An-Nisa': 23

Ayat

Terjemahan Per Kata
حُرِّمَتۡ
diharamkan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
أُمَّهَٰتُكُمۡ
ibu-ibumu
وَبَنَاتُكُمۡ
dan anak-anak perempuanmu
وَأَخَوَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuanmu
وَعَمَّـٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan bapakmu
وَخَٰلَٰتُكُمۡ
dan saudara-saudara perempuan ibumu
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأَخِ
saudaramu laki-laki
وَبَنَاتُ
dan anak-anak perempuan
ٱلۡأُخۡتِ
saudaramu perempuan
وَأُمَّهَٰتُكُمُ
dan ibu-ibumu
ٱلَّـٰتِيٓ
yang
أَرۡضَعۡنَكُمۡ
menyusui kamu
وَأَخَوَٰتُكُم
dan saudara-saudara perempuanmu
مِّنَ
dari
ٱلرَّضَٰعَةِ
sepersusuan
وَأُمَّهَٰتُ
dan ibu-ibu
نِسَآئِكُمۡ
isterimu
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
dan anak-anak isterimu
ٱلَّـٰتِي
yang
فِي
dalam
حُجُورِكُم
pemeliharaanmu
مِّن
dari
نِّسَآئِكُمُ
isteri-isteri kamu
ٱلَّـٰتِي
yang
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
تَكُونُواْ
kalian menjadi
دَخَلۡتُم
kamu masuki/campuri
بِهِنَّ
dengan mereka
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَحَلَٰٓئِلُ
dan isteri-isteri
أَبۡنَآئِكُمُ
anak-anakmu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِنۡ
dari
أَصۡلَٰبِكُمۡ
tulang rusukmu/anak kandungmu
وَأَن
dan bahwa
تَجۡمَعُواْ
kamu menghimpun
بَيۡنَ
antara
ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
dua perempuan bersaudara
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
قَدۡ
sungguh
سَلَفَۗ
yang lalu/lampau
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang

Terjemahan

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 23 Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat 23 Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang mengharamkan mengawini wanita mahram dari segi nasab dan hal-hal yang mengikutinya, yaitu karena sepersusuan dan mahram karena menjadi mertua, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman ibnu Mahdi, dari Sufyan ibnu Habib, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Telah diharamkan bagi kalian tujuh wanita dari nasab dan tujuh wanita karena mertua (hubungan perkawinan)." Lalu ia membacakan firman-Nya: “Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian” (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya ibnu Said, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ismail ibnu Raja, dari Umair maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diharamkan tujuh orang karena nasab dan tujuh orang pula karena sihrun (kerabat karena perkawinan). Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: ”Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian” (An-Nisa: 23) Mereka adalah mahram dari nasab. Jumhur ulama menyimpulkan dalil atas haramnya anak perempuan yang terjadi akibat air mani zina bagi pelakunya berdasarkan keumuman makna firman-Nya: “Dan anak-anak perempuan kalian.” (An-Nisa: 23) Walau bagaimanapun keadaannya, ia tetap dianggap sebagai anak perempuan, sehingga pengertiannya termasuk ke dalam keumuman makna ayat. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Menurut riwayat dari Imam Syafii, boleh mengawininya, mengingat anak tersebut bukan anak perempuannya menurut syara'. Sebagaimana pula ia (anak perempuan tersebut) tidak termasuk ke dalam pengertian firman-Nya: “Allah telah mensyariatkan bagi kalian tentang pembagian warisan, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa: 11) Dengan alasan apa pun ia tidak dapat mewarisi menurut kesepakatan. Maka ia pun tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini (An-Nisa:23). Firman Allah ﷻ: “Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian.” (An-Nisa: 23) Sebagaimana diharamkan atas kalian mengawini ibu kalian yang telah melahirkan kalian, maka diharamkan pula atas diri kalian mengawini ibu kalian yang telah menyusukan kalian. Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui hadits Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah binti Abdur Rahman, dari Siti Aisyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya persusuan itu dapat menjadikan mahram sebagaimana mahram karena kelahiran.” Menurut lafal Imam Muslim disebutkan: “Diharamkan karena persusuan hal-hal yang diharamkan karena nasab.” Sebagian kalangan ulama fiqih mengatakan bahwa semua hal yang diharamkan karena hubungan nasab diharamkan pula karena hubungan persusuan, kecuali dalam empat hal. Sebagian dari mereka mengatakan enam hal. Semuanya itu disebutkan di dalam kitab-kitab furu' (fiqih). Akan tetapi, menurut penelitian disimpulkan bahwa tidak ada sesuatu pun dari hal tersebut yang dikecualikan, mengingat dijumpai persamaan sebagiannya dalam nasab, sedangkan sebagian yang lain sebenarnya diharamkan karena ditinjau dari segi kekerabatan karena nikah. Untuk itu, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang dikecualikan oleh hadits menurut kaidah asalnya. Para imam berbeda pendapat mengenai bilangan penyusuan yang dapat menyebabkan mahram. Sebagian di antara mereka berpendapat, dinilai menjadi mahram hanya dengan penyusuan saja karena berdasarkan keumuman makna ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, dan diriwayatkan dari Ibnu Umar. Pendapat ini pulalah yang dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, dan Az-Zuhri. Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak menjadikan mahram bila persusuan kurang dari tiga kali, karena berdasarkan kepada sebuah hadits di dalam kitab Shahih Muslim, melalui jalur Hasyim ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.” Qatadah meriwayatkan dari Abul Khalil, dari Abdullah ibnul Haris, dari Ummul Fadl yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak menjadikan mahram sekali persusuan, dan (tidak pula) dua kali persusuan; juga sekali sedotan, serta tidak pula dua kali sedotan.” Menurut lafal yang lain disebutkan: “Tidak menjadikan mahram sekali kenyotan dan tidak pula dua kali kenyotan.” Hadits riwayat Imam Muslim. Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, dan Abu Sur. Hadits ini diriwayatkan pula dari Ali, Siti Aisyah, Ummul Fadl, Ibnuz Zubair, Sulaiman ibnu Yasar dan Sa'id ibnu Jubair. Ulama lainnya berpendapat tidak dapat menjadikan mahram persusuan yang kurang dari lima kali, karena berdasarkan kepada hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu termasuk di antara ayat Al-Qur'an yang diturunkan ialah firman-Nya: “Sepuluh kali persusuan yang telah diketahui dapat menjadikan mahram.” Kemudian hal ini dimansukh oleh lima kali persusuan yang diketahui. Lalu Nabi ﷺ wafat, sedangkan hal tersebut termasuk bagian dari Al-Qur'an yang dibaca. Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah hal yang serupa. Di dalam hadits Sahlah (anak perempuan Suhail) disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan kepadanya agar menyusukan Salim maula Abu Huzaifah sebanyak lima kali persusuan. Disebutkan bahwa Siti Aisyah selalu memerintahkan kepada orang yang menginginkan masuk bebas menemuinya agar menyusu lima kali persusuan kepadanya terlebih dahulu. Hal inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dan murid-muridnya. Kemudian perlu diketahui bahwa hendaknya masa persusuan harus dilakukan dalam usia masih kecil, yakni di bawah usia dua tahun, menurut pendapat jumhur ulama. Pembahasan mengenai masalah ini telah kami kemukakan di dalam surat Al-Baqarah, yaitu pada tafsir firman-Nya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233) Para ulama berselisih pendapat tentang kemahraman akibat air susu dari pihak ayah persusuan. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan penganut Imam yang empat dan lain-lainnya: Apakah persusuan mengakibatkan mahram hanya dari pihak ibu persusuan dan tidak merembet sampai kepada pihak ayah persusuan seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf. Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Pembahasan masalah ini secara rinci hanya didapat pada kitab-kitab fiqih. Firman Allah ﷻ: “Ibu-ibu istri kalian (mertua kalian); anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya.” (An-Nisa: 23) Adapun mengenai mertua perempuan, ia langsung menjadi mahram begitu si lelaki mengawini anak perempuannya baik ia telah menggaulinya maupun belum menggaulinya. Mengenai anak tiri perempuan (yakni anak istri), hukumnya masih belum dikatakan mahram sebelum orang yang bersangkutan menggauli ibunya. Jika si lelaki yang bersangkutan terlebih dahulu menceraikan ibunya sebelum digauli, maka diperbolehkan baginya mengawini anak perempuan bekas istrinya yang belum digauli itu. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa: 23) Ketentuan ini hanya khusus bagi anak tiri saja. Akan tetapi, sebagian ulama memahami kembalinya damir kepada ummahat dan rabaib. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun dari istri dan tiada pula dari anak tiri dikatakan menjadi mahram hanya dengan sekadar melakukan akad nikah dengan salah seorangnya, sebelum si lelaki yang bersangkutan menggaulinya. Karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Tetapi jika kamu belum bercampur dengan mereka (salah seorang dari istri dan anak tirimu) itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (An-Nisa: 23) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi dan Abdul Alaa, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Jallas ibnu Amr, dari Ali sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu menceraikannya sebelum menggaulinya, apakah si lelaki yang bersangkutan boleh mengawini ibu si wanita itu? Ali menjawab bahwa ibu si wanita itu sama kedudukannya dengan rabibah (anak tiri perempuan). Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Qatadah, dari Said ibnul Musayyab, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum menggaulinya. tidak ada dosa baginya jika ia mengawini ibu bekas istrinya itu." Menurut riwayat yang lain, dari Qatadah, dari Said, dari Zaid ibnu Sabit, ia pernah mengatakan, "Apabila si istri mati dan si suami menerima warisannya, maka makruh baginya menggantikannya dengan ibunya. Tetapi jika si suami terlebih dahulu menceraikannya sebelum menggaulinya maka jika ia suka ia boleh mengawini ibunya.” Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Abdur Razzaq, dan Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Hafs telah menceritakan kepadanya dari Muslim ibnu Uwaiinir Al-Ajda, bahwa Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikahkan dirinya dengan seorang wanita di Taif. Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, "Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak." Ayahku berkata (kepadaku), "Maukah engkau mengawini ibunya?" Bakr ibnu Kinanah mengatakan, “Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut. Ternyata ia berkata, 'Kawinilah ibunya!'." Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, "Jangan kamu kawini dia." Setelah itu aku ceritakan apa yang dikatakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu'awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu'awiyah menjawab, "Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut, karena wanita selainnya cukup banyak." Dalam jawabannya itu Mu'awiyah tidak melarang tidak pula mengizinkan aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku). Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Sammak ibnul Fadl, dari seorang lelaki, dari Abdulllah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa rabibah (anak tiri) dan ibunya sama saja, boleh dinikahi salah satunya jika lelaki yang bersangkutan masih belum menggauli istrinya. Akan tetapi, di dalam sanad riwayat ini terkandung misteri. Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah ibnu Kalid (Khalid), bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua), dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.” (An-Nisa: 23) Makna yang dimaksud ialah bila menggauli kedua-duanya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnuz Zubair, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibnu Abbas. Sedangkan Muawiyah bersikap abstain (diam) dalam masalah ini. Orang-orang dari kalangan mazhab Syafii yang berpendapat demikian ialah Abul Hasan Ahmad As-Sabuni menurut apa yang dinukil oleh Imam Rafi'i dari Al-Abbadi. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud hal yang serupa, tetapi setelah itu ia mencabut kembali pendapatnya. Imam Ath-Thabarani mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Duburi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ats-Tsauri, dari Abu Farwah, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud, bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani Kamakh dari Fazzarah mengawini seorang wanita, lalu ia melihat ibu istrinya dan ternyata menyukainya. Kemudian lelaki itu meminta fatwa Ibnu Mas'ud, maka Ibnu Mas'ud memerintahkan kepadanya agar segera menceraikan istrinya, lalu boleh kawin dengan ibu istrinya. Dari perkawinan itu ia memperoleh banyak anak. Kemudian Ibnu Mas'ud datang ke Madinah, dan ada orang yang menanyakan masalah tersebut. maka ia mendapat berita bahwa hal tersebut tidak halal. Ketika ia kembali ke Kufah. berkatalah ia kepada lelaki tadi, "Sesungguhnya istrimu itu haram bagimu." Lalu si lelaki menceraikan istrinya. Jumhur ulama berpendapat bahwa rabibah tidak menjadikan mahram hanya karena melakukan akad nikah dengan ibunya. Lain halnya dengan ibu; sesungguhnya rabibah langsung menjadi mahramnya setelah ia melakukan akad nikah dengan ibunya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Haain ibnu Urwah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya sebelum ia menggauli (mencampuri)nya, atau si istri meninggal dunia (sebelum sempat ia menggaulinya), maka ibu istrinya tidak halal baginya.” Menurut riwayat yang lain, Ibnu Abbas pernah mengatakan, "'Sesungguhnya masalah ini masih misteri." Maka ia memutuskan itu sebagai hal yang makruh. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Imran ibnu Husain, Masaiq, Tawus, Ikrimah, ‘Atha’, Al-Hasan, Makhul, Ibnu Sirin, Qatadah, dan Az-Zuhri hal yang serupa. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab yang empat dan ulama fiqih yang tujuh orang, serta kebanyakan ulama fiqih, baik yang dahulu maupun yang sekarang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah ibu (mertua) termasuk masalah yang mubham (misteri), karena sesungguhnya Allah tidak mensyaratkan adanya persetubuhan dengan mereka (ibu-ibu mertua). Lain halnya dengan masalah ibu-ibu anak tiri perempuan, dalam masalah ini ditetapkan persyaratan adanya persetubuhan. Menurut kesepakatan ini adalah hujah yang tidak dapat dibantah lagi, yaitu adanya syarat bersetubuh. Telah diriwayatkan pula satu hadits yang berpredikat garib mengenai hal tersebut namun sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadits itu adalah apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Ibnul Musanna. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Apabila seorang lelaki mengawini seorang wanita, maka tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu, baik ia telah menggaulinya atau masih belum menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita, lalu ia tidak menggaulinya dan menceraikannya, maka jika ia suka boleh kawin dengan anaknya.” Ibnu Juraij mengatakan bahwa hadits ini sekalipun di dalam sanad-nya terkandung sesuatu yang perlu dipertimbangkan sesungguhnya menurut kesepakatan, hujah menunjukkan keabsahan pendapat ini, hingga sudah dianggap cukup tanpa mengambil dalil dari selainnya dan tanpa bergantung kepada kesahihan hadits tersebut. Adapun mengenai firman-Nya: “Anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu.” (An-Nisa: 23) Menurut pendapat jumhur ulama anak tiri hukumnya haram dinikahi, tanpa memandang apakah anak tersebut berada dalam pemeliharaan lelaki yang bersangkutan atau tidak. Mereka mengatakan bahwa khitab seperti ini dinamakan ungkapan yang memprioritaskan umum, dan tidak mengandung hukum pengertian apa pun. Keadaannya sama dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian paksa budak-budak kalian melakukan pelacuran padahal mereka sendiri menginginkan kesucian.” (An-Nur: 33) Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Ummu Habibah pernah berkata: “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, yaitu anak perempuan Abu Sufyan." Menurut lafal Imam Muslim yang dimaksud adalah Izzah binti Abu Sufyan. Nabi ﷺ menjawab, "Apakah kamu suka hal tersebut?" Ummu Habibah menjawab, "Ya. Aku tidak akan membiarkanmu, dan aku ingin agar orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan adalah saudara perempuanku sendiri." Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya hal tersebut tidak halal bagiku." Ummu Habibah berkata. “Sesungguhnya kami para istri sedang membicarakan bahwa engkau bermaksud akan mengawini anak perempuan Abu Salamah." Nabi ﷺ bertanya: “Anak perempuan Ummu Salamah?" Ummu Habibah menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya dia jikalau bukan sebagai rabibah yang ada dalam pemeliharaanku, ia tetap tidak halal (dikawin) olehku. Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara lelaki sepersusuanku. Aku dan Abu Salamah disusukan oleh Suwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku anak-anak perempuan kalian, jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.” Menurut riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan seperti berikut: “Sesungguhnya aku sekalipun tidak mengawini Ummu Salamah, ia (anak perempuan Abu Salamah) tetap tidak halal bagiku.” Dalam hadits ini kaitan pengharaman dihubungkan dengan perkawinan beliau ﷺ dengan Ummu Salamah, dan memutuskan hukum sebagai mahram hanya dengan penyebab tersebut. Hal inilah yang dipegang oleh empat orang Imam dan tujuh orang ulama fiqih serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Memang ada satu pendapat yang mengatakan tidak ada faktor yang menyebabkan rabibah menjadi mahram kecuali jika si rabibah berada dalam pemeliharaan orang yang bersangkutan. Jika si rabibah bukan berada dalam pemeliharaannya, maka rabibah bukan termasuk mahram. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Yusuf), dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ubaid ibnu Rifaah, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Aus ibnul Hadsan yang mengatakan, "Dahulu aku mempunyai seorang istri, lalu ia meninggal dunia, sedangkan sebelum itu ia telah punya seorang anak perempuan, dan aku menyukainya. Ketika Ali ibnu Abu Thalib berjumpa denganku, ia bertanya, 'Mengapa kamu?' Aku menjawab, 'Istriku telah meninggal dunia.' Ali bertanya, 'Apakah dia punya anak perempuan?' Aku menjawab, 'Ya, dan tinggal di Taif.' Ali bertanya, 'Apakah dahulunya ia berada dalam pemeliharaanmu?' Aku menjawab, 'Tidak, tetapi ia tinggal di Taif." Ali berkata, 'Kawinilah dia'. Aku berkata, 'Bagaimanakah dengan firman-Nya yang mengatakan: anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian.’ (An-Nisa: 23). Ali berkata, 'Sesungguhnya dia bukan berada dalam pemeliharaanmu. Sebenarnya ketentuan tersebut jika ia berada dalam pemeliharaanmu'." Sanad atsar ini kuat dan kukuh hingga sampai kepada Ali ibnu Abu Thalib dengan syarat Muslim. Akan tetapi pendapat ini garib (aneh) sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Daud Ibnu Ali Az-Zahiri dan semua muridnya, diriwayatkan oleh Abul Qasim Ar-Rafi'i. Dipilih oleh Ibnu Hazm. Guruku Al-Hafidzh Abu Abdullah Az-Zahabi menceritakan kepadaku bahwa masalah ini pernah diajukan kepada Imam Taqiuddin Ibnu Taimiyyah, maka dia menganggap masalah ini sulit dipecahkan dan ia bersikap diam terhadapnya. Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Ashram, dari Abu Ubaidah sehubungan dengan firman-Nya: “Yang dalam pemeliharaan kalian.” (An-Nisa: 23) Maksudnya di dalam rumah-rumah kalian. Sehubungan dengan rabibah (anak tiri perempuan) dalam kasus milkul yamin (budak perempuan yang diperistri), Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai masalah seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya adalah budak, kemudian salah seorang digauli sesudah menggauli yang lainnya. Maka Khalifah Umar berkata, "Aku tidak suka memperbolehkan keduanya digauli." Maksudnya ia tidak mau menggauli keduanya lewat milkul yamin. Atsar ini munqathi’ (sanadnya terputus). Sunaid ibnu Daud mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Tawus, dari Tariq ibnu Abdur Rahman, dari Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah seorang lelaki boleh menggauli seorang wanita dan anak perempuan yang kedua-duanya adalah budak miliknya?" Ia menjawab. “Keduanya dihalalkan oleh suatu ayat, tetapi keduanya diharamkan oleh ayat yang lain dan aku tidak akan melakukan hal tersebut." Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama, bahwa tidak halal bagi seorang lelaki menggauli seorang wanita dan anak perempuannya yang kedua-duanya dari milkul yamin (budak perempuan). Karena sesungguhnya Allah ﷻ mengharamkan hal tersebut dalam nikah melalui firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua) dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian yang telah kalian campuri.” (An-Nisa: 23) Milkul Yamin menurut mereka diikutkan ke masalah nikah, kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Abbas. Tetapi pendapat tersebut tidak pernah diikuti oleh seorang imam pun dari kalangan ulama ahli fatwa, tidak pula selain mereka. Hisyam meriwayatkan dari Qatadah, bahwa anak perempuan rabibah dan anak perempuannya hingga terus ke bawah tidak layak (digauli secara bersamaan) di kalangan banyak kabilah. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, dari Abul Aliyah. Makna firman-Nya: “Dari istri kalian yang telah kalian campuri.” (An-Nisa: 23) Yaitu telah kalian nikahi. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang. Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’ bahwa yang dimaksud dengan dukhlah adalah bila si istri menyerahkan dirinya dan si suami membuka serta meraba-raba dan duduk di antara kedua pangkal pahanya. Aku bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu jika si lelaki melakukan hal itu di rumah keluarga istrinya?" ‘Atha’ menjawab, "Sama saja. hal itu sudah cukup membuat anak perempuan si istri menjadi mahramnya." Ibnu Jarir mengatakan menurut kesepakatan ulama, khalwat (berduaan bermesraan) seorang lelaki dengan istrinya tidak menjadikan mahram anak perempuan si istri bagi si lelaki jika si lelaki ternyata menceraikan istrinya sebelum mencampuri dan menyetubuhinya. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa memandang kemaluan si istri dengan nafsu birahi tertentu bisa diartikan bahwa si lelaki telah bersetubuh dengan istrinya; hal ini cukup menjadikan mahram anak perempuan istri bagi si suami. Firman Allah ﷻ: “Dan istri-istri anak kandung kalian (menantu).” Maksudnya diharamkan bagi kalian mengawini istri-istri anak kalian yang lahir dari tulang sulbi kalian (anak kandung). Hal ini untuk mengecualikan anak angkat yang biasa digalakkan di masa Jahiliah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri-istri anak-anak angkat mereka.” (Al-Ahzab: 37), hingga akhir ayat. Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Atha’ mengenai makna firman-Nya: “Dan istri-istri anak kandung kalian.” (An-Nisa: 23) Kami pernah menceritakan hanya Allah yang lebih mengetahui bahwa ketika Nabi ﷺ mengawini istri Zaid, orang-orang musyrik di Mekah memperbincangkan hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan istri-istri anak kandung kalian.” (An-Nisa: 23); “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian.” (Al-Ahzab: 4); “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian.” (Al-Ahzab: 40) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Muqaddami, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, dari Al-Asy'as, dari Al-Hasan ibnu Muhammad, bahwa ayat-ayat berikut mengandung makna yang mubham (tidak jelas), yaitu firman-Nya: “Dan istri-istri anak kandung kalian” (An-Nisa: 23) serta firman-Nya: “Ibu-ibu istri kalian (mertua).” (An-Nisa: 23) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Tawus, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Makhul hal yang serupa. Menurut kami, makna mubham maksudnya umum mencakup wanita yang telah digauli dan yang belum digauli; maka hal tersebut menjadikan mahram hanya sekadar melakukan akad nikah dengannya. Menurut jumhur ulama (kesepakatan mayoritas ulama) hal inilah yang telah disepakati jika ditanyakan dari segi apakah menjadi mahram istri anak sepersusuannya. Tetapi sebagian ulama meriwayatkan masalah ini sebagai suatu ijma', padahal dia bukan dari tulang sulbinya (bukan anak kandung sendiri). Sebagai jawabannya dapat dikemukakan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Diharamkan karena rada (sepersusuan) hal-hal yang diharamkan karena nasab.” Firman Allah ﷻ: “Dan menghimpun (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau.” (An-Nisa: 23). hingga akhir ayat. Diharamkan atas kalian menghimpun dua orang wanita yang bersaudara dalam suatu perkawinan. Hal yang sama dikatakan pula sehubungan dengan milkul yamin (yakni terhadap budak perempuan). Kecuali apa yang telah terjadi di masa Jahiliah, maka Kami memaafkan dan mengampuninya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menggabungkan dua wanita yang bersaudara di masa mendatang karena dikecualikan oleh ayat tentang hal-hal yang telah terjadi di masa silam. Pengertiannya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati yang pertama (ketika di dunia).” (Ad-Dukhan: 56) Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan merasakan mati lagi di dalamnya untuk selama-lamanya (yakni mereka hidup kekal di dalamnya). Para ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam baik yang terdahulu maupun yang sekarang sepakat bahwa diharamkan menghimpun dua wanita yang bersaudara dalam perkawinan. Barang siapa yang masuk Islam, sedangkan dia mempunyai dua orang istri yang bersaudara, maka ia diharuskan memilih salah satunya saja dan menceraikan yang lainnya, tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abu Wahb Al-Jusyani, dari Adh-Dhahhak ibnu Fairuz, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika masuk Islam, ia dalam keadaan mempunyai dua orang istri yang bersaudara. Maka Nabi ﷺ memerintahkannya agar menceraikan salah seorangnya. Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Ibnu Luhai'ah. Imam Abu Dawud dan Imam Tumiuzi mengetengahkannya pula melalui hadits Yazid ibnu Abu Habib, keduanya menerima hadits ini dari Abu Wahb Al-Jusyani, Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa Aba Wahb nama aslinya adalah Dulaim ibnul Hausya', dari Adh-Dhahak ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya dengan lafal yang sama menurut lafal yang diketengahkan oleh Imam Tirmidzi. Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Pilihlah salah seorang di antara keduanya yang kamu sukai.” Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Khaulani, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Farwah, dari Zur ibnu Hakim, dari Kasir ibnu Murrah, dari Ad-Dailami yang menceritakan: Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai istri dua wanita yang bersaudara." Beliau bersabda, "Ceraikanlah salah seorangnya yang kamu kehendaki." Ad-Dailami yang disebut pertama adalah Adh-Dhahhak ibnu Fairuz Ad-Dailami, seorang sahabat. Dia termasuk salah seorang amir di Yaman yang mendapat tugas untuk membunuh Al-Aswad Al-Anasai, seseorang yang mengaku dirinya menjadi nabi, semoga Allah melaknatnya. Menghimpun dua wanita bersaudara ke dalam milkul yamin hukumnya haram berdasarkan keumuman makna ayat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Abdullah ibnu Abu Anabah atau Atabah, dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan, maka Ibnu Mas'ud tidak menyukai hal tersebut. Si penanya mengemukakan kepadanya firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisa: 24) Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ternak untamu termasuk apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (milkul yamin-mu)." Demikianlah pendapat terkenal dari kebanyakan ulama dan empat orang Imam serta lainnya, sekalipun sebagian ulama Salaf ada yang tidak menanggapi masalah ini (tawaqquf). Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Qubaisah ibnu Zuaib, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Khalifah Usman ibnu Affan tentang dua wanita bersaudara dalam milkul yamin, apakah keduanya boleh dihimpun (yakni boleh digauli)? Maka Khalifah Usman menjawab, "Keduanya dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain, tetapi aku sendiri tidak berani melarang hal tersebut." Lelaki itu keluar dari hadapan Usman, lalu bersjumpa dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, ia bertanya kepadanya tentang masalah itu, kemudian sahabat Nabi ﷺ tersebut berkata, "Seandainya dirinya mempunyai kekuasaan lalu ia menjumpai seseorang melakukan hal tersebut maka ia benar-benar akan menghukumnya." Imam Malik mengatakan: “Menurut Ibnu Syihab, yang dimaksud dengan lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ itu adalah Ali ibnu Abu Thalib." Imam Malik mengatakan, "Telah sampai kepadaku hal yang serupa dari Az-Zubair ibnul Awwam." Ibnu Abdul Barr An-Nimri mengatakan di dalam kitab Istizkar, sebenarnya Qubaisah ibnu Zuaib sengaja menyebut nama seorang lelaki dari sahabat Nabi ﷺ tanpa menyebut nama jelasnya yang sebenarnya adalah Ali ibnu Abu Thalib tiada lain karena ia adalah pengikut Abdul Malik ibnu Marwan (yang tidak suka kepada Ali ibnu Abu Thalib). Mereka merasa keberatan bila menyebut nama Ali ibnu Abu Thalib dengan sebutan yang jelas. Abu Umar mengatakan, telah menceritakan kepadaku Khalaf ibnu Ahmad secara qiraah, bahwa Khalaf ibnu Mutarrit pernah menceritakan kepada mereka, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Sulaiman dan Sa'id ibnu Sulaiman serta Muhammad ibnu Umar ibnu Lubabah; mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, dari Musa ibnu Ayyub Al-Gafiqi, telah menceritakan kepadaku pamanku Has ibnu Amir yang mengatakan, "Aku pernah berkata kepada Ali ibnu Abu Thalib, 'Aku mempunyai dua saudara perempuan di antara budak-budak wanita yang kumiliki, lalu aku mempergundik salah seorangnya dan ia melahirkan untukku banyak anak. Kemudian aku senang kepada saudara perempuannya, apakah yang harus aku lakukan?' Ali ibnu Abu Thalib menjawab. 'Kamu merdekakan budak wanita yang telah kamu campuri itu kemudian kamu boleh menggauli yang lainnya.’ Aku berkata, ‘Akan tetapi orang-orang (para ulama) mengatakan bahwa aku boleh mengawininya dan menggauli yang lainnya.’ Ali ibnu Abu Thalib berkata, 'Bagaimanakah menurutmu jika ia diceraikan oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia, bukankah ia pasti kembali kepadamu? Sesungguhnya kamu memerdekakannya adalah jalan yang lebih selamat bagimu.' Kemudian Ali memegang tanganku dan berkata kepadaku, 'Sesungguhnya diharamkan atas kamu terhadap budak-budak milikmu hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah terhadap wanita-wanita merdeka, kecuali poligami.' Atau Ali mengatakan, ‘Kecuali empat orang istri dan diharamkan pula atas dirimu sehubungan dengan masalah sepersusuan hal-hal yang diharamkan di dalam Kitabullah sehubungan dengan nasab.’ Abu Umar berkata bahwa atsar ini merupakan hasil jerih payah perjalanan seorang lelaki. Dia tidak memperoleh apapun dari kawasan Magrib yang terjauh dan Masyriq sampai ke Mekah kecuali hanya atsar ini, yaitu ketika unta kendaraannya tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi. Menurut kami, atsar ini diriwayatkan pula dari Ali, dari Usman. Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Abbas, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnul Mubarak Al-Makhrami, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Thalib pernah berkata kepadaku, "Keduanya diharamkan oleh satu ayat dan dihalalkan oleh ayat yang lain," yakni masalah kedua wanita yang bersaudara tadi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka mengharamkan aku untuk mendekatkan diri dengan mereka, tetapi mereka tidak mengharamkan pendekatan sebagian mereka dengan sebagian yang lain, yaitu para hamba sahaya wanita. Dahulu orang-orang Jahiliah mengharamkan semua hal yang kalian haramkan kecuali istri ayah (ibu tiri) dan menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan. Setelah Islam datang, maka Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, kecuali pada masa yang telah lampau.’ (An-Nisa: 22) Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan menghimpun dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (An-Nisa: 23) Yakni dalam pernikahan. Abu Umar mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Hambal telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Hisyam. dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa juga diharamkan terhadap budak-budak wanita hal-hal yang diharamkan terhadap wanita-wanita merdeka kecuali bilangan (poligami). Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Asy-Sya'bi hal yang serupa. Abu Umar mengatakan, telah diriwayatkan hal yang serupa dengan perkataan Khalifah Usman dari segolongan ulama Salaf, antara lain Ibnu Abbas. Akan tetapi, pendapat mereka berbeda dan tiada seorang pun dari kalangan ulama fiqih kota-kota besar, Hijaz, Irak, dan semua negeri Timur yang ada di belakangnya serta negeri Syam dan negeri Magrib (Barat), kecuali orang yang berpendapat menyendiri dari jamaahnya karena mengikuti makna lahiriah dan meniadakan qiyas (analogi). Orang yang mengamalkan demikian secara terang-terangan harus dikucilkan bila kita berkumpul dengannya. Jamaah ulama fiqih sepakat, tidak halal menghimpun dua wanita bersaudara dengan menyetubuhi keduanya melalui milkul yamin, sebagaimana hal tersebut tidak dihalalkan dalam nikah. Ulama kaum muslim sepakat bahwa makna firman-Nya: ‘Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, dan saudara-saudara perempuan kalian.’ (An-Nisa: 23), hingga akhir ayat. Bahwa nikah dan memiliki mereka (yang disebut di dalam ayat ini) sebagai budak sama saja (ketentuan hukumnya). Demikian pula halnya merupakan suatu keharusan bahwa ketentuan hukum ini berlaku secara rasional dan analogi terhadap masalah menghimpun dua wanita bersaudara dalam perkawinan serta masalah ibu-ibu istri dan anak-anak tiri. Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan jumhur ulama, dan pendapat ini merupakan suatu hujah (argumen) yang mematahkan alasan orang-orang yang berpendapat menyendiri dan berbeda. [Demikian akhir dari juz ke-4]

An-Nisa': 23

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat