Ali-'Imran: 190

Ayat

Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
فِي
dalam
خَلۡقِ
penciptaan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
وَٱخۡتِلَٰفِ
dan silih berganti
ٱلَّيۡلِ
malam
وَٱلنَّهَارِ
dan siang
لَأٓيَٰتٖ
sungguh terdapat tanda-tanda
لِّأُوْلِي
bagi orang-orang yang
ٱلۡأَلۡبَٰبِ
berakal

Terjemahan

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,

Tafsir

Tafsir Surat Ali-'Imran: 190-194 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal, (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar (seruan) orang yang menyeru kepada iman, (yaitu): 'Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian,' maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya. Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji. Ayat 190 Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qumi dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Said ibnu Jubair dari Ibnu Abbas' yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Mukjizat apakah yang dibawa oleh Nabi Musa kepada kalian?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Tongkat dan tangannya yang tampak putih bagi orang-orang yang memandang." Mereka datang kepada orang-orang Nasrani, lalu bertanya, "Apakah yang dilakukan oleh Nabi Isa?" Orang-orang Nasrani menjawab, "Dia dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya, orang yang berpenyakit sopak, dan dapat menghidupkan orang-orang yang mati." Mereka datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Berdoalah kepada Allah, semoga Dia menjadikan bagi kami Bukit Safa ini menjadi emas." Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) Karena itu, renungkanlah oleh kalian hal tersebut. Riwayat ini sulit dimengerti, mengingat ayat ini adalah ayat Madaniyah, sedangkan permintaan mereka yang menghendaki agar Bukit Safa menjadi emas adalah di Mekah. Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 190) Yakni langit dalam ketinggian dan keluasannya, dan bumi dalam hamparan, kepadatan serta tata letaknya, dan semua yang ada di antara keduanya merupakan tanda-tanda yang dapat disaksikan lagi amat dahsyat, seperti bintang-bintang yang beredar dan yang tetap, lautan, gunung-gunung dan padang pasir, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, tanam-tanaman dan buah-buahan serta hewan-hewan, barang-barang tambang, serta berbagai macam manfaat yang beraneka warna, bermacam-macam rasa, bau, dan kegunaannya. “Dan silih bergantinya malam dan siang.” (Ali Imran: 190) Maksudnya, saling bergiliran dan saling mengurangi panjang dan pendeknya; adakalanya yang ini panjang, sedangkan yang lainnya pendek, kemudian keduanya menjadi sama. Setelah itu yang ini mengambil sebagian waktu dari yang lain hingga ia menjadi panjang waktunya, yang sebelum itu pendek, dan menjadi pendeklah yang tadinya panjang. Semuanya itu berjalan berdasarkan pengaturan dari Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) Yaitu akal-akal yang sempurna lagi memiliki kecerdasan, karena hanya yang demikianlah yang dapat mengetahui segala sesuatu dengan hakikatnya masing-masing secara jelas dan gamblang. Lain halnya dengan orang yang tuli dan bisu serta orang-orang yang tak berakal. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (Yusuf: 105-106) Ayat 191 Selanjutnya Allah menjelaskan ciri khas orang-orang yang berakal, melalui firman berikut: “Mereka adalah orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (Ali Imran: 191) Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Shalatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu berdiri, maka shalatlah sambil duduk; dan jika kamu tidak mampu sambil duduk, maka shalatlah sambil berbaring pada lambungmu.” Mereka tidak pernah terputus dari berzikir mengingat-Nya dalam semua keadaan mereka. Lisan, hati, dan jiwa mereka semuanya selalu mengingat Allah ﷻ dan “mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 191) Mereka memahami semua hikmah yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan kepada kebesaran Penciptanya, kekuasaan-Nya, pengetahuan-Nya, hikmah-Nya, pilihan-Nya, dan rahmat-Nya. Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, "Sesungguhnya bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang terlihat oleh mataku melainkan aku melihat bahwa Allah telah memberiku suatu nikmat melaluinya, dan bagiku ada terkandung pelajaran di dalamnya." Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunya di dalam Kitabut Tawakkul wal I'tibar. Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri bahwa ia pernah mengatakan, "Berpikir sesaat lebih baik daripada berdiri shalat semalam." Al-Fudhail mengatakan bahwa Al-Hasan pernah berkata, "Pikiran merupakan cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukanmu." Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa pikiran merupakan cahaya yang memasuki hatimu. Adakalanya ia mengucapkan perumpamaan untuk pengertian tersebut melalui bait syair ini: “Apabila seseorang menggunakan akal pikirannya, maka pada segala sesuatu terdapat pelajaran baginya.” Disebutkan dari Isa a.s. bahwa ia pernah mengatakan, “Beruntunglah bagi orang yang ucapannya adalah zikir, diamnya berpikir. dan pandangannya sebagai pelajaran." Luqmanul Hakim mengatakan, "Sesungguhnya lama menyendiri mengilhamkan berpikir, dan lama berpikir merupakan jalan yang menunjukkan ke pintu surga." Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa tidak sekali-kali seseorang lama menggunakan pemikirannya melainkan ia akan mengerti, dan tidak sekali-kali seseorang mengerti melainkan mengetahui, dan tidak sekali-kali pula seseorang mengetahui melainkan ia beramal. Umar ibnu Abdul Aziz mengatakan, "Berbicara untuk berzikir kepada Allah ﷻ adalah baik, dan berpikir tentang nikmat-nikmat Allah lebih utama daripada ibadah." Mugis Al-Aswad mengatakan, "Ziarahilah kubur setiap hari, niscaya menggugah pikiran kalian. Saksikanlah adegan hari kiamat dengan hati kalian, dan renungkanlah kedua golongan yang pergi ke dalam surga dan yang masuk ke dalam neraka. Gugahlah hati kalian dan tubuh kalian agar mengingat neraka dan beraneka ragam siksaan yang ada di dalamnya." Ketika perkataannya sampai di situ, maka ia menangis, sampai tubuhnya diangkat oleh murid-muridnya karena pingsan. Abdullah ibnul Mubarak mengatakan bahwa seorang lelaki berjumpa dengan seorang rahib di dekat sebuah kuburan dan tempat pembuangan sampah. Lalu ia memanggil rahib itu dan mengatakan kepadanya, "Wahai rahib, sesungguhnya padamu terdapat dua perbendaharaan di antara perbendaharaan-perbendaharaan dunia. Keduanya mengandung pelajaran bagimu, yaitu perbendaharaan kaum lelaki dan perbendaharaan harta benda." Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bila ia ingin menyegarkan hatinya, maka ia datang ke tempat yang telah ditinggalkan oleh penghuninya (karena sudah rusak). Kemudian ia berdiri di depan pintunya, lalu berseru dengan suara yang lirih seraya mengatakan, "Ke manakah penghunimu?" Kemudian ia mengoreksi dirinya sendiri dan membacakan firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Zat Allah.” (Al-Qashash: 88) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Dua rakaat yang lamanya pertengahan dengan bertafakkur adalah lebih baik daripada berdiri shalat sepanjang malam, sedangkan hatinya lalai." Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Wahai anak Adam, makanlah, isilah sepertiga perutmu dengan makanan, dan sepertiga lagi dengan minuman, dan kosongkanlah sepertiga lainnya untuk memberikan udara segar dalam bertafakkur." Salah seorang bijak mengatakan, "Barang siapa memandang dunia tanpa dibarengi dengan pandangan mengambil pelajaran, maka akan padamlah sebagian dari pandangan mata hatinya sesuai dengan kelalaiannya." Bisyr ibnul Haris Al-Hafi mengatakan, "Seandainya manusia bertafakkur merenungkan keagungan Allah ﷻ, niscaya mereka tidak akan berani berbuat durhaka kepada-Nya." Al-Hasan meriwayatkan dari Amir ibnu Abdu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar tidak hanya dari seorang, dua orang, atau tiga orang dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Semuanya mengatakan, "Sesungguhnya cahaya keimanan itu adalah tafakkur." Diriwayatkan dari Isa a.s., bahwa ia pernah mengatakan, "Wahai anak Adam yang lemah, bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Jadilah kamu di dunia ini orang yang lemah, jadikanlah masjid-masjid sebagai tempat tinggal, ajarkanlah kepada kedua matamu untuk menangis, juga kepada badanmu untuk bersabar, dan kepada hatimu untuk bertafakur. Janganlah engkau pedulikan tentang rezeki keesokan hari." Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnu Abdul Aziz , bahwa ia pernah menangis pada suatu hari di antara teman-temannya. Ketika ditanyakan kepadanya mengapa dia menangis, ia menjawab, "Aku sedang memikirkan perihal dunia dan kesenangan serta nafsu syahwatnya, maka aku dapat mengambil pelajaran darinya. Yaitu setiap kali nafsu syahwat belum terlampiaskan, maka terlebih dahulu ia dikeruhkan oleh kepahitannya. Sekiranya di dalam dunia tidak terdapat pelajaran bagi orang yang memikirkannya. Sungguh di dalam dunia ini terdapat peringatan bagi orang yang mau mengingat." Ibnu Abud Dunia mengatakan bahwa Al-Husain ibnu Abdur Rahman pernah mengucapkan syair-syair berikut kepadanya, yaitu: “Hiburan orang mukmin adalah bertafakur, kesenangan orang mukmin adalah mengambil pelajaran.” Kami memuji kepada Allah semata, kami semua berada dalam bahaya. Banyak orang yang lalai (berzikir) umurnya telah habis, sedangkan dia tidak menyadarinya. Banyak kehidupan terpenuhi semua yang dicita-citakannya, bunga-bunga yang mekar dengan gemericik air dari mata air, naungan pepohonan, tumbuh-tumbuhan yang segar, dan buah-buahan yang matang, semuanya itu menjadi berubah oleh lewatnya masa yang begitu cepat; demikian pula pemiliknya. Kami memuji Allah semata, sesungguhnya pada yang demikian itu terkandung pelajaran. Sesungguhnya pada yang demikian itu terkandung pelajaran bagi orang yang berakal jika ia menggunakan akal pikirannya. Allah ﷻ mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari makhluk-Nya yang menunjukkan kepada Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, syariat-Nya, takdir-Nya, dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedangkan mereka berpaling darinya. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” (Yusuf: 105-106) Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin melalui ayat berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’." (Ali Imran: 191) Tidak sekali-kali Engkau ciptakan semuanya dengan sia-sia melainkan dengan benar, agar orang-orang yang berbuat buruk dalam perbuatannya Engkau berikan balasan yang setimpal kepada mereka, dan Engkau berikan pahala yang baik kepada orang-orang yang berbuat baik. Kemudian orang-orang mukmin menyucikan Allah dari perbuatan sia-sia dan penciptaan yang batil (sia-sia). Untuk itu mereka mengatakan sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya: “Maha Suci Engkau.” (Ali Imran: 191) Yaitu Maha Suci Engkau dari perbuatan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. “Maka lindungilah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191) Lindungilah kami, wahai Tuhan yang menciptakan semua makhluk dengan benar dan adil. Wahai Tuhan Yang Maha Suci dari segala kekurangan, cela dan perbuatan sia-sia, lindungilah kami dari azab neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu. Berilah kami taufik (bimbingan) untuk mengerjakan amal-amal yang menyebabkan Engkau rida kepada kami. Berilah kami taufik kepada amal saleh yang dapat menuntun kami ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Lindungilah kami dari azab-Mu yang amat pedih. Ayat 192 Kemudian mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya.” (Ali Imran: 192) Engkau hinakan dan Engkau tampakkan kehinaannya di mata semua makhluk yang hadir di hari perhimpunan (hari kiamat) nanti. “Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 192) Kelak di hari kiamat, tiada seorang pun yang dapat melindungi mereka dari azab-Mu dan mereka tidak dapat menyelamatkan dirinya dari apa yang Engkau kehendaki terhadap mereka. Ayat 193 “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) orang yang menyeru kepada iman.” (Ali Imran: 193) Yaitu seorang penyeru yang menyeru kepada iman. Dia adalah Rasulullah ﷺ (yang menyeru), "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian ", maka kami pun beriman. (Ali Imran: 193) Dia mengatakan, "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian!" Maka kami pun beriman. Dengan kata lain, kami memenuhi seruannya dan mengikutinya, yakni dengan iman kami dan kami mengikuti Nabi-Mu. “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami.” (Ali Imran: 193) Maksudnya, tutuplah dosa-dosa kami (maafkanlah dosa-dosa kami). “Dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami.” (Ali Imran: 193) Yakni kesalahan-kesalahan yang kami lakukan terhadap Engkau. “Dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (Ali Imran: 193) Artinya, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Ayat 194 “Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul Engkau.” (Ali Imran: 194) Menurut satu pendapat, makna yang dimaksud ialah Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami sebagai balasan atas iman kami kepada rasul-rasul-Mu. Menurut pendapat yang lain, maksudnya adalah ‘apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui lisan rasul-rasul-Mu'. Makna yang kedua ini lebih kuat dan lebih jelas. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Anir ibnu Muhammad, dari Abu Iqal, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Ada dua golongan manusia yang menjadi pusat perhatian manusia. Allah membangkitkan salah satunya kelak di hari kiamat sebanyak tujuh puluh ribu orang yang tidak ada hisab atas diri mereka. Darinya Allah membangkitkan sebanyak lima puluh ribu orang syuhada, mereka adalah delegasi-delegasi yang menghadap kepada Allah. Di antara mereka yang lima puluh ribu orang itu terdapat barisan para syuhada yang kepala mereka dalam keadaan terpotong dan berada di tangannya masing-masing, sedangkan wajah mereka berlumuran darah seraya mengucapkan: “Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” (Ali Imran: 194) Maka berfirmanlah Allah ﷻ, “Benarlah hamba-hamba-Ku, mandikanlah mereka di dalam sungai putih.” Akhirnya mereka keluar dari sungai itu dalam keadaan bersih lagi putih, lalu mereka berjalan-jalan di dalam surga menurut sesukanya. Hadits ini termasuk hadits garib yang ada di dalam kitab musnad. Di antara mereka ada yang menilainya sebagai hadits maudu (palsu). “Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat.” (Ali Imran: 194) Yakni di hadapan mata semua makhluk. “Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” (Ali Imran: 194) Sudah merupakan kepastian adanya hari yang dijanjikan yang Engkau beritakan melalui rasul-rasul-Mu, yaitu hari kiamat, hari di mana semua makhluk berdiri di hadapan-Mu. Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hafidzh Abu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Al-Mutabar, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir, bahwa Jabir ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Keaiban dan kehinaan yang dialami oleh anak Adam (yang berdosa) kelak di hari kiamat di hadapan Allah ﷻ mencapai tingkatan yang membuat diri yang bersangkutan berharap agar dirinya segera dimasukkan ke dalam neraka (karena sangat malu).” Hadits berpredikat garib. Telah disebutkan di dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah ﷺ acapkali membaca sepuluh ayat dari akhir surat Ali Imran ini ketika bangkit dari tidurnya di sebagian malam hari untuk melaksanakan tahajud. Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Syarik ibnu Abdullah ibnu Abu Namir, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tidur di rumah bibinya (yaitu Siti Maimunah). Lalu Rasulullah ﷺ bercakap-cakap dengan istrinya selama sesaat, kemudian beliau tidur. Ketika malam hari tinggal sepertiganya lagi, beliau bangun dan duduk, lalu memandang ke arah langit seraya mengucapkan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190), hingga beberapa ayat selanjutnya. Setelah itu beliau bangkit dan melakukan wudu. Setelah bersiwak, beliau melakukan shalat sebanyak sebelas rakaat. Kemudian Bilal menyerukan azannya, maka beliau ﷺ shalat dua rakaat, lalu keluar dan shalat Subuh menjadi imam bagi orang-orang. Demikian pula Imam Muslim meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Ishaq As-San'ani, dari Ibnu Abu Maryam dengan lafal yang sama. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Malik, dari Makhramah ibnu Sulaiman, dari Kuraib, bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah menginap di rumah Siti Maimunah, istri Nabi ﷺ yang juga bibinya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa ia tidur pada bagian dari bantal yang melebar, sedangkan Rasulullah ﷺ bersama istrinya (Siti Maimunah) tidur pada bagian yang memanjang dari bantal itu. Rasulullah ﷺ tidur hingga tengah malam, atau sedikit sebelumnya atau sedikit sesudahnya. Rasulullah ﷺ bangun dari tidurnya, lalu mengusap wajah dengan tangannya untuk mengusir rasa kantuk. Setelah itu beliau membaca sepuluh ayat yang mengakhiri surat Ali Imran. Lalu beliau bangkit menuju arah tempat air yang digantungkan, mengambil air wudu darinya, dan melakukan wudu dengan baik. Sesudah itu beliau berdiri mengerjakan shalat. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Maka aku berdiri dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya. Setelah itu aku menuju kepadanya dan berdiri di sebelahnya. Maka Rasulullah ﷺ meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan memegang telinga kananku, lalu menjewernya (yakni memindahkan Ibnu Abbas dari sebelah kiri ke sebelah kanannya). Beliau melakukan shalat dua rakaat, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, kemudian witir. Sesudah itu beliau berbaring hingga juru azan datang kepadanya. Kemudian beliau bangkit dan melakukan shalat dua rakaat secara ringan, lalu keluar (menuju masjid) dan shalat Subuh (sebagai imam bagi semua orang)." Demikianlah hal yang diketengahkan oleh Jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Malik dengan lafal yang sama. Imam Muslim meriwayatkannya pula, juga Imam Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Makhramah ibnu Sulaiman dengan lafal yang sama. Jalur lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan hadits ini oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya. dari Abu Maisarah, telah menceritakan kepada kami Khallad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Abi Ishaq, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Al-Abbas memerintahkan kepadaku untuk menginap di rumah keluarga Rasulullah ﷺ untuk mempelajari cara shalat (malam hari)nya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya bahwa Rasulullah ﷺ melakukan shalat Isya bersama orang banyak. Setelah di dalam masjid tidak terdapat seorang pun selain diriku, maka beliau berdiri dan lewat di hadapanku. Beliau bertanya, "Siapakah ini? Abdullah bukan?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Mengapa masih di sini?" Aku menjawab, "Al-Abbas (ayahku) telah memerintahkan aku untuk menginap di rumahmu malam ini." Rasulullah ﷺ bersabda, "Mari masuk, mari masuk." Setelah masuk ke dalam rumah, beliau ﷺ bersabda, "Mau memakai kasur, Abdullah?" Beliau ﷺ mengambil sebuah bantal yang berlapiskan kain bulu. Rasulullah ﷺ tidur memakai bantal itu hingga aku mendengar dengkurannya. Setelah itu beliau duduk tegak di atas kasurnya dan mengarahkan pandangannya ke langit, lalu mengucapkan: “Subhanal Malikil Quddus (Maha Suci Raja Yang Maha Suci)” sebanyak tiga kali, lalu membacakan ayat-ayat yang berada di akhir surat Ali Imran hingga akhir surat Ali Imran. Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam An-Nasai meriwayatkan melalui hadits Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari ayahnya sebuah hadits mengenai hal yang sama. Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui hadits ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari salah seorang muridnya, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Rasulullah ﷺ keluar sesudah sebagian malam hari telah berlalu. Lalu beliau memandang ke arah langit dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) hingga akhir surat. Sesudah itu beliau ﷺ berdoa: “Ya Allah, jadikanlah di dalam kalbuku nur (cahaya), di dalam pendengaranku nur, di dalam pandanganku nur, di sebelah kananku nur, di sebelah kiriku nur, di hadapanku nur, di belakangku nur, di atasku nur, di bawahku nur, dan besarkanlah nur bagiku kelak di hari kiamat.” Doa ini ditetapkan pada sebagian jalur-jalur yang shahih melalui riwayat Kuraib, dari Ibnu Abbas. Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Yahudi, lalu mereka bertanya, "Mukjizat-mukjizat apakah yang dibawa oleh Musa kepada kalian?" Orang-orang Yahudi menjawab, "Tongkatnya dan tangannya yang kelihatan putih bagi orang-orang yang memandangnya." Orang-orang Quraisy datang kepada orang-orang Nasrani, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dilakukan oleh Isa di tengah kalian?" Orang-orang Nasrani menjawab, “Dia dapat menyembuhkan orang buta, orang berpenyakit suopak dan dapat menghidupkan orang-orang mati." Mereka datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Mintakanlah buat kami kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas." Maka Nabi ﷺ berdoa kepada Tuhannya, lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190) Dengan kata lain, hendaklah mereka merenungkan semuanya itu. Lafal hadits ini berdasarkan riwayat Ibnu Mardawaih. Hadits ini disebutkan dalam permulaan pembahasan ayat melalui riwayat Imam Ath-Thabarani. Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat ini adalah Makkiyyah. Tetapi menurut pendapat yang masyhur, ayat-ayat ini adalah Madaniyah, sebagai dalilnya adalah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Syuja' ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Hasyraj ibnu Nabatah Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Makram, dari Al-Kalbi (yaitu Ibnu Junab), dari ‘Atha’ yang menceritakan, "Aku dan Ibnu Umar serta Ubaid ibnu Umair berangkat menuju rumah Siti Aisyah, lalu kami masuk ke dalam rumahnya dan menjumpainya, sedangkan antara kami dengan dia terdapat hijab." Siti Aisyah bertanya, "Wahai Ubaid, apakah yang menghalang-halangi dirimu untuk berkunjung kepadaku?" Ubaid menjawab, "Perkataan seorang penyair yang mengatakan, 'Jarang-jaranglah berkunjung, niscaya menambah rasa kangen'." Ibnu Umar memotong pembicaraan, "Biarkanlah kami, ceritakanlah kepada kami hal yang paling mengagumkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah ﷺ." Siti Aisyah menangis dan mengatakan bahwa semua hal tentang Nabi ﷺ adalah mengagumkan, "Beliau mendatangiku di malam giliranku hingga kulit beliau bersentuhan dengan kulitku. Setelah itu beliau bersabda, 'Biarkanlah aku menyembah Tuhanku.' Maka aku berkata, 'Demi Allah, sesungguhnya aku suka berada di dekatmu, dan sesungguhnya aku suka menyembah Tuhanmu'." Nabi ﷺ bangkit menuju qirbah (tempat air dari kulit), lalu berwudu tanpa banyak mengucurkan air. Setelah itu beliau berdiri mengerjakan shalat, dan beliau menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Lalu sujud dan menangis pula hingga air matanya membasahi tanah. Kemudian berbaring pada lambungnya dan menangis lagi. Ketika Bilal datang memberitahukan kepadanya waktu shalat Subuh, seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Nabi ﷺ menjawab, "Celakalah kamu, wahai Bilal, apakah yang menghalang-halangiku menangis, padahal Allah telah menurunkan kepadaku malam ini ayat berikut: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal’. (Ali Imran: 190) Kemudian Nabi ﷺ bersabda pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan semuanya itu’." Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Ja'far ibnu Auf Al-Kalbi, dari Abu Hubab (yaitu ‘Atha’) yang menceritakan bahwa ia dan Abdullah ibnu Umar serta Ubaid ibnu Umair masuk ke dalam rumah Siti Aisyah Ummul Mukminin yang saat itu berada di dalam rumah (kemah)nya. Maka kami mengucapkan salam penghormatan kepadanya, dan ia bertanya, "Siapakah mereka?" Kami menjawab, "Abdullah ibnu Umar dan Ubaid ibnu Umair." Siti Aisyah berkata, "Wahai Ubaid ibnu Umair, apakah yang menghalang-halangi dirimu untuk berkunjung kepadaku?" Ubaid ibnu Umair mengucapkan kata-kata tadi yang telah disebutkan di atas, yaitu: “Jarang-jaranglah berkunjung, niscaya akan bertambah kangen.” Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya aku senang bila dikunjungi olehmu dan berbincang-bincang denganmu." Abdullah ibnu Umar berkata, "Bebaskanlah kami dari obrolan kamu berdua ini. Sekarang ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat dari Rasulullah ﷺ." Siti Aisyah menangis, kemudian berkata, "Semua hal Nabi ﷺ adalah menakjubkan belaka. Beliau pernah datang kepadaku di malam giliranku hingga masuk bersama dan merebahkan diri di atas tempat tidurku hingga kulit beliau bersentuhan dengan kulitku. Kemudian beliau bersabda, 'Wahai Aisyah, izinkanlah aku, sekarang aku akan menyembah Tuhanku'." Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya aku suka berada di dekatmu dan aku suka apa yang engkau suka." Rasulullah ﷺ bangkit menuju qirbah (wadah air) yang ada di dalam rumah, dan dalam wudunya itu beliau menghemat air. Lalu berdiri dan membaca Al-Qur'an seraya menangis sehingga aku melihat air matanya sampai mengenai kedua sisi pinggangnya. Setelah itu beliau ﷺ duduk, lalu membaca hamdalah dan memuji Allah ﷻ, kemudian menangis lagi sehingga aku melihat air matanya sampai membasahi pangkuannya. Kemudian beliau merebahkan diri pada lambung sebelah kanannya dan meletakkan lengan kanannya pada pipinya, lalu beliau menangis lagi sehingga aku melihat air matanya sampai membasahi tanah. Lalu masuklah Bilal memberitahukan kepadanya bahwa waktu shalat Subuh telah masuk. Bilal berkata, "Wahai Rasulullah, sekarang waktu shalat." Tetapi ketika Bilal melihat Rasulullah ﷺ menangis, maka ia bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan-Nya bagimu atas semua dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Wahai Bilal, bukankah aku ingin menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur? Mengapa aku tidak menangis, padahal malam ini telah diturunkan kepadaku firman-Nya: 'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal' (Ali Imran: 190) sampai dengan firman-Nya: 'Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa neraka'.” (Ali Imran: 191) Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Celakalah bagi orang yang membaca ayat-ayat ini, lalu ia tidak merenungkannya.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, dari Imran ibnu Musa, dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Zakaria, dari Ibrahim ibnu Suwaid An-Nakha'i, dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari ‘Atha’ yang menceritakan bahwa dia dan Ubaid ibnu Umair masuk ke dalam rumah Siti Aisyah, dan seterusnya hingga akhir hadits. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abud Dunia di dalam kitab At-Tafakkur wal I'tibar, dari Syuja" ibnu Asyras. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Abdul Aziz, ia pernah mendengar Sunaid menceritakan dari Sufyan Ats-Tsauri yang me-rafa'-kannya bahwa barang siapa yang membaca akhir surat Ali Imran, lalu ia tidak memikirkan maknanya, celakalah dia. Dia mengatakan demikian seraya menghitung dengan jari-jarinya sebanyak sepuluh buah (yakni sepuhih ayat terakhir dari surat Ali Imran). Al-Hasan ibnu Abdul Aziz mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ubaid ibnus Saib yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Al-Auza'i, "Apakah yang dimaksud dengan pengertian memikirkan ayat-ayat tersebut?" Al-Auza'i menjawab, "Membacanya seraya merenungkan maknanya." Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Qasim ibnu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Iyasy, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Auza'i tentang batas minimal dari pengertian memikirkan ayat-ayat tersebut dan jalan menyelamatkan diri dari kecelakaan tersebut." Maka Al-Auza'i menundukkan kepalanya sejenak, lalu berkata, "Hendaklah seseorang membaca ayat-ayat tersebut seraya memikirkan maknanya." Hadits lain mengandung garabah (keanehan). Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Basyir ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Al-Busti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ammar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Musa Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: “Setiap malam Rasulullah ﷺ selalu membaca sepuluh ayat dari akhir surat Ali Imran.” Muzahir ibnu Aslam orangnya dha’if.

Ali-'Imran: 190

×
×
Bantu Learn Quran Tafsir
untuk
Terus Hidup Memberi Manfaat