Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلصَّفَا
Shafa
وَٱلۡمَرۡوَةَ
dan Marwa
مِن
daripada
شَعَآئِرِ
tanda-tanda/syi'ar
ٱللَّهِۖ
Allah
فَمَنۡ
maka barang siapa
حَجَّ
beribadah haji
ٱلۡبَيۡتَ
rumah/Baitullah
أَوِ
atau
ٱعۡتَمَرَ
berumrah
فَلَا
maka/mengapa tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِ
atasnya
أَن
untuk
يَطَّوَّفَ
bertawaf/mengerjakan sa'i
بِهِمَاۚ
diantara keduanya
وَمَن
dan barang siapa
تَطَوَّعَ
mengerjakan dengan kerelaan
خَيۡرٗا
kebaikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَاكِرٌ
Maha Mensyukuri
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلصَّفَا
Shafa
وَٱلۡمَرۡوَةَ
dan Marwa
مِن
daripada
شَعَآئِرِ
tanda-tanda/syi'ar
ٱللَّهِۖ
Allah
فَمَنۡ
maka barang siapa
حَجَّ
beribadah haji
ٱلۡبَيۡتَ
rumah/Baitullah
أَوِ
atau
ٱعۡتَمَرَ
berumrah
فَلَا
maka/mengapa tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِ
atasnya
أَن
untuk
يَطَّوَّفَ
bertawaf/mengerjakan sa'i
بِهِمَاۚ
diantara keduanya
وَمَن
dan barang siapa
تَطَوَّعَ
mengerjakan dengan kerelaan
خَيۡرٗا
kebaikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
شَاكِرٌ
Maha Mensyukuri
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Sesungguhnya Safa dan Marwah) nama dua bukit di Mekah (adalah sebagian dari syiar-syiar Allah) tanda-tanda kebesaran agama-Nya, jamak dari 'syaa`irah.' (Barang siapa yang melakukan ibadah haji atau umrah) artinya memakai pakaian haji atau umrah. Asal makna keduanya adalah menyengaja dan berkunjung, (maka tiada salah baginya) artinya ia tidak berdosa (mengerjakan sai) asalkan sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun tatkala kaum muslimin tidak bersedia melakukannya, disebabkan orang-orang jahiliah dulu biasa tawaf di sana sambil menyapu dua berhala yang terdapat pada keduanya. Menurut Ibnu Abbas bahwa sai itu hukumnya tidak wajib, hanya takhyir, artinya dibolehkan memilih sebagai akibat tidak berdosa. Tetapi Syafii dan ulama lainnya berpendapat bahwa sai adalah rukun dan hukum fardunya dinyatakan oleh Nabi ﷺ dengan sabdanya, "Sesungguhnya Allah mewajibkan sai atas kamu." (H.R. Baihaqi) Sabdanya pula, "Mulailah dengan apa yang dimulai Allah, yakni Shafa." (H.R. Muslim) (Dan barang siapa yang dengan kemauan sendiri berbuat) ada yang membaca 'Taththawwa`a', yaitu dengan ditasydidkan ta pada tha, lalu diidgamkan (suatu kebaikan) maksudnya amalan yang tidak wajib seperti tawaf dan lain-lainnya (maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri) perbuatannya itu dengan memberinya pahala (lagi Maha Mengetahui).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 158
Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Bailullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
Ayat 158
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah berkata kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, "Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, wahai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Anshar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah.
Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya '(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah ﷺ menetapkan (mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya."
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab Shahihain. Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengatakan bahwa ia menceritakan hadits ini kepada Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rahman menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan mengenai ini belum pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar dari banyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah mengatakan bahwa tawaf di antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) termasuk perbuatan Jahiliah.' Orang-orang lain dari kalangan Anshar mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya diperintahkan melakukan tawaf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf antara Safa dan Marwah.' Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ' (Al-Baqarah: 158).
Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka (kalangan orang-orang Anshar) yang lainnya."
Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui hadits Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang lafaznya mirip dengan hadits di atas. Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ‘Ashim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah,bertanya kepada Anas tentang masalah Safa dan Marwah. Maka Anas menjawab, "Pada mulanya kami menganggap termasuk perkara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan tawaf di antara keduanya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah bagian dari syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan Marwah di sepanjang malam, di antara keduanya banyak terdapat berhala-berhala. Ketika Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang melakukan sa'i di antara keduanya, maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Safa, dan berhala Nailah berada di atas Marwah; mereka selalu mengusap keduanya. Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk Islam untuk melakukan tawaf di antara keduanya. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya bahwa berhala Isaf dan Nailah pada mulanya adalah dua orang manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina di dalam Ka'bah, maka keduanya dikutuk menjadi batu. Kemudian orang-orang Quraisy memancangkan keduanya di dekat Ka'bah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain.
Ketika masa berlalu cukup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan ke Safa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Setiap orang yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah selalu mengusap keduanya. Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu kasidahnya yang terkenal: “Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta kendaraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari Isaf dan Nailah.”
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Jabir yang cukup panjang, bahwa ketika Rasulullah ﷺ selesai dari tawafnya di Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudian keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158) Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni dari Safa ke Marwah).”
Di dalam riwayat Imam An-Nasai disebutkan: “Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah!”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah Muammal, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Tajrah yang menceritakan: Aku melihat Rasulullah ﷺ sa'i antara Safa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut-nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain sarungnya berputar seraya mengatakan, "Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil maula Abu Uyaynah, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ada seorang wanita menceritakan kepadanya; dia pernah mendengar Nabi ﷺ di antara Safa dan Marwah menyerukan: “Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena itu, bersa'ilah kalian!”
Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah merupakan salah satu dari rukun ibadah haji, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Malik.
Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya wajib.
Karena itu, barang siapa yang meninggalkannya baik dengan sengaja atau lupa ia dapat menggantinya dengan menyembelih kurban. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama.
Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin yang bersumberkan dari riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; juga diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Utabiyyah.
Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya sunat berdasarkan firman-Nya: “Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati.” (Al-Baqarah: 158) Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah ﷺ melakukan sa'i antara keduanya seraya mengucapkan: “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian.” Semua yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam hajinya itu hukumnya wajib dan harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan berdasarkan dalil.
Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian.” Allah ﷻ telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah termasuk salah satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan oleh Allah ﷻ kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji.
Telah dijelaskan pula dalam hadits Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang pergi antara Safa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk putranya ketika persediaan air dan bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang manusia pun selain mereka berdua. Ketika Siti Hajar merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup putranya di tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti Hajar meminta pertolongan kepada Allah ﷻ. Ia mondar-mandir antara Safa dan Marwah seraya merendahkan diri, penuh dengan rasa takut kepada Allah dan sangat mengharapkan pertolongan-Nya, hingga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir rasa keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerahkan kepadanya zamzam yang airnya merupakan makanan yang mengenyangkan dan obat penawar bagi segala penyakit.
Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah hendaknya melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada Allah, rendah diri dan memohon petunjuk serta perbaikan keadaannya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia berlindung kepada Allah ﷻ agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang ada pada dirinya, dan memohon hidayah-Nya akan jalan yang lurus. Hendaknya dia memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada hidayah itu (Islam) hingga akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan dirinya yang penuh dengan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna, ampunan, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa yang dialami oleh Siti Hajar a.s.
Firman Allah ﷻ: “Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati.” (Al-Baqarah: 158)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i lebih dari yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran atau sembilan kali putaran. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'umrah tatawwu'. Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah melakukan tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya diriwayatkan oleh Ar-Razi, dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan Al-Hasan Al-Basri.
Firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 158)
Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang banyak tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala yang diberikan-Nya; maka tiada seorang pun dirugikan dalam menerima pahala dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu: "Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya." (An-Nisa: 40)
Usai menjelaskan perihal kiblat, Allah lalu beralih menguraikan apa yang terkait dengan Masjidilharam, yaitu bukit Safa dan Marwah. Sesungguhnya Safa dan Marwah, dua bukit di dekat Kakbah (sekarang dalam lingkup Masjidilharam) merupakan sebagian syi'ar agama Allah, karena orang yang haji dan umrah melakukan ritual ubudiyah dengan berlari kecil di antara keduanya. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Lakukanlah sai sesuai tuntunan Allah dan janganlah kamu merasa berdosa oleh istiadat kaum Jahiliah yang mengusap patung di pucuk kedua bukit itu. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri dengan memberikan pahala yang agung atas kebajikannya itu, dan Dia pun Maha Mengetahui.
Allah mengimbau umat Islam untuk menyampaikan kebenaran. Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan, yakni kitab-kitab samawi sebelum Al-Qur'an, dengan tidak memaparkannya kepada masyarakat atau menggantinya dengan yang lain, berupa keterangan-keterangan tentang satu kebenaran dan petunjuk, seperti sifat-sifat Nabi Muhammad atau hukum syariat tertentu setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab Al-Qur'an, mereka itulah orang yang dilaknat Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya, dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat: para malaikat dan kaum mukmin. Ayat ini berlaku bagi setiap orang yang sengaja menyembunyikan kebenaran dari Allah. Laknat itu akan selalu meliputi mereka, kecuali mereka yang telah bertobat dan menyesali dosa mereka, dan mengadakan perbaikan dengan berbuat saleh, dan menjelaskan-nya; mereka itulah yang Aku terima tobatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
.
Pada ayat ini kabar gembira itu ditegaskan kembali dengan menjelaskan bahwa Safa dan Marwah adalah salah satu tempat ibadah dan barang siapa ingin mengerjakan ibadah haji, haruslah ia melakukan sa'i antara Safa dan Marwah. Dengan demikian nyatalah bahwa kaum Muslimin pasti akan berhasil menaklukkan kota Mekah, karena Mekah adalah tempat melakukan ibadah haji yang menjadi rukun kelima dalam Islam yang harus dikerjakan oleh setiap Muslim yang mampu menunaikannya. Karena itu, Masjidilharam dan sekelilingnya harus dibersihkan dari berhala serta kemusyrikan.
Meskipun ada perbedaan pendapat antara imam-imam mazhab mengenai hukum sa'i ini; ada yang menganggapnya sebagai rukun haji seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i dan ada pula yang menganggapnya sebagai wajib haji seperti Imam Abu Hanifah, namun jelas bahwa sa'i itu harus dikerjakan dalam menunaikan ibadah haji.
Secara umum, tidak ada perbedaan antara rukun dan wajib, tetapi khusus dalam masalah haji dibedakan antara keduanya. Rukun ialah yang harus dikerjakan atau tidak dapat diganti atau ditebus. Wajib ialah yang mesti dikerjakan tapi jika tertinggal harus diganti dengan membayar denda (dam). Yang menjadi pertanyaan di sini ialah mengapa dalam ayat ini disebutkan "tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya" padahal itu adalah suatu rukun yang wajib, dan tidak mungkin seseorang yang menunaikan rukun atau wajib akan berdosa.
Hal ini untuk menghilangkan keragu-raguan kaum Muslimin tentang mengerjakan sa'i, karena kaum musyrikin juga mengerjakan sa'i dalam ibadah mereka, seakan-akan apa yang dikerjakan kaum musyrikin itu tidak boleh dilakukan oleh kaum Muslimin dan mereka akan berdosa bila mengerjakannya. Jadi harus dipahami bahwa maksud mengerjakan sa'i kaum musyrikin berbeda dari kaum Muslimin. Mengerjakan sa'i itu adalah bukti atau perwujudan dari keimanan kepada Allah serta kepatuhan pada perintah-Nya.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa barang siapa yang berbuat kebajikan atau amal ibadah lebih daripada yang diwajibkan kepadanya (mengerjakan yang sunah-sunah), Allah akan mensyukuri amal kebaikan itu dan Allah Maha Mengetahui semua amalan hamba-Nya. Maka janganlah ragu-ragu berbuat kebaikan, karena semua amal itu akan dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SA'I DI ANTARA SHAFA DAN MARWAH
Ayat 158
“Sesungguhnya, Shafa dan Marwah itu adalah daripada syiar-syiar Allah jua."
Sya'airallah Artinya, tanda-tanda peribadatan kepada Allah. Ketika mengerjakan haji banyaklah terdapat syiar itu. Unta-unta dan lembu yang akan dikurbankan waktu habis haji dilukai tengkuknya sebagai tanda. Melukai itu pun dinamai syiar. Shalat di makam Ibrahim adalah termasuk syiar ibadah. Thawaf keliling Ka'bah, wuquf di Arafah, dan di ayat ini disebut berjalan atau Sa'i di antara Shafa dan Marwah itu pun satu di antara syiar-syiar (sya'air) itu pula, dan melempar jamrah di Mina. Syiar-syiar demikian adalah termasuk ta'abbudi, sebagai imbangan dari ta'aqquli.
Ta'abbudi artinya ibadah yang tidak dapat dikorek-korek dengan akal mengapa dikerjakan demikian. Ta'aqquli ialah yang bisa diketahui dengan akal. Kita mengetahui apa hikmahnya mengerjakan shalat; itu namanya ta'aqquli. Akan tetapi, kita tak dapat mengakali mengapa Zhuhur empat rakaat dan Shubuh dua rakaat. Itu namanya ta'abbudi. Kita dapat mengetahui hikmah mengerjakan haji sekurangnya sekali seumur hidup (ta'aqquli), tetapi kita tidak dapat mengetahui mengapa ada perintah melontar jamrah dengan batu kecil tujuh kali (ta'abbudi).
Maka, syiar-syiar itu termasuklah dalam ta'abbudi."Maka, barangsiapa yang naik haji ke rumah itu atau umrah, tidaklah mengapa bahwa dia keliling pada keduanya." Rumah itu yang dimaksud di sini ialah Baitullah (Ka'bah) itu. Adapun haji ialah pada waktu tertentu dimulai 9 Dzulhijjah sampai selesai berhenti di Mina sekeliling tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah. Adapun umrah adalah kewajiban di waktu lain, selain waktu haji, yang tidak memakai wuquf di Arafah dan berhenti di Muzdalifah dan di Mina. Meski demikian, haji dan umrah sama-sama memakai pakaian ihram, sama-sama memakai thawaf keliling Ka'bah dan sama-sama memakai sa'i di antara kedua Bukit Shafa dan Marwah.
Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit kecil atau menunggu di dekat Masjidil Haram. Jarak di antara kedua bukit itu ialah 760,5 (tujuh ratus enam puluh setengah) hasta. Setelah perbaikan Masjidil Haram yang terakhir (1957) kedua bukit itu telah termasuk dalam lingkungan masjid. Maka, dalam rangka mengerjakan haji dan umrah termasuklah sa'i, yaitu berkeliling pergi dan kembali di antara kedua bukit itu tujuh kali. Dikerjakan setelah mengerjakan thawaf. Sehabis sa'i itulah boleh tahallul, yaitu mencukur rambut dan menanggalkan pakaian ihram. Dengan tahallul, nusuk pun selesai.
Menurut hadits Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, syiar sa'i ini adalah kenangan terhadap Hajar (istri muda Ibrahim) ketika Ismail yang dikandungnya telah lahir, sedangkan dia ditinggalkan di tempat itu oleh Ibrahim seorang sebab Ibrahim melanjutkan perjalanannya ke Syam maka habislah air persediaannya dan nyaris keringlah air susunya, sedangkan sumur untuk mengambil air tidak ada di tempat itu. Anaknya Ismail telah me-nangis-nangis kelaparan hingga hampir parau suaranya.
Maka, dengan harap-harap cemas setengah berlarilah (sa'i) Hajar itu di antara kedua bukit ini mencari air, sampai tujuh kali pergi dan balik. Anaknya tinggal dalam kemahnya seorang diri di lembah bawah. Tiba-tiba kedengaran olehnya suara dan kelihatan burung terbang, padahal tangis anaknya kedengaran pula meminta susu. Selesai pulang balik tujuh kali itu dia pun berlari kembali ke tempat anaknya yang ditinggalkannya itu. Dilihatnya sesosok malaikat telah menggali-gali tanah di ujung kaki anaknya maka keluarlah air. Dengan amat cemas dipeluknya air itu seraya berkata, “Zam! Zam!" yang Artinya, “berkumpullah, berkumpullah!" Kebetulan di masa itu datang kafilah orang Jurhum yang tengah mencari air. Itulah sumur zamzam dan itulah asal “lembah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan" itu diramaikan menjadi negeri. Itulah asal Mekah.
Maka, perkelilingan Hajar itu dimasukkanlah dalam rangka syiar ibadah haji dan umrah, dan diakuilah dia oleh ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa dia memang syiarlah adanya dari ibadah kepada Allah. Salah satu dari tanda peribadatan. Barangsiapa yang naik haji atau umrah tidaklah ada salahnya jika dia berkeliling pula di antara kedua bukit itu sebagaimana lazimnya.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, pada suatu hari Urwah bin Zubair menyatakan pendapatnya di dekat Ummul Mu'minin Siti Aisyah bahwa demikian bunyi ayat tidaklah wajib sa'i di antara Shafa dan Marwah itu. Karena kalau disebut tidaklah mengapa berkeliling di antara keduanya, niscaya tidak berkeliling pun tidak mengapa. Pendapat Urwah ini ditegur dengan baik oleh Aisyah, “Bukan sebagai yang engkau pahamkan itu, wahai anak saudaraku."
Adapun sa'i di antara Shafa dan Marwah itu adalah termasuk dalam rangka syiar ibadah. Maka, ayat itu menyebut tidak mengapa ialah karena di sana di zaman jahiliyyah kalau ada orang Anshar pergi beribadah haji atau umrah ke Mekah, mereka mesti bertemu dengan berhala Manata yang besar dan seram yang terletak di antara kedua bukit itu. Setelah mereka menjadi Muslim, semua musykillah dalam hati mereka bagaimana mereka akan sa'i juga di antara kedua bukit itu, padahal di sana masih berdiri berhala Manata itu. Maka, ayat ini menjelaskan bahwa tidak mengapa jika mereka sa'i di sana walaupun di sana masih berdiri berhala itu. Demikian kita tuliskan maksud dari hadits Bukhari dan Muslim itu. Lanjutan ayat,
“Dan barangsiapa yang menambah kerja kebaikan maka sesungguhnya Allah adalah Pembalas terima kasih, lagi Maha Mengetahui."
Mengerjakan haji atau umrah yang wajib hanya sekali seumur hidup, tetapi jika orang ingin menambah lagi dengan tathawwu', menambah haji lagi dan menambah umrah lagi, entah berapa kali dia ke Mekah maka Allah mensyukuri amalnya itu dan membalas budinya itu dengan baik. Dan, semua amalnya yang ikhlas diketahui oleh Allah.
Maka, terasalah bahwa ayat ini masih bertali dengan perintah peralihan kiblat dan pengharapan akan kemenangan di zaman depan. Satu waktu kelak mereka pun akan dapat mengerjakan umrah. Meskipun di antara Bukit Shafa dan Marwah itu masih ada berhala dan di dinding Ka'bah masih bersandar patung-patung, tidak mengapa mereka meneruskan ibadah mereka karena ibadah itu tidak ada sangkut pautnya dengan berhala itu. Maka, pada beberapa masa kemudian bermimpilah Rasulullah bahwa dia dan sahabat-sahabatnya pergi ke Mekah mengerjakan umrah lalu mereka pergi bersama-sama, sesuai dengan yang dimimpikan.
Akan tetapi, sampai di Hudaibiyah pada tahun keenam Hijriyah, mereka dihalangi orang Quraisy dan terjadilah Perdamaian Hudaibiyah. Tidak jadi mereka naik tahun itu. Pada tahun mukanya, tahun ketujuh, barulah terjadi Umratul Qadha. Mereka telah mengerjakan umrah dengan baik dan selesai, mereka thawaf keliling Ka'bah yang masih berhala dan mereka sa'i di antara Shafa dan Marwah yang masih ada berhala Manata di sana, tetapi mereka tidak singgting-menyinggung dengan itu. Syiar ibadah mereka lakukan dengan sempurna. Dan, kelak pada tahun kedelapan setahun kemudian, karena orang Quraisy telah mengkhianati janji, negeri Mekah telah ditaklukkan dan segala berhala telah disapu bersih. Dan, semuanya itu mereka capai dengan didahului oleh berbagai penderitaan, kekurangan harta benda, kekurangan kawan-kawan yang syahid di medan jihad, tetapi akhirnya ialah penyempurnaan dari nikmat yang telah dijanjikan oleh Allah. Allah membalas segala amal dan usaha mereka dengan kemenangan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Adapun tentang sa'i di antara Shafa dan Marwah itu telah ijmaklah sekalian ulama ikutan kita menyatakan bahwa dia itu memang termasuk manasik haji. Cuma mereka berbeda pendapat tentang hukumnya menurut keten-tuan fiqih. Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa dia termasuk rukun pada haji. Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk wajib haji.