni celakalah kamu). Yang demikian itu adalah nur-Nya. Apabila Allah memancarkan nur-Nya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya'." Menurut riwayat lain, tidak ada sesuatu pun yang dapat berdiri karena-Nya. Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Semakna dengan atsar ini ada sebuah hadits yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Abu Musa Al-Asy'ari secara marfu yaitu: “Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur, dan tidaklah pantas bagi-Nya untuk tidur, Dia merendahkan dan meninggikan timbangan (amal) dengan adil.” Amal perbuatan di siang hari dilaporkan kepada-Nya sebelum malam tiba, begitu juga amal malam hari dilaporkan kepada-Nya sebelum siang hari tiba. Hijab (penghalang)-Nya adalah nur atau api, seandainya Dia membuka hijab-Nya, niscaya kesucian Zat-Nya akan membakar semua makhluk-Nya sepanjang penglihatan-Nya. Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada Musa ketika Musa memohon agar dapat melihat-Nya, "Wahai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup yang sanggup melihat-Ku melainkan dia pasti akan mati, dan tidak ada benda mati pun (yang Aku perlihatkan diri-Ku kepadanya) melainkan dia akan hancur lebur." Dan Allah ﷻ telah berfirman: “Tatkala Tuhannya menampakkan (keagungannya) kepada gunung itu, gunung itu hancur lebur dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau, dan aku orang yang pertama-tama beriman’.” (Al-A'raf: 143) Yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh atsar ini adalah makna idrak (dicapai) secara khusus, tetapi bukan berarti dapat melihat Allah kelak di hari kiamat. Kelak di hari kiamat Allah menampakkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin menurut apa yang dikehendaki-Nya. Adapun mengenai keagungan dan kebesaran-Nya, sesuai dengan Zat-Nya Yang Maha Tinggi lagi Maha Suci serta Maha Bersih, tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Karena itulah Ummul Mukminin Siti Aisyah menyatakan bahwa kita tidak akan mungkin dapat melihat Allah di dunia, tetapi mungkin akan dapat melihat-Nya di akhirat. Siti Aisyah mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Hal yang ditiadakan oleh Siti Aisyah ialah pencapaian, yang dengan kata lain kemungkinan manusia dapat melihat kebesaran dan keagungan Allah sesuai dengan keadaan Zat-Nya. Karena sesungguhnya hal tersebut tidak mungkin bagi manusia, malaikat, dan makhluk lainnya. “Sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Artinya, Dia meliputi semuanya dan mengetahui detail-detailnya, karena sesungguhnya semuanya itu adalah makhluk ciptaan-Nya, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain: “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian lahirkan dan rahasiakan). Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Al-Mulk: 14) Adakalanya pengertian absar (pandangan mata) merupakan ungkapan bagi orang yang melihat itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh As-Suddi dalam takwil firman-Nya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.” (Al-An'am: 103) Yakni tiada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya, sedangkan Dia dapat melihat semua makhluk. Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Al-An'am: 103) Yakni Maha Halus untuk mengeluarkannya lagi Maha Mengetahui tentang tempatnya, Wallahu a’lam. Takwil ini sama pengertiannya dengan nasihat Luqman terhadap anaknya, seperti yang dikutip oleh firman Allah ﷻ berikut: “(Luqman berkata), ‘Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui’.” (Luqman: 16)

Al-An'am: 103

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat