Ayat
Terjemahan Per Kata
فَلَنَقُصَّنَّ
maka sesungguhnya Kami akan
عَلَيۡهِم
atas mereka
بِعِلۡمٖۖ
dengan pengetahuan
وَمَا
dan tidaklah
كُنَّا
Kami adalah
غَآئِبِينَ
yang gaib
فَلَنَقُصَّنَّ
maka sesungguhnya Kami akan
عَلَيۡهِم
atas mereka
بِعِلۡمٖۖ
dengan pengetahuan
وَمَا
dan tidaklah
كُنَّا
Kami adalah
غَآئِبِينَ
yang gaib
Terjemahan
Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka).
Tafsir
(Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka dengan penuh pengetahuan). Kami akan menceritakan kepada mereka tentang apa-apa yang telah mereka perbuat dengan penuh pengetahuan (dan Kami sekali-kali tidak gaib) untuk menyampaikan kepada rasul-rasul dan umat-umat terdahulu tentang apa-apa yang pernah mereka perbuat.
Tafsir Surat Al-A'raf: 4-7
Betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan. Siksaan Kami datang (menimpa penduduknya) pada malam hari atau pada saat mereka beristirahat pada siang hari.
Maka, ketika azab Kami datang menimpa mereka, mereka hanya mengeluh dengan mengucap, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim.”
Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami),
Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedangkan (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami tidak jauh (dari mereka).
Ayat 4
Firman Allah ﷻ: “Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan.” (Al-A'raf: 4)
Karena para penduduknya menentang rasul-rasul Kami dan mendustakan mereka, maka Allah pun menimpakan kepada mereka kehinaan di dunia yang terus berlangsung sampai kehinaan di akhirat. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah azab kepada orang-orang yang mengolok-olok itu sebagai balasan (azab) terhadap olok-olok mereka.” (Al-Anbiya: 41 dan Al-Anam: 10)
“Berapa banyaknya kota yang telah Kami binasakan, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi.” (Al-Hajj: 45)
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya. Maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya.” (Al-Qashash: 58)
Adapun firman Allah ﷻ: “Siksaan Kami datang (menimpa penduduknya) pada malam hari atau pada saat mereka beristirahat pada siang hari.” (Al-A'raf: 4)
Yakni di antara mereka, ada orang yang kedatangan siksa dan pembalasan-Nya
“Di malam hari.” (Al-A'raf: 4)
Yaitu di malam hari, di saat mereka sedang tidur nyenyak.
“Atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Al-A'raf: 4) Diambil dari kata al-qailulah yang artinya istirahat di tengah hari, kedua waktu tersebut (yakni tengah malam dan tengah hari) adalah waktu istirahat sehingga mereka dalam keadaan lalai dan terlena pada waktu-waktu tersebut.
Seperti disebutkan dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Maka apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk kota-kota itu merasa aman dari kedatangan siksa Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?” (Al-A'raf: 97-98)
“Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari, atau Allah mengazab mereka di waktu mereka dalam perjalanan, maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu), atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 45-47)
Ayat 5
Adapun firman Allah ﷻ: “Maka, ketika azab Kami datang menimpa mereka, mereka hanya mengeluh dengan mengucap, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim’.” (Al-A'raf: 5)
Yakni ucapan tiada lain yang mereka ucapkan ketika azab datang menimpa mereka, melainkan pengakuan mereka terhadap dosa-dosa mereka dan bahwa mereka pantas menerimanya.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri-negeri yang zalim yang telah Kami binasakan.” (Al-Anbiya: 11) sampai dengan firman-Nya:
“Yang tidak dapat hidup lagi.” (Al-Anbiya: 15)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa di dalam ayat ini terkandung keterangan yang jelas yang menunjukkan kebenaran riwayat yang disampaikan Rasulullah ﷺ, yaitu tentang sabdanya yang mengatakan: “Tidaklah suatu kaum dibinasakan sebelum mereka mengakui kesalahan diri mereka sendiri.”
Hal tersebut telah diceritakan oleh Ibnu Humaid kepada kami, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Sinan, dari Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidaklah suatu kaum dibinasakan sebelum mereka mengakui kesalahan diri mereka sendiri.” Abdul Malik melanjutkan kisahnya, lalu ia bertanya kepada Ibnu Mas'ud, "Mengapa terjadi demikian?" Ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya:
“Maka, ketika azab Kami datang menimpa mereka, mereka hanya mengeluh dengan mengucap, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim’.”(Al-A'raf: 5).
Ayat 6
Firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka.” (Al-A'raf: 6), hingga akhir ayat.
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, ‘Apakah jawaban kalian kepada para rasul’?” (Al-Qashash: 65)
Dan firman Allah ﷻ: “(Ingatlah) di hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kaummu terhadap (seruanmu)’? Para rasul menjawab, ‘Kami tidak tahu (tentang itu), sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui segala perkara yang gaib’.” (Al-Maidah: 109)
Kelak di hari kiamat Allah bertanya kepada semua umat tentang jawaban mereka kepada para rasul yang membawa risalah-Nya kepada mereka. Allah menanyai pula para rasul yang ditugaskan kepada mereka tentang penyampaian risalah-Nya. Karena itulah Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (Al-A'raf: 6)
Yaitu tentang apa yang telah disampaikan oleh para rasul.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Al-Laits, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Kalian semua adalah penggembala, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang gembalaannya. Imam akan ditanya mengenai orang-orang yang dipimpinnya, seorang lelaki akan ditanya mengenai keluarganya, seorang wanita akan ditanya mengenai rumah suaminya, dan seorang budak akan ditanya mengenai harta tuannya.”
Al-Al-Laits mengatakan, Ibnu Tawus pernah menceritakan hal yang semisal kepadaku, kemudian ia membacakan firman-Nya:
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (Al-A'raf: 6)." Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain tanpa tambahan ini.
Ayat 7
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang mereka perbuat), sedangkan (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami tidak jauh (dari mereka).” (Al-A'raf: 7)
Kelak di hari kiamat akan diletakkan semua kitab catatan amal perbuatan, lalu kitab-kitab itu berbicara tentang apa yang telah mereka kerjakan (selama di dunia).
“Dan Kami tidak jauh (dari mereka).” (Al-A'raf: 7)
Yakni Allah ﷻ akan memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya kelak di hari kiamat tentang apa yang telah mereka katakan dan apa yang telah mereka kerjakan, baik yang kecil maupun yang besar, yang berat maupun yang ringan. Tidak ada yang terlewat, karena sesungguhnya Allah ﷻ Maha Menyaksikan segala sesuatu, tiada sesuatu pun yang tersembunyi dan terlepas dari pengetahuan-Nya dan tiada sesuatu pun yang terlupakan oleh-Nya, bahkan Dia mengetahui apa yang tersembunyi di balik lirikan mata yang khianat dan apa yang tersimpan di dalam kalbu.
Allah ﷻ telah berfirman: “Dan tiada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahuinya, dan tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfuz).” (Al-An'am: 59)
Dan pasti akan Kami beritakan kepada mereka dengan ilmu Kami, dan Kami tidak jauh dari mereka dengan penjelasan yang disertai bukti-bukti yang meyakinkan, karena Allah selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Mereka tidak akan bisa berbohong. Pada saat itulah amalan mereka ditimbang dengan timbangan yang tidak pernah meleset, karena Allah MahaadilTimbangan yang tidak kita ketahui secara hakiki bagaimana bentuk dan sifatnya, pada hari itu menjadi ukuran kebenaran. Ihwal timbangan ini merupakan perkara gaib; kita wajib mengimaninya dan hanya Allah yang tahu hakikatnya. Maka barang siapa berat timbangan kebaikan-nya karena banyak melakukan kebaikan, mereka itulah orang yang beruntung. Mereka akan masuk surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.
Ayat ini menerangkan bahwa kepada mereka, baik kepada rasul-rasul maupun kepada umat yang telah menerima seruan rasul, akan diceritakan kelak hal-hal yang telah mereka perbuat karena semua itu telah diketahui Allah, dan semuanya telah dicatat di dalam buku catatan malaikat pencatat. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pencatatan malaikat, sebagaimana firman Allah:
dan mereka berkata, "Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)
Allah selalu menyaksikan gerak-gerik dan segala perbuatan mereka pada setiap waktu. Allah mendengar apa yang mereka katakan, melihat apa yang mereka lakukan, mengetahui semua perbuatan mereka, baik yang mereka lakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Allah berfirman:
karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (an-Nisa'/4: 108)
Pertanyaan ini bukanlah untuk meminta penjelasan tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah, tetapi semata-mata untuk mencela perbuatan dan kelakuan mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah al-A'raaf
(Benteng Tinggi)
SURAH KE-7, 206 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Mahamurah lagi Pengasih,
Surah al-A'raaf dimulai pada ayat yang pertama dengan huruf-huruf pula, sebagaimana telah kita dapati surah al~Baqarah dan surah Aali Tmraan dimulai dengan huruf. Dan kita akan berjumpa lagi kelak surah-surah yang dimulai dengan huruf, kecuali surah al-Baqa-rah dan Aali ‘Imraan, surah yang dimulai dengan huruf itu semuanya diturunkan di Mekah.
Ayat 1
“Alif-Laam-Miim-Shaad."
Hendaklah kita baca tepat menurut bunyi ejaan huruf dalam bahasa Arab. Tidak boleh kita baca misalnya “almash" dan sebagainya. Sebab, oleh Rasulullah ﷺ dibaca menurut ejaan tiap-tiap huruf itu. Alif dibaca sebagai biasa. Laam dibaca dengan panjang tiga alif. Miim dibaca dengan panjarig tiga alif dan Shaad dibaca dengan panjang tiga alif pula.
Setengah penafsir Salaf berpendapat bahwa tiap-tiap huruf di pangkal surah-surah yang tertentu itu ada artinya yang khas, di antara mereka berkata bahwa di dalam huruf-huruf itu tersembunyi nama Allah SWT, atau potongan kalimat-kalimat yang berarti nama Allah. Oleh karena itu, Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas memberi arti Alif-Laam-Miim-Shaad. (j*3l) Analluhu Afshalu, Akulah Allah. Aku akan menjelaskan. Dan menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dan Abusy-Syaikh dari Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi: Alif dari Allah, Mim dari Rahman, Shaad dari Shamad. Menurut Abusy-Syaikh dari adh-Dhahhak:
Anallahu ash-Shadiqu. Akulah Allah, yang benar. Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Alif-Laam Miim-Shaad, dan Tha-Ha, Tha-Sin-Mim, Ha-Mim, Qaaf, Nuun, dan yang seumpamanya itu adalah sumpah belaka, yaitu sumpah dari Allah dan semuanya adalah nama-nama dari Allah.
Namun, beberapa penafsir lain berpendapat bahwa semua huruf-huruf itu tidaklah mengandung makna yang tersembunyi, selain dari kekuatan huruf-huruf itu sendiri buat diucapkan. Gunanya ialah untuk memberi peringatan kepada si pendengarnya agar memerhatikan wahyu-wahyu yang akan turun sesudah huruf-huruf itu terdengar dibaca oleh Rasul ﷺ
Karena tidak ada kata yang tegas, hadits yang shahih dari penafsiran Rasul sendiri, penafsiran Ibnu Abbas itu dan penafsiran yang lain tadi diterima orang saja sebagai salah satu macam penafsiran. Menurut penafsir ar-Razi, tidak kurang dari 21 perkataan, yang hampir serupa dengan penafsiran Ibnu Abbas itu. Namun, sahabat yang lebih besar dari fbnu Abbas, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, berkata, “Tiap-tiap kitab ada rahasianya, rahasia Al-Qur'an ialah pada huruf-huruf itu."
Ali bin Abi Thalib berkata, “Tiap-tiap kitab ada inti sari keistimewaannya maka inti sari keistimewaan Al-Qur'an ialah huruf-huruf hi-jaiyah di pangkal surah-surah itu,"
Ahli-ahli tasawuf memperluas lagi penafsiran “rahasia" itu, tetapi tentu saja secara tasawuf pula. Ini dipelopori oleh Ibnu Arabi sendiri. Imam Ghazali berkata di dalam al-Ihya bahwa huruf-huruf di pangkal surah-surah itu ialah penggabungan perhatian dan menyadarkan atas ayat-ayat yang berikut di belakangnya sehingga orang-orang yang mendengar, setelah mendengar huruf-huruf itu tertarik perhatian mereka untuk mendengarkan lanjutannya. Az-Zamakhsyari yang amat ahli dalam bahasa, condong pada pendapat Ghazali, Al-Bahaqi, dan Ibnu Taimiyah dan muridnya al-Mundziri pun menguraikan dari kegunaannya sebagai penyadarkan, dengan memakai huruf-huruf yang inti dalam bahasa arab itu.
Ayat 2
“Suatu kitab."
Sesudah ayat pertama rangkaian huruf-huruf, tertujulah seluruh perhatian yang mendengar pada soal yang akan diuraikan. Datanglah keterangan bahwa yang akan diuraikan itu ialah perihal suatu kitab, yaitu Al-Qur'an."Yang telah diturunkan kepada engkau." Inilah kitab itu, diturunkan kepada engkau untuk engkau pimpinkan dan ajarkan isinya kepada manusia itu."Maka janganlah ada dalam dada engkau rasa sesat daripadanya." Berkali-kali di dalam ayat yang lain, Allah memberikan peringatan kepada Rasul, agar beliau tenang dan jangan sesak dada di dalam menjalakan kewajibannya menyampaikan isi kitab itu kepada manusia karena kebanyakan dari manusia itu suka menentang, tidak mau percaya, bahkan menuduh beliau orang gila, menuduh sihir dan sebagainya. Lapangkanlah dadamu dan teruskanlah kewajibanmu. Di dalam surah at-Hijr ayat 97, Allah pun bersabda bahwa Allah tahu sampai sempit dadamu lantaran mendengar kata-kata mereka yang bukan-bukan itu, maka sucikanlah nama Allah dan teruslah bekerja dan bersu judlah kepada Allah."Supaya engkau ancamkan dengan dia." Dengan Al-Qur'an itu engkau sampaikanlah ancaman Allah kepada mereka yang tidak mau percaya itu, bahwa kalau mereka masih tetap bersikap demikian, mereka akan mendapat adzab dari Allah, baik kesengsaraan jiwa di dunia maupun siksaan neraka di akhirat.
“Dan peringatan bagi orang-orang yang beriman."
Meskipun bagi yang kufur, Al-Qur'an itu menjadi ancaman, bagi orang yang beriman dia akan menjadi peringatan, penunjuk jalan, sehingga mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kemudian Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan kepada tiap-tiap yang mau percaya, supaya mereka pegang teguhlah tuntunan Al-Qur'an itu.
Ayat 3
“Turutilah olehmu apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu."
Kepada manusia diterangkanlah dengan ayat ini, kitab yang diturunkan kepada Rasul itu, tidaklah lain gunanya, hanyalah untuk menuntun dan memimpin manusia. Itulah jalan selamat satu-satunya bagi mereka, kalau mereka menurutinya dengan setia. Dan itulah pegangan hidup yang sejati. Yang mengirimkan kitab itu kepada kamu ialah Allah sendiri, dengan perantaraan Rasul-Nya Muhammad ﷺ. Oleh sebab itu, “Dan janganlah kamu turuti yang selain dari Dia jadi penolong-penolong." Banyak jalan bersimpang-siur, tetapi jalan yang benar hanyalah satu, yaitu jalan Allah. Yang lain tidaklah bisa menjadi penolong, pembantu dan pembawa selamat ataupun pelindung. Tidak ada auliya' yang berarti wali-wali yang dapat memberikan keselamatan kepada manusia atau mendatangkan manfaat ataupun mudharat. Tidak ada yang lain, keucali hanya Allah, Allah membuktikan bagaimana Dia menjadi Wali kamu yang sejati, yaitu diturunkan-Nya Al-Qur'an untuk membimbingmu, sedangkan yang lain hanya membawa sesat kamu saja. Oleh sebab itu, janganlah kamu menyembah berhala dan jangan kamu turuti kehendak setan. Semuanya itu hanya membawamu sesat. Namun sayang,
“Sedikitlah kamu yang ingat."
Terlebih, banyak masih saja tidak ingat. Dia mengakui memang hanya Allah saja yang Tuhan, tetapi masih saja berwali atau meminta pertolongan kepada penolong yang lain. Itulah yang lebih banyak, karena tidak sadar.
Maka tibalah ancaman Allah:
Ayat 4
“Dan berapa banyak desa yang telah Kami binasakan dia."
Banyak desa yang telah dibinasakan Allah karena salah'mencari penolong, karena tidak
mau menuruti bimbingan Allah yang dibawakan oleh rasul-rasul Allah, karena sedikit yang ingat.
“Maka datanglah kepadanya siksaan Kami di tengah malam ataupun sedang mereka tidur di tengah hari."
Karena mereka, yaitu desa-desa itu, tegasnya penghuni desa-desa itu tidak ingat bahwa hanya Allah Penolong mereka, mereka pun lalai dan leka, mereka sembah yang lain. Murka Allah datang kepada mereka dengan tiba-tiba, dengan tidak mereka sangka-sangka. Ada yang datang sedang mereka nyenyak tidur istirahat tengah hari atau selepas tergelincir matahari. Menandakan bahwa adzab Allah itu datang, sedangkan mereka keenak-enakan menyangka bahaya tidak ada.
Ayat 5
“Maka tidaklah ada seruan mereka ketika datang siksaan Kami itu, kecuali mereka berkata, ‘Sesungguhnyalah kami ini orang-orang yang zalim.'"
Ayat ini menjelaskan bahwa setelah adzab itu datang dengan tiba-tiba, sedangkan mereka senang-senang dan tidak menyangka-nyangka, tidaklah dapat mereka mengelak lagi dan mengakulah mereka terus terang bahwa memang selama ini mereka telah lalai, lengah, tidak patuh pada perintah Allah, tidak mengacuhkan peringatan rasul-rasul yang diutus Allah. Mengakulah mereka bahwa mereka telah zalim. Sebab, pada saat adzab itu telah datang dari Allah, nyatalah bahwa penolong lain yang mereka cari-cari dan mereka pertahankan selama ini tidak seorang pun atau tidak satu pun yang dapat menolong. Namun, apalah artinya pengakuan zalim pada saat adzab telah datang dan negeri telah binasa? Apalah lagi arti seruan dan pengakuan pada waktu yang telah seperti demikian?
Ayat 6
“Maka sesungguhnya akan Kami periksa orang-orang yang dikirim (rasul-rasul) kepada mereka itu dan sesungguhnya akan Kami periksa rasul-rasul itu sendiri."
Sebagai sambungan dari ayat yang sebelumnya, setelah negeri itu binasa porak-poranda, urusan belumlah selesai sampai di itu saja. Manusia yang telah terkena siksaan Allah itu akan ditanyai: mengapa kamu jadi begini. Mengapa kamu menjadi zalim sehingga mendapat siksaan dan malapetaka yang begini dahsyat? Bukankah telah Kami utus kepadamu rasul-rasul? Tidakkah kamu pedulikan seruan mereka? Bagaimana saja cara sambutanmu kepada rasul-rasul Allah itu? Rasul-rasul itu sendiri pun akan diperiksa dan ditanyai: mengapa orang ini jadi begini? Bagaimana sambutan mereka atas seruan kamu atau perintah yang Allah suruh kamu menyampaikannya?
Berkata Ibnu Abbas, “Arti ayat ialah Allah akan menanyakan kepada mereka yang di-datangi Rasul itu, bagaimana sikap mereka menyambut apa yang disampaikan oleh rasul-rasul? Dan Rasul-rasul akan ditanya, “Bagaimana mereka menyampaikan atau menabligh-kan seruan Allah itu?"
Ayat ini penting diperhatikan, khusus untuk memerhatikan arti dari tanggung jawab. Tiap-tiap kita akan diperiksa, bagaimana pertanggungjawaban kita tentang kewajiban yang dipikulkan terhadap kita. Kalau umat tidak terlepas dari tanggung jawab bagaimana mereka menyambut Rasul, dan Rasul tidak lepas dari pertanggungjawaban bagaimana mereka melaksanakah perintah Allah buat bertabligh kepada manusia, niscaya dapatlah kita memahamkan bahwa kita ini semuanya adalah memikul tanggung jawab. Sebab, kita terpimpin oleh atasan kita dan kita memimpin akan bawahan kita. Raja memimpin rakyat, ayah memimpin anak, suami memimpin istri, istri memimpin dalam rumah tangga suaminya. Lebih-lebih setelah ditegaskan lagi oleh ayat berikutnya:
Ayat 7
“Maka sesungguhnya akan Kami ceritakan kepada mereka,dengan pengetahuan dan sekali-kali tidaklah Kami gaib."
Apabila pemeriksaan telah datang kelak di hari Kiamat, tidaklah seorang pun yang sanggup berdusta atau mengelak diri dari tanggung jawab. Sebab apa yang kita sembunyikan, Allah mengetahuinya. Apa yang kita lupa, Allah tetap mengigatnya. Kita diperiksa adalah dengan pengetahuan. Allah mengetahui segala gerak-gerik kita di kala hidup. Yang jujur ataupun yang curang Dia tahu. Catatan ada pada sisi Allah dan Allah tidaklah gaib dari sisi kita. Dia ada selalu pada waktu kita hidup ini, Dia tidak di tempat lain. Kalau kita tidak dapat melihat Dia, jangan sangka bahwa Dia tidak melihat kita. Tidak ada yang dapat disembunyikan di hadapan mahkamah Allah pada hari soal-jawab itu kelak.
Ayat 8
“Dan timbangan pada hari itu adalah benar."
Di sini ditegaskan bahwa pada hari itu kelak akan ditegakkan suatu timbangan yang Mahaadil, yang tidak pernah mengicuh, bukan suatu timbangan rusak.
Di dalam Al-Qur'an kita selalu bertemu firman Allah tentang adanya alat-alat gaib yang namanya kita diberi tahu, tetapi rangka-rangka pikiran kita tidak mungkin tepat tentang hal itu. Di sini, disebutkan timbangan: al-Wazan dan di ayat lain disebut al-Mizaan (surah ar-Rahmaan ayat 7) dan lain-lain. Disebut juga misalnya tentang Arsy, Kursi, Qalam, Al-Lauh, Al-Mahfuzh dan sebagainya. Kita percaya dengan sesungguh-sungguhnya tentang adanya alat-alat itu, tetapi daya pikir kita yang sekarang tidaklah akan tepat jika diuraikan sekarang juga. Sama dengan mengkhayatkan Negeri Mekah sebelum Mekah dilihat, berbeda dengan sesudah dilihat. Dengan al-Wazan dan timbangan ini, akan ditimbanglah jasa dan dosa, amal baik amal buruk, menerima Rasui atau menolak Rasul, menerima separuh-separuh atau menolak separuh-separuh. Hasil timbangan itu adalah benar, tidak ada sedikit pun kecurangan, kezaliman, atau merugikan, walaupun sebesar zarrah (atom) sekalipun.
Ayat 9
“Maka barangsiapa yang benat timbangannya, maka mereka ilu adalah orang-orang yang telah merugikan dirii mereka sendiri, dengan sebab mereka tenhadap ayat-ayat Kami berlaku zalim."
Timbangan mereka menjadi ringan. Ibaratnya kalau sekiranya timbangan di akhirat itu mempunyai dua daun timbangan, setelah ditegakkan dan dimasukkan pada yang sebelah kanan segala amal yang baik dan ke sebelah kiri segala amai yang buruk, nyatalah kosong terapung ke atas daun timbangan yang baik itu, sebab yang sebelah penuh dan berat dengan kejahatan. Orang yang hidup tidak berbuat baik, berartilah bahwa hidupnya itu kosong. Amal yang baik akan dibawa ke akhirat, menjadi bekal pengantar buat berhak masuk surga. Adapun amal jahat tidak ada harganya apa-apa sehingga hidup yang dilalui tidak berarti sama sekali, mereka mendapat ganjaran yang menyedihkan, yaitu adzab siksaan Allah. Dalam ayat diterangkan bahwa mereka telah rugi sebab mereka telah merugikan diri sendiri. Allah sekali-kali tidak dapat disalahkan, sebab Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya secukupnya, dan peringatan sudah ada sejak dahulu. Merekalah yang zalim, aniaya dan menuju langkah yang gelap di dalam hidup mereka.
Dengan adanya sebutan timbangan dan pertimbangan lalu tersebut soal berat dan ringan, soal bahagia dan kerugian, kita di sini telah menampak suatu sifat Allah yaitu Adil. Dan dengan ini kita pun mendapat kesan pula bahwasanya timbangan kebaikan amal manusia itu) walaupun murni sesama Mukmin tidaklah sama. Semuanya memang berat tetapi ada yang sangat berat, ada yang lebih berat dan yang paling berat. Yang ringan pun demikian pula. Namun, puncak keberatan ialah iman dan puncak keringanan ialah kufur.