An-Nisa': 102

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
كُنتَ
adalah kamu
فِيهِمۡ
di dalam/di tengah mereka
فَأَقَمۡتَ
maka/lalu kamu mendirikan
لَهُمُ
bagi/bersama mereka
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
فَلۡتَقُمۡ
maka hendaklah berdiri
طَآئِفَةٞ
segolongan
مِّنۡهُم
dari mereka
مَّعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُوٓاْ
dan hendaklah mereka menyandang
أَسۡلِحَتَهُمۡۖ
senjata mereka
فَإِذَا
maka apabila
سَجَدُواْ
mereka telah sujud
فَلۡيَكُونُواْ
maka hendaklah mereka
مِن
dari/di
وَرَآئِكُمۡ
belakangmu
وَلۡتَأۡتِ
dan hendaklah datang
طَآئِفَةٌ
segolongan
أُخۡرَىٰ
yang lain
لَمۡ
tidak
يُصَلُّواْ
sholat
فَلۡيُصَلُّواْ
maka sholatlah mereka
مَعَكَ
bersama kamu
وَلۡيَأۡخُذُواْ
dan hendaklah
حِذۡرَهُمۡ
kewaspadaan mereka
وَأَسۡلِحَتَهُمۡۗ
dan senjata mereka
وَدَّ
ingin
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
لَوۡ
sekiranya
تَغۡفُلُونَ
kamu lengah
عَنۡ
dari
أَسۡلِحَتِكُمۡ
senjatamu
وَأَمۡتِعَتِكُمۡ
dan harta bendamu
فَيَمِيلُونَ
maka mereka akan menyerbu
عَلَيۡكُم
atas kalian
مَّيۡلَةٗ
serbuan
وَٰحِدَةٗۚ
satu/sekaligus
وَلَا
dan tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
إِن
jika
كَانَ
adalah
بِكُمۡ
dengan/untuk kalian
أَذٗى
kesusahan
مِّن
dari
مَّطَرٍ
hujan
أَوۡ
atau
كُنتُم
kalian adalah
مَّرۡضَىٰٓ
sakit
أَن
akan
تَضَعُوٓاْ
meletakkan
أَسۡلِحَتَكُمۡۖ
senjatamu
وَخُذُواْ
dan ambillah
حِذۡرَكُمۡۗ
kewaspadaanmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
أَعَدَّ
Dia menyediakan
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
عَذَابٗا
siksa
مُّهِينٗا
menghinakan

Terjemahan

Apabila engkau (Nabi Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu dan dalam keadaan takut diserang), lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dengan menyandang senjatanya. Apabila mereka (yang salat bersamamu) telah sujud (menyempurnakan satu rakaat), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Lalu, hendaklah datang golongan lain yang belum salat agar mereka salat bersamamu dan hendaklah mereka bersiap siaga dengan menyandang senjatanya. Orang-orang yang kufur ingin agar kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu secara tiba-tiba. Tidak ada dosa bagimu meletakkan senjata jika kamu mendapat suatu kesusahan, baik karena hujan maupun karena sakit dan bersiap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 102 Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kalian lengah terhadap senjata kalian dan harta benda kalian, lalu mereka menyerbu kalian dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kalian sakit; dan bersiap siagalah kalian. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. Shalat Khauf banyak ragamnya, karena sesungguhnya musuh itu adakalanya berada di arah kiblat, dan adakalanya berada di lain arah. Shalat itu adakalanya terdiri atas empat rakaat, adakalanya tiga rakaat (seperti shalat Magrib), dan adakalanya dua rakaat (seperti shalat Subuh dan shalat Safar). Kemudian adakalanya mereka melakukan shalat dengan berjamaah, adakalanya perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak dapat berjamaah, melainkan masing-masing shalat sendirian dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah lainnya, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan. Dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka diperbolehkan berjalan dan memukul dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan mereka dalam shalatnya. Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam keadaan perang sedang berkecamuk, mereka melakukan shalatnya satu rakaat saja, karena berdasarkan kepada hadits Ibnu Abbas yang lalu tadi. Hal ini dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Al-Munziri di dalam kitab Al-Hawasyi mengatakan bahwa pendapat ini dikatakan oleh ‘Atha’, Jabir, Al-Hasan, Mujahid, Al-Hakam, Qatadah, dan Hammad. Hal yang sama dikatakan pula oleh Tawus dan Adh-Dhahhak. Abu Asim Al-Abbadi meriwayatkan dari Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi, bahwa ia berpendapat shalat Subuh dikembalikan menjadi satu rakaat dalam keadaan khauf (perang). Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Hazm. Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan, "Adapun dalam keadaan pedang beradu, maka cukup bagimu satu rakaat dengan cara memakai isyarat saja. Jika kamu tidak mampu, cukup hanya dengan sekali sujud karena shalat adalah zikrullah." Ulama lainnya mengatakan cukup hanya dengan sekali takbir saja. Barangkali dia bermaksud satu rakaat, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan murid-muridnya. Hal yang sama dikatakan oleh Jabir ibnu Abdullah, Abdullah ibnu Umar dan Ka'b serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan sahabat, juga As-Suddi, menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Akan tetapi, orang-orang yang meriwayatkan pendapat ini hanya meriwayatkan berdasarkan makna lahiriahnya saja, yaitu menilai cukup shalat khauf hanya dengan sekali takbir, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Amir Abdul Wahhab ibnu Bukht Al-Makki. Bahkan ia berani mengatakan, "Jika ia tidak mampu melakukan takbir, janganlah ia meninggalkan shalat dalam hatinya, cukup hanya dengan niat." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya, dari Ismail ibnu Ayyasy, dari Syu'aib ibnu Dinar. Di antara ulama ada yang membolehkan mengakhirkan shalat karena uzur peperangan dan sibuk menghadapi musuh, seperti yang dilakukan oleh Nabi ﷺ; beliau mengakhirkan shalat Zuhur dan Asar dalam Perang Ahzab dan mengerjakannya sesudah Magrib. Kemudian beliau melakukan shalat Magrib dan Isya sesudahnya. Juga seperti yang disabdakannya sesudah itu (yakni dalam Perang Bani Quraizah) ketika beliau mempersiapkan pasukan kaum muslim untuk menghadapi mereka. Beliau ﷺ bersabda: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian shalat Asar, melainkan di tempat Bani Quraizah!” Waktu shalat datang ketika mereka berada di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ hanyalah agar kita berjalan dengan cepat, bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka golongan ini mengerjakan shalat Asar tepat pada waktunya di tengah jalan. Sedangkan golongan lain dari mereka mengakhirkan shalat Asar, lalu mereka mengerjakannya di tempat Bani Quraizah sesudah shalat Magrib. Akan tetapi, Rasulullah ﷺ tidak menegur salah satu dari kedua golongan tersebut. Kami membahas masalah ini di dalam kitab Sirah, dan menerangkan pula bahwa orang-orang yang mengerjakan shalat Asar pada waktunya lebih dekat kepada kebenaran daripada kenyataannya, sekalipun golongan yang lain dimaafkan. Hujah mereka yang menyebabkan mereka mengakhirkan shalat Asar dari waktunya ialah uzur, karena mereka sedang dalam rangka jihad dan mengadakan serangan cepat terhadap segolongan orang-orang Yahudi yang terkutuk, disebabkan mereka melanggar perjanjian. Menurut pendapat jumhur ulama, semuanya itu dimansukh (direvisi) oleh shalat khauf, karena sesungguhnya ayat shalat khauf masih belum diturunkan ketika terjadi peristiwa itu. Setelah ayat shalat khauf diturunkan, maka mengakhirkan shalat dimansukh olehnya. Hal ini lebih jelas dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan ahlus sunan. Akan tetapi, hal ini sulit bila diselaraskan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya, yaitu dalam Bab "Shalat di Saat Mengepung Benteng dan Bersua dengan Musuh Disebutkan bahwa Al-Auza'i mengatakan, "Jika kemenangan berada di tangan dan mereka tidak mampu melakukan shalat, hendaklah mereka shalat dengan memakai isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-sendiri. Jika mereka tidak mampu memakai isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan shalat sampai peperangan terhenti atau situasi aman dan terkendali, baru mereka melakukan shalatnya dua rakaat. Jika dua rakaat tidak mampu mereka kerjakan, maka cukup dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika hal itu tidak mampu juga mereka kerjakan (karena keadaan masih sangat genting), maka tidak cukup bagi mereka mengerjakan shalatnya hanya dengan takbir, melainkan mereka harus mengakhirkannya hingga keadaan benar-benar aman." Hal ini dikatakan oleh Makhul. Anas ibnu Malik mengatakan, ia ikut mengepung Benteng Tustur di saat fajar menyingsing, lalu pecahlah perang dengan serunya, hingga pasukan kaum muslim tidak dapat melakukan shalat Subuh. Maka kami tidak mengerjakannya kecuali setelah matahari tinggi, lalu baru kami berkesempatan mengerjakannya; saat itu kami berada di bawah pimpinan Abu Musa. Akhirnya kami beroleh kemenangan dan berhasil merebut Benteng Tustur. Sahabat Anas mengatakan, "Tidaklah aku gembira bila shalat tersebut ditukar dengan dunia dan semua yang ada padanya." Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Selanjutnya Imam Bukhari mengiringinya dengan hadits tentang mengakhirkan shalat di saat Perang Ahzab. Menyusul hadits perintah Nabi ﷺ kepada pasukan kaum muslim yang mengatakan bahwa mereka jangan mengerjakan shalat Asar kecuali di tempat Bani Quraizah, seakan-akan Imam Bukhari memilih pendapat ini. Bagi orang yang cenderung kepada pendapat ini boleh meniru apa yang telah dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya pada waktu penaklukan Benteng Tustur, karena sesungguhnya hal ini menurut kebanyakan ulama telah dikenal. Akan tetapi, peristiwa tersebut terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab, dan tiada suatu nukilan pun yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Musa dan teman-temannya diprotes oleh seseorang dari kalangan sahabat. Para ulama mengatakan bahwa shalat khauf disyariatkan pada saat Perang Khandaq, karena Perang Zatur Riqa' terjadi sebelum Perang Khandaq menurut kebanyakan ulama Sirah dan Magazi. Di antara mereka yang me-nas-kan demikian ialah Muhammad ibnu Ishaq, Musa ibnu Uqbah, Al-Waqidi, Muhammad ibnu Sa'd (juru tulisnya), dan Khalifah ibnul Khayyat serta lain-lainnya. Lain halnya dengan Imam Bukhari dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Perang Zatur Riqa' terjadi sesudah Perang Khandaq, karena berdasarkan kepada hadits Abu Musa dan hadits lainnya yang disebut di atas, kecuali Perang Khaibar. Tetapi yang sangat mengherankan sekali ialah apa yang dikatakan oleh Al-Muzani, Abu Yusuf Al-Qadi, dan Ibrahim ibnu Ismail ibnu Ulayyah. Mereka berpendapat bahwa shalat khauf telah dimansukh oleh perintah Nabi ﷺ yang mengakhirkan shalat dalam Perang Khandaq. Pendapat ini sangat aneh, karena terbukti melalui banyak hadits bahwa shalat khauf terjadi sesudah Perang Khandaq. Sebagai jalan keluarnya menginterpretasikan pengertian mengakhirkan shalat pada hari itu menurut apa yang dikatakan oleh Makhul dan Al-Auza'i lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran. Firman Allah ﷻ: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) Maksudnya, apabila kamu shalat bersama mereka sebagai imam dalam shalat khauf. Hal ini bukan seperti keadaan yang pertama tadi, karena pada keadaan pertama shalat di-qasar-kan (dipendekkan) menjadi satu rakaat, seperti yang ditunjukkan oleh makna hadisnya, yaitu sendiri-sendiri, sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak, semuanya sama. Kemudian disebutkan keadaan berjamaah dengan bermakmum kepada seorang imam, alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mewajibkan shalat berjamaah berdasarkan ayat yang mulia ini, mengingat dimaafkan banyak pekerjaan karena jamaah. Seandainya berjamaah tidak wajib, maka hal tersebut pasti tidak diperbolehkan. Adapun orang yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa shalat khauf dimansukh sesudah Nabi ﷺ, karena berdasarkan kepada firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka.” (An-Nisa: 102) Dengan pengertian ini, berarti gambaran shalat tersebut terlewatkan olehnya, dan cara penyimpulan dalil seperti ini lemah. Dapat pula disanggah dengan sanggahan serupa perkataan orang-orang yang tidak mau berzakat, yaitu mereka yang beralasan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kalian membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103) Mereka mengatakan bahwa kami tidak mau membayar zakat kepada siapa pun sesudah Nabi ﷺ, melainkan kami akan mengeluarkannya dengan tangan kami sendiri untuk diberikan kepada orang-orang yang akan kami beri. Kami tidak akan memberikannya kepada siapa pun kecuali kepada orang yang doanya menjadi ketenteraman jiwa bagi kami. Sekalipun alasan mereka demikian, para sahabat menyanggah dan menyangkal alasan mereka, dan tetap memaksa untuk membayar zakatnya serta memerangi orang-orang dari kalangan mereka yang membangkang, tidak mau membayar zakat. Dalam pembahasan berikut akan kami ketengahkan terlebih dahulu asbabun nuzul ayat ini sebelum menerangkan gambarannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Saif, dari Abu Rauq, dari Abu Ayyub, dari Ali yang menceritakan bahwa suatu kaum dari kalangan Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sering bepergian di muka bumi. Bagaimanakah caranya kami menunaikan shalat?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat (kalian).” (An-Nisa: 101) Kemudian wahyu terhenti. Satu tahun kemudian Nabi ﷺ melakukan peperangan lagi dan shalat Zuhur dalam peperangan itu. Maka orang-orang musyrik berkata (dengan sesama mereka), "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya memberikan kesempatan kepada kalian punggung mereka, mengapa kalian tidak segera menyerang mereka dari belakang?" Lalu seseorang dari mereka ada yang berkata, "Sesungguhnya masih ada segolongan lagi dari mereka yang berada di belakangnya melindungi mereka." Ali melanjutkan kisahnya, bahwa Allah ﷻ menurunkan firman-Nya di antara kedua shalat (Zuhur dan Asar), yaitu: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) hingga akhir ayat berikutnya. Maka turunlah ayat mengenai shalat khauf. Konteks hadits ini gharib (asing), tetapi sebagian darinya ada syahid (penguat)nya yang diketengahkan melalui riwayat Abu Ayyasy Az-Zuraqi, nama aslinya ialah Zaid ibnus Samit Az-Zuraqi yang ada pada Imam Ahmad dan Ahli Sunan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abu Ayyasy Az-Zuraqi yang menceritakan, "Ketika kami bersama-sama Rasulullah ﷺ di Asfan, orang-orang musyrik yang di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid (yang saat itu belum masuk Islam) datang hendak menyerang kami. Posisi mereka terletak di antara kami dan arah kiblat. Maka Rasulullah ﷺ melakukan shalat Zuhur bersama kami." Mereka (pasukan kaum musyrik) berkata, "Sesungguhnya mereka berada di dalam suatu posisi yang menguntungkan, seandainya saja kita menyerang mereka di saat mereka lengah." Kemudian mereka mengatakan pula, "Sekarang telah tiba saatnya bagi mereka suatu shalat yang lebih mereka sukai daripada anak-anak dan diri mereka sendiri." Maka turunlah Malaikat Jibril di antara shalat Zuhur dan Asar dengan membawa ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk menyandang senjata, lalu membariskan kami di belakangnya menjadi dua saf. Kemudian Nabi ﷺ rukuk, dan kami semua rukuk; lalu Nabi ﷺ mengangkat tubuhnya dari rukuk, kami pun melakukan hal yang sama semuanya. Sesudah itu Nabi ﷺ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf berikutnya dalam keadaan tetap berdiri melakukan tugas penjagaan. Setelah mereka sujud dan bangun, maka golongan yang lainnya duduk, lalu sujud menggantikan mereka yang telah sujud. Kemudian saf kedua maju menggantikan kedudukan saf pertama, dan saf pertama mundur menggantikan kedudukan saf yang kedua. Lalu Nabi ﷺ rukuk, maka mereka semuanya rukuk; dan Nabi ﷺ mengangkat kepalanya dari rukuk, maka mereka mengangkat kepalanya pula dari rukuknya. Hal ini dilakukan mereka secara bersama-sama. Kemudian Nabi ﷺ sujud bersama saf yang berada di belakangnya, sedangkan saf yang lain tetap berdiri menjaga mereka. Setelah mereka duduk, maka saf yang lainnya duduk, lalu sujud. Selanjutnya Nabi ﷺ mengucapkan salam bersama-sama mereka semua, dan selesailah shalatnya. Abu Ayyasy Az-Zuraqi mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menjalankan shalat ini dua kali; sekali di Asfan, dan yang lainnya di tanah tempat orang-orang Bani Sulaim. Imam Ahmad meriwayatkannya dari Gundar, dari Syu'bah, dari Mansur dengan sanad yang sama dan dengan lafal yang serupa. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Sa'id ibnu Mansur, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah dan Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, semuanya dari Mansur dengan lafal yang sama. Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai banyak syahid (penguat), antara lain ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harb, dari Az-Zubaidi, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Atabah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ berdiri (untuk shalat), lalu orang-orang berdiri pula bersamanya. Nabi ﷺ bertakbir, maka mereka pun bertakbir mengikutinya; Nabi ﷺ rukuk, dan sebagian dari mereka rukuk bersamanya, kemudian Nabi ﷺ sujud yang diikuti oleh sebagian dari mereka. Kemudian Nabi ﷺ berdiri untuk rakaat yang kedua, maka berdirilah orang-orang yang tadinya sujud bersamanya dan tetap berdiri menjaga saudara-saudara mereka yang belum shalat. Lalu golongan yang lainnya bergabung bersama Nabi ﷺ rukuk dan sujud bersamanya. Semua pasukan berada dalam shalat, tetapi sebagian dari mereka menjaga sebagian yang lainnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang mengqasar shalat, bilakah diturunkan dan pada peristiwa apa? Jabir menjawab, "Kami berangkat menghadap kafilah orang-orang Quraisy yang datang dari negeri Syam. Ketika kami berada di Nakhlah (sedang beristirahat), maka datanglah seorang lelaki dari kalangan musuh kepada Rasulullah ﷺ (secara diam-diam), lalu bertanya dengan nada mengancam, 'Wahai Muhammad, apakah kamu takut kepadaku?' Nabi ﷺ menjawab, ‘Tidak.' Lelaki itu berkata lagi, "Siapakah yang akan mencegahku darimu?' Nabi ﷺ menjawab, 'Allah yang akan melindungiku darimu.' Maka pedang lelaki itu terjatuh, kemudian Nabi ﷺ berbalik mengancam dan memperingatinya. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar semuanya berangkat dan menyandang senjatanya masing-masing. Tetapi waktu shalat tiba, maka diserukan untuk shalat. Rasulullah ﷺ shalat dengan segolongan orang dari kaum, sedangkan kaum yang lain menjaga mereka yang sedang shalat. Rasulullah ﷺ shalat bersama-sama saf yang ada di belakangnya sebanyak dua rakaat, kemudian mereka yang telah shalat bersamanya mundur ke belakang, lalu kedudukan mereka digantikan oleh orang-orang yang belum shalat, dan mereka menggantikan posisi orang-orang yang belum shalat itu untuk menjaganya. Lalu Nabi ﷺ shalat bersama mereka dua rakaat lagi, kemudian Nabi ﷺ mengucapkan salam. Dengan demikian, Nabi ﷺ melakukan shalatnya sebanyak empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat. Pada hari itulah Allah menurunkan wahyu yang menerangkan tentang qasar shalat dan memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar tetap membawa senjatanya." Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sulaiman ibnu Qais Al-Yasykuri, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berperang melawan orang-orang Hafsah. Lalu datanglah seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Gauras ibnul Haris, sehingga berdiri di hadapan Rasulullah ﷺ dengan pedang yang terhunus, (saat itu Rasulullah ﷺ sedang istirahat). Lalu ia berkata, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah." Maka saat itu juga pedang terjatuh dari tangan Gauras. Rasulullah ﷺ mengambil pedangnya, lalu berkata kepadanya, "Siapakah yang akan melindungimu dariku?" Lelaki itu menjawab, "Semoga engkau adalah orang yang paling baik dalam membalas." Nabi ﷺ bersabda, "Maukah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Lelaki itu menjawab, "Tidak. Tetapi aku berjanji kepadamu, aku tidak akan memerangimu dan tidak akan membantu orang-orang yang memerangimu." Maka Rasulullah ﷺ melepaskannya. Gauras kembali kepada kaumnya, lalu mengatakan kepada mereka, "Aku baru saja datang dari manusia yang paling baik." Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah ﷺ melakukan shalat khauf, dan orang-orang dibagi menjadi dua golongan; segolongan berada di hadapan musuh, dan segolongan yang lain shalat bersama Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ shalat dua rakaat bersama-sama mereka, lalu mereka mengucapkan salam. Sesudah itu mereka pergi dan menggantikan posisi golongan lain yang belum shalat menghadapi musuh, sedangkan mereka yang tadinya berjaga menghadapi musuh, bergabung shalat bersama Rasulullah ﷺ sebanyak dua rakaat. Maka Rasulullah ﷺ melakukan shalat empat rakaat, sedangkan bagi masing-masing kaum dua rakaat. Hadis ini bila ditinjau dari segi sanadnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (sendirian). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Qatn (yaitu Amr ibnul Haisam), telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Yazid Al-Faqir yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang dua rakaat dalam perjalanan, apakah keduanya adalah shalat qasar? Jabir ibnu Abdullah menjawab, "Shalat dua rakaat dalam perjalanan adalah shalat yang sempurna. Sesungguhnya yang dimaksud dengan qasar hanyalah di saat peperangan berkecamuk, yaitu satu rakaat. Tatkala kami sedang bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan, tiba-tiba shalat didirikan. Maka Rasulullah ﷺ membuat satu saf barisan yang terdiri atas segolongan kaum, sedangkan segolongan yang lain berada di hadapan musuh. Maka Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat dan sujud sebanyak dua kali bersama mereka. Kemudian orang-orang yang tidak ikut shalat meninggalkan posisinya untuk menggantikan mereka yang telah shalat, dan yang telah shalat menggantikan posisi mereka yang belum shalat. Lalu mereka yang belum shalat itu bersaf di belakang Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat serta sujud dua kali bersama-sama mereka. Setelah itu Rasulullah ﷺ duduk (bertasyahhud) dan mengucapkan salam bersama orang-orang yang ada di belakangnya, dan mengucapkan salam pula mereka yang sedang dalam posisi berjaga. Dengan demikian, berarti Rasulullah ﷺ shalat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari kedua kaum itu satu rakaat." Kemudian Jabir ibnu Abdullah membacakan firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) hingga akhir ayat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ shalat bersama mereka (yaitu shalat khauf). Untuk itu Rasulullah ﷺ mengatur mereka menjadi dua saf, satu saf berada di hadapannya, dan saf yang lain berada di belakangnya. Kemudian Rasulullah ﷺ shalat satu rakaat bersama mereka yang ada di belakangnya dengan dua kali sujud. Selanjutnya mereka yang telah shalat maju ke depan dan menggantikan posisi teman mereka yang belum shalat. Lalu mereka yang belum shalat datang dan menggantikan kedudukan mereka yang sudah shalat; maka Nabi ﷺ shalat bersama mereka satu rakaat lagi berikut dua kali sujud, setelah itu beliau mengucapkan salam. Maka Nabi ﷺ melakukan shalat dua rakaat, dan bagi mereka masing-masing satu rakaat. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah. Hadis ini mempunyai jalur-jalur lain yang bersumber dari Jabir, dan di dalam kitab Shahih Muslim hadits ini diriwayatkan melalui sanad yang lain dan dengan lafal yang lain pula. Jamaah telah meriwayatkannya di dalam kitab-kitab sahih, musnad, dan sunan dari Jabir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) Dia mengatakan, yang dimaksud adalah shalat khauf. Rasulullah ﷺ shalat dengan salah satu golongan dari dua golongan yang ada sebanyak satu rakaat, sedangkan golongan yang lain menghadap ke arah musuh sambil berjaga-jaga. Setelah itu golongan yang tadinya menghadapi musuh datang dan shalat bersama Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ shalat satu rakaat lagi bersama mereka, kemudian mengucapkan salam. Sesudah itu masing-masing dari kedua golongan melakukan shalat sendiri-sendiri masing-masing satu rakaat. Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah dalam kitab-kitab mereka melalui jalur Ma'mar dengan lafal yang sama. Hadis ini mempunyai banyak jalur periwayatan dari sejumlah sahabat. Abu Bakar ibnu Mardawaih sehubungan dengan hadits ini mengetengahkan jalur-jalur dan lafaz-lafaznya dengan cara yang baik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ibnu Jarir. Hal ini kami catat di dalam Kitabul Ahkam Al-Kabir, insya Allah. Perintah menyandang senjata dalam shalat khauf, menurut segolongan ulama diinterpretasikan berhukum wajib karena berdasarkan kepada makna lahiriah ayat. Pendapat ini merupakan salah satu dari kedua pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafii. Sebagai dalilnya ialah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan tidak ada dosa atas kalian meletakkan senjata kalian, jika kalian mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kalian memang sakit; dan siap siagalah kalian (tetap waspadalah kalian).” (An-Nisa: 102) Dengan kata lain, tetap waspadalah kalian; karena sewaktu-waktu bila diperlukan, kalian pasti akan menyandangnya dengan mudah, tanpa susah payah lagi. “Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.” (An-Nisa: 102)

An-Nisa': 102

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat