An-Nisa': 33

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَلِكُلّٖ
dan bagi tiap-tiap
جَعَلۡنَا
Kami jadikan
مَوَٰلِيَ
pewaris-pewaris
مِمَّا
dari apa (harta)
تَرَكَ
meninggalkan/(peninggalan)
ٱلۡوَٰلِدَانِ
kedua orang tua
وَٱلۡأَقۡرَبُونَۚ
dan kerabat
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
عَقَدَتۡ
telah mengikat
أَيۡمَٰنُكُمۡ
sumpahmu
فَـَٔاتُوهُمۡ
maka berilah mereka
نَصِيبَهُمۡۚ
bagian mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
شَهِيدًا
menjadi saksi (menyaksikan)

Terjemahan

Bagi setiap (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, berikanlah bagian itu kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 33 Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli waris). Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas, mawali artinya para 'asabah (ahli waris laki-laki). Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Tunggulah, wahai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu terpendam!” Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya: “Dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.” (An-Nisa: 33) Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat. Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, wahai manusia, telah kami tetapkan para 'asabah (ahli waris) yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya. Firman Allah ﷻ: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian dan mereka, berikanlah mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara kalian. Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini dimansukh (direvisi) sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah pewaris-pewaris. “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi ﷺ di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan.” (An-Nisa: 33) maka hukum tersebut dimansukh (direvisi). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat. Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33), hingga akhir ayat. Dahulu kaum Muhajirin ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena berkat persaudaraan yang dicanangkan oleh Rasulullah ﷺ di antara mereka. Ketika diturunkan firman-Nya: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.“ (An-Nisa: 33) maka ketentuan tersebut dimansukh, kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam, seorang lelaki mengadakan transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia mengatakan kepadanya, "Engkau dapat mewarisiku dan aku dapat mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di kalangan banyak kabilah, yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap sumpah setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah, kemudian dijumpai di masa Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya melainkan hanya memperkuatnya; tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah setia lagi di masa Islam. Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat ini, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah.” (Al-Anfal: 75) Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, ‘Atha’, Al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar, Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Suddi, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka) adalah hulafa (saudara sepakta). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi sumpah pakta apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya memperkuatnya.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Said ibnu Ibrahim, dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafal yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki, dari Syarik, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda. Telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman maula keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf (sumpah setia) dalam Islam; dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak menggembirakan diriku bila aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat melanggar hilf yang pernah dilakukan di Darun Nudwah.” Demikianlah menurut lafal Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya, dari Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku menyaksikan hilf Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama paman-pamanku, dan aku tidak suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul, tetapi harus dengan melanggar hilf tersebut.” Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf melainkan menambahkan kepadanya kekukuhan.” Nabi ﷺ telah bersabda pula: “Tidak ada hilf dalam Islam.” Sesungguhnya Nabi ﷺ pernah menyatukan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bisyr ibnul Mufaddal, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan selengkapnya. Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hilf, maka Nabi ﷺ bersabda: “Pegang teguhlah oleh kalian hilf yang dilakukan di masa Jahiliah, tetapi tidak ada hilf lagi di dalam Islam.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari Hasyim. Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu Jad'an, dari neneknya dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf dalam Islam; dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.” Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ memasuki Mekah pada hari kemenangan atas kota Mekah, maka beliau berdiri seraya berkhotbah kepada orang-orang banyak. Beliau bersabda: “Wahai manusia sekalian, hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan, tetapi tidak ada lagi hilf dalam Islam.” Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadits Husain Al-Mu'allim dan Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibnu Muhammad (yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanad dan dengan lafal yang serupa. Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Usman, dari Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta Abu Usamah, ketiga-tiganya dari Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanad dan dengan lafal yang serupa. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Muhammad ibnu Bisyr dengan lafal yang sama. Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui hadits Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hilf. Maka beliau ﷺ bersabda: “Terhadap hilf yang telah terjadi di masa Jahiliah, pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada lagi hilf dalam Islam.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam), dari ayahnya dengan lafal yang sama. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain yang menceritakan bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi' bersama anak laki-laki Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca firman-Nya kepada Ummu Sa'd dengan qiraah (bacaan) berikut: “Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah setia kepada kalian.” (An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu, tetapi seperti ini," yaitu: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur Rahman), yaitu ketika Abdur Rahman menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman masuk Islam saat Islam mulai melakukan peperangan, maka Allah memerintahkan agar Abu Bakar memberikan bagian warisan kepada Abdur Rahman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Akan tetapi, pendapat ini gharib (asing). Pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada permulaan Islam, mereka saling mewaris melalui hilf (sumpah setia), kemudian ketentuan ini dimansukh (dihapuskan). Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf masih membekas, sekalipun mereka diperintahkan agar menunaikan janji-janji dan semua transaksi serta hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu. Dalam hadits Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di atas, juga sahabat lainnya menyebutkan: “Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.” Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa di masa sekarang ada saling mewaris karena hilf, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya. Mengingat firman Allah ﷻ menyebutkan: “Kami telah menetapkan pewaris-pewaris dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabatnya.” (An-Nisa: 33) Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak, juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang lain. Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing; dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling dekat.” Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam dua ayat faraid; dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada asabah (ahli waris laki-laki). Firman Allah ﷻ: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Yakni sebelum turunnya ayat ini. “Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang, juga hukum hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia). Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid serta Abu Malik dengan lafal yang serupa. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka.” (An-Nisa: 33) Di masa lalu seorang lelaki mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian.” (Al-Ahzab: 6) Allah ﷻ bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian.” (Al-Ahzab: 6) Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud adalah berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya: “Maka berilah mereka bagiannya.” (An-Nisa: 33) Berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewarisi). Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam (berketetapan hukum) dan tidak dimansukh (direvisi). Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi, seperti yang diriwayatkan oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?

An-Nisa': 33

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat