An-Nisa': 108

Ayat

Terjemahan Per Kata
يَسۡتَخۡفُونَ
mereka bersembunyi
مِنَ
dari
ٱلنَّاسِ
manusia
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَخۡفُونَ
mereka bersembunyi
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَهُوَ
dan Dia
مَعَهُمۡ
beserta mereka
إِذۡ
ketika
يُبَيِّتُونَ
mereka menetapkan
مَا
apa
لَا
tidak
يَرۡضَىٰ
Dia meridhai
مِنَ
dari
ٱلۡقَوۡلِۚ
perkataan/keputusan (rahasia)
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
بِمَا
dengan/terhadap apa
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
مُحِيطًا
Maha Meliputi

Terjemahan

Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dapat bersembunyi dari Allah. Dia bersama (mengawasi) mereka ketika pada malam hari mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 105-109 Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepada kamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, Dan mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa; Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Dan adalah (ilmu) Allah Maha Meliputi semua yang mereka kerjakan. Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? Ayat 105 Allah ﷻ berfirman, ditujukan kepada Rasul-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.” (An-Nisa: 105) Kitab itu adalah kebenaran dari Allah; di dalam semua berita dan perintah serta larangannya mengandung kebenaran. Firman Allah ﷻ: “Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu.” (An-Nisa: 105) Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan ulama usul yang berpendapat bahwa Nabi ﷺ boleh memutuskan peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini. Berdasarkan apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu rumahnya. Maka beliau keluar menemui mereka, dan bersabda: “Ingatlah, sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya memutuskan peradilan sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang dari kalian adalah orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang lain, lalu aku memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa yang aku telah putuskan peradilan untuk (kemenangan)nya terhadap hak seorang muslim (karena kelihaiannya dalam beralasan), sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, silahkan ia membawanya atau melepaskannya.” Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang mengadukan persengketaan mereka kepada Rasulullah ﷺ mengenai warisan yang ada di antara keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai bukti. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah seorang dari kalian lebih lihai dalam beralasan daripada yang lain, dan aku hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya (karena kelihaiannya dalam beralasan), maka janganlah dia mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka, yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat. Maka kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing mengatakan, "Hakku untuk saudaraku." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa tidak kalian katakan itu sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan tegakkanlah kebenaran di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di antara kalian berdua dan hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada temannya.” Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Usamah ibnu Zaid dengan lafal yang sama, tetapi ditambahkan: “Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan pendapatku sehubungan dengan hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku mengenainya.” Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui Al-Aufi, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa segolongan orang dari kalangan Ansar ikut berperang bersama-sama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan. Lalu baju besi salah seorang dari mereka ada yang mencuri. Menurut dugaanku, pencuri tersebut adalah seseorang dari kalangan Ansar. Maka pemilik baju besi itu datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya Tu'mah ibnu Ubairiq telah mencuri baju besiku." Setelah si pencuri melihat hal tersebut, maka dengan sengaja ia menaruh baju besi itu di dalam rumah seseorang yang tidak mencuri (tanpa sepengetahuannya), lalu ia datang kepada segolongan dari kaum kerabatnya, "Sesungguhnya aku sembunyikan baju besi itu dengan menaruhnya di rumah si Fulan, maka baju besi itu kelak akan dijumpai di dalam rumahnya.” Lalu keluarga si pencuri berangkat menemui Nabi ﷺ di malam hari dan mengatakan, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya teman kami tidak bersalah, dan pemilik baju besi itu (yakni si Fulan) telah mengetahui tuduhan yang dilancarkannya. Maafkanlah teman kami di mata orang banyak dan belalah dia; karena sesungguhnya jika ia tidak dipelihara oleh Allah melaluimu, niscaya dia akan binasa." Rasulullah ﷺ bangkit dan membersihkan namanya serta memaafkannya di hadapan orang banyak. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.” (An-Nisa: 105-107) Kemudian Allah ﷻ berfirman, ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan kebohongan, yaitu: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.” (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat berikutnya. Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan sesuatu untuk membela orang yang berbuat khianat. Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi diri sendiri.” (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Yang dimaksud ialah mereka yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan kebohongan. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (An-Nisa: 112) Maksudnya, si pencuri tersebut dan orang-orang yang membelanya. Akan tetapi konteks hadits ini gharib (asing). Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari kalangan Bani Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang berbeda-beda, tetapi pengertiannya berdekatan. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu Abu Isa At-At-Tirmidzi dalam kitab Jami'-nya dalam tafsir ayat ini dan Imam Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu Nu'man ) yang menceritakan hadits berikut: Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul ﷺ, kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ mendengar syair tersebut, mereka berkata, "Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu," atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa'ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong); di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa'ah datang kepadaku melaporkan, "Wahai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa makanan serta senjata kita." Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, "Demi Allah, kami merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam." Ketika Labid mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, "Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus membuktikan pencurian ini." Mereka berkata, "Tenanglah, menjauhlah engkau dari kami, engkau bukan pencurinya." Maka kami terus melakukan penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, "Wahai keponakanku, sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah ﷺ dan berbicara kepadanya mengenai hal tersebut." Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa'ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan." Nabi ﷺ bersabda, "Aku akan melaksanakan hal tersebut." Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi ﷺ, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnun Nu'man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik; lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi." Qatadah melanjutkan kisahnya, maka aku datang lagi kepada Nabi ﷺ untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi ﷺ bersabda (kepadaku), 'Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi'." Qatadah mengatakan, "Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, 'Wahai keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?' Lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepadaku. Maka pamanku berkata, 'Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan'." Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu Al-Qur'an yang mengatakan seperti berikut, yaitu: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (An-Nisa: 105) Ayat 106 “Dan mohon ampunlah kepada Allah.” (An-Nisa: 106) Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah. Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang berkhianat' itu adalah Bani Ubairiq. Ayat 107 “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya.” (An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 110) Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun, niscaya mereka diampuni. “Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri.” (An-Nisa: 111) sampai dengan firman-Nya: “Dosa yang nyata.” (An-Nisa: 112) Firman Allah ﷻ yang ditujukan kepada Labid, yaitu: “Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu.” (An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: “Maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114) Ketika Al-Qur'an telah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, senjata itu diserahkan kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ mengembalikannya kepada Rifa'ah. Qatadah mengatakan, "Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman Jahiliah; 'atau' di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu Isa, dan aku menilai keislaman pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya, ia berkata, "Wahai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat sabilillah." Maka aku merasa yakin bahwa keislamannya adalah benar.” Setelah ayat Al-Qur'an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd ibnu Sumayyah. Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu dengan) Dia, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa: 115-116) Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd, maka Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, "Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku dengan kebaikan." Lafal hadits ini adalah menurut apa yang ada pada Imam At-Tirmidzi. Disebutkan bahwa hadits ini gharib (asing), kami tidak mengetahui seorang pun yang meng-isnad-kan (menyandarkan)nya selain Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani. Yunus ibnu Bukair dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang telah meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah secara mursal, tanpa menyebutkan dari ayahnya, dari kakeknya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama dengan sebagiannya. Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail (yakni As-Saiq), telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkan hadits ini dengan panjang lebar. Abusy Syekh Al-Asbahani di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan hadits ini dari Muhammad ibnu Ayyasy ibnu Ayyub dan Al-Hasan ibnu Ya'qub; keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Kemudian di akhirnya ia mengatakan bahwa Muhammad ibnu Salamah mengatakan, "Telah mendengar hadits ini dariku Yahya ibnu Mu'in, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Israil." Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq secara makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat syair. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Ayat 108 Firman Allah ﷻ: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.” (An-Nisa: 108) Ayat ini menyanggah perbuatan orang-orang munafik, karena mereka menyembunyikan keburukan-keburukannya dari mata manusia, agar manusia tidak menyanggah mereka (percaya kepada mereka), tetapi mereka berani terang-terangan melakukan hal tersebut terhadap Allah, padahal Allah melihat semua rahasia mereka dan mengetahui apa yang terkandung di dalam hati sanubari mereka. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Adalah (ilmu) Allah Maha Meliputi semua apa yang mereka kerjakan.” (An-Nisa: 108) Ayat ini mengandung makna ancaman dan peringatan terhadap mereka. Ayat 109 Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini.” (An-Nisa: 109) Dengan kata lain, misalnya mereka menang dalam perkaranya berkat apa yang mereka kemukakan atau berkat alasan-alasan yang mereka ajukan kepada para hakim yang menjalankan tugasnya menurut apa yang ada pada lahiriahnya saja, sekalipun mereka itu dianggap beribadah di dalam pekerjaannya. Maka apakah yang akan dilakukan oleh mereka kelak di hari kiamat di hadapan peradilan Allah ﷻ yang mengetahui semua rahasia dan yang tidak tampak? Siapakah yang akan membela mereka pada hari kiamat untuk memperkuat pengakuan mereka? Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang dapat menolong mereka. Karena itulah, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?” (An-Nisa: 109)

An-Nisa': 108

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat