An-Nisa': 101

Ayat

Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
ضَرَبۡتُمۡ
kamu bepergian
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi
فَلَيۡسَ
maka tidak
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
berdosa
أَن
bahwa
تَقۡصُرُواْ
kamu mengqasar
مِنَ
dari
ٱلصَّلَوٰةِ
sholat
إِنۡ
jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَن
akan
يَفۡتِنَكُمُ
memfitnah/menyerang
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُوٓاْۚ
kafir/ingkar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
كَانُواْ
adalah mereka
لَكُمۡ
bagi kalian
عَدُوّٗا
musuh
مُّبِينٗا
nyata

Terjemahan

Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa': 101 Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqasar shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. Allah ﷻ berfirman: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi.” (An-Nisa: 101) Yaitu melakukan perjalanan ke berbagai negeri; semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dia mengetahui bahwa ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah ﷻ: “Maka tidak mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Yakni meringankan; adakalanya dari segi rakaatnya, misalnya shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai dalil shalat qasar dalam perjalanan, sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang serupa. Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena berdasarkan kepada makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan bepergian harus dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), melainkan boleh pula dalam rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa.” (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat. Seperti halnya diperbolehkan baginya memakan bangkai bila dalam keadaan darurat, tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat dengan perjalanannya itu. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta selain keduanya dari kalangan para imam. Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Ibrahim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, aku biasa pulang pergi ke Bahrain." Lalu Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya shalat dua rakaat (yakni shalat qasar). Hadis ini berpredikat mursal. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan ini bersifat mutlak. Dengan kata lain, baik yang mubah ataupun yang terlarang, sekalipun dia bepergian untuk tujuan membegal jalan dan menakut-nakuti orang yang lewat (meneror). Hukum qasar diperbolehkan baginya karena safar (perjalanan) diartikan mutlak. Hal ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, As-Sauri, dan Daud, karena berdasarkan kepada keumuman makna ayat. Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda dengan mereka. Adapun firman-Nya: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) Barangkali hal ini diinterpretasikan menurut kebanyakan yang terjadi di lingkungan saat ayat ini diturunkan. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam sesudah hijrah, kebanyakan perjalanan yang mereka lakukan dipenuhi oleh bahaya yang menakutkan. Bahkan mereka tidak beranjak meninggalkan tempat tinggalnya melainkan untuk menuju ke peperangan tahunan, atau sariyyah (pasukan) khusus, sedangkan keadaan lainnya merupakan perang terhadap Islam dan para pengikutnya. Pengertian mantuq (pemahaman langsung dari lafal yang tertulis/terucap) apabila diungkapkan dalam bentuk prioritas atau berdasarkan suatu kejadian, maka ia tidak mempunyai subyek pengertian. Sama halnya dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri mengingini kesucian.” (An-Nur: 33) Juga seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan anak-anak istri kalian yang ada dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian.” (An-Nisa: 23) hingga akhir ayat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Ammar, dari Abdullah ibnu Rabiyah, dari Ya'la ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab mengenai makna firman-Nya: “Tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) Sedangkan orang-orang di masa sekarang dalam keadaan aman (ke mana pun mereka mengadakan perjalanan)? Maka Umar berkata kepadaku bahwa ia pun pernah merasa heran seperti apa yang aku rasakan, lalu ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai hal tersebut. Maka beliau ﷺ menjawab: “Itu adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian. Karena itu, terimalah sedekah-Nya.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunan melalui hadits Ibnu Juraij, dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abu Ammar dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Ali ibnul Madini mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih melalui Umar, dan tiada yang hafal kecuali dari jalur ini; semua perawinya dikenal. Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Abu Hanzalah Al-Hazza yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat safar (shalat dalam perjalanan). Maka ia menjawab bahwa shalat perjalanan itu adalah dua rakaat (yakni qasar). Lalu aku bertanya, "Kalau demikian, bagaimanakah dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.’ (An-Nisa: 101). Sedangkan kita sekarang dalam keadaan aman?" Maka Ibnu Umar menjawab, "Itulah sunnah Rasulullah ﷺ." Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Minjab, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Qais ibnu Wahb, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar mengenai dua rakaat dalam perjalanan. Maka ia menjawab bahwa hal itu adalah rukhsah (keringanan) yang diturunkan dari langit; jika kalian tidak menginginkannya, maka kalian boleh mengembalikan ke asalnya (yaitu empat rakaat). Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Kami shalat bersama Rasulullah ﷺ di antara Mekah dan Madinah sebanyak dua rakaat-dua rakaat, padahal kami dalam keadaan aman dan tidak takut dengan apa pun di antara Mekah dan Madinah itu." Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid Al-Hazza, dari Abdullah ibnu Aun dengan lafal yang sama. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, demikian pula telah diriwayatkan oleh Ayyub, Hisyam, dan Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa. Menurut kami, hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai; semuanya dari Qutaibah, dari Hasyim, dari Mansur, dari Zazan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ berangkat dari Madinah menuju Mekah tanpa ada rasa takut kecuali kepada Tuhan semesta alam, tetapi beliau ﷺ shalat dua rakaat (yakni qasar). Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan hadits berikut: Kami keluar bersama-sama Rasulullah ﷺ dari Madinah ke Mekah, beliau ﷺ shalat dua rakaat-dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah. Aku (Yahya ibnu Abu Ishaq) bertanya, "Apakah kalian tinggal di Mekah selama beberapa waktu?" Anas menjawab, "Kami bermukim selama sepuluh hari di Mekah." Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Yahya ibnu Abu Ishaq Al-Hadrami dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wa-ki telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Wahb Al-Khuza'i yang menceritakan bahwa ia pernah shalat dengan Nabi ﷺ (yaitu shalat Zuhur dan Asar) di Mina dan banyak orang yang bermakmum kepadanya, dalam keadaan yang aman, masing-masing dua rakaat. Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Ibnu Abu Ishaq, dari Anas dengan lafal yang sama. Menurut lafal yang ada pada Imam Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Harisah ibnu Wahb menceritakan hadits berikut: “Kami shalat bersama-sama Rasulullah ﷺ dalam situasi yang aman sekali di Mina sebanyak dua rakaat.” Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Nafi, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia shalat dua rakaat bersama Rasulullah ﷺ (yakni di Mina), begitu pula pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan permulaan masa Khalifah Usman; kemudian Usman menggenapkannya empat rakaat. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafal yang sama. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Yazid menceritakan atsar berikut: Khalifah Usman ibnu Affan shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Lalu diceritakan kepada Abdullah ibnu Mas'ud hal tersebut, maka Abdullah mengucapkan istirja' (yakni inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Kemudian Abdullah mengatakan, “Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ di Mina dua rakaat, dan aku shalat bersama Abu Bakar di Mina dua rakaat, dan aku shalat bersama Umar ibnul Khattab di Mina dua rakaat pula. Aduhai, keberuntunganku dari dua rakaat yang pasti diterima ketimbang empat rakaat." Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadits As-Sauri, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari As-Sauri, antara lain dari Qutaibah, sama seperti yang disebut di atas. Hadis-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa qasar itu tidak disyaratkan adanya situasi yang menakutkan. Karena itu ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qasar dalam bab ini ialah qasar dari segi kaifiyah (bagaimana), bukan kammiyyah (kuantitas). Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi, seperti yang akan diterangkan kemudian. Mereka memperkuat alasannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa shalat itu pada asal mulanya difardukan dua rakaat-dua rakaat, baik dalam bepergian maupun di tempat tinggal. Kemudian shalat dalam bepergian ditetapkan, sedangkan shalat di tempat tinggal ditambahkan (menjadi empat rakaat). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Yusuf At-Tanisi, dan Muslim dari Yahya ibnu Yahya, sedangkan Abu Dawud dari Al-Qa'nabi, dan Imam An-Nasai dari Qutaibah; keempat-empatnya dari Malik dengan lafal yang sama. Timbul suatu pertanyaan dari mereka, apabila asal shalat dalam perjalanan adalah dua rakaat, bagaimanakah yang dimaksud dengan qasar kammiyyah dalam bab ini? Mengingat sesuatu yang merupakan asal tidak dapat disebut demikian (yakni istilah qasar, karena sejak semula sudah dua rakaat), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian mengqasar shalat.” (An-Nisa: 101) Hal yang lebih jelas lagi penunjukannya dari ayat ini ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Sufyan serta Abdur Rahman, dari Zubaid Al-Yami, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Umar yang mengatakan bahwa shalat dalam perjalanan itu dua rakaat, shalat Hari Raya Kurban dua rakaat, shalat Hari Raya Fitri dua rakaat, dan shalat Jumat dua rakaat, sebagai shalat yang lengkap, bukan qasar (ditetapkan) melalui lisan Nabi Muhammad ﷺ. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui berbagai jalur dari Zubaid Al-Yami dengan lafal yang sama. Sanad hadits ini sama dengan syarat Imam Muslim. Imam Muslim menetapkan di dalam mukadimah kitab sahihnya bahwa Ibnu Abu Laila benar pernah mendengar hadits dari Umar. Sesungguhnya hal itu disebutkan dengan jelas dalam hadits ini, juga dalam hadits lainnya. Hal ini, insya Allah benar, sekalipun Yahya ibnu Mu'in dan Abu Hatim serta Imam An-Nasai mengatakan bahwa Ibnu Abu Laila belum pernah mendengar dari Umar. Menanggapi pendapat ini Imam Muslim mengatakan pula, "Sesungguhnya telah terjadi dalam sebagian jalur Abu Ya'la Al-Mausuli melalui jalur As-Sauri, dari Zubaid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari seorang yang tsiqah, dari Umar, lalu Imam Muslim mengetengahkannya. Imam Ibnu Majah disebutkan melalui jalur Yazid ibnu Abu Ziyad ibnu Abul Ja'd, dari Zubaid, dari Abdur Rahman, dari Ka'b ibnu Ujrah, dari Umar. Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadits Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri; Imam Muslim dan Imam An-Nasai menambahkan dan melalui Ayyub ibnu Aiz, keduanya dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian (Nabi Muhammad ﷺ) empat rakaat di tempat dan dua rakaat dalam perjalanan, sedangkan dalam keadaan khauf (takut) adalah satu rakaat. Sebagaimana beliau melakukan shalat qabliyah dan ba'diyah di tempat, demikian pula beliau ﷺ melakukannya dalam shalat perjalanan. Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Usamah ibnu Zaid, yang ia riwayatkan dari Tawus sendiri. Hal ini membuktikan bahwa hadits ini benar-benar bersumber dari Ibnu Abbas. Akan tetapi, hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah dikisahkan oleh Siti Aisyah yang mengatakan bahwa asal shalat itu adalah dua rakaat, tetapi pada shalat di tempat ditambahkan (dua rakaat lagi). Setelah keadaannya mapan, maka benarlah bila dikatakan bahwa shalat di tempat difardukan seperti apa yang diceritakan oleh Ibnu Abbas (yakni empat rakaat). Akan tetapi, hadits Ibnu Abbas dan hadits Siti Aisyah sepakat mengatakan bahwa shalat safar itu adalah dua rakaat; dan bahwa dua rakaat tersebut merupakan shalat yang lengkap, bukan qasar, seperti juga yang diterangkan di dalam hadits Umar. Bilamana demikian, berarti firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat .” (An-Nisa: 101) Makna yang dimaksud ialah qasar kaifiyyah, seperti halnya dalam shalat Khauf. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) hingga akhir ayat. Dalam ayat berikutnya disebutkan pula: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) hingga akhir ayat. Maka dalam ayat selanjutnya disebutkan tujuan utama dari qasar disertai dengan penyebutan gambaran dan tata caranya. Karena itulah ketika Imam Bukhari hendak mencatat Bab Salat Khauf dalam kitab sahihnya, terlebih dahulu ia memulainya dengan menyebutkan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) sampai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.” (An-Nisa: 102) Hal yang sama diriwayatkan oleh Juwaibir dari Adh-Dhahhak sehubungan dengan firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Bahwa keadaan tersebut di saat peperangan, seorang lelaki yang berkendaraan boleh shalat dengan dua takbir menghadap ke arah mana saja kendaraannya mengarah. Asbat meriwayatkan dari As-Suddi sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat, jika kalian takut.” (An-Nisa: 101), hingga akhir ayat. Sesungguhnya jika kalian shalat dua rakaat dalam perjalanan, maka itulah batas qasar yang diperbolehkan baginya. Tidak diperbolehkan selain itu kecuali bila ia takut diserang oleh orang-orang kafir di saat ia melakukan shalat, maka qasar-nya boleh hanya dengan satu rakaat. Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Hal tersebut terjadi ketika Nabi ﷺ dan para sahabatnya berada di Asfan, sedangkan pasukan kaum musyrik berada di Daunan, maka mereka menjadi berhadap-hadapan. Nabi ﷺ shalat Zuhur bersama semua sahabatnya empat rakaat lengkap dengan rukuk dan sujudnya, dan mereka berdiri bersama-sama pula. Maka pasukan kaum musyrik hampir saja hendak menyerang dan menjarah barang-barang serta perabotan yang dibawa pasukan kaum muslim. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid, As-Suddi, dari Jabir dan Ibnu Umar. Ibnu Jarir memilih pendapat ini pula, karena ternyata ia mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan hal tersebut sesudah meriwayatkan hadits ini, dan inilah yang benar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi-b, dari Ibnu Syihab, dari Umayyah ibnu Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Kami menjumpai di dalam Kitabullah masalah qasar shalat khauf, tetapi kami tidak menjumpai qasar shalat safar." Maka Abdullah ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya kami menjumpai Nabi kami mengamalkan perbuatan yang kita kerjakan sekarang. Salat Khauf itu dinamakan shalat qasar, serta menginterpretasikan ayat dengan pengertian tersebut, bukan dengan pengertian qasar shalat untuk musafir." Ibnu Umar menetapkan hal tersebut. Ia menyimpulkan dalil sehubungan dengan shalat qasar musafir hanya dari perbuatan pentasyri (pembuat undang-undang), bukan dengan nas Al-Qur'an. Hal yang lebih jelas dari itu ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Walid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah ibnu Sammak Al-Hanafi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat safar. Maka Ibnu Umar menjawab, "Salat safar adalah dua rakaat sebagai shalat yang lengkap, bukan qasar. Sesungguhnya shalat qasar hanyalah pada keadaan Khauf saja." Lalu aku (Al-Hanafi) bertanya, "Bagaimanakah caranya shalat khauf itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hendaknya imam shalat dengan segolongan orang sebanyak satu rakaat, kemudian mereka yang sudah shalat datang ke posisi mereka yang belum shalat untuk menggantikannya, lalu mereka yang belum shalat datang menggantikan kedudukan mereka yang sudah shalat, lalu imam shalat bersama golongan yang kedua satu rakaat lagi. Dengan demikian, imam melakukan shalat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari dua golongan tersebut satu rakaat-satu rakaat.

An-Nisa': 101

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat