Al-Ma'idah: 48

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَأَنزَلۡنَآ
dan Kami telah menurunkan
إِلَيۡكَ
kepadamu
ٱلۡكِتَٰبَ
Kitab
بِٱلۡحَقِّ
dengan kebenaran
مُصَدِّقٗا
yang membenarkan
لِّمَا
terhadap apa
بَيۡنَ
antara
يَدَيۡهِ
dua tangan/sebelumnya
مِنَ
dari
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
وَمُهَيۡمِنًا
dan yang menjaga
عَلَيۡهِۖ
atasnya
فَٱحۡكُم
maka putuskanlah
بَيۡنَهُم
diantara mereka
بِمَآ
dengan/menurut apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُۖ
Allah
وَلَا
dan janganlah
تَتَّبِعۡ
kamu mengikuti
أَهۡوَآءَهُمۡ
hawa nafsu mereka
عَمَّا
dari apa
جَآءَكَ
telah datang kepadamu
مِنَ
dari
ٱلۡحَقِّۚ
kebenaran
لِكُلّٖ
bagi tiap-tiap ummat
جَعَلۡنَا
Kami telah menjadikan
مِنكُمۡ
diantara kamu
شِرۡعَةٗ
peraturan
وَمِنۡهَاجٗاۚ
dan jalan yang terang
وَلَوۡ
dan sekiranya
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
لَجَعَلَكُمۡ
niscaya Dia menjadikan kamu
أُمَّةٗ
ummat
وَٰحِدَةٗ
yang satu
وَلَٰكِن
akan tetapi
لِّيَبۡلُوَكُمۡ
Dia hendak menguji kamu
فِي
dalam/terhadap
مَآ
apa
ءَاتَىٰكُمۡۖ
Dia berikan kepadamu
فَٱسۡتَبِقُواْ
maka berlomba-lombalah
ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
kebajikan
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
مَرۡجِعُكُمۡ
tempat kembalimu
جَمِيعٗا
semua
فَيُنَبِّئُكُم
lalu Dia memberitahukan padamu
بِمَا
dengan/tentang apa
كُنتُمۡ
kalian adalah
فِيهِ
di dalamnya
تَخۡتَلِفُونَ
kamu perselisihkan

Terjemahan

Kami telah menurunkan kitab suci (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan (membawa) kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai penjaganya (acuan kebenaran terhadapnya). Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.

Tafsir

Tafsir Surat Al-Ma'idah: 48-50 Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjadi batu ujian (standar kebenaran) terhadap kitab-kitab itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? Ayat 48 Setelah Allah ﷻ menyebutkan perihal kitab Taurat yang diturunkanNya kepada Nabi Musa yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan memuji serta menyanjung Kitab Taurat dan memerintahkan agar kitab Taurat diikuti ajarannya mengingat kitab Taurat layak untuk diikuti oleh mereka, lalu Allah ﷻ menyebutkan perihal kitab Injil dan memujinya serta memerintahkan kepada para pemegangnya untuk mengamalkannya dan mengikuti apa yang terkandung di dalamnya, seperti yang telah disebutkan di atas. Kemudian Allah ﷻ menyebutkan tentang Al-Qur'an yang Dia turunkan kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran.” (Al-Maidah: 48) Yakni membawa kebenaran, tiada keraguan di dalamnya; dan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah ﷻ. “Membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.” (Al-Maidah: 48) Yaitu kitab-kitab terdahulu yang mengandung sebutan dan pujian kepadanya (Al-Qur'an), dan bahwa Al-Qur'an itu akan diturunkan dari sisi Allah kepada hamba lagi Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Dan penurunan Al-Qur'an yang sesuai dengan apa yang telah diberitakan oleh kitab-kitab terdahulu merupakan faktor yang menambah kepercayaan di kalangan para pemilik kitab-kitab sebelum Al-Qur'an dari kalangan orang-orang yang mempunyai ilmu dan taat kepada perintah Allah, mengikuti syariat-syariat Allah serta membenarkan rasul-rasul Allah, seperti yang disebutkan oleh Allah melalui firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tersungkur sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi’." (Al-Isra: 107-108) Yakni sesungguhnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami melalui lisan rasul-rasul-Nya yang terdahulu yaitu mengenai kedatangan Nabi Muhammad ﷺ adalah benar-benar terjadi dan pasti dipenuhi. Firman Allah ﷻ: “Dan menjadi batu ujian (standar kebenaran) terhadap kitab-kitab itu.” (Al-Maidah: 48) Sufyan Ats-Tsauri dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "dipercaya oleh kitab-kitab sebelumnya.” Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-muhaimin ialah "yang dipercaya.” Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan semua kitab sebelumnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, Atiyyah, Al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ Al-Khurrasani, As-Suddi, dan Ibnu Zaid. Ibnu Juraij mengatakan, Al-Qur'an adalah kepercayaan kitab-kitab terdahulu yang sebelumnya. Dengan kata lain, apa saja isi dari kitab terdahulu yang sesuai dengan Al-Qur'an. maka itu adalah benar; dan apa saja isi dari kitab-kitab terdahulu yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an, itu adalah batil. Telah diriwayatkan dari Al-Walibi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaimin ini, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai saksi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaiminan, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hakim atau menjadi batu ujian (standar kebenaran) bagi kitab-kitab yang sebelumnya. Semua pendapat tersebut pengertiannya saling berdekatan, karena sesungguhnya lafal muhaimin mengandung semua pengertian itu, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan, saksi, dan hakim atas kitab-kitab yang sebelumnya. Allah ﷻ telah menjadikan kitab Al-Qur'an yang agung ini yang Dia turunkan sebagai akhir dari kitab-kitab Nya dan merupakan pamungkasnya, paling agung dan paling sempurna. Di dalam Al-Qur'an terkandung kebaikan-kebaikan kitab-kitab sebelumnya dan ditambahkan banyak kesempurnaan yang tidak terdapat pada kitab-kitab lainnya. Karena itulah Allah menjadikannya sebagai saksi, kepercayaan dan hakim atas semua kitab yang terdahulu, dan Allah sendiri menjamin pemeliharaan bagi keutuhannya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9) Mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ikrimah dan Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’ Al-Khurrasani serta Ibnu Abu Nujaih dari Mujahid, mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "muhaiminan 'alaihi" bahwa makna yang dimaksud ialah Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang dipercaya mengenai Al-Qur'an. Kalau ditinjau dari segi maknanya memang benar, tetapi bila ditafsirkan dengan pengertian ini, masih perlu dipertimbangkan lagi. Demikian pula mengenai penurunannya kepada dia bila dipandang dari segi bahasa Arab, masih perlu dipertimbangkan lagi. Pada garis besarnya pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama tadi. Abu Ja'far ibnu Jarir setelah mengemukakan riwayat dari Mujahid, bahwa takwil ini sulit dimengerti menurut pemahaman orang-orang Arab, bahkan merupakan suatu kekeliruan. Dikatakan demikian karena lafal muhaimin di-'ataf-kan kepada lafal musaddiqan. Karena itu, kedudukannya tiada lain kecuali menjadi sifat dari apa yang disifati oleh lafal musaddiqan. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya duduk perkaranya seperti apa yang dikatakan oleh Mujahid, niscaya akan disebutkan oleh firman-Nya dengan ungkapan seperti berikut: "Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, sebagai orang yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai orang yang dipercaya untuk (menerima) Al-Qur'an," yakni dengan ungkapan tanpa huruf ataf. Firman Allah ﷻ: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (Al-Maidah: 48) Yakni wahai Muhammad, putuskanlah perkara di antara manusia baik yang Arab maupun yang 'Ajam (nonArab), baik yang ummi (buta hurf) maupun yang pandai baca tulis, dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu di dalam Al-Qur'an yang agung ini, dan dengan apa yang telah ditetapkan untukmu dari hukum para nabi sebelummu, tetapi tidak dimansukh (direvisi) oleh syariatmu. Demikianlah menurut apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir dalam menjabarkan maknanya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ disuruh memilih. Jika beliau suka, boleh memutuskan perkara di antara mereka (kaum Ahli Kitab); dan jika tidak suka, beliau boleh berpaling dari mereka, lalu mengembalikan keputusan mereka kepada hukum-hukum mereka sendiri. Maka turunlah firman-Nya: Ayat 49 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49) Dengan turunnya ayat ini Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memutuskan perkara di antara mereka (Ahli Kitab) dengan apa yang terdapat di dalam kitab kita, yakni Al-Qur'an. Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49) Yaitu pendapat-pendapat mereka yang mereka buat sendiri seenaknya, dan karenanya mereka meninggalkan apa yang apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al-Maidah: 48) Yakni janganlah kamu berpaling dari kebenaran yang diperintahkan Allah kepadamu, lalu kamu cenderung kepada hawa nafsu orang-orang yang bodoh lagi celaka itu. Firman Allah ﷻ: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yusuf ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan.” (Al-Maidah: 48) Bahwa yang dimaksud dengan syir'atan ialah jalan. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Said, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah tuntunan. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan syir'atan wa minhajan ialah jalan dan tuntunan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Abu Ishaq As-Subai'i, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Syir'atan wa minhajan", bahwa makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan. Dan dari Ibnu Abbas, Mujahid serta ‘Atha’ Al-Khurrasani disebutkan sebaliknya, bahwa yang dimaksud dengan syir'ah ialah tuntunan, sedangkan minhaj ialah jalan. Tetapi pendapat pertama lebih sesuai, mengingat makna syir'ah juga berarti "syariat" dan "permulaan untuk menuju ke arah sesuatu.” Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan syara'aji kaza yang artinya "memulainya.” Demikian pula makna lafal syari'ah, artinya sesuatu yang dipakai untuk berlayar di atas air. Makna minhaj adalah jalan yang terang lagi mudah, sedangkan lafal as-sunan artinya tuntunan-tuntunan. Dengan demikian, berarti tafsir firman-Nya, "syir'atan wa minhajan”, dengan pengertian jalan dan tuntunan lebih jelas kaitannya daripada kebalikannya. Kemudian konteks ini dalam kaitan memberitakan perihal umat-umat yang beraneka ragam agamanya dipandang dari aneka ragam syariat mereka yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Allah melalui rasul-rasul-Nya yang mulia, tetapi sama dalam pokoknya, yaitu ajaran tauhid. Disebutkan di dalam kitab Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kami para nabi adalah saudara-saudara yang berlainan ibu, tetapi agama kami satu.” Makna yang dimaksud ialah ajaran tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada semua rasul yang diutus-Nya dan terkandung di dalam semua kitab yang diturunkan-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka kalian sembahlah Aku’." (Al-Anbiya: 25) “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu’." (An-Nahl: 36) hingga akhir ayat. Adapun mengenai berbagai macam syariat yang berbeda-beda dalam masalah perintah dan larangannya, adakalanya suatu hal dalam suatu syariat diharamkan, kemudian dalam syariat yang lain dihalalkan dan kebalikannya; lalu diringankan dalam suatu syariat, sedangkan dalam syariat yang lain diperberat. Yang demikian itu karena mengandung hikmah yang tidak terbatas serta hujah (alasan) yang jelas bagi Allah dalam menentukan hal tersebut. Said ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan. Tuntunan itu berbeda-beda, di dalam kitab Taurat merupakan suatu syariat, di dalam kitab Injil merupakan suatu syariat, dan di dalam Al-Qur'an merupakan suatu syariat; di dalamnya Allah menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, yaitu untuk menguji siapa yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka. Agama yang tidak diterima oleh Allah ialah yang selainnya, yakni selain agama tauhid dan ikhlas kepada Allah semata. Agama inilah yang didatangkan oleh semua rasul. Menurut suatu pendapat, orang yang diajak bicara oleh ayat ini adalah umat ini, yakni umat Nabi Muhammad ﷺ. Makna yang dimaksud ialah "untuk tiap-tiap orang dari kaitan yang termasuk dalam umat ini, Kami jadikan Al-Qur'an sebagai jalan dan tuntunannya.” Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah buat kalian semuanya sebagai panutan kalian. Damir yang mansub dalam firman-Nya, "Likullin ja'alna minkum" yaitu “ja'alnahu” yang artinya "Kami jadikan Al-Qur'an” sebagai syariat dan tuntunannya untuk menuju ke tujuan yang benar dan sebagai tuntunan, yakni jalan yang jelas lagi gamblang. Demikianlah menurut ringkasan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid. Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama tadi, karena diperkuat dengan firman selanjutnya yang mengatakan: “Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja).” (Al-Maidah: 48) Seandainya hal ini merupakan khitab (pembicaraan) bagi umat ini, niscaya kurang tepatlah bila disebutkan oleh firman-Nya: “Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja).” (Al-Maidah: 48) Padahal mereka merupakan satu umat, tetapi hal ini merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan kepada semua umat dan sebagai pemberitahuan tentang kekuasaan Allah Yang Maha Besar, yang seandainya Dia menghendaki, niscaya dihimpunkan-Nya semua umat manusia dalam satu agama dan satu syariat yang tiada sesuatu pun darinya yang dimansukh (direvisi). Akan tetapi, Allah ﷻ menjadikan suatu syariat tersendiri bagi tiap rasul, kemudian memansukh (merevisi) seluruhnya atau sebagiannya dengan risalah lain yang diutus oleh Allah sesudahnya, hingga semuanya dimansukh (direvisi) oleh apa yang diturunkan Nya kepada hamba lagi rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Allah mengutusnya kepada seluruh penduduk bumi dan menjadikannya sebagai penutup para nabi semuanya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: “Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian.” (Al-Maidah: 48) Dengan kata lain, Allah ﷻ telah menetapkan berbagai macam syariat untuk menguji hamba-hamba-Nya terhadap apa yang telah disyariatkan untuk mereka dan memberi mereka pahala karena taat kepadanya, atau menyiksa mereka karena durhaka kepada-Nya melalui apa yang mereka perbuat atau yang mereka tekadkan dari kesemuanya itu. Abdullah ibnu Katsir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Terhadap pemberian-Nya kepada kalian.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah Al-Kitab. Kemudian Allah ﷻ menganjurkan kepada mereka untuk bersegera mengerjakan kebajikan dan berlomba-lomba mengerjakannya. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya: “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48) Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikan-Nya memansukh (merevisi) syariat pendahulunya serta membenarkan kitab Al-Qur'an yang merupakan akhir dari kitab yang diturunkan-Nya. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya kembali.” (Al-Maidah: 48) Yakni tempat kembali kalian kelak di hari kiamat hanyalah kepada Allah ﷻ. “Lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” (Al-Maidah: 48) Yaitu Allah memberitahukan kepada kalian kebenaran mengenai apa yang kalian perselisihkan, maka Dia akan memberikan balasan pahala kepada orang-orang yang percaya berkat kepercayaan mereka dan mengazab orang-orang kafir yang ingkar lagi mendustakan kebenaran dan menyimpang darinya ke yang lain tanpa dalil dan tanpa bukti, bahkan mereka sengaja ingkar terhadap bukti-bukti yang jelas, hujah-hujah (alasan-alasan) yang terang serta dalil-dalil yang pasti. Menurut Adh-Dhahhak, makna firman-Nya: “Maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48) ialah umat Nabi Muhammad ﷺ, tetapi makna yang pertama lebih jelas dan lebih kuat. Firman Allah ﷻ: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49) Ayat ini mengukuhkan apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu perintah yang menganjurkan hal tersebut dan larangan berbuat kebalikannya. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49) Yakni waspadalah terhadap musuh, orang-orang Yahudi itu, jangan biarkan mereka memalsukan kebenaran melalui berbagai macam perkara yang mereka ajukan kepadamu; janganlah kamu teperdaya oleh mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta, kafir lagi pengkhianat. “Jika mereka berpaling.” (Al-Maidah: 49) Yaitu berpaling dari kebenaran yang telah kamu putuskan di antara mereka, lalu mereka menentang syariat Allah. “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak mau menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.” (Al-Maidah: 49) Yakni ketahuilah bahwa hal itu telah direncanakan oleh takdir Allah dan kebijaksanaan-Nya terhadap mereka, yaitu Dia hendak memalingkan mereka dari jalan hidayah disebabkan dosa-dosa mereka yang terdahulu yang berakibat kesesatan dan pembangkangan mereka. “Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 49) Yaitu sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka dan menentang kebenaran serta berpaling darinya. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103) “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An'am: 116), hingga akhir ayat. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ka'b ibnu Asad, Ibnu Saluba, Abdullah ibnu Suria, dan Syas ibnu Qais; sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Marilah kita berangkat menemui Muhammad, barangkali saja kita dapat memalingkan dia dari agamanya." Lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, "Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah rahib-rahib Yahudi, orang-orang terhormat, dan pemuka-pemuka mereka. Dan sesungguhnya jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi akan mengikutimu dan tidak akan menentang kami. Sekarang telah terjadi suatu perselisihan antara kami dan kaum kami, maka kami serahkan keputusan kami dan mereka kepadamu; dan engkau putuskan untuk kemenangan kami atas mereka, lalu kami mau beriman kepadamu dan membenarkanmu." Tetapi Rasulullah ﷺ menolak tawaran itu, dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa mereka itu, yakni firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49) sampai dengan firman-Nya: “Bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Maidah: 50) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Ayat 50 Firman Allah ﷻ: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50) Melalui ayat ini Allah ﷻ mengingkari perbuatan orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (jelas pasti) lagi mencakup semua kebaikan, melarang setiap perbuatan jahat, lalu mereka memilih pendapat-pendapat yang lain dan kecenderungan-kecenderungannya serta peristilahan yang dibuat oleh kaum mereka tanpa sandaran dari syariat Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh ahli Jahiliah. Orang-orang Jahiliah memutuskan perkara mereka dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat-buat sendiri oleh pendapat dan keinginan mereka. Dan juga sama dengan hukum yang dipakai oleh bangsa Tartar berupa undang-undang kerajaan yang diambil dari raja mereka, yaitu Jengis Khan; perundang-undangan tersebut dibuat oleh Al-Yasuq untuk mereka. Undang-undang ini terangkum di dalam suatu kitab yang di dalamnya memuat semua hukum-hukum yang dipetik dari berbagai macam syariat, dari agama Yahudi, Nasrani, dan agama Islam serta lain-lainnya. Di dalamnya banyak terdapat undang-undang yang ditetapkan hanya berdasarkan pandangan dan keinginan Jengis Khan sendiri, kemudian hal tersebut di kalangan keturunannya menjadi peraturan yang diikuti dan lebih diprioritaskan atas hukum Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Barang siapa yang melakukan hal tersebut dari kalangan mereka, maka dia adalah orang kafir yang wajib diperangi hingga dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, karena tiada hukum kecuali hukum-Nya, baik dalam perkara yang kecil maupun perkara yang besar. Firman Allah ﷻ: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (Al-Maidah: 50) Yakni yang mereka inginkan dan mereka kehendaki, lalu mereka berpaling dari hukum Allah. “Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50) Yaitu siapakah yang lebih adil daripada Allah dalam hukumnya bagi orang yang mengerti akan syariat Allah, beriman kepada-Nya, dan yakin serta mengetahui bahwa Allah adalah Hakim di atas semua hakim serta Dia lebih belas kasihan kepada makhluk-Nya ketimbang seorang ibu kepada anaknya? Dan sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu, lagi Maha Adil dalam segala sesuatu. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hilal ibnu Fayyad, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah An-Naji yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan berkata, "Barang siapa yang memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah, maka itu berarti hukum Jahiliah yang dipakainya." Dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih yang telah menceritakan bahwa Tawus apabila ada seseorang bertanya kepadanya, "Bolehkah aku membeda-bedakan pemberian di antara anak-anakku?" Maka Tawus membacakan firman-Nya: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (Al-Maidah: 50), hingga akhir ayat. Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Wahhab ibnu Najdah Al-Huti, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Abu Hamzah, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain, dari Nafi' ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling dimurkai oleh Allah ﷻ ialah orang yang menginginkan tuntunan Jahiliah dalam Islam, dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan hanya semata-mata ingin mengalirkan darahnya.” Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang serupa, dari Abul Yaman, lengkap dengan sanad berikut tambahannya.

Al-Ma'idah: 48

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat