Ayat
Terjemahan Per Kata
هَلۡ
apakah/bukankah
أَتَىٰ
telah datang
عَلَى
atas
ٱلۡإِنسَٰنِ
manusia
حِينٞ
waktu
مِّنَ
dari
ٱلدَّهۡرِ
masa
لَمۡ
tidaklah
يَكُن
dia
شَيۡـٔٗا
sesuatu
مَّذۡكُورًا
yang disebut
هَلۡ
apakah/bukankah
أَتَىٰ
telah datang
عَلَى
atas
ٱلۡإِنسَٰنِ
manusia
حِينٞ
waktu
مِّنَ
dari
ٱلدَّهۡرِ
masa
لَمۡ
tidaklah
يَكُن
dia
شَيۡـٔٗا
sesuatu
مَّذۡكُورًا
yang disebut
Terjemahan
Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Tafsir
Al-Insaan (Seorang Manusia)
(Bukankah) artinya, sesungguhnya (telah datang atas manusia) Nabi Adam (satu waktu dari masa) empat puluh tahun (sedangkan dia belum merupakan) ketika itu (sesuatu yang dapat disebut) maksudnya, Nabi Adam selama empat puluh tahun masih tetap berbentuk tanah dan bukan berarti apa-apa. Atau bila yang dimaksud dengan manusia adalah jenis manusia selain dia, maka yang dimaksud dengan lafal Al-Hiin atau masa ialah masa mengandung, jadi bukan empat puluh tahun.
Tafsir Surat Al-Insan: 1-3
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan manusia, bahwa Dia telah menciptakannya dan mengadakannya ke alam Wujud ini, padahal sebelumnya dia bukanlah merupakan sesuatu yang disebut-sebut karena terlalu hina dan sangat iemah.
Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (Al-Insan: 1) Kemudian dijelaskan oleh firman selanjutnya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yakni yang bercampur baur. Al-masyju dan al-masyij artinya sesuatu yang sebagian darinya bercampur baur dengan sebagian yang lain. Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yaitu air mani laki-laki dan air mani perempuan apabila bertemu dan bercampur, kemudian tahap demi tahap berubah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain dan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa al-amsyaj artinya bercampurnya air mani laki-laki dan air mani perempuan. Firman Allah Swt: yang Kami hendak mengujinya. (Al-Insan: 2) Maksudnya, Kami hendak mencobanya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2) Yakni Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan sebagai sarana baginya untuk melakukan ketaatan atau kedurhakaan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu Kami terangkan kepadanya, dan Kami jelaskan kepadanya dan Kami jadikan dia dapat melihatnya. Semakna dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu. (Fushshilat: 17) Dan firman-Nya: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni Kami terangkan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Ini menurut pendapat Ikrimah, Atiyyah, Ibnu Zaid, dan Mujahid menurut riwayat yang terkenal darinya dan Jumhur ulama. Dan menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, AbuSaleh, Adh-Dhahhak,.dan As-Suddi, mereka mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu keluarnya manusia dari rahim. Tetapi pendapat ini gharib (aneh), dan menurut pendapat yang terkenal adalah yang pertama tadi. Firman Allah Swt: ada yang bersyukur dan adapula yang kafir. (Al-Insan: 3) Kedua lafal ini di-nasab-kan sebagai keterangan keadaan dari damir hu yang terdapat di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Bentuk lengkapnya ialah 'maka dia dalam hal ini ada yang celaka dan ada yang berbahagia', yakni celaka karena dia kafir dan bahagia karena dia bersyukur.
Hal yang semisal disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Semua orang akan pergi, maka apakah dia menjual dirinya yang berarti membinasakannya ataukah memerdekakannya? Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dan Ibnu Khaisam, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada Ka'b ibnu Ujrah: Semoga Allah melindungimu dari kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya. Ka'b ibnu Ujrah bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya?" Rasulullah ﷺ menjawab: (Yaitu) para penguasa yang berada sesudahku, mereka tidak memakai petunjuk dengan petunjukku, dan tidak memakai tuntunan dengan tuntunanku.
Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu perbuatan aniaya mereka, orang tersebut bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongan mereka, dan mereka tidak akan dapat mendatangi telagaku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu perbuatan aniaya mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya, dan mereka akan mendatangi telagaku.
Wahai Ka'b ibnu Ujrah, puasa adalah benteng, sedangkan sedekah dapat menghapuskan kesalahan (dosa), dan shalat adalah amal pendekatan diri atau bukti. Wahai Ka'b ibnu Ujrah, sesungguhnya tidak dapat masuk surga daging yang ditumbuhkan dari makanan yang haram, dan nerakalah yang lebih layak baginya. Wahai Ka'b, manusia itu ada dua macam; maka ada yang membeli dirinya yang berarti memerdekakannya, dan ada yang menjual dirinya yang berarti membinasakannya.
Affan telah meriwayatkan hadits ini dari Wahib, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam dengan sanad yang sama. Dalam surat Ar-Rum telah disebutkan pada tafsir firman-Nya: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Ar-Rum: 30) melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara; adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia pengingkar. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Usman ibnu Muhammad, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah ,' dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Tiada seorang pun yang keluar melainkan pada pintu rumahnya ada dua bendera; satu bendera di tangan malaikat dan satu bendera lainnya di tangan setan.
Maka jika dia keluar untuk mengerjakan hal yang disukai oleh Allah, ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera malaikat sampai pulang ke rumahnya. Dan jika ia keluar untuk melakukan hal yang dimurkai oleh Allah, setanlah yang mengikutinya dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera setan sampai pulang ke rumahnya."
Surah ini diawali dengan peringatan kepada manusia tentang kehadirannya di pentas bumi sekaligus menjelaskan tentang tujuan penciptaannya. Bukankah, yaitu sungguh, pernah datang kepada manusia waktu dari masa yaitu sebelum ia diciptakan, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut' Ketika itu manusia dalam ketiadaan, jangankan wujudnya, namanya pun belum ada. 2. Proses awal penciptaan manusia ditegaskan pada ayat ini. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yaitu dari sperma laki-laki dan indung telur perempuan yang tujuan utamanya Kami hendak mengujinya dengan berbagai perintah dan larangan, karena itu Kami jadikan dia mendengar dengan telinganya dan melihat dengan matanya.
Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.
Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.
Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.
Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini. Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.
Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai "missing link", rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi "missing link" adalah yang disebut Lypotilu. Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia. Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.
Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh. Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.
Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan. Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai "binatang yang lemah". Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya. Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.
Di dalam Al-Qur'an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:
Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)
Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.
Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur'an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur'an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan "meniupkan" kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.
Hal kedua yang diungkapkan Al-Qur'an dalam kaitan penciptaan manusia adalah dari kondisi ketiadaan. Suatu subjek yang bertolak belakang dengan penjelasan sebelumnya.
Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, padahal (sebelumnya) dia belum berwujud sama sekali? (Maryam/19: 67)
Ayat di atas menunjuk pada ciptaan pertama dari jenis manusia. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Reproduksi manusia pada saat ini terjadi dengan bibit yang diproduksi dari organ laki-laki dan perempuan.
Harus diperhatikan secara cermat bahwa dalam ayat tersebut, ada pernyataan bahwa sesuatu ada dari bukan sesuatu. Ayat tersebut menyatakan bahwa sebelum tahapan dimana material dan benda lain menjadi benda hidup, ada satu tahapan lain dimana tidak ada eksistensi apa pun. Kita dapat menyatakan bahwa kursi dibuat dari kayu; atau rantai dibuat dari besi. Di sini kita memiliki material yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang tertentu. Mereka yang tidak mempercayai agama seringkali menyatakan ayat di atas sebagai dongeng saja. Akan tetapi, ayat di atas tidak menyatakan hal yang demikian. Arti ayat di atas jelas memberitahukan bahwa sebelum adanya penciptaan, tidak ada apa-apa di alam semesta. Setelah ada penciptaan alam semesta, menyusul kemudian penciptaan-penciptaan lainnya, termasuk penciptaan manusia.
Tahap kedua perkembangan manusia tampaknya terjadi pada saat manusia ada secara fisik, namun otak belum berkembang baik. Dengan demikian, posisinya masih sama atau lebih rendah dari binatang. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (al-Insan/76: 1).
Tahap ketiga evolusi manusia dicapai saat reproduksi antara manusia laki-laki dan perempuan mulai terjadi. Di dalam Al-Qur'an, Dinyatakan suatu masa dari evolusi manusia. Ketika itu manusia mempunyai karakter binatang tingkat tinggi. Karakter ini adalah adanya perbedaan didasarkan pada seks, terbagi menjadi jantan dan betina. Pada masa ini, perkembangbiakan sudah melalui sperma yang dihasilkan manusia laki-laki. Keadaan demikian ini menjadikan manusia sudah memiliki ciri yang sama dengan binatang tingkat tinggi. Dua penggalan ayat di bawah ini menunjukkan hal tersebut:
Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), "Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur." (al-A'raf/7: 189)
Dan firman Allah:
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak?. (an-Nisa'/4: 1)
Lebih lanjut Al-Qur'an memperlihatkan perkembangan manusia ke tingkat yang lebih lanjut, yaitu menggunakan nalarnya, demikian:
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (al-Insan/76: 2)
Mulai dari masa ini, karena peran pentingnya di alam semesta, manusia mulai mempelajari alam. Untuk dapat mengelola dengan baik, manusia memerlukan penguasaan pengetahuan secara luas. Tahap keempat ini dicapai saat otak manusia telah mencapai kesempurnaannya. Diciri dari perkembangan kecerdasan dan kepedulian terhadap lingkungan yang sangat cepat. Dengan kemampuannya dalam mendengarkan dan melihat, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh binatang, manusia kemudian mulai melatih kecerdasannya sampai pada tingkat dapat melakukan penemuan-penemuan yang berguna untuk kehidupannya. Di sini manusia telah menempatkan dirinya jauh di atas binatang. Ia menjadi jenis binatang yang dapat bertahan hidup melalui kemampuan berpikir dan berbicara.
Uraian evolusi manusia ini tidak dengan eksplisit disampaikan dalam Al-Qur'an . Mengapa? Karena kitab ini tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Al-Qur'an diciptakan untuk mengungkapkan kebenaran, dan meninggalkan beberapa gap atau rumpang yang akan diisi oleh kemajuan pengetahuan manusia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-INSAAN
(MANUSIA)
SURAH KE-76, 31 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-31)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
DARI TIDAK PENTING MENJADI PENTING
Ayat 1
“Sudahkah datang kepada manusia, suatu waktu daripada masa, yang dia di waktu itu belum melupakan sesuatu yang jadi sebutan?"
Ayat ini berupa pertanyaan. Tetapi pertanyaan yang meminta perhatian. Beribu tahun lamanya manusia menjadi persoalan. Sebab di antara beberapa banyak makhluk Ilahi di dunia ini, manusia paling istimewa. Dia mempunyai akal, dia mempunyai ingatan dan kenangan dan dia mempunyai gagasan tentang sesuatu yang hendak dikerjakan. Tetapi sudahkah datang masanya bagi manusia buat mengingati suatu zaman, yang di zaman itu manusia belum berarti apaapa? Atau belum dianggap penting?
Beberapa ahli tafsir, di antaranya al- Qurthubi dan termasuk juga ar-Razi sendiri menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan manusia di sini ialah Adam sendiri sebab Sufyan Tsauri dan Ikrimah dan as-Suddi, dikatakan bahwa “suatu waktu daripada masa" yang manusia belum jadi sebutan itu ialah tatkala empat puluh tahun lamanya tubuh Adam sudah dibentuk daripada tanah, masih tergelimpang belum bernyawa di antara Mekah dengan Thaif. Allah menjadikannya daripada tanah, lalu ditelentangkan selama empat puluh tahun, kemudian ditempa dia menjadi tanah liat yang kering (hamain masnuri), empat puluh tahun pula. Lalu diteruskan menjadi kering seperti tembikar (shalshalin) empat puluh tahun pula. Barulah disempurnakan kejadiannya sesudah seratus dua puluh tahun. Waktu itu barulah ditiupkan pada dirinya ruh.
Tetapi setengah pemberi tafsir membantah penentuan bilangan tahun itu. Katanya hiinun minad dahri.
Artinya ialah suatu waktu yang tidak diketahui berapa lamanya.
Belum merupakan sesuatu yang menjadi sebutan maksudnya kata mereka—ialah semata-mata bertubuh dan berupa, tetapi masih tanah, tidak disebut dan tidak diingat, tidak ada yang mengetahui siapa namanya dan guna apa dia diperbuat. Lalu Yahya bin Salam mengatakan, “Tidak menjadi sebutan dan ingatan dalam kalangan makhluk-makhluk Allah meskipun sudah diketahui dan disebut di sisi Allah sendiri." Kemudianlah baru diketahui manusia dalam kalangan malaikat karena Allah menyatakan hendak mengadakan khalifah, dan tersebut pula bahwa Allah menawarkan amanah kepada langit dan bumi dan gunung-gunung. Semua keberatan memikul amanah itu, lalu dipikul oleh manusia. Waktu itulah baru manusia terkenal dan jadi sebutan.
Kemudian Qatadah menafsirkan pula, “Bahwa pada mulanya manusia belum menjadi sebutan, karena manusia dijadikan kemudian sekali. Yang lebih dahulu dijadikan ialah makhluk yang lain, bahkan binatang-binatang. Manusia dijadikan kemudian."
Begitulah cara menafsirkan pada zaman lama, delapan atau sembilan ratus tahun yang lalu. Ketika pengetahuan manusia terbatas hingga demikian. Tetapi setelah zaman baru sekarang ini, abad kedua puluh tafsir itu sudah lain lagi. Sayyid Quthub dalam tasfirnya yang terkenal Fizhilalil Al-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an) telah menulis lain. Beliau berkata,
“Banyak hal yang terkenang oleh kita ketika merenungkan pertanyaan ini. Satu di antaranya membawa jiwa kita tertuju kepada masa sebelum insan terjadi, dan alam dalam permulaan wujud. Dikenangkan masa bahwa yang maujud ini terbentang, namun manusia belum ada waktu itu. Bagaimanakah keadaan alam di masa itu? Manusia itu kadang-kadang sombong dan terlalu menilai diri terlalu tinggi sehingga dia lupa bahwa yang wujud ini seluruhnya telah ada juga sebelum manusia ada, berlama masa berjuta bilangan tahun. Mungkin alam di waktu itu tidak ada mengira- ngira akan ada suatu makhluk yang bernama insan, sampai muncul makhluk ini ke muka bumi, dari kehendak Allah Mahakuasa."
Sekali lagi pertanyaan pun tertuju kepada masa tiba-tiba munculnya yang bernama manusia itu. Berbagai macamlah penggambaran tentang timbulnya manusia, bagaimana cara timbulnya, yang pada hakikatnya sejati hanya Allah yang Mahatahu; bagaimana pembawaan makhluk baru ini ke tengah-tengah alam, yang telah ditentukan duduknya oleh Allah sebelum dia ada.
Kemudian pindahlah pertanyaan kepada yang satu lagi, yaitu pertanyaan tentang qudrat iradat dari Yang Mahakuasa, Pencipta itu, yang telah membawa makhluk ke tengah medan wujud, bagaimana Allah menyediakannya, bagaimana Allah mempersambungkan hidupnya itu dengan putaran wujud, supaya dapat dia menyesuaikan diri dengan keadaan keliling. Banyak lagi pertanyaan lain dan renungan lain, tentang sampai adanya manusia dalam alam ini.
Ayat 2
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia daripada setitik mani yang bercampur."
Artinya, bahwa manusia yang tadinya tiada terkenal itu, yang tiada jadi sebutan di dalam bumi yang begitu luas, yang sekarang telah muncul sebagai makhluk yang hidup, asal usul kejadiannya ialah daripada nuthfah, yaitu titikan mani atau khama. Sebagaimana yang telah diterangkan juga pada ujung surah al- Qiyaamah. Sehingga ujung surah al-Qiyaamah dengan sendirinya sambut-bersambut dengan pangkal dari surah al-Insaan, yang satu memperjelas yang lain. Nuthfah itu adalah setitik atau segumpal air mani yang tetah bercampur. Yaitu bercampurnya bibit halus laksana cacing dari mani laki-laki dengan bibit halus laksana telur dari mani si perempuan. Bila kedua aliran mani telah bertemu, maka lekatlah ujung bibit dari laki-laki itu pada telur kecil si perempuan. Bilamana telah lekat, mereka tidak berpisah lagi. Mereka telah dikumpulkan, dicampurkan jadi satu menjadi nuthfah, dan mulailah dia diperamkan di dalam rahim (peranakan) si perempuan.
Dari semula lagi sudah ada ketentuan bahwa ini adalah bibit manusia. Walaupun misalnya dicampurkan bibit mani selain dari manusia ke dalam mani itu, kalau bukan pasangannya, tidaklah dia akan menjadi. Teropong manusia, teleskop yang paling halus hanya akan menampak bintil kecil sangat kecil sekali. Tidaklah ada berbeda pada pandangan mata misalnya di antara sebuah bibit manusia dengan sebuah bibit macan atau kera! Tetapi sejak semula itu telah ada pembagiannya. Mani seekor kera betina tidaklah akan dapat dipersatukan, atau di-nuthfah-kan dengan mani seorang laki-laki dan sebaliknya.
Dan di dalam bibit yang sangat kecil itu pula telah terjadi persediaan seorang anak akan menurut bentuk ayahnya atau ibunya, malahan kombinasi warna kulit ayah dengan warna kulit ibu, Selanjutnya urutan ayat, “Lalu Kami uji dia." Sejak tubuhnya terlancar dari dalam perut ibunya karena telah sampai bilangan bulannya, mulai saja masuk ke tengah alam terbuka ini dia telah kena uji. Sikap yang dilakukannya terlebih dahulu, sebagai naluri atau instinct kehendak hidup ialah bergerak dan menangis. Hidup yang senang dalam suhu teratur dalam rahim ibu dengan tiba-tiba berubah. Mulai dia menantang udara! Dia menangis karena terkejut dan dia bergerak menandakan ingin hidup. Sejak masa itu tidaklah lepas dia, si manusia itu daripada ujian. Kuatkah dia menantang hidup, dapatkah dia menyesuaikan diri dengan alam keliling. Dia akan merasakan lapar, dia akan merasakan haus, dia akan merasakan panas, dia akan merasakan dingin, dia akan buang air besar dan buang air kecil. Alat pertama hanya menangis dan menangis. Tetapi semuanya itu dengan berangsur-angsur akan diatasinya.
“Maka Kami jadikanlah dia mendengar, lagi melihat."
Dia akan lalu di tengah-tengah alam. Dari kecil dia akan besar. Dari anak dalam pangkuan, dia akan tegak, dia akan berlari, dia akan berjuang mengatasi hidup itu. Maka diberikan Allah-lah kepadanya dua alat yang amat penting bagi menyambungkan kehidupan pribadinya dengan alam kelilingnya itu. Diberikan pendengaran dan penglihatan. Maka pendengaran dan penglihatan itu adalah untuk mengontakkan pribadi si manusia dengan alam kelilingnya tadi. Supaya didengarnya suara lalu diperbedakannya mana yang nyaring dan mana yang badak, mana suara dekat dan mana suara jauh. Dengan penglihatan dilihatnya besar dan kecil, jauh dan dekat, atas dan bawah, indah dan buruk. Kian sehari kian berkembanglah bakatnya sebagai insan yang telah diberi Allah persediaan batin yang bernama akal.
Di samping persediaan akal dalam jiwa dan pendengaran disertai penglihatan dalam jasmani, lalu Allah memberikan petunjuk jalan.
Ayat 3
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan."
Dengan sebab diberi petunjuk jalan, langsung dari Allah ini, jadilah dia manusia yang mulai dikenal, berbeda dengan makhluk yang lain. Dia tidak lagi sesuatu yang tidak jadi sebutan. Makhluk-makhluk lain yang ada di muka bumi ini, binatang-binatang melata yang masih ada atau yang telah musnah, pun diberi pendengaran dan penglihatan, bertelinga dan bermata. Tetapi kepada binatang-binatang itu tidak ditunjuki jalan sebagaimana yang ditunjukkan kepada manusia. Bilamana manusia telah mengembara di atas permukaan bumi, bila mereka dengar dan lihat alam keliling, kebesaran langit, sinar matahari, lembutnya cahaya bulan, mengagumkan keindahan dan kesempurnaan, mereka akan sampai kepada kesimpulan tentang adanya Yang Mahakuasa atas alam ini. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut masih pada pangkal permulaan hidup (primitif) pun dengan nalurinya sampai juga kepada kepercayaan tentang adanya Yang Mahakuasa. Tetapi kasih Allah tidaklah cukup hingga itu saja, malahan Allah sendiri memberikan bimbingan hidup itu dengan menurunkan wahyu, dengan mengirimkan rasul-rasul untuk memperkenalkan tentang adanya Allah Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu maka petunjuk Allah dapatlah dibagi atas pertama naluri, kedua hasil pendengaran dan penglihatan yang bernama pengalaman, ketiga hasil renungan akal dan keempat petunjuk Ilahi dengan agama. Maka dengan petunjuk yang keempat ini cukuplah petunjuk yang diberikan Allah, sehingga makhluk yang tadinya tidak masuk hitungan itu, tidak menjadi sebutan karena tidak penting, telah terangkat martabatnya sangat tinggi, menjadi khalifah Allah di muka bumi, memikul amanah tanggung jawab yang tidak sanggup baik langit, ataupun bumi ataupun gunung-gunung memikulnya, lalu manusia yang menampilkan bahunya untuk memikul tanggung jawab itu. Sehingga jadi berartilah permukaan bumi ini, karena manusia ada di dalamnya.
“Maka adakalanya yang bersyukur dan adakalanya yang kafir."
Bila manusia sadar akan dirinya niscaya bersyukurlah kepada Allah; sebab dan makhluk yang tadinya tidak diingat, tidak jadi sebutan, dia telah ada dalam dunia. Dan segumpal air kental laksana kanji dia telah lahir jadi manusia.
Diberi alat penghubung antara dia dengan alam, yaitu pendengaran dan penglihatan. Diberi akal, diberi pikiran dan diberi budi dan pekerti. Menjadilah dia apa yang di zaman modern sekarang ini disebut manusia budaya. Tetapi niscaya ada pula manusia yang tidak ingat akan anugerah Allah itu. Disediakan segala-galanya buat dia, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah ayat 29,
“Dialah yang telah menciptakan untuk kamu apa pun yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
Diterimanya nikmat tetapi tidak disyukurinya, dimakannya pemberian namun dia tidak berterima kasih. Pemberian-pemberian Allah disalahgunakannya. Memang ada manusia yang suka melupakan jasa itu. Sebab itu di ujung ayat dikatakan bahwa orang yang semacam itu kufuur, namanya. Dalam kata biasa disebut orang yang selalu melupakan jasa.
Orang yang seperti itu biasanya bukanlah dia berjasa dalam dunia ini. Martabatnya jatuh, hanya sehingga jadi homo sapiens, binatang yang berpikir. Mereka tidak turut membina dan membangun di muka bumi ini.
Tetapi manusia yang bersyukur tadi itulah manusia yang memenuhi tugas sebagai insan. Dia menginsafi guna apa dia hidup di dunia ini, bahwa dia diciptakan Allah adalah dengan karena tujuan tertentu. Penciptaannya adalah dalam lingkungan satu bundaran yang dimulai dari lahir, diadakan perhentian di waktu mati, untuk meneruskan lagi sesudah mati kepada hidup akhirat. Dunia dilalui bukanlah menempuh jalan yang datar bertabur kembang saja, melainkan pasti sanggup dan tahan menghadapi berbagai ujian. Dengan ujian diuji di antara emas urai dengan loyang tembaga. Seluruh hidup ini dilalui untuk menempuh ujian. Tanda lulus akan dirasakan kelak. Maka kalau setengah orang memandang bahwa hidup ini hanya lahwun wa la'ibun, main-main dan senda gurau, seorang Mukmin memandang hidup ialah buat iman dan amal yang saleh.