Ayat
Terjemahan Per Kata
بِسۡمِ
dengan nama
ٱللَّهِ
Allah
ٱلرَّحۡمَٰنِ
Maha Pengasih
ٱلرَّحِيمِ
Maha Penyayang
بِسۡمِ
dengan nama
ٱللَّهِ
Allah
ٱلرَّحۡمَٰنِ
Maha Pengasih
ٱلرَّحِيمِ
Maha Penyayang
Terjemahan
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tafsir
Al-Fatihah (Pembukaan)
(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Tafsir Surat Al-Fatihah: 1
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan tiap-tiap surat, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja. Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-tiap surat, atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada yang lainnya; ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat dengan surat lain, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat.
Mengenai masalah ini banyak pendapat yang dikemukakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf. Pembahasannya secara panjang lebar tidak diterangkan dalam kitab ini. Di dalam kitab Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shahih: “Dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ dahulu belum mengetahui pemisah di antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: ‘Bismillahir rahmanir rahim’ (Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).”
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu Jubair. Di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah ﷺ membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam shalatnya, dan beliau menganggapnya sebagai salah satu ayatnya. Tetapi hadits yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini terkandung kelemahan di dalam sanadnya. Imam Ad-Daraquthni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu. Hal serupa diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya.
Di antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari tiap surat kecuali surat Baraah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Hurairah. Sedangkan dari kalangan tabiin ialah ‘Atha’, Tawus, Sa'id ibnu Jubair dan Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah bukan merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari surat-surat lainnya.
Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-Fatihah, tetapi bukan merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap surat. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut gharib (aneh).
Daud mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat, dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hanbal. Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi, dari Abul Hasan Al-Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu Hanifah. Demikianlah pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah atau bukan. Masalah pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas.
Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu ayat dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya. Demikian pula halnya bagi orang yang sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri. Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap surat, berbeda pendapat mengenai pengerasan bacaannya.
Mazhab Syafii mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan dikeraskan pula bersama surat lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai kalangan ulama dari kalangan para sahabat, para tabiin dan para imam kaum muslim, baik yang Salaf maupun Khalaf. Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi, dari Umar dan Ali.
Apa yang dinukil oleh Al-Khatib dari empat orang khalifah yaitu Abu Bakar. Umar, Usman, dan Ali merupakan pendapat yang gharib. Dari kalangan tabiin yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad serta Sa'id ibnul Musayyab), ‘Atha’, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b Al-Quradzhi, Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar, Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Azraq ibnu Qais, Habib ibnu Abu Sabit, Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma'qil ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan Ibnu Abdul Bar dan Amr bin Dinar. Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat surat Al-Fatihah lainnya."
Telah diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Melalui Abu Hurairah: Bahwa ia melakukan shalat dan mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari shalatnya itu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah ﷺ di antara kalian." Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Ad-Daraqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi dan lain-lain.
Abu Dawud dan At-Tirmidzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah membuka shalatnya dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian At-Tirmidzi mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan. Hadits yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengeraskan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut shahih. Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka ia menjawab bahwa bacaan Nabi ﷺ panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim (dengan kata lain, beliau ﷺ mengeraskan bacaan basmalahnya).
Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Dawud, Shahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan.” Ad-Daraquthni mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah shalat di Madinah; ia meninggalkan bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum kepadanya) dari kalangan Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan shalat untuk yang kedua kalinya barulah ia membaca basmalah. Semua hadits dan atsar yang kami kemukakan di atas sudah cukup dijadikan sebagai dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan dan riwayat yang gharib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.
Segolongan ulama lain mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam shalat tidak boleh dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah, Abdullah ibnu Mughaffal dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabiin dan ulama Khalaf, kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan Ahmad ibnu Hanbal. Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadits di dalam Shahih Muslim melalui Siti Aisyah yang menceritakan bahwa: “Rasulullah ﷺ membuka shalatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan al-hamdu lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).”
Di dalam kitab Shahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu Malik yang mengatakan: “Aku shalat di belakang Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka membuka (bacaannya) dengan al-hamdu lillahi rabbil 'alamina.” Menurut riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismillahir rahmanir rahim, baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula dalam kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mughaffal.
Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh para imam dalam masalah ini, semuanya berdekatan, karena pada kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa shalat orang yang mengeraskan bacaan basmalah dan yang memelankannya (membaca secara lirih) adalah sah.
Aku memulai bacaan Al-Qur'an dengan menyebut nama Allah, nama teragung bagi satu-satunya Tuhan yang patut disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan tersucikan dari segala bentuk kekurangan, Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah (basmalah) akan mendatangkan keberkahan, dan dengan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan, seseorang akan memiliki kekuatan spiritual untuk melakukan yang terbaik dan menghindar dari keburukan.
Surah al-Fātiḥah dimulai dengan Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم).
Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah Al-Fātiḥah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:
1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.
Hadis Nabi saw:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا». (رواه الشيخان واللفظ لمسلم)
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai dengan al-ḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, tidak menyebut Bismillāhirraḥmānirrahīm di awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fātiḥah, dan pada surah an-Naml/27:30, اِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَاِنَّهُ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (النمل/27:30) yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:
عَنْ ابن عباس قال: كانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح)
Dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata, Rasulullah ﷺ mengeraskan bacaan Bismillāhirrahmānirrahīm. (Riwayat al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih)
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. (رواه أحمد وابو داود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى: سنده صحيح)
Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah ﷺ berhenti berkali-kali dalam bacaanya Bismillāhirrahmānirrahīm, al-Ḥamdulillāhi Rabbil- ‘Ālamīn, ar-Raḥmānir-raḥīm, Māliki Yaumid-dīn. (Riwayat Aḥmad, Abu Dāud, Ibnu Khuzaimah dan al-Ḥākim. Menurut ad-Dāruquṭnī, sanad hadis ini sahih).
Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.
Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ telah sependapat menuliskan Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur’an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah ﷺ melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur’an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak menuliskan ‘āmīn’ pada akhir surah al-Fātiḥah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah ayat-ayat Al-Qur’an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fātiḥah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fātiḥah, memandang:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fātiḥah itu tetap tujuh.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata, “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini mengandung arti bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad ﷺ dan Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur’an kepada manusia.
Makna kata Allāh
Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wājibul-wujūd). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.
Hikmah Membaca Basmalah
Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.
Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil.
Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ (رواه عبد القادر الرهاوي)
“Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).” (Riwayat Abdul-Qādir ar-Rahāwī).
Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lāta dan al-‘Uzzā, nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-FAATIHAH
(PEMBUKAAN)
SURAH 1: 7 AYAT DITURUNKAN DI MEKAH
Ayat 1
AL-FAATIHAH artinya pembukaan. Surah ini pun dinamai Fatihatul-Kitab, yang berarti pembukaan kitab. Karena, kitab Al-Qur'an dimulai atau dibuka dengan surah ini. Ia yang mulai ditulis di dalam mushaf dan dibaca ketika tilawatil-Qur'an, meskipun bukan ia surah yang mula-mula diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Adapun tempat ia diturunkan, pendapat yang lebih kuat ialah yang menyatakan bahwa surah ini diturunkan di Mekah.
Menurut suatu riwayat lagi dari Abu Syaibah di dalam al-Mushannaf dan Abu Nu'aim dan al-Baihaqi di dalam Dala-ilun-Nubuwwah, dan ats-Tsa'alabi dan al-Wahidi dari hadits Amer bin Syurahbii bahwa setelah Rasulullah ﷺ mengeluhkan pengalamannya di dalam gua itu setelah menerima wahyu pertama, kepada Khadijah, lalu beliau dibawa oleh Khadijah kepada Waraqah. Maka, beliau ceritakan kepadanya bahwa apabila dia telah memenci seorang diri, didengarnya suara dari belakangnya, “Ya, Muhammad, ya Muhammad, ya Muhammad! Mendengar suara itu, aku pun lari." Maka, berkatalah Waraqah, “jangan engkau berbuat begitu, tetapi jika engkau dengar suara itu, tetap tenanglah engkau, sehingga dapat engkau dengar apa lanjutan per-kataannya itu." Selanjutnya, Rasulullah ﷺ berkata, “Maka datang lagi dia dan terdengar lagi suara itu, ‘Ya, Muhammad! Katakanlah, ‘Bismillahir-Rahminir-Rahim, alhamdulillahi Rabbil Alamin' hingga sampai kepada waladh-dhaalin."‘ Demikian hadits itu.
Tentang ayat Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim:
Tentang ini agak panjang juga pembicaraan di antara para ulama, baik Bismillaah di permulaan al-Faatihah atau Bismillaah di permulaan sekalian surah Al-Qur'an, kecuali pada permulaan surah Baraah (at-Taubah). Yang jadi perbincangan ialah, apakah Bismillaah di permulaan surah itu masuk ke surah atau di luar surah?
Supaya lebih mudah peninjauan kita tentang perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana keislaman itu, terlebih dahulu kita kemukakan titik-titik pertemuan. Semuanya tidak ada selisih bahwa Bismillaahir-Rah-maanir-Rahiim itu memang ada tertulis dalam surah 27 (an-Naml), yaitu seketika Maharani Bilqis, raja perempuan dari negeri Saba' menerangkan kepada orang-orang besar kerajaan-nya bahwa dia menerima sepucuk surat dari Nabi Sulaiman yang ditulis,
“Dengan nama Allah Yang Mahamurah, Maha Penyayang."
Dan, titik pertemuan paham mereka yang kedua menurut ajaran Rasulullah ﷺ sendiri, sekalian surah Al-Qur'an yang 114 surah, kecuali surah Baraah (at-Taubah) semuanya mulai menuliskannya dengan Bismillaah itu selengkapnya, menurut yang tertulis di ayat 30 surah an-Naml itu. Maka, mushaf pertama yang ditulis oleh panitia, yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit atas perintah khalifah pertama Sayyidina Abu Bakar itu adalah menurut yang diajarkan Nabi, pakai Bismillaah di awal permulaan surah, kecuali Baraah (at-Taubah). Dan, mushaf Sayyidina Utsman bin Affan pun ditulis dengan cara demikian pula. Semua pakai Bismillaah, kecuali Baraah.
Tentang Bismillaah, ada di permulaan tiap-tiap surah, kecuali surah Baraah atau at-Taubah, tidaklah ada perselisihan ulama. Yang diperselisihkan ialah terletaknya di pangkal surah itu menjadikan ia termasuk dalam surah itukah atau sebagai pembatasnya dengan surah-surah yang lain saja, atau ia menjadi ayat tunggal sendiri. Golongan terbesar dari ulama Salaf berpendapat bahwa Bismillaah di awal surah adalah ayat pertama dari surah itu sendiri. Beginilah pendapat ulama Salaf Mekah, baik fuqahanya atau ahli qira'ah; di antaranya ialah Ibnu Katsir dan ulama Kufah, termasuk dua ahli qira'ah terkemuka, Ashim dan al-Kisaa-i. Dan sebagian sahabat-sahabat Rasulullah dan tabi'in di Madinah. Dan, Imam Syafi'i di dalam fatwanya yang jadid (baru), demikian pula pengikut-pengikut beliau. Dan, Sufyan ats-Tsauri dan Imam Ahmad pada salah satu di antara dua katanya. Demikian pula, kaum al-Imamiyah (dari Syi'ah). Demikian pula dirawikan daripada ulama sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Abu Hurairah; serta ulama tabi'in, yaitu Said bin jubair, Athaa', az-Zuhri, dan Ibnul Mubarak.
Alasan mereka ialah karena telah ijma seluruh sahabat Rasulullah ﷺ dan yang datang sesudah mereka berpendapat bahwa Bismillaah itu wajib ditulis di pangkal setiap surah, kecuali di pangkal surah at-Taubah. Di-kuatkan lagi dengan larangan keras Rasulullah ﷺ memasukkan kalimat-kalimat lain yang bukan termasuk di dalamnya sehingga Al-Qur'an itu bersih dari yang bukan wahyu. Adapun kalimat aamiin yang jelas-jelas diperintahkan membacanya oleh Rasulullah sehabis selesai membaca waladh-dhaalliin, terutama di belakang imam ketika shalat jahar. Lagi, tidak boleh dimasukkan atau dicampurkan ke dalam Al-Qur'an, khususnya al-Faatihah, ketika menulis mushaf, apatah lagi menambahkan Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim di pangkal tiap-tiap surah, kecuali surah Baraah kalau memang ia bukan termasuk surah itu.
Pendapat mereka ini dikuatkan lagi oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya, yang diterima dari Anas bin Malik. Berkata Rasulullah ﷺ.
“Telah diturunkan kepadaku tadi satu surah." Lalu beliau membaca, “Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim. Sesungguh-Nya, telah Kami berikan kepada engkau sangat banyak maka shalatlah engkau kepada Tuhan engkau dan hendaklah engkau berkorban. Sesungguhnya, orang yang benci kepada engkau itulah yang akan putus keturunan."
Di dalam hadits ini jelas bahwa di antara Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim dibaca senapas dengan surah yang sesudahnya. Di sini berlakulah suatu qiyas, yakni surah Inna A'thaina yang paling pendek. Dan, beliau membaca senapas dengan Bismillaah sebagai pangkalnya, apatah lagi al-Faatihah yang menjadi ibu dari segala isi Al-Qur'an dan apatah lagi surah-surah yang panjang.
Sebuah hadits lagi yang dirawikan oleh ad-Daruquthni dari Abu Hurairah. Berkata dia bahwa Rasulullah ﷺ berkata,
“Apabila kamu membaca Alhamdulillaah, yaitu surah. al-Faatihah-maka bacalah Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim maka sesungguhnya ia adalah Ibu Qur'an dan Tujuh yang diulang-ulang, sedang Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim adalah salah satu dari ayatnya."
Demikianlah pendapat dan alasan-pendapat dari ulama-ulama yang berpendirian bahwa Bismillaah di pangkal tiap-tiap surah, termasuk dalam surah itu sendiri, bukan terpisah, dan bukan pembatas di antara satu surah dengan surah yang lain.
Oleh karena masalah ini tidaklah mengenai pokok aqidah, tidaklah kita salah jika kita cenderung pada salah satu pendapat itu, mana yang lebih dekat pada penerimaan ilmu kita sesudah turut menyelidiki. Adapun bagi Penafsir ini, terlepas dari menguatkan salah satu pendapat, di dalam menafsir Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim pada pembukaan al-Faatihah, kami jadikan ia ayat yang pertama.
“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
Artinya, aku mulailah pekerjaanku ini, menyiarkan wahyu Ilahi kepada insan, di atas nama Allah itu sendiri, yang telah memerintahkan aku menyampaikannya. Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan penting dengan nama Allah.
Allah adalah Zat Yang Mahatinggi, Mahamulia, dan Mahakuasa. Zat Pencipta seluruh alam, langit, dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. Dia adalah yang wajibul wujud, yang sudah pasti ada, yang mustahil tidak ada.
Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu, nama yang diberikan untuk Zat Yang Mahakuasa itu ialah Allah. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk Yang Maha Esa. Kalimat Allah itu—demikian kata Raghib—adalah perkembangan dari kalimat al-ilah, yang dalam bahasa Melayu Kuno dapat diartikan dewa atau tuhan. Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja, mereka sebut dengan al-ilah. Dan, kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata jamak, yaitu al-alilah. Akan tetapi, pikiran murni mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya satu jua Yang Mahakuasa, Mahatinggi, dan Mahamulia. Maka, untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ilah itu. Dan, supaya lebih khusus kepada Yang Esa itu, mereka cantumkan di pangkalnya alif dan lam pengenalan (alif-lam-ta'rif), yaitu al menjadi alilah. Lalu, mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, al-i-lah menjadi Allah. Dengan menyebut Allah itu, tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa. Mahatinggi, Yang Berdiri sendirinya itulah, dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhala pun yang mereka namai Allah.
Dalam Al-Qur'an, banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan jika Nabi Muhammad ﷺ bertanya kepada kaum musyrikin penyembah berhala itu, siapa yang menjadikan semuanya ini, pasti mereka akan menjawab, “Allah-lah yang menciptakan semuanya!"
“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab, Allah!' Maka, bagaimanakah masih dipalingkan mereka." (al-'Ankabuut: 61)
Dan, banyak lagi surah-surah lain mengandung ayat seperti ini.
Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-lsfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kata Allah itu, dapAllah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah. Sehingga, mereka sekali-kali tidak memakai kata Allah untuk yang selain dari Zat yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiri-Nya itu, dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus-ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid, hanya tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka, dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul ﷺ supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya satu Allah yang menciptakan alam dan Allah Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.
Maka, seketika bacaan dimulai dengan menyebut nama Allah, dengan kedua sifat-Nya Yang Rahman dan Rahim, mulailah Nabi Muhammad menentukan perumusan baru dan yang benar tentang Allah. Sifat utama yang terlebih diketahui dan dirasakan oleh manusia ialah bahwa DiaRahman dan Rahim.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha-murah dan Mahasayang kepada hamba-Nya maka utusan-Nya, Muhammad ﷺ telah menyampaikan seruan ini kepada manusia. Yang lebih dahulu memengaruhi jiwa ialah bahwa Allah itu Pemurah dan Penyayang, bukan Pembenci dan Pendendam, bukan haus pada darah pengurbanan. Dan, contoh yang diberikan Nabi itu pulalah yang kita ikuti, yaitu memulai segala pekerjaan dengan nama Allah, yang empunya beberapa sifat Yang Mulia, di antaranya ialah Rahman dan Rahim. Maka, di dalam bacaan itu tersimpullah suatu pengharapan atau doa moga-moga apa saja yang kita kerjakan mendapat karunia Rahman dan Rahim dari Allah. Dimudahkan-Nya pada hal yang baik, dijauhkan kiranya dari yang buruk. Maka, tersebutlah di dalam sebuah hadits Nabi ﷺ yang di-rawikan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang berbunyi,
“Tiap-tiap pekerjaan yang penting kalau tidak dimulai dengan Bismillaah, dengan nama Allah maka pekerjaan itu akan percuma jadinya."