An-Nisa': 93

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يَقۡتُلۡ
membunuh
مُؤۡمِنٗا
seorang mukmin
مُّتَعَمِّدٗا
dengan sengaja
فَجَزَآؤُهُۥ
maka balasannya
جَهَنَّمُ
neraka Jahanam
خَٰلِدٗا
kekal
فِيهَا
di dalamnya
وَغَضِبَ
dan murka
ٱللَّهُ
Allah
عَلَيۡهِ
atasnya
وَلَعَنَهُۥ
dan mengutuknya
وَأَعَدَّ
dan Dia menyediakan
لَهُۥ
baginya
عَذَابًا
siksa
عَظِيمٗا
besar

Terjemahan

Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 92-93 Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja); dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah) si pembunuh memerdekakan budak yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian, maka (hendaklah) si pembunuh membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan budak yang beriman. Barang siapa yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut agar diterima tobatnya oleh Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. Ayat 92 Allah ﷻ berfirman bahwa seorang mukmin tidak boleh membunuh saudaranya yang mukmin dengan alasan apa pun. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga perkara, yaitu membunuh jiwa balasannya dibunuh lagi, duda yang berzina, orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah. Kemudian jika terjadi satu dari ketiga hal tersebut, maka tiada hak atas setiap individu masyarakat untuk menghukumnya, melainkan yang berhak menghukumnya hanyalah imam atau wakilnya.” Firman Allah ﷻ: “Terkecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (An-Nisa: 92) Mereka mengatakan bahwa istisna dalam ayat ini merupakan istisna munqati', perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat pada ucapan seorang penyair yang mengatakan: “Dari telurnya (burung unta itu) tidak pernah pergi jauh dan tidak pernah pula menyentuh tanah kecuali karena cuaca dingin yang memaksanya harus pergi mengungsi.” Bukti-bukti yang membenarkan pengertian ini cukup banyak. Mengenai asbabun nuzul ayat ini masih diperselisihkan, untuk itu Mujahid dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah. Abu Rabi'ah adalah saudara laki-laki seibu dengan Abu Jahal; ibunya bernama Asma binti Makhramah. Pada mulanya Ayyasy membunuh seorang lelaki yang menyiksa dirinya bersama saudaranya karena Ayyasy masuk Islam; lelaki itu bernama Al-Haris ibnu Yazid Al-Gamidi. Dalam hati Ayyasy masih terpendam niat hendak membalas saudara Al-Haris itu. Tetapi tanpa sepengetahuan Ayyasy, saudara Al-Haris tersebut masuk Islam dan ikut hijrah. Ketika terjadi Perang Fathu Mekah, tiba-tiba Ayyasy melihat lelaki tersebut, maka dengan serta merta ia langsung menyerangnya dan membunuhnya karena ia menduga bahwa lelaki tersebut masih musyrik. Maka Allah menurunkan ayat ini. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Darda, karena ia membunuh seorang lelaki yang telah mengucapkan kalimat iman (yaitu syahadatain), di saat ia mengangkat senjata padanya. Sekalipun lelaki itu telah mengucapkan kalimat iman, Abu Darda tetap mengayunkan pedang kepadanya, hingga matilah ia. Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, Abu Darda beralasan bahwa sesungguhnya lelaki itu mau mengucapkan kalimat tersebut hanyalah semata-mata untuk melindungi dirinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah kamu telah membelah dadanya?” Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih, tetapi bukan melalui Abu Darda. Firman Allah ﷻ: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (An-Nisa: 92) Kedua sanksi tersebut wajib dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, yang salah satunya adalah membayar kifarat untuk menghapus dosa besar yang dilakukannya, sekalipun hal tersebut ia lakukan secara tidak sengaja. Di antara syarat kifarat ini ialah memerdekakan seorang budak yang mukmin; tidak cukup bila yang dimerdekakannya itu adalah budak yang kafir. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka mengatakan, "Tidak mencukupi sebagai kifarat memerdekakan budak yang masih kecil, mengingat anak yang masih kecil masih belum menjadi pelaku iman." Diriwayatkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa di dalam mushaf sahabat Ubay ibnu Ka'b terdapat keterangan, "Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman," dalam kifarat ini masih belum mencukupi bila yang dimerdekakannya adalah budak yang masih kecil. Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan, "Jika si budak yang masih kecil itu dilahirkan dari kedua orang tua yang kedua-duanya muslim, sudah mencukupi untuk kifarat. Tetapi jika bukan dilahirkan dari kedua orang tua yang muslim, hukumnya tidak mencukupi." Pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mengatakan, "Apabila budak yang dimerdekakan adalah orang muslim, maka sah dimerdekakan sebagai kifarat, tanpa memandang apakah ia masih kecil atau sudah dewasa." . Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari seorang lelaki, dari kalangan Anshar yang menceritakan hadits berikut: Bahwa ia datang dengan membawa seorang budak perempuan yang berkulit hitam, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku terkena kewajiban memerdekakan seorang budak yang mukmin. Untuk itu apabila menurutmu budak ini mukmin, maka aku akan memerdekakannya." Rasulullah ﷺ bertanya kepada budak perempuan itu, "Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?" Budak perempuan itu menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Apakah engkau telah bersaksi pula bahwa aku adalah utusan Allah?" Si budak menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Apakah engkau beriman dengan hari berbangkit sesudah mati?" Si budak menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Merdekakanlah dia!" Sanad hadits ini sahih. Mengenai nama sahabat yang tidak disebutkan dengan jelas, tidak mengurangi predikat hadits ini. Di dalam kitab Muwatta' Imam Malik, kitab Musnad Imam Syafii, kitab Musnad Imam Ahmad, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Sunan An-Nasai disebutkan sebuah hadits melalui jalur Hilal ibnu Abu Maimunah, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Mu'awiyah ibnul Hakam: Bahwa ketika ia datang membawa budak wanita hitam itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada budak itu, "Di manakah Allah?" Ia menjawab, "Di langit." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Siapakah aku ini?" Ia menjawab, "Utusan Allah." Rasulullah ﷺ bersabda: “Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia beriman.” Firman Allah ﷻ: “Dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (An-Nisa: 92) Kewajiban yang kedua yang dibebankan kepada si pembunuh ialah yang menyangkut kepentingan keluarga si terbunuh, yaitu pembayaran diyat kepada mereka, sebagai kompensasi yang diperuntukkan buat mereka akibat terbunuhnya keluarga mereka. Diyat ini hanyalah diwajibkan dalam bentuk lima bentuk, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah melalui hadits Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Zaid ibnu Jubair, dari Khasyf ibnu Malik, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan: . Rasulullah ﷺ telah memutuskan terhadap diyat kasus pembunuhan secara tidak sengaja dibayar dalam bentuk dua puluh ekor bintu makhad, dua puluh ekor bani makhad, dua puluh ekor bintu labun, dua puluh ekor jaz'ah, dan dua puluh ekor hiqqah. Lafal hadits ini berdasarkan apa yang ada pada Imam An-Nasai. Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Kami tidak mengetahui predikat marfu'nya kecuali melalui jalur sanad ini." Namun diriwayatkan pula hal yang sama secara mauquf dari Abdullah Ibnu Mas'ud, begitu pula dari Ali dan sejumlah sahabat lainnya. Tetapi menurut pendapat yang lain, diyat harus dibagi menjadi empat macam. diyat ini hanya diwajibkan atas aqilah (saudara terdekat) si pembunuh, bukan dibebankan kepada harta si pembunuh. Imam Syafii mengatakan, "Aku belum pernah mengetahui ada yang menentang bahwa Rasulullah ﷺ telah memutuskan diyat ditanggung oleh aqilah (saudara terdekat) si pembunuh. Hal ini jauh lebih banyak daripada hadits yang khusus." Hal yang diisyaratkan oleh Imam Syafii ini memang terbukti banyak hadits yang menerangkan tentangnya. Antara lain adalah hadits yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah yang menceritakan: Bahwa ada dua orang wanita dari kalangan Bani Huzail berkelahi, lalu salah seorang darinya melempar lawannya dengan batu hingga membunuhnya berikut janin yang dikandungnya. Kemudian kedua keluarga yang bersangkutan mengadukan kasus mereka kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa diyat janin si terbunuh ialah memerdekakan seorang budak laki-laki atau budak perempuan, sedangkan keputusan mengenai diyat ibunya dibebankan kepada aqilah (saudara terdekat) si pembunuh. Dapat ditarik kesimpulan dari hadits ini bahwa hukum membunuh mirip dengan sengaja sama dengan hukum membunuh secara keliru adalah dalam hal diyatnya. Akan tetapi, dalam kasus serupa dengan sengaja diyatnya hanya terbagi menjadi tiga macam. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut sebuah hadits melalui Abdullah ibnu Umar: Bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan Khalid ibnul Walid (bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya) ke tempat orang-orang Bani Juzaimah. Lalu Khalid menyeru mereka dan mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka tidak dapat mengatakan, "Kami masuk Islam." Yang mereka katakan hanyalah, "Kami masuk agama Sabiah, kami masuk agama Sabiah." Maka Khalid membunuh mereka. Ketika Rasulullah ﷺ mendengar hal tersebut, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri dari-Mu terhadap apa yang diperbuat oleh Khalid.” Lalu Rasulullah ﷺ mengutus Ali untuk membayar diyat mereka yang terbunuh dan mengganti harta mereka yang dirusak tanpa ada sedikit pun yang tertinggal. Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kekeliruan yang ditimbulkan oleh pihak imam atau wakilnya, kerugiannya dibebankan kepada Baitul Mal. Firman Allah ﷻ: “Kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (An-Nisa: 92) Dalam kasus pembunuhan tidak sengaja diyat harus diserahkan kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika keluarga si terbunuh menyedekahkannya (memaafkannya), maka hukum diyat tidak wajib lagi. Firman Allah ﷻ: “Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan budak yang beriman.” (An-Nisa: 92) Bilamana si terbunuh adalah orang mukmin, tetapi semua keluarganya adalah orang-orang kafir harbi yang bermusuhan dengan kalian, maka tidak ada diyat bagi mereka, dan si pembunuh diwajibkan memerdekakan seorang budak yang mukmin, tanpa ada sanksi lainnya lagi. Firman Allah ﷻ: “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian.” (An-Nisa: 92) Jika keluarga si terbunuh adalah orang-orang kafir zimmi, atau yang ada perjanjian perdamaian dengan kalian, maka mereka mendapat diyatnya. Jika si terbunuh adalah orang mukmin, maka diyatnya lengkap; demikian pula jika si terbunuh kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Tetapi menurut pendapat yang lain, bila si terbunuhnya adalah orang kafir, maka diyatnya hanya separuh diyat orang muslim. Menurut pendapat yang lain lagi, sepertiganya. Rincian mengenai masalah ini dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Si pembunuh diwajibkan pula memerdekakan seorang budak yang mukmin selain diyat tersebut. “Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut.” (An-Nisa: 92) Tidak boleh berbuka barang sehari pun di antara dua bulan itu, melainkan ia lakukan puasanya secara berturut-turut dan langsung hingga bulan yang kedua. Untuk itu jika ia berbuka tanpa uzur sakit atau haid atau nifas, maka ia harus memulainya lagi dari permulaan. Para ulama sehubungan dengan masalah ini berbeda pendapat mengenai orang yang dalam perjalanan, apakah orang yang bersangkutan boleh memutuskannya atau tidak. Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Firman Allah ﷻ: “Agar diterima tobatnya oleh Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 92) Dengan kata lain, begitulah tobat orang yang melakukan pembunuhan tidak disengaja, yaitu apabila ia tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakannya, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya. Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang tidak kuat melakukan puasa, apakah ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin, sebagaimana dalam kifarat zihar? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengiyakan, karena disamakan dengan kifarat dalam masalah zihar. Sesungguhnya alternatif ini tidak disebutkan di dalam ayat, karena kedudukan ayat mengandung makna ancaman, peringatan, dan menakut-nakuti. Maka tidaklah serasi bila disebutkan padanya masalah memberi makan sebagai alternatif lain, karena akan tersirat pengertian mempermudah dan menganggap ringan. Pendapat yang kedua mengatakan tidak boleh berpindah kepada kifarat memberi makan, karena sesungguhnya jika alternatif memberi makan ini hukumnya wajib, niscaya keterangan mengenainya tidak diakhirkan dari saat dibutuhkan. “Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 92) Tafsir mengenai ayat yang berbunyi demikian sering dikemukakan. Ayat 93 Setelah Allah ﷻ menjelaskan hukum pembunuhan secara tidak sengaja, kemudian dijelaskan hukum membunuh dengan sengaja. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (An-Nisa: 93) Ayat ini mengandung makna ancaman yang keras dan peringatan yang tidak mengenal ampun terhadap orang yang melakukan dosa besar ini, yang disebut oleh Allah bergandengan dengan perbuatan syirik dalam banyak ayat dari Kitabullah. Di dalam surat Al-Furqan, Allah ﷻ berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.” (Al-Furqan: 68) Dalam ayat lainnya Allah ﷻ telah berfirman: “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia’." (Al-An'am: 151) Ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan pembunuhan banyak sekali, antara lain ialah sebuah hadits yang disebut di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Mula-mula perkara yang diputuskan di antara manusia pada hari kiamat ialah mengenai masalah darah.” Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui riwayat Amr ibnul Walid ibnu Abdah Al-Masri, dari Ubadah ibnus-Samit, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang mukmin itu masih tetap dalam keadaan berjalan cepat dan baik, selagi ia tidak mengalirkan darah yang diharamkan. Apabila ia mengalirkan darah yang diharamkan, maka terhentilah jalannya (karena lelah dan lemah). Sesungguhnya lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang lelaki muslim. Seandainya bersatu semua penduduk langit dan penduduk bumi dalam membunuh seorang lelaki muslim, niscaya Allah mencampakkan mereka semua ke dalam neraka. Barang siapa ikut terlibat dalam membunuh seorang muslim sekalipun dengan sepatah kata kelak di hari kiamat ia akan datang dalam keadaan di antara kedua matanya tertulis kalimat ‘Orang yang dijauhkan dari rahmat Allah’." Ibnu Abbas mempunyai pendapat tiada tobat (yang diterima) bagi pembunuh orang mukmin dengan sengaja. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Al-Mughirah ibnun Nu'man yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jubair mengatakan, "Ulama Kufah berselisih pendapat mengenai masalah membunuh orang mukmin dengan sengaja. Maka aku (Ibnu Jubair) berangkat menemui Ibnu Abbas, lalu aku tanyakan masalah ini kepadanya. Ia menjawab bahwa telah diturunkan ayat berikut, yaitu firman-Nya: ‘Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam’.” (An-Nisa: 93) Ayat ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan (berkenaan dengan masalah hukum, pent.) dan tiada suatu ayat lain pun yang me-mansukh-nya (merevisinya). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Syu'bah dengan lafal yang sama. Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Imam Ahmad ibnu Hambal, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Mughirah ibnun Nu'man, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam.” (An-Nisa: 93) Ibnu Abbas mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang menasakh (merevisi) ayat ini. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Abza menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam.” (An-Nisa: 93), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab bahwa ayat ini tiada yang menasakh (merevisi)nya. Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah.” (Al-Furqan: 68), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mansur, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair; atau telah menceritakan kepadaku Al-Hakam, dari Sa'id ibnu Jubair yang pernah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam.” (An-Nisa: 93) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya seorang lelaki itu apabila telah mengetahui Islam dan syariat-syariat (hukum-hukum)nya, kemudian ia membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam dan tiada tobat baginya." Ketika aku (Sa'id ibnu Jubair) beritahu jawaban tersebut kepada Mujahid, maka Mujahid mengatakan, "Kecuali orang yang menyesali perbuatannya (yakni bertobat)." . Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Yahya Al-Jabiri, dari Salim ibnu Abul Ja'd yang mengatakan, "Ketika kami berada di dalam rumah Ibnu Abbas sesudah kedua matanya mengalami kebutaan, maka datanglah seorang lelaki, lalu bertanya kepadanya, 'Wahai Abdullah Ibnu Abbas, bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja?' Maka Ibnu Abbas menjawab, 'Balasannya ialah neraka Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya serta melaknatinya dan menyediakan baginya azab yang besar.' Lelaki itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah menurutmu, bila si pembunuh itu bertobat dan beramal saleh serta menempuh jalan hidayah?' Ibnu Abbas menjawab, 'Semoga ibunya kehilangan dia (kata-kata cacian), mana mungkin tobatnya diterima dan dapat memperoleh hidayah? Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi kalian bersabda: ‘Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu pembunuh seorang mukmin dengan sengaja. Kelak di hari kiamat si terbunuh dengan leher yang berlumuran darah datang seraya membawa si pembunuh dengan tangan kanan atau tangan kirinya ke hadapan Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah. Si terbunuh memegang si pembunuh dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang kepala si pembunuh; si terbunuh berkata: ‘Ya Tuhanku, tanyakanlah kepadanya, kenapa dia membunuhku?’ Demi Tuhan yang jiwa Abdullah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya sejak ayat ini diturunkan, tiada ayat lain yang me-mansukh-nya (merevisinya) hingga Nabi kalian wafat, dan sesudah turunnya ayat ini tiada suatu bukti pun yang merevisinya'." . Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Yahya ibnul Mujiz menceritakan hadits berikut dari Salim, dari Ibnu Abul Ja'd, dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang membunuh lelaki lain (yang mukmin) dengan sengaja?" Ibnu Abbas menjawabnya dengan membacakan firman Allah ﷻ: “Maka balasannya adalah Jahanam, kekal ia di dalamnya.” (An-Nisa: 93) Lelaki itu bertanya lagi, bahwa ayat ini merupakan ayat (hukum) yang paling akhir diturunkan, tiada suatu ayat pun yang me-mansukh-nya hingga Rasulullah ﷺ wafat, dan memang tiada wahyu yang turun sesudah kepergian beliau ﷺ. “Bagaimanakah pendapatmu jika ternyata si pembunuh itu bertobat, beriman, dan beramal saleh serta mendapatkan hidayah?" Ibnu Abbas menjawab, "Mana mungkin tobatnya diterima? Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu seorang lelaki yang membunuh lelaki lain dengan sengaja, kelak di hari kiamat si terbunuh akan membawa pembunuhnya dengan tangan kanan atau tangan kirinya memegang kepala si pembunuh sedangkan dia sendiri dalam keadaan berlumuran darah pada lehernya. Dia datang ke hadapan Arasy, lalu berkata, ‘Wahai Tuhanku, tanyailah hamba-Mu ini, mengapa dia membunuhku’." Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnus Sabbah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ammar Az-Zahabi dan Yahya Al-Jabiri serta Sabit As-Samali, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ibnu Abbas. Lalu ia mengetengahkan hadits ini. Hal ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dari Ibnu Abbas. Di antara ulama Salaf yang berpendapat tidak ada tobat bagi si pembunuh dengan sengaja ialah Zaid ibnu Sabit, Abu Hurairah, Abdullah ibnu Umar, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ubaid ibnu Umair, Al-Hasan, Qatadah, dan Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Demikianlah menurut apa yang dinukil oleh Ibnu Abu Hatim. Banyak hadits yang menerangkan bab ini, antara lain ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya sebagai berikut: . Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Sa'id Al-Busyanji, telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Fahd; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-A'masy, dari Abu Amr ibnu Syurahbil berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Kelak di hari kiamat orang yang terbunuh datang dengan membawa pembunuhnya seraya memegang kepala si pembunuh dengan tangan yang lainnya, lalu berkata, "Wahai Tuhanku, tanyailah orang ini, mengapa dia membunuhku?" Maka si pembunuh menjawab, "Aku membunuhnya untuk membela keagungan-Mu." Maka Allah berfirman, "Sesungguhnya keagungan itu adalah milik-Ku." Lalu didatangkan lagi orang lain yang menyeret pembunuhnya, kemudian ia berkata, "Wahai Tuhanku, tanyakanlah kepada orang ini, mengapa dia membunuhku." Si pembunuh menjawab, "Aku telah membunuhnya untuk membela keagungan si Fulan." Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya si Fulan tidak memiliki keagungan, maka pikullah dosanya." Lalu si pembunuh dicampakkan ke dalam neraka dan jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh musim gugur (tahun). Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aufi, dari Amr ibnu Asim, dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan lafal yang sama. Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muawiyah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Semua dosa masih mempunyai harapan untuk diampuni oleh Allah, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, dari Muhammad ibnul Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafal yang sama. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Simawaih, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la ibnu Mishar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Dihqan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Zakaria; ia pernah mendengar Ummu Darda mengatakan, "Aku pernah mendengar Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Semua dosa mudah-mudahan Allah ampuni kecuali orang yang mati dalam keadaan musyrik, atau orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja'." Ditinjau dari sanad ini, hadits berpredikat gharib jiddan (sangat aneh), karena hadits yang terkenal dan dihafal adalah hadits Mu'awiyah tadi. Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah ibnul Walid, dari Nafi' ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku Ibnu Jubair Al-Ansari, dari Daud Al-Husain, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berarti ia telah kafir terhadap Allah ﷻ.” Hadis ini berpredikat munkar (diriwayatkan oleh perawi yang sering lupa, sering melakukan kesalahan, dan berbuat fasik terang-terangan); di dalam sanadnya masih banyak hal yang diragukan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Humaid, telah datang kepadanya Abul Aliyah yang saat itu sedang bersama seorang temannya. Maka Abul Aliyah berkata kepada kami berdua, "Kemarilah kamu berdua, kamu berdua lebih muda daripada aku dan lebih kuat hafalan hadisnya dibandingkan diriku." Lalu Abul Aliyah membawa kami kepada Bisyr ibnu Asim. Sesampainya di rumah Bisyr ibnu Asim, Abul Aliyah berkata kepadanya, "Ceritakanlah haditsmu kepada kedua orang ini." Maka Bisyr ibnu Asim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Malik Al-Laisi hadits berikut: Rasulullah ﷺ mengirimkan suatu pasukan khusus untuk memerangi suatu kaum. Lalu ada seorang lelaki bergabung dengan kaum tersebut, yang segera diikuti oleh seorang lelaki dari kalangan pasukan Sariyyah seraya menghunus pedangnya. Lelaki dari kalangan kaum itu berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang muslim." Tetapi lelaki dari Sariyyah itu tidak mempedulikan kata-katanya, melainkan langsung memukulnya dengan pedang hingga ia terbunuh. Kemudian kejadian itu sampai kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau ﷺ mengucapkan kata-kata yang berat terhadap peristiwa itu. Ketika si pembunuh sampai, yang saat itu Rasulullah ﷺ sedang berkhotbah, maka si pembunuh itu berkata, "Demi Allah, tidak sekali-kali si terbunuh itu mengucapkan kata-kata pengakuannya, melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan." Rasulullah ﷺ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang ada di belakang lelaki itu, lalu beliau melanjutkan khotbahnya. Kemudian lelaki itu berkata lagi, "Wahai Rasulullah, tidak sekali-kali dia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan." Rasulullah ﷺ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang datang bersamanya, lalu melangsungkan khotbahnya. Lelaki itu tidak sabar hingga ia berkata untuk yang ketiga kalinya, "Demi Allah wahai Rasulullah, tidak sekali-kali ia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan." Maka kali ini Rasulullah ﷺ menghadapkan wajahnya ke arah lelaki itu, sedangkan wajah beliau ﷺ tergambar rasa penyesalan yang sangat. Lalu beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menolak (tobat) orang yang membunuh seorang mukmin.” Sabda ini diulangnya hingga tiga kali. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Sulaiman ibnul Mughirah. Tetapi pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf ialah pendapat yang mengatakan bahwa seorang pembunuh masih mempunyai harapan untuk bertobat antara dia dan Allah ﷻ. Untuk itu, jika ia benar-benar tobat dan kembali ke jalan yang benar serta bersikap khusyuk, tawaduk, dan beramal saleh, maka Allah akan mengganti keburukannya dengan kebaikan, memberikan ganti kepada si terbunuh dengan diambil perbuatan-perbuatan zalimnya, hingga Allah rida kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Allah ﷻ telah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah.” (Al-Furqan: 68) sampai dengan firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh.” (Al-Furqan: 70) Ini merupakan hadits yang tidak boleh dimansukh (direvisi), sedangkan mengenai interpretasi hal ini ditujukan kepada orang-orang musyrik, dan ayat surat An-Nisa diinterpretasikan kepada orang-orang mukmin merupakan hal yang bertentangan dengan makna lahiriah ayat, dan masih diperlukan adanya dalil yang menunjukkan kepada takwil tersebut (yang mengatakan bahwa pelaku berdosa besar, masuk neraka, dan tiada tobat baginya). Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah’." (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Makna ayat ini umum mencakup semua dosa, seperti kekufuran, kemusyrikan, keraguan, munafik, membunuh jiwa, perbuatan fasik dan lain-lain. Dengan kata lain, barang siapa yang bertobat dari hal-hal tersebut, niscaya Allah menerima tobatnya. Dalam ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48 dan 116) Ayat ini umum pengertiannya mencakup semua jenis dosa selain dosa menyekutukan Allah. Ayat yang bermakna demikian disebutkan dalam surat An-Nisa, sesudah dan sebelum ayat ini (ayat 93), untuk memperkuat harapan. Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah kisah di kalangan kaum Bani Israil di masa silam, yaitu seorang lelaki dari kalangan mereka sempat membunuh seratus orang. Lalu ia bertanya kepada orang yang alim dari kalangan mereka, "Apakah masih ada tobat bagiku?" Orang alim itu menjawab, "Tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi antara kamu dan tobat." Selanjutnya orang alim itu menunjukkan kepadanya sebuah kampung yang penduduknya menyembah Allah ﷻ, dan menganjurkannya untuk pindah ke kampung tersebut. Maka si lelaki tersebut hijrah ke kampung yang dimaksud; tetapi di tengah jalan, maut merenggutnya. Pada akhirnya lelaki itu dibawa oleh malaikat rahmat, seperti yang sering kami kisahkan di tempat yang lain. Apabila hal semacam ini bisa terjadi di kalangan kaum Bani Israil, maka tentu akan lebih diterima lagi tobat yang dilakukan oleh umat ini, karena Allah ﷻ telah melepaskan semua beban dan belenggu dari umat ini tidak seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu, dan Allah ﷻ mengutus Nabi kita dengan membawa syariat yang cenderung kepada kebenaran dan penuh dengan toleransi. Adapun mengenai makna firman-Nya yang mengatakan: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (An-Nisa: 93), hingga akhir ayat. Maka sahabat Abu Hurairah dan sejumlah ulama Salaf mengatakan bahwa memang demikianlah balasannya, jika Allah hendak mengazabnya. Ibnu Mardawaih meriwayatkan atsar ini berikut sanadnya secara marfu' melalui jalur Muhammad ibnu Jami' Al-Attar, dari Al-Ala ibnu Maimun Al-Anbari, dari Hajjaj Al-Aswad, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah secara marfu'. Akan tetapi, tidak sah bila makna ayat ini diartikan bahwa memang itulah balasannya jika dibalaskan kepadanya. Demikian pula halnya dalam semua ancaman atas suatu perbuatan dosa. Tetapi memang demikian keadaannya karena adanya penghalang berupa amal-amal saleh yang mencegah sampainya balasan tersebut kepada pelakunya; demikian menurut kedua pendapat yang terdapat di dalam kitab Muwazanah dan kitab Al-Ihbat. Pendapat terakhir ini merupakan jalan keluar yang paling baik dalam menerangkan Bab Wa'id (ancaman). Bilamana diinterpretasikan bahwa pelaku pembunuhan dimasukkan ke dalam neraka, maka menurut pendapat Ibnu Abbas dan para pendukungnya, pengertian ini diinterpretasikan ‘tidak ada tobat baginya.’ Atau kalau menurut pendapat jumhur ulama dengan interpretasi ‘dia tidak mempunyai amal saleh yang dapat menyelamatkan dirinya’ maka yang tersimpul dari semua pendapat menunjukkan bahwa si pembunuh tidak kekal di dalam neraka, melainkan istilah kekal di sini hanya menunjukkan pengertian masa tinggal yang sangat lama. Sebagai buktinya banyak hadits mutawatir dari Rasulullah ﷺ yang menyatakan bahwa kelak akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat iman yang beratnya lebih kecil daripada biji sawi (biji zarrah). Adapun mengenai hadits Mu'awiyah yang mengatakan: “Semua dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Pengertian lafal asa dalam ayat ini menunjukkan makna tarajji (harapan). Apabila pengertian tarajji pada kedua gambaran tersebut tidak ada, bukan berarti meniadakan terjadinya tarajji pada salah satu dari kedua gambaran itu. Yang dimaksud ialah membunuh, karena adanya banyak dalil, seperti yang telah kami kemukakan di atas. Orang yang mati dalam keadaan kafir, menurut nas dinyatakan bahwa Allah sama sekali tidak akan memberikan ampunan baginya. Mengenai tuntutan si terbunuh terhadap si pembunuh kelak di hari kiamat, sesungguhnya hal ini termasuk hak-hak yang menyangkut anak Adam di antara sesama mereka. Hal ini jelas tidak dapat dihapus dengan tobat, melainkan sudah merupakan suatu keharusan urusannya dikembalikan kepada mereka yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang yang terbunuh dan orang yang dicuri, orang yang digasab dan orang yang dituduh berbuat zina, dan semua hak yang menyangkut anak Adam. Karena sesungguhnya ijma' telah sepakat bahwa hak-hak anak Adam tidak dapat digugurkan oleh tobat, melainkan harus dikembalikan kepada mereka yang berhak agar tobatnya diterima. Jika pengembalian hak ini tidak dapat dilaksanakan di dunia, pasti di hari kiamat akan dituntut. Tetapi adanya tuntutan ini tidak memastikan adanya pembalasan, karena barangkali si pembunuh mempunyai banyak amal saleh yang keseluruhan atau sebagiannya dapat dibayarkan kepada si terbunuh. Kemudian dengan sisa amal saleh yang masih dimilikinya, akhirnya ia dapat masuk surga karenanya. Atau barangkali Allah memberikan kepada si terbunuh ganti rugi menurut apa yang dikehendaki-Nya dari kemurahan-Nya, yaitu berupa gedung-gedung di dalam surga berikut semua kenikmatan yang ada di dalamnya, dan derajatnya ditinggikan di dalamnya, serta lain sebagainya yang serupa. Selanjutnya bagi pelaku pembunuhan secara sengaja terdapat ketentuan-ketentuan hukumnya di dunia dan ketentuan-ketentuan hukumnya di akhirat. Mengenai ketentuan hukumnya di dunia adalah ia diserahkan kepada para wali si terbunuh, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.” (Al Isra: 33), hingga akhir ayat. Kemudian ahli waris si terbunuh disuruh memilih antara membunuh si pembunuh, atau memaafkan atau menerima diyat berat yang terdiri atas tiga macam, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor unta jaz'ah, dan empat puluh ekor unta khilfah, seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab fiqih. Para imam berbeda pendapat mengenai masalah memerdekakan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut ataukah memberi makan, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat, seperti ketentuan yang telah disebutkan dalam keterangan kifarat membunuh secara tersalah (tidak sengaja). Ada dua pendapat mengenainya. Menurut pendapat Imam Syafii, semua muridnya, dan segolongan ulama, kifarat hukumnya wajib atas si pembunuh. Karena jika dalam kasus pembunuhan secara tidak disengaja ia diwajibkan membayar kifarat, maka terlebih lagi dalam kasus pembunuhan secara sengaja. Mereka mengkiaskan hal ini dengan masalah sumpah palsu, dan mengemukakan alasannya dengan menyebutkan masalah qada shalat yang ditinggalkan secara sengaja; bahwa menurut kesepakatan mereka, wajib pula mengqadha shalat yang ditinggalkan secara tidak sengaja. Murid-murid Imam Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa pembunuhan secara disengaja terlalu berat dosanya bila dihapus dengan kifarat. Maka tidak ada kifarat dalam kasus pembunuhan disengaja. Hal yang sama dikatakan pula terhadap kasus sumpah palsu, dan tiada jalan untuk membedakan antara kedua masalah tersebut dan masalah meninggalkan shalat dengan sengaja, karena sesungguhnya mereka mengatakan wajib meng-qada shalat bila ditinggalkan dengan sengaja. Orang-orang yang berpendapat wajib membayar kifarat dalam kasus pembunuhan secara sengaja berpegang kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Amir ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif ibnu Ayyasy, dari Wailah ibnul Asqa' yang menceritakan bahwa segolongan orang dari Bani Sulaim datang kepada Nabi ﷺ, lalu mereka bertanya, "Sesungguhnya seorang teman dari kalangan kami yang pasti masuk neraka karena pernah membunuh." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang akan ditebus oleh Allah setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka.” Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif Ad-Dailami yang menceritakan, "Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa', lalu kami berkata, 'Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah ﷺ'." Wasilah mengatakan, "Kami datang kepada Rasulullah ﷺ sehubungan dengan seorang teman kami yang telah melakukan perbuatan dosa besar (membunuh) yang memastikannya masuk neraka. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Merdekakanlah oleh kalian seorang budak untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai melalui hadits Ibrahim ibnu Abu Ablah dengan lafal yang sama. Menurut lafal Imam Abu Dawud, dari Al-Garif Ad-Dailami, disebutkan seperti berikut: Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa', lalu kami berkata kepadanya, "Ceritakanlah sebuah hadits yang tidak kamu tambah-tambahi dan tidak pula kamu kurangi kepada kami." Maka Wasilah marah dan mengatakan, "Rupanya seseorang dari kalian biasa membaca Al-Qur'an yang ia gantungkan di dalam rumahnya, lalu ia menambah-nambah dan mengurangi bacaannya." Kami berkata, "Sesungguhnya kami hanya bermaksud sebuah hadits yang engkau dengar secara langsung dari Rasulullah ﷺ sendiri." Wasilah menjawab, "Kami pernah menghadap Rasulullah ﷺ sehubungan dengan seorang teman kami yang wajib masuk neraka (karena telah membunuh seseorang). Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Merdekakanlah seorang budak oleh kalian untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'."

An-Nisa': 93

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat