Ayat

Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِن
jika
تَتَّقُواْ
kamu bertaqwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّكُمۡ
bagi kalian
فُرۡقَانٗا
furqan
وَيُكَفِّرۡ
dan Dia menghapuskan
عَنكُمۡ
dari kalian
سَيِّـَٔاتِكُمۡ
kesalahan-kesalahanmu
وَيَغۡفِرۡ
dan Dia mengampuni
لَكُمۡۗ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
ذُو
mempunyai
ٱلۡفَضۡلِ
karunia
ٱلۡعَظِيمِ
yang besar
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِن
jika
تَتَّقُواْ
kamu bertaqwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّكُمۡ
bagi kalian
فُرۡقَانٗا
furqan
وَيُكَفِّرۡ
dan Dia menghapuskan
عَنكُمۡ
dari kalian
سَيِّـَٔاتِكُمۡ
kesalahan-kesalahanmu
وَيَغۡفِرۡ
dan Dia mengampuni
لَكُمۡۗ
bagi kalian
وَٱللَّهُ
dan Allah
ذُو
mempunyai
ٱلۡفَضۡلِ
karunia
ٱلۡعَظِيمِ
yang besar
Terjemahan

Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu, menghapus segala kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)-mu. Allah memiliki karunia yang besar.
Tafsir

(Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah) melalui berserah diri kepada-Nya dan cara-cara yang lain (niscaya Dia akan memberikan kepada kalian petunjuk) buat kalian sehingga kalian dapat membedakan hal-hal yang dapat membawa keselamatan dan hal-hal yang membahayakan diri kalian, sehingga kalian selamat dari hal-hal yang kalian takutkan (dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni kalian) dosa-dosa kalian. (Dan Allah mempunyai karunia yang besar).
Tafsir Surat Al-Anfal: 29
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian Furqan dan menghapuskan segala kesalahan kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Ibnu Abbas, As-Suddi, Mujahid, Ikrimah, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan serta ulama lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Furqan.” (Al-Anfal: 29) Bahwa yang dimaksud ialah jalan keluar.
Menurut Mujahid ditambahkan di dunia dan akhirat.
Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan furqan ialah keselamatan.
Sedangkan menurut riwayat yang lain, juga dari Ibnu Abbas yang dimaksud dengan furqan ialah pertolongan Allah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa makna furqan ialah pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq ini pengertiannya lebih luas daripada pendapat lainnya, dan memang apa yang dikemukakannya itu mencakup kesemuanya. Karena sesungguhnya orang yang bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya berarti dia mendapat taufik untuk mengetahui perbedaan antara kebenaran dan kebatilan. Maka yang demikian itu merupakan penyebab datangnya pertolongan Allah, jalan keselamatan, dan jalan keluar dari semua urusan dunia serta kebahagiaan di hari akhirat, penghapus segala dosa, beroleh ampunan dan disembunyikan dari semua orang serta menjadi penyebab beroleh pahala Allah yang berlimpah.
Pengertiannya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua kali lipat, dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan dan Dia mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hadid: 28).
Dalam menghadapi ujian hidup, apalagi menyangkut anak dan harta, manusia seringkali bingung dan sulit menentukan sikap. Maka melalui ayat ini Allah menjelaskan cara untuk menyingkirkan kebingungan itu. Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, patuh pada perintah Allah dalam kesendirian atau di tengah keramaian, niscaya Dia akan memberikan karunia berupa furqa'n, yakni kemampuan membedakan antara yang hak dan batil kepadamu, dan menghapus segala kesalahanmu dengan menutupinya di dunia dan akhirat serta tidak menuntut pertanggungjawabanmu, dan mengampuni dosadosa-mu. Allah memiliki karunia yang besar Nabi Muhammad pun diingatkan oleh Allah tentang nikmat yang harus disyukuri, terutama ketika Allah menyelamatkannya dari upaya jahat orang-orang kafir Mekah. Dan ingatlah wahai Nabi Muhammad, ketika tokoh dan pemuka orang-orang kafir Mekah, terutama dari kalangan kaum Quraisy memikirkan dan merencanakan tipu daya terhadapmu Nabi Muhammad untuk mence-lakakanmu dengan menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu dari Mekah. Mereka selalu memikirkan dan membuat tipu daya dan Allah membuat apa yang serupa dengan tipu daya yang lebih hebat, sehingga menggagalkan tipu daya mereka itu. Mereka mengatur rencana jahat, tapi Allah juga punya rencana menyelamatkan dirimu dari kejahatan mereka. Dan rencana Allah itu lebih baik, lebih kuat dan lebih unggul, karena Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.
Allah menyeru orang-orang yang beriman bahwa apabila mereka bertakwa kepada Allah yaitu memelihara diri mereka dengan melaksanakan apa yang mereka tetapkan berdasar hukum-hukum Allah serta menjauhi segala macam larangan-Nya seperti tidak mau berkhianat, lebih mengutamakan hukum-hukum-Nya, Allah akan memberikan kepada mereka petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil, dan petunjuk itu merupakan penolong bagi mereka dikala kesusahan dan sebagai pelita dikala kegelapan.
Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan cahaya untukmu yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan serta Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Hadid/57: 28)
Allah menjanjikan kepada mereka itu akan menghapus segala kesalahan mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka lantaran mereka itu bertakwa, dan diberi pula furqan, sehingga mereka dapat mengetahui mana perbuatan yang harus dijauhi, karena dilarang Allah, serta dapat pula memelihara dirinya dari hal-hal yang membawa kepada kerusakan. Orang-orang yang mendapat pengampunan Allah berarti ia hidup bahagia. Hal yang demikian ini dapat mereka capai karena karunia Allah semata.
Allah menegaskan bahwa Allah mempunyai karunia yang besar karena Dialah yang dapat memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya, baik keutamaan kepada hamba-Nya di dunia ataupun maghfirah dan surga-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikasihi di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 27
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu khianati Allah dan Rasul dan kamu khianati pula amanat-amanat kamu, padahal kamu mengetahui."
Maka, ayat ini adalah teguran keras kepada Abu Lubabah, sebab dia telah mengkhianati Allah dan Rasul. Dia telah membuka rahasia kepada Yahudi Bani Quraizhah itu ketika mereka disuruh saja turun dari benteng pertahanan yang tidak akan dapat lagi mereka pertahankan itu. Mengapa dia larang mereka turun? Mengapa dia membuka rahasia bahwa hukuman Sa'ad kelak ialah potong leher? Setelah ayat itu turun, terasalah oleh Abu Lubabah sesal yang sangat karena membuka rahasia, itu, goyang rasanya bumi ini dia pijakkan, sebab Allah sendiri telah menuduh-nya berkhianat, membuka rahasia.
Dan, riwayat yang dibawakan oleh Abd bin Hurnaid, dari al-Kalbi bahwa Abu Lubabah itu diutus Nabi kepada Bani Quraizhah, sebab dia selama ini adalah sahabat baik dari persukuan Yahudi tersebut. Diriwayatkan pula bahwa dia pun menitipkan harta benda dan anak-anaknya pada Bani Quraizhah. Maka, setelah bertemu dengan pemuka-pemuka kaum Yahudi itu, dia sampaikanlah usulan Nabi supaya mereka turun dari benteng dan menyerah kepada keputusan hukum Sa'ad bin Mu'adz. Lalu, pemuka Yahudi bertanya, kalau mereka mau turun, apa kira-kira hukuman yang akan dijatuhkan Sa'ad kepada mereka. Lalu, dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah membawa tangannya ke lehernya, mengisyaratkan akan dipotong leher semua. Kelantangannya inilah yang ditegur oleh ayat.
Ini adalah memang satu kelancangan, ataupun satu pengkhianatan. Abu Lubabah telah bertindak lancang berkata demikian, karena dia merasa kasihan kepada Bani Quraizhah, ataupun mempertakut-takuti, padahal kita tahu setelah membaca riwayat penghukuman Bani Quraizhah itu, bahwa sampai kepada saat itu Nabi sendiripun belum tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sa'ad bin Mu'adz kepada mereka.
Tersebut dalam riwayat bahwa Rasulullah ﷺ, setelah ayat ini turun, segera memanggil istri Abu Lubabah lalu bertanya, “Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan puasa dan shalat dan adakah dia mandi junub sehabis setubuh?" Istrinya menjawab, “Dia puasa, shalat, dan mandi junub bahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Nabi sampai bertanya demikian, tandanya beliau syak ragu atas keimanannya, sehingga ditanyai istrinya tentang kehidupan sehari-hari, apakah dia betul-betul Islam atau Islam munafik. Istrinya menjawab dengan pasti bahwa dia puasa, dia shalat kalau habis setubuh dia tetap mandi junub. Menandakan amal keislamannya baik. Akan tetapi, dia telah berbuat perbuatan yang khianat, lancang dan membuka rahasia, yaitu perbuatan orang munafik.
Meskipun dia bukan munafik, kelan-cangannya menyebabkan dia telah berkhianat. Sebab, kita pun mendapat kesan bahwa walaupun orang telah tunggang-tunggit shalat, puasa Senin-Kamis, taat beribadah, belumlah yang demikian dapat dijamin kebersihannya, kalau dia tidak setia memegang amanah. Abu Lubabah telah menambah dengan kehendak sendiri suatu hal yang dipercayakan kepada dia, padahal dia adalah utusan. Menjadi peringatan kepada kita umat Muhammad ﷺ buat selanjutnya. Kekuatan ibadah wajib sejalan dengan kesetiaan dan keteguhan memegang disiplin.
Abu Lubabah memang bukan seorang munafik. Dia sangat menyesal atas kelancangan itu, sehingga tersebut di dalam riwayat bahwa dia bertobat. Taubatnya itu lain sekali caranya. Yaitu diikatkannya dirinya pada tonggak dan bersumpah tidak akan makan, tidak akan minum sampai mati, atau sampai diberi ampun oleh Allah. Dia berbuat demikian, mengikatkan diri di tonggak masjid, sampai tujuh hari tujuh malam, tidak makan tidak minum, sampai dia jatuh pingsan. Setelah dia siuman dari pingsannya, datanglah orang mengatakan kepadanya, “Kalau sudah sampai demikian keadaanmu karena menyesal, sudahlah Allah memberi tobat kepadamu, sebab itu lepaskanlah ikatan dirimu dan pulanglah!", tetapi Abu Lubabah menjawab, “Demi Allah! Aku tidak akan melepaskan ikatan diriku, sebelum Rasulullah sendiri yang membukakan." Lalu datanglah Rasulullah ﷺ. Dan, beliau sendiri yang melepaskannya, barulah Abu Lubabah merasa puas dan merasa bahwa dia telah diberi tobat.
Apakah memang kejadian ini menjadi sebab turunnya ayat? Masih ada juga pertikaian pendapat ahli-ahli tafsir. Sebab, sebagai kita ketahui, hukum bunuh yang diterima Bani Quraizhah karena berkhianat, yang menyebabkan Abu Lubabah terlancang itu ialah setelah Peperangan Uhud, setahun sesudah Perang Badar. Riwayat Abu Lubabah memang kejadian dan terkenal dalam tarikh. Maka, meskipun memang Abu Lubabah yang menjadi sebab turun ayat, atau hal yang lain, sebagai tersebut pertama tadi, tetapi yang dipandang ialah maksud yang umum dari ayat bukan khusus yang menjadi sebab turunya ayat. Sebab, ketaatan kepada Allah dan Rasul, atau menyambut seruan Allah dan Rasul untuk membawa kepada anti hidup yang sejati, sebagai tersebut di ayat 20 dan 24, tidaklah boleh terpisah. Cobalah lihat contoh Abu Lubabah itu; dia taat kepada Allah, dia shalat dan puasa, dan tidak pernah lalai mandi junub, Akan tetapi, taatnya kepada Allah itu menjadi rusak, sebab dia khianat kepada Rasul, dengan sebab lancang membuka rahasia. Oleh sebab itu teguran ini masih ringan. Permulaan ayat masih dibuka dengan seruan kepada orang beriman! Ditegur tegas sebab dia masih beriman, belum tergolong orang munafik benar-benar. Kalau Abu Lubabah sudah munafik betul-betul, tentu dia tidak akan mengikatkan dirinya di tonggak masjid sampai tujuh hari tujuh malam. Ini meninggalkan kesan bahwa orang Mukmin itu sangat teguh memegang amanat dan tidak terpisah ketaatannya kepada Allah dengan ketaatan kepada Rasul. Di ujung ayat ditegaskan lagi, “Padahal kamu mengetahui." Yaitu kamu tahu sendiri betapa besar bahaya kalau kamu lalai memerhatikan amanat itu dan mem-perenteng-enteng amanat yang dipikulkan.
Rahasia pimpinan Rasul bisa terbuka atau kalau sekarangnya, rahasia negara bisa diketahui oleh musuh karena tidak berhati-hati. Dan, semua rencana bisa jadi gagal.
Ayat 28
“Dan, ketahuilah olehmu, sesungguhnya harta benda kamu dan anak-anak kamu hanyalah fitrah (ujian) dan bahwasanya Allah itut, di sisi-Nyalah pahala yang besar."
Dua kali kita bertemu dengan perkataan fitnah. Yang pertama fitnah yang umum bernegara dan bermasyarakat (ayat 25). Sekarang fitnah terhadap diri sendiri. Ayat ini menerangkan bahwa anak dan harta benda adalah fitnah, yang berarti percobaan. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, kita merasa berbahagia sekali dengan adanya anak keturunan. Siang malam kita berusaha mencarikan nafkah buat anak, termasuk istri. Minya rumah tangga tanggungan kita. Untuk itu kita pun perlu mempunyai kekayaan.
Kasih sayang kepada anak adalah termasuk naluri asli manusia, bahkan naluri dari seluruh yang bernyawa. Sebab, anak adalah pelanjut hidup dan penyambung turunan. Rasa bahagia di hari tua, kerelaan menghadapi maut, kalau anak sudah besar dan memenuhi harapan. Sebab itu, tidaklah heran jika kita lihat setengah manusia apabila telah beranak, tidak mengiri-menganan lagi, terus tertumpah segala kegiatan hidupnya untuk memikirkan anak. Mencari kekayaan buat membela dan membelanjai anak. Orang memikirkan hari depan anak. Siang malam memikirkan anak. Dan, anak!
Di dalam ayat ini disebutkan, demikian juga di ayat-ayat yang lain-lain, anak terlebih dahulu daripada harta. Karen betapa pun kaya melimpah-limpah harta benda, kalau anak tidak ada, hidup terasa masih kosong. Akan tetapi, kalau anak telah ada, kita pun giat mencari harta. Dan, kalau anak dan harta telah ada, timbullah kebanggaan hidup dan timbullah gembira. Di sinilah mulai datang fitnah, artinya cobaan. Orang bisa lupa kepada yang memberi nikmat karena dipukau oleh nikmat itu sendiri. Ada sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Ya'la dari Abu Said al-Khudri:
“Anak adalah buah hati dan sesungguhnya dia adalah menimbulkan pengecut, menimbulkan bakhil dan menimbulkan duka cita." (HR Abu Ya'la)
“Buah hati pengarang jantung," demikian ungkapan pepatah bangsa kita tentang anak. Lantaran anak orang bisa jadi pengecut, takut berjuang, takut mati, takut tampil untuk me-ngerjakan pekerjaan yang besar-besar. Sebab, anak mengikat kaki. Anak menimbulkan bakhil, tidak mau berkurban, tidak mau ber-derma, tidak mau membantu orang lain. Akan tetapi, anak pun kerap membawa duka cita. Setelah anak-anak itu jadi besar, akan ada saja anak yang membuat hati ayah bundanya jadi duka, makan hati berulam jantung. Dan, beranak berdua bertiga, berlain-lain saja perangai dan nasibnya. Gembiralah melihat yang jaya, pedih melihat yang gagal. Oleh sebab anak dan harta benda itu, orang bisa mendapat fitnah atau cobaan besar.
Orang bisa hanya menjuruskan segenap hidupnya untuk anak dan harta. Ini adalah bahaya. Karena di samping kewajiban kepada anak dan mengumpul harta, kita sekali-kali tidak boleh lupa kewajiban kita kepada Allah. Tiap-tiap orang tua mengurbankan hidup untuk anak, padahal anak-anak itu akan besar dan dewasa dan berumah tangga pula. Mereka pun akan beranak pula, sebagaimana kita beranak mereka. Satu waktu anak akan keluar dan anak perempuan akan menurutkan suaminya. Kalau umur panjang, kita akan tinggal dalam kesepian dan setelah itu mati. Apa bekal yang kita bawa untuk menghadap Allah? Oleh sebab itu di dalam memelihara anak dan mengumpul harta, ingatlah bahwa yang akan membalas hudi kepada kita hanyalah Allah saja. Anak dan harta kita tidak akan dapat membantu kita. Pahala yang besar hanyalah tersedia pada Allah.
Maka, uruslah anak dan harta itu baik-baik dalam lingkaran mencari pahala yang tersedia pada sisi Allah. Berikan kepada anak pendidikan yang baik, sehingga mereka menjadi syafaat di akhirat. Belanjakan harta benda untuk amal yang baik, sehingga menjadi bekal yang akan didapati di akhirat. Kalau tidak demikian maka anak dan harta itu akan membawa celaka sendiri, sebab terpisah dari Allah, Anak dan harta akan kita tinggalkan atau akan meninggalkan kita. Akan tetapi, kita terang akan kembali kepada Allah.
Ayat 29
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Altah, niscaya akan dijadikan-Nya untuk kamu suatu pembeda."
Di ayat ini diterangkanlah kepada orang yang beriman faedah takwa. Sebagai telab kita ketahui, arti takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah. Kalau kita telah bertakwa, kita akan dianugerahi pembeda, yaitu al-Furqan. Di sini kita mendapat tiga deretan. Pertama: iman, berarti percaya. Kedua: takwa, berarti bakti atau memelihara hubungan dengan Allah. Ketiga: al-Furqan, berarti kesanggupan membedakan mana yang buruk dengan yang baik, yang mudharat dengan yang manfaat, yang hak dengan yang batil. Sebab, itu, al-Furqan, adalah buah dari takwa dan takwa adalah akibat dari iman. Al-Furqan, pembeda adalah alat utama dalam mencapai hidup yang bernilai. Apalah arti hidup kita, kalau kita tidak dapat membedakan di antara buruk dengan baik? Bertambah iman, bertambahlah tinggi takwa maka bertambah halus pulalah kekuatan al-Furqan yang ada dalam jiwa kita. Kalau kita pakai ungkapan secara modern ialah bahwa orang yang Mukmin dan yang muttaqin itu mempunyai penilaian yang sangat halus dan tinggi terhadap segala soal. Dia seorang yang tinggi kecerdasannya dan tinggi pula kebudayaannya. Jiwanya laksana mempunyai pesawat radar, untuk mengetahui ada bahaya di hadapannya yang harus dihindarkan, sehingga kelak apabila dibandingkan kata hatinya (emosinya) dengan ayat Allah, akan terdapat kecocokan. Itu sebabnya maka Umar bin Khaththab diberi oleh Rasulullah gelar yang mulia, yaitu al-Faruq; sebab pada jiwanya terdapat radar al-Furqan itu.
Tadi diterangkan bahwa baru timbul buah al-Furqan atau pembeda ialah dengan takwa, berarti memelihara hubungan dengan Allah, menjaga diri, awas, dan waspada.
Termasuk juga di dalamnya pengertian takut. Memelihara diri dari syirik, maksiat, dan dari memasuki fitnah yang umum. Daiam kemasyarakatan awas dan waspada terhadap musuh yang akan mengganggu agama, awas dan waspada dari perdayaan setan, awas dan waspada dari rayuan perempuan, awas dan waspada dari pengaruh anak dan fitnah harta, awas dan waspada dalam segala lapangan kehidupan. Dengan demikian, jiwa menjadi lebih terlatih dan dengan demikian al-Furqan pun datang, jiwa jadi bersinar terang, tampak mana yang berbahagia dan mana yang berbahaya.
“Dan, akan Dia hapuskan daripada kamu kesalahan-kesalahan kamu dan akan Dia ampuni bagi kamu." Niscaya memang inilah lanjutan daripada timbulnya al-Furqan dalam jiwa itu. Meskipun akan timbul kesalahan-kesalahan dengan sendirinya kesalahan itu akan berangsur hapus. Orang Mukmin tidak akan mengulangi kesalahan yang serupa dua kali. Sebab itu, kenaikan jiwanya dari sebab al-Furqan itu akan menyebabkan perjuangan dalam hidupnya, kesalahannya akan berkurang dan hapus, sebab yang baik lebih banyak dikerjakannya daripada yang jahat. Lalu, diberi ampun dan dipimpin oleh tangan Allah sendiri menuju hidup yang lebih mulia.
“Dan Allah adalah mempunyai kanunia yang besar."
Pada ayat-ayat yang telah terdahulu telah banyak disebut berbagai macam karunia itu; ada yang bernama rahmat, ada yang bernama maghfirah, ada yang bernama harakat, dan ada lagi yang bernama derajat. Dan, semuanya ini adalah karena pokok pertama ialah iman dan iman menimbulkan takwa dan takwa membuahkan al-Furqan. Maka, al-Furqan itu sudah dapat diambil hasilnya dalam dunia sekarang ini juga. Oleh sebab itu kalau orang-orang yang berminat kepada filsafat kerap kali memperkatakan bahagia sebagai tujuan hidup manusia, sebagai kepuasan batin maka kebahagiaan ruhani yang disenandungkan oleh ahli filsafat itu dapat dicapai oleh seorang beragama karena imannya diiringi takwanya, lalu dia mendapat hasil yang gemilang, yaitu pembeda atau al-Furqan. Al-Furqan adalah lebih tinggi daripada kebanggaan karena anak dan kekayaan karena harta. Anak bisa mati dan harta bisa licin tandas. Namun, kebahagiaan tidak akan mati dan tidak akan tandas karena dia adalah al-Furqan, yang akan kita bawa sampai kita diberi karunia oleh Allah dapat menghadap wajah-Nya.