Ayat
Terjemahan Per Kata
أَفَحُكۡمَ
apakah hukum
ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ
Jahiliyah
يَبۡغُونَۚ
mereka kehendaki
وَمَنۡ
dan siapakah
أَحۡسَنُ
lebih baik
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
حُكۡمٗا
hukumNya
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُوقِنُونَ
mereka yakin
أَفَحُكۡمَ
apakah hukum
ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ
Jahiliyah
يَبۡغُونَۚ
mereka kehendaki
وَمَنۡ
dan siapakah
أَحۡسَنُ
lebih baik
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
حُكۡمٗا
hukumNya
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُوقِنُونَ
mereka yakin
Terjemahan
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?
Tafsir
(Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki) dengan memakai ya dan ta; artinya dengan berpaling itu mereka hanyalah hendak bermanis mulut dan mengambil muka sedangkan pertanyaan di sini berarti sanggahan (dan siapakah) artinya tak seorang pun (yang lebih baik hukumannya daripada Allah bagi kaum) artinya di sisi orang-orang (yang yakin) kepada-Nya. Diistimewakan menyebutkan mereka karena hanya merekalah yang bersedia merenungkan hal ini.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 48-50
Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjadi batu ujian (standar kebenaran) terhadap kitab-kitab itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Ayat 48
Setelah Allah ﷻ menyebutkan perihal kitab Taurat yang diturunkanNya kepada Nabi Musa yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan memuji serta menyanjung Kitab Taurat dan memerintahkan agar kitab Taurat diikuti ajarannya mengingat kitab Taurat layak untuk diikuti oleh mereka, lalu Allah ﷻ menyebutkan perihal kitab Injil dan memujinya serta memerintahkan kepada para pemegangnya untuk mengamalkannya dan mengikuti apa yang terkandung di dalamnya, seperti yang telah disebutkan di atas.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan tentang Al-Qur'an yang Dia turunkan kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran.” (Al-Maidah: 48)
Yakni membawa kebenaran, tiada keraguan di dalamnya; dan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah ﷻ.
“Membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.” (Al-Maidah: 48)
Yaitu kitab-kitab terdahulu yang mengandung sebutan dan pujian kepadanya (Al-Qur'an), dan bahwa Al-Qur'an itu akan diturunkan dari sisi Allah kepada hamba lagi Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Dan penurunan Al-Qur'an yang sesuai dengan apa yang telah diberitakan oleh kitab-kitab terdahulu merupakan faktor yang menambah kepercayaan di kalangan para pemilik kitab-kitab sebelum Al-Qur'an dari kalangan orang-orang yang mempunyai ilmu dan taat kepada perintah Allah, mengikuti syariat-syariat Allah serta membenarkan rasul-rasul Allah, seperti yang disebutkan oleh Allah melalui firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tersungkur sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi’." (Al-Isra: 107-108) Yakni sesungguhnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada kami melalui lisan rasul-rasul-Nya yang terdahulu yaitu mengenai kedatangan Nabi Muhammad ﷺ adalah benar-benar terjadi dan pasti dipenuhi.
Firman Allah ﷻ: “Dan menjadi batu ujian (standar kebenaran) terhadap kitab-kitab itu.” (Al-Maidah: 48)
Sufyan Ats-Tsauri dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "dipercaya oleh kitab-kitab sebelumnya.”
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-muhaimin ialah "yang dipercaya.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan semua kitab sebelumnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, Atiyyah, Al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ Al-Khurrasani, As-Suddi, dan Ibnu Zaid.
Ibnu Juraij mengatakan, Al-Qur'an adalah kepercayaan kitab-kitab terdahulu yang sebelumnya. Dengan kata lain, apa saja isi dari kitab terdahulu yang sesuai dengan Al-Qur'an. maka itu adalah benar; dan apa saja isi dari kitab-kitab terdahulu yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an, itu adalah batil.
Telah diriwayatkan dari Al-Walibi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaimin ini, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai saksi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna muhaiminan, bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hakim atau menjadi batu ujian (standar kebenaran) bagi kitab-kitab yang sebelumnya.
Semua pendapat tersebut pengertiannya saling berdekatan, karena sesungguhnya lafal muhaimin mengandung semua pengertian itu, sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an adalah kepercayaan, saksi, dan hakim atas kitab-kitab yang sebelumnya.
Allah ﷻ telah menjadikan kitab Al-Qur'an yang agung ini yang Dia turunkan sebagai akhir dari kitab-kitab Nya dan merupakan pamungkasnya, paling agung dan paling sempurna. Di dalam Al-Qur'an terkandung kebaikan-kebaikan kitab-kitab sebelumnya dan ditambahkan banyak kesempurnaan yang tidak terdapat pada kitab-kitab lainnya. Karena itulah Allah menjadikannya sebagai saksi, kepercayaan dan hakim atas semua kitab yang terdahulu, dan Allah sendiri menjamin pemeliharaan bagi keutuhannya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ikrimah dan Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’ Al-Khurrasani serta Ibnu Abu Nujaih dari Mujahid, mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "muhaiminan 'alaihi" bahwa makna yang dimaksud ialah Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang dipercaya mengenai Al-Qur'an. Kalau ditinjau dari segi maknanya memang benar, tetapi bila ditafsirkan dengan pengertian ini, masih perlu dipertimbangkan lagi. Demikian pula mengenai penurunannya kepada dia bila dipandang dari segi bahasa Arab, masih perlu dipertimbangkan lagi.
Pada garis besarnya pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama tadi. Abu Ja'far ibnu Jarir setelah mengemukakan riwayat dari Mujahid, bahwa takwil ini sulit dimengerti menurut pemahaman orang-orang Arab, bahkan merupakan suatu kekeliruan. Dikatakan demikian karena lafal muhaimin di-'ataf-kan kepada lafal musaddiqan. Karena itu, kedudukannya tiada lain kecuali menjadi sifat dari apa yang disifati oleh lafal musaddiqan.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya duduk perkaranya seperti apa yang dikatakan oleh Mujahid, niscaya akan disebutkan oleh firman-Nya dengan ungkapan seperti berikut: "Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, sebagai orang yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan sebagai orang yang dipercaya untuk (menerima) Al-Qur'an," yakni dengan ungkapan tanpa huruf ataf.
Firman Allah ﷻ: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (Al-Maidah: 48)
Yakni wahai Muhammad, putuskanlah perkara di antara manusia baik yang Arab maupun yang 'Ajam (nonArab), baik yang ummi (buta hurf) maupun yang pandai baca tulis, dengan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu di dalam Al-Qur'an yang agung ini, dan dengan apa yang telah ditetapkan untukmu dari hukum para nabi sebelummu, tetapi tidak dimansukh (direvisi) oleh syariatmu. Demikianlah menurut apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir dalam menjabarkan maknanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ disuruh memilih. Jika beliau suka, boleh memutuskan perkara di antara mereka (kaum Ahli Kitab); dan jika tidak suka, beliau boleh berpaling dari mereka, lalu mengembalikan keputusan mereka kepada hukum-hukum mereka sendiri. Maka turunlah firman-Nya:
Ayat 49
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49)
Dengan turunnya ayat ini Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memutuskan perkara di antara mereka (Ahli Kitab) dengan apa yang terdapat di dalam kitab kita, yakni Al-Qur'an.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49)
Yaitu pendapat-pendapat mereka yang mereka buat sendiri seenaknya, dan karenanya mereka meninggalkan apa yang apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al-Maidah: 48)
Yakni janganlah kamu berpaling dari kebenaran yang diperintahkan Allah kepadamu, lalu kamu cenderung kepada hawa nafsu orang-orang yang bodoh lagi celaka itu.
Firman Allah ﷻ: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yusuf ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan.” (Al-Maidah: 48) Bahwa yang dimaksud dengan syir'atan ialah jalan.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Said, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah tuntunan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan syir'atan wa minhajan ialah jalan dan tuntunan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Adh-Dhahhak, As-Suddi, Abu Ishaq As-Subai'i, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Syir'atan wa minhajan", bahwa makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan.
Dan dari Ibnu Abbas, Mujahid serta ‘Atha’ Al-Khurrasani disebutkan sebaliknya, bahwa yang dimaksud dengan syir'ah ialah tuntunan, sedangkan minhaj ialah jalan. Tetapi pendapat pertama lebih sesuai, mengingat makna syir'ah juga berarti "syariat" dan "permulaan untuk menuju ke arah sesuatu.” Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan syara'aji kaza yang artinya "memulainya.” Demikian pula makna lafal syari'ah, artinya sesuatu yang dipakai untuk berlayar di atas air.
Makna minhaj adalah jalan yang terang lagi mudah, sedangkan lafal as-sunan artinya tuntunan-tuntunan. Dengan demikian, berarti tafsir firman-Nya, "syir'atan wa minhajan”, dengan pengertian jalan dan tuntunan lebih jelas kaitannya daripada kebalikannya. Kemudian konteks ini dalam kaitan memberitakan perihal umat-umat yang beraneka ragam agamanya dipandang dari aneka ragam syariat mereka yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Allah melalui rasul-rasul-Nya yang mulia, tetapi sama dalam pokoknya, yaitu ajaran tauhid.
Disebutkan di dalam kitab Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kami para nabi adalah saudara-saudara yang berlainan ibu, tetapi agama kami satu.” Makna yang dimaksud ialah ajaran tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada semua rasul yang diutus-Nya dan terkandung di dalam semua kitab yang diturunkan-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka kalian sembahlah Aku’." (Al-Anbiya: 25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu’." (An-Nahl: 36) hingga akhir ayat.
Adapun mengenai berbagai macam syariat yang berbeda-beda dalam masalah perintah dan larangannya, adakalanya suatu hal dalam suatu syariat diharamkan, kemudian dalam syariat yang lain dihalalkan dan kebalikannya; lalu diringankan dalam suatu syariat, sedangkan dalam syariat yang lain diperberat. Yang demikian itu karena mengandung hikmah yang tidak terbatas serta hujah (alasan) yang jelas bagi Allah dalam menentukan hal tersebut.
Said ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah jalan dan tuntunan. Tuntunan itu berbeda-beda, di dalam kitab Taurat merupakan suatu syariat, di dalam kitab Injil merupakan suatu syariat, dan di dalam Al-Qur'an merupakan suatu syariat; di dalamnya Allah menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, yaitu untuk menguji siapa yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka.
Agama yang tidak diterima oleh Allah ialah yang selainnya, yakni selain agama tauhid dan ikhlas kepada Allah semata. Agama inilah yang didatangkan oleh semua rasul. Menurut suatu pendapat, orang yang diajak bicara oleh ayat ini adalah umat ini, yakni umat Nabi Muhammad ﷺ. Makna yang dimaksud ialah "untuk tiap-tiap orang dari kaitan yang termasuk dalam umat ini, Kami jadikan Al-Qur'an sebagai jalan dan tuntunannya.” Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah buat kalian semuanya sebagai panutan kalian.
Damir yang mansub dalam firman-Nya, "Likullin ja'alna minkum" yaitu “ja'alnahu” yang artinya "Kami jadikan Al-Qur'an” sebagai syariat dan tuntunannya untuk menuju ke tujuan yang benar dan sebagai tuntunan, yakni jalan yang jelas lagi gamblang. Demikianlah menurut ringkasan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid.
Akan tetapi, pendapat yang benar adalah yang pertama tadi, karena diperkuat dengan firman selanjutnya yang mengatakan:
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja).” (Al-Maidah: 48) Seandainya hal ini merupakan khitab (pembicaraan) bagi umat ini, niscaya kurang tepatlah bila disebutkan oleh firman-Nya: “Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja).” (Al-Maidah: 48) Padahal mereka merupakan satu umat, tetapi hal ini merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan kepada semua umat dan sebagai pemberitahuan tentang kekuasaan Allah Yang Maha Besar, yang seandainya Dia menghendaki, niscaya dihimpunkan-Nya semua umat manusia dalam satu agama dan satu syariat yang tiada sesuatu pun darinya yang dimansukh (direvisi).
Akan tetapi, Allah ﷻ menjadikan suatu syariat tersendiri bagi tiap rasul, kemudian memansukh (merevisi) seluruhnya atau sebagiannya dengan risalah lain yang diutus oleh Allah sesudahnya, hingga semuanya dimansukh (direvisi) oleh apa yang diturunkan Nya kepada hamba lagi rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Allah mengutusnya kepada seluruh penduduk bumi dan menjadikannya sebagai penutup para nabi semuanya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian.” (Al-Maidah: 48)
Dengan kata lain, Allah ﷻ telah menetapkan berbagai macam syariat untuk menguji hamba-hamba-Nya terhadap apa yang telah disyariatkan untuk mereka dan memberi mereka pahala karena taat kepadanya, atau menyiksa mereka karena durhaka kepada-Nya melalui apa yang mereka perbuat atau yang mereka tekadkan dari kesemuanya itu.
Abdullah ibnu Katsir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Terhadap pemberian-Nya kepada kalian.” (Al-Maidah: 48) Makna yang dimaksud ialah Al-Kitab.
Kemudian Allah ﷻ menganjurkan kepada mereka untuk bersegera mengerjakan kebajikan dan berlomba-lomba mengerjakannya. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya:
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48) Yaitu taat kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya yang dijadikan-Nya memansukh (merevisi) syariat pendahulunya serta membenarkan kitab Al-Qur'an yang merupakan akhir dari kitab yang diturunkan-Nya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Hanya kepada Allah-lah kalian semuanya kembali.” (Al-Maidah: 48) Yakni tempat kembali kalian kelak di hari kiamat hanyalah kepada Allah ﷻ.
“Lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu.” (Al-Maidah: 48)
Yaitu Allah memberitahukan kepada kalian kebenaran mengenai apa yang kalian perselisihkan, maka Dia akan memberikan balasan pahala kepada orang-orang yang percaya berkat kepercayaan mereka dan mengazab orang-orang kafir yang ingkar lagi mendustakan kebenaran dan menyimpang darinya ke yang lain tanpa dalil dan tanpa bukti, bahkan mereka sengaja ingkar terhadap bukti-bukti yang jelas, hujah-hujah (alasan-alasan) yang terang serta dalil-dalil yang pasti.
Menurut Adh-Dhahhak, makna firman-Nya: “Maka berlomba-lombalah kalian berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48) ialah umat Nabi Muhammad ﷺ, tetapi makna yang pertama lebih jelas dan lebih kuat.
Firman Allah ﷻ: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al-Maidah: 49)
Ayat ini mengukuhkan apa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu perintah yang menganjurkan hal tersebut dan larangan berbuat kebalikannya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49)
Yakni waspadalah terhadap musuh, orang-orang Yahudi itu, jangan biarkan mereka memalsukan kebenaran melalui berbagai macam perkara yang mereka ajukan kepadamu; janganlah kamu teperdaya oleh mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta, kafir lagi pengkhianat.
“Jika mereka berpaling.” (Al-Maidah: 49)
Yaitu berpaling dari kebenaran yang telah kamu putuskan di antara mereka, lalu mereka menentang syariat Allah.
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak mau menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.” (Al-Maidah: 49)
Yakni ketahuilah bahwa hal itu telah direncanakan oleh takdir Allah dan kebijaksanaan-Nya terhadap mereka, yaitu Dia hendak memalingkan mereka dari jalan hidayah disebabkan dosa-dosa mereka yang terdahulu yang berakibat kesesatan dan pembangkangan mereka.
“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 49)
Yaitu sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka dan menentang kebenaran serta berpaling darinya. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An'am: 116), hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ka'b ibnu Asad, Ibnu Saluba, Abdullah ibnu Suria, dan Syas ibnu Qais; sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Marilah kita berangkat menemui Muhammad, barangkali saja kita dapat memalingkan dia dari agamanya." Lalu mereka datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, "Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah rahib-rahib Yahudi, orang-orang terhormat, dan pemuka-pemuka mereka. Dan sesungguhnya jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi akan mengikutimu dan tidak akan menentang kami. Sekarang telah terjadi suatu perselisihan antara kami dan kaum kami, maka kami serahkan keputusan kami dan mereka kepadamu; dan engkau putuskan untuk kemenangan kami atas mereka, lalu kami mau beriman kepadamu dan membenarkanmu." Tetapi Rasulullah ﷺ menolak tawaran itu, dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa mereka itu, yakni firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu.” (Al-Maidah: 49) sampai dengan firman-Nya: “Bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Maidah: 50) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ayat 50
Firman Allah ﷻ: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Melalui ayat ini Allah ﷻ mengingkari perbuatan orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (jelas pasti) lagi mencakup semua kebaikan, melarang setiap perbuatan jahat, lalu mereka memilih pendapat-pendapat yang lain dan kecenderungan-kecenderungannya serta peristilahan yang dibuat oleh kaum mereka tanpa sandaran dari syariat Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh ahli Jahiliah.
Orang-orang Jahiliah memutuskan perkara mereka dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat-buat sendiri oleh pendapat dan keinginan mereka. Dan juga sama dengan hukum yang dipakai oleh bangsa Tartar berupa undang-undang kerajaan yang diambil dari raja mereka, yaitu Jengis Khan; perundang-undangan tersebut dibuat oleh Al-Yasuq untuk mereka. Undang-undang ini terangkum di dalam suatu kitab yang di dalamnya memuat semua hukum-hukum yang dipetik dari berbagai macam syariat, dari agama Yahudi, Nasrani, dan agama Islam serta lain-lainnya.
Di dalamnya banyak terdapat undang-undang yang ditetapkan hanya berdasarkan pandangan dan keinginan Jengis Khan sendiri, kemudian hal tersebut di kalangan keturunannya menjadi peraturan yang diikuti dan lebih diprioritaskan atas hukum Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Barang siapa yang melakukan hal tersebut dari kalangan mereka, maka dia adalah orang kafir yang wajib diperangi hingga dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, karena tiada hukum kecuali hukum-Nya, baik dalam perkara yang kecil maupun perkara yang besar.
Firman Allah ﷻ: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (Al-Maidah: 50)
Yakni yang mereka inginkan dan mereka kehendaki, lalu mereka berpaling dari hukum Allah.
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Yaitu siapakah yang lebih adil daripada Allah dalam hukumnya bagi orang yang mengerti akan syariat Allah, beriman kepada-Nya, dan yakin serta mengetahui bahwa Allah adalah Hakim di atas semua hakim serta Dia lebih belas kasihan kepada makhluk-Nya ketimbang seorang ibu kepada anaknya? Dan sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu, lagi Maha Adil dalam segala sesuatu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hilal ibnu Fayyad, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah An-Naji yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan berkata, "Barang siapa yang memutuskan perkara bukan dengan hukum Allah, maka itu berarti hukum Jahiliah yang dipakainya."
Dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih yang telah menceritakan bahwa Tawus apabila ada seseorang bertanya kepadanya, "Bolehkah aku membeda-bedakan pemberian di antara anak-anakku?" Maka Tawus membacakan firman-Nya: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki.” (Al-Maidah: 50), hingga akhir ayat.
Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdul Wahhab ibnu Najdah Al-Huti, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Abu Hamzah, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Husain, dari Nafi' ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling dimurkai oleh Allah ﷻ ialah orang yang menginginkan tuntunan Jahiliah dalam Islam, dan orang yang menuntut darah seseorang tanpa alasan yang dibenarkan hanya semata-mata ingin mengalirkan darahnya.”
Imam Bukhari telah meriwayatkan hal yang serupa, dari Abul Yaman, lengkap dengan sanad berikut tambahannya.
Apakah keinginan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah itu karena mereka ingin kembali pada hukum Jahiliah yang mereka kehendaki' Sesungguhnya hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum yang telah ditetapkan Allah, yaitu yang telah disyariatkan bagi orang-orang yang benar-benar beriman dan yang meyakini agama-nya' Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kamu semua, janganlah sekali-kali kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu karena akibat negatifnya lebih banyak ketimbang positifnya. Selain itu, mereka satu sama lain saling melindungi karena adanya persamaan kepentingan di antara mereka. Oleh karena itu, barang siapa di antara kamu yang tetap saja memilih dan menjadikan mereka sebagai teman setia dengan mengabaikan umat Islam, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka yang sering kali mengabaikan ajaran-ajaran Allah. Sungguh, karena keingkaran mereka, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkar dan zalim karena selalu mengabaikan tuntunan-Nya.
Diriwayatkan, bahwa Bani Nadhir mengajukan perkara yang terjadi dengan Bani Quraizah kepada Nabi ﷺ untuk diberi keputusan. Di antara Bani Nadhir ada yang minta kepada Nabi ﷺ supaya perkaranya diputuskan sesuai dengan keputusan yang berlaku di zaman jahiliah, yaitu adanya perbedaan derajat antara dua golongan tersebut, sehingga diat yang dikenakan kepada Bani Quraizah menjadi dua kali lipat diat yang dikenakan kepada Bani Nadir, karena menurut mereka, Bani Nadir itu lebih kuat, lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya. Nabi ﷺ tidak menerima permintaan mereka dan beliau bersabda, "Orang-orang yang dibunuh itu sama derajatnya, tidak ada perbedaannya." Orang Bani Nadir berkata, "Kalau begitu kami juga menolak dan tidak menerima yang demikian itu." Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini Allah mencemooh dan menganggap perbuatan mereka sebagai sesuatu yang aneh, mereka mempunyai kitab samawi dan ilmu yang luas, tetapi mereka masih mengutamakan hukum-hukum jahiliah yang jelas bertentangan dengan hukum yang ada di dalam kitab Taurat, padahal hukum-hukum Allah adalah hukum yang terbaik, karena sifatnya menyeluruh, adil dan benar, tidak memandang derajat dan lain sebagainya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AL-QUR'AN PENGGENAP DAN SUMBER HUKUM
Setelah Allah mewahyukan tentang turunnya Taurat membawa petunjuk dan cahaya, diiringi oleh Injil membawa petunjuk dan cahaya pula, makas Allah pun menerangkan turunnya Al-Qur'an, ‘sebagai--periggenap isi kitab-kitab yang dahulu itu.
Ayat 48
Dan telah Kami turunkan kepada engkau Kitab itu dengan kebenaran."
Teranglah di sini bahwasanya yang dituju dengan kata engkau ialah Nabi kita Muhammad ﷺ yang diutus sebagai penutup segala rasul, menggenapkan risalah Musa dan Isa al-Masih. Dan kitab yang diturunkan dengan kebenaran itu ialah Al-Qur'an. “Menggenapkan apa yang terlebih dahulu daripadanya dari Kitab." Nama kitab yang terlebih dahulu itu tidak disebut lagi, karena di ayat yang sebelumnya nama Taurat dan Injil telah dijelaskan. Maka kedatangan Al-Qur'an adalah menggenapkan atau membenarkan (mushaddiqan) bagi kitab yang telah terdahulu itu. Mana yang sudah lengkap, diperlengkap, sebab umat manusia bertambah maju dan daerah yang dihadapi bertambah luas. Membenarkan pula bahwa memang terlebih dahulu daripada Al-Qur'an ialah sebagai penyaksi dan peneliti memperingatkan mana ajaran pokok yang asli, yaitu tentang tauhid. Pendeknya dengan kata wa muhaiminan ‘alaihi yang berarti ‘dan sebagai penyaksi atasnya.' Kepada kita diperingatkan bahwa memang Allah telah menurunkan Taurat dan Injil. Tetapi terhadap apa yang dikatakan Taurat dan Injil oleh penganutnya sekarang ini, hendaklah kamu terima dengan hati-hati sekali. Maka lantaran kedatangan Al-Qur'an telah mengandung akan sari pokok, terutama aqidah dari kedua kitab itu.
“Maka hukumkanlah di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, dan apa pun yang akan memalingkan engkau daripada kebenaran." Sudah diketahui rahasia orang Yahudi tadi, bahwasanya mereka lari meminta hukum kepada Rasulullah, karena mereka hendak mengelakkan diri dari hukum Taurat, padahal dalam soal zina, hukum Al-Qur'an masih mengikuti syari'at Taurat, Orang Nasrani mengatakan pula menuruti hukum Taurat, padahal dalam sejarah perkembangan hukum mereka, pemuka-pemuka agama yang sesudah ai-Masih dengan sengaja dari selangkah ke selangkah menjauhi Taurat—se-bagaimana dijelaskan oleh Paulus—dan dalam hal hukum masih bersandar kepada hukum Yunani dan Romawi.
Sekarang Al-Qur'an sudah datang. Dia membangunkan syari'at yang baru dengan tetap memakai pokok aqidah yang lama, sebab itu maka jalankanlah hukum menurut Al-Qur'an itu, jangan ragu-ragu lagi. Jangan dituruti hawa nafsu mereka, mereka pun tidak keberatan meninggalkan Taurat dan pindah kepada hukum Al-Qur'an kalau tidak cocok dengan hawa nafsu mereka. Dan jangan suka dipaling-palingkan dari dasar kebenaran, melainkan tegakkanlah keadilan. “Bagi tiap-tiapnya itu telah Kawi adakan peraturan dan jalan." Di zaman Musa dahulu ada peraturan sendiri (syir'atan) atau syari'at sendiri. Di dalam zaman Isa tidak banyak perubahan pokok, melainkan perubahan cara. Syari'at zaman Nabi Musa kadang-kadang sangat keras. Tetapi karena zaman telah berubah, syari'at itu tinggal tertulis, banyak yang tidak dapat dijalankan, sehingga pemuka-pemuka agama mereka membuat berbagai tafsiran. Di zaman al-Masih syari'at tidak banyak diubah, tetapi jiwa yang telah membeku yang diubah terlebih dahulu. Tetapi beliau menghadapi serba kesulitan. Kesulitan yang paling besar ialah dua. Pertama, kebekuan (jumud) pemuka-pemuka Yahudi sendiri. Kedua, kekuasaan penjajah yang sudah sangat mencengkerani jiwa rakyat jajahan. Penjajah itu ialah bangsa Romawi.
Tetapi dekat-dekat beliau akan dipanggil ke hadirat Allah, beliau telah memesankan bahwa baik dia pergi, karena kelak akan datang Ruh Kebenaran, untuk menyempurnakan tugas beliau. Ruh Kebenaran itulah Muhammad ﷺ Maka datanglah beliau menyempurnakan tugas rakan-rekan beliau, (shalawat dan salam Allah buat mereka semuanya) Beliau bawalah Al-Qur'an yang membawa syari'at baru, menghimpun dan menyempurnakan syari'at yang telah lalu. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah bahwasanya bagi tiap-tiapnya itu telah Kami adakan peraturan dan jalan. Di zaman Bani Israil telah diseberangkan dari penindasan Fir'aun sampai beroleh negeri di tanah Kanaan, ada syari'atnya sendiri. Dalam zaman Bani Israil hidup kembali dalam penjajahan bangsa Romawi, ketika diutus Nabi Isa al-Masih a.s. ada pula peraturannya sendiri. Sekarang datang nabi akhir zaman, untuk seluruh umat manusia, datanglah syari'at sendiri yang lebih lengkap. Pokok asal sudah lengkap; dan mana yang belum tertulis disempurnakan dengan ijtihad dan Qiyas, menyesuaikan yang juru' kepada yang ashal.
Di sini kita mendapat kesimpulan bahwa agama yang telah disampaikan oleh lidah nabi-nabi adalah satu. Satu pokok dan satu tujuan. Pokok itu ialah tauhid. Mengakui keesaan Allah, kekuasaan-Nya, dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Dan beramal beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, dan percaya akan Hari Kemudian. Tetapi syari'at artinya peraturan-peraturan ada perubahan karena perubahan tempat dan waktu. Sebab itu syari'at umat yang sebelum kita, tidaklah menjadi syari'at pula bagi kita lagi. Di antara satu contoh syari'at ialah tentang libur orang Yahudi adalah hari Sabtu. Datang syari'at Islam mengadakan hari Jum'at buat beramai-ramai shalat ke masjid. Adapun orang Kristen membuat libur hari Minggu, tidaklah jelas syari'at ai-Masih. Melainkan dibuat orang setelah beliau meninggal dunia. Dan kalau ada persamaan syari'at kita dengan syari'at mereka, bukanlah berarti bahwa kita melanjutkan memakai syari'at itu. Melainkan dia berlaku karena telah dijadikan syari'at kita. Persis sebagaimana pelanjutan beberapa undang-undang zaman Belanda, yang masih tersisa setelah kita merdeka. BukanTah-berarti-bahwa undang-undang Belanda dipakai dalam Republik Indonesia, melainkan kita memakai peraturan serupa itu, karena dia telah disahkan oleh Pemerintah kita. Sebab itu maka salah satu rukun Islam, yaitu haji bukanlah kita pakai karena dia syari'at Nabi Ibrahim, tetapi kita pakai karena dia syari'at Nabi Muhammad ﷺ. Ada beberapa hal yang serupa, tetapi sudah nyata bahwa syari'at haji bukanlah syari'at Nabi Ibrahim yang kita pakai.
Tentu akan timbul pertanyaan orang, “Mengapa Allah tidak menjadikan saja seluruh syari'at itu jadi satu, sejak nabi-nabi yang dahulu sampai sekarang? Misalnya mengapa maka Sulaiman diizinkan beristri sampai beratus-ratus orang sebagai khususiyat, sedang kepada Muhammad hanya diizinkan sembilan orang sebagai khususiyat? Mengapa Ya'qub dibolehkan beristri dua kakak beradik, sedang dalam syari'at Muhammad dilarang mempermadukan orang bersaudara?" Maka datanglah jawab pada lanjutan ayat,
“Dan jikalau Allah menghendaki, sesungguhnya telah dijadikan kamu semua u mat yang satu; akan tetapi diberi-Nya ujian kamu pada apa yang telah diberikan-Nya kepada kamu itu."
Artinya, bukanlah Allah ta'ala tidak berkuasa buat menjadikan syari'at kamu itu satu saja coraknya sejak zaman Adam sampai zaman Muhammad, sampai hari Kiamat. Bangsa pun satu semua, adat istiadat pun satu semua, perkembangan hidup pun satu saja semua. Allah pun berkuasa membuat demikian kalau Dia mau. Contohnya telah ada yaitu kehidupan binatang; kehidupan semut dan lebah, kehidupan burung-burung. Sepintas lalu tentu senang juga hati kita melihat kesatuan rona kehidupan lebah, membuat sarang dan menghasilkan manisan. Suatu anugerah naluri (instinct) yang tidak berubah-ubah sejak beribu-ribu tahun. Atau seperti kehidupan-Tayap tidak bermata, sebagai ‘diceritakan dalam Majalah Inti Sah (No 24 Juli 1965 disalin dari Majalah Science at Vie Januari 1965) yang dapat mendirikan bangunan yang luar biasa kuatnya, lebih kuat daripada beton, sehingga kalau hendak menghancurkannya dengan dinamit. Tingginya kira-kira 6 (enam) meter, lebar 15 meter, bertingkat 100, komplet dengan Air Conditioning, sehingga belum berarti berdirinya Empire State Building yang 103 tingkat buatan manusia jika dibanding dengan itu.
Allah pun kalau Dia kehendaki, Mahakuasa membuat hidup manusia seperti demikian. Tetapi manusia tidak diberi begitu, tidak diberi hanya instinct, tetapi diberi yang lebih tinggi daripada instinct, yaitu akal. Maka diujilah kesanggupan manusia mempergunakan akal itu, dalam menyesuaikan hidupnya dalam alam sekelilingnya, dengan ruang dan waktu. Maka bertambah lama bertambah majulah manusia. Bertambah lama bertambah dikuasainyalah, dengan izin Allah, keadaan alam kelilingnya.
Dalam segi bimbingan agama bagi kehidupan dan akal, dapatlah kita pelajari tingkat kenaikan syari'at sejak syari'at Musa, yang mereka namai Yahudi, dan syari'at Isa yang kemudian dinamai Nasrani, dan selanjutnya kepada syari'at Muhammad, yaitu Islam.
Yahudi adalah syari'at yang didasarkan atas disiplin keras, guna mendidik suatu kaum yang 400 tahun telah diperbudak, hingga kemerdekaan diri dan kemerdekaan jiwa. Oleh karena keras dasar disiplinnya itu maka umatnya menjadi kehilangan kebebasan berpikir sendiri, mereka mesti patuh. Barangsiapa tidak patuh disambar geledek! Syari'at Musa kita namai Jalaal (Luhur)
Nasrani, di satu pihak ialah lanjutan Yahudi, tetapi mengembalikan kelemah-lem-butan jiwa.
benda kepada pihak yang berkuasa, betapa pun zalimnya; tetapi dalam pada itu didik jiwa sendiri supaya tidak dapat dikuasai selain kuasa Allah! Kalau perlu angkat salibmu ke mana saja engkau pergi. Suatu didikan yang tinggi guna menghadapi Romawi, yang kuat. Diteruskan oleh Gandhi dengan Ahimsa! Syari'at Isa kita namai Jamaal (Indah)
Dasar syari'at Islam didasarkan atas kemerdekaan akal, menjelaskan arti lengkap kemanusiaan sebagai gabungan jasmani dan ruhani; tempat tumbuhnya pun ditentukan, yaitu di padang pasir yang tidak dicampuri oleh kekuasaan asing, sehingga umatnya menjadi Ummatan Wasathan, umat pertengahan. Syari'at Muhammad kita namai Kamaal (Sempurna)
Itulah sebabnya maka dalam Al-Qur'an hukum-hukum duniawi itu tidak banyak, tidak sampai seperseratus daripada hukum-hukum duniawi yang ada dalam Taurat, dan sebagian besar diserahkan kepada ijtihad akal mereka dan Qiyas. Karena keadaan manusia di waktu itu sudah lebih matang. (Lihat kembali surah al-Baqarah ayat 212) Maka Al-Qur'an adalah penutup syari'at dan Muhammad ﷺ adalah penutup rasul-rasul, dan pergunakanlah akal dan aturlah baik-baik, akuilah ketaatan kepada Allah dan Rasul, dan ketaatan kepada Ulil Amri, Ahlul Haiti Wal ‘Aqdi, orang-orang yang sanggup berijtihad, sehingga syari'at tidak membeku, malahan sesuai dengan ruang dan waktu.
“Sebab itu berlomba-lombalah berbuat kebajikan-kebajikan." Pergunakanlah akal itu dan berlomba-lombalah kamu semuanya berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik di dalam dunia ini, dengan memegang pokok pertama yaitu ketaatan kepada Allah dan percaya bahwa di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup akhirat Niscaya akan makmurlah yang berakal itu daripada kehidupan lebah, rayap, dan semut, yang hanya satu coraknya selama dunia ini terkembang. Dari perlombaan berbuat kebajikan itulah akan nyata betapa pentingnya ada manusia dalam bumi ini.
“Kepada Allah-lah tempat kembali kamu sekalian, maka akan diberitakan-Nya kepada kamu tentang apa yang telah kamu perselisihan kepada-Nya."
Oleh karena masing-masing telah diberi hak berpikir dan berijtihad, tetap dengan memakai dasar menuju kebaikan, sudah terang akan terdapat berbagai perselisihan pendapat dan perlainan hasil ijtihad. Yang tidak ada perlainan ijtihad, ialah lebah dan semut dan sebangsanya. Sebab mereka telah terikat oleh disiplin, disiplin yang tidak disadari yaitu naluri, atau instinct, ataugharizah. Namun kita manusia mempunyai pikiran dan kepribadian. Tetapi asalkan dasar itu tidak kamu lepaskan, menuju kebaikan, maka penyelesaian dari pikiran akan didapat di hadapan Allah kelak kemudian hari di hari Kiamat. Mana saja pekerjaan yang dianggap baik, dengan dasar takwa kepada Allah, teruskanlah, jangan berhenti di tengah jalan. Keputusan terakhir adalah di tangan Allah kelak kemudian hari. Janganlah perselisihkan pendapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, sebab dasarmu adalah satu jua. Di sinilah arti yang sebenarnya terkandung apa yang pernah disebut dalam hadits,
“Perselisihan umatku adalah rahmat."
Memang kebebasan pikiran adalah rahmat!
Setelah kita baca ayat ini, lalu kita pertali-kan dengan sejarah timbulnya ilmu ushul fiqih dan fiqih dalam Islam, bertemulah kita dengan pelopor-pelopor ijtihad yang besar-besar, sebagaimana keempat imam yang terkenal dan beberapa imam yang lain. Memanglah mereka telah berlomba berijtihad, memeras keringat buat mengqiyaskan furu' kepada ashal. Menimbulkan yang tafshil daripada yang ijmal.
Mereka benar-benar telah berlomba berbuat kebajikan. Benar-benarlah buah usaha mereka menjadi rahmat bagi kita yang datang di belakang. Mereka telah memudahkan jalan bagi kita melanjutkan usaha, sebab dunia tidak berhenti berputar, dan keadaan ruang serta waktu selalu berkembang. Maka sesuailah syari'at Islam dengan ruang dan waktu. Barulah perselisihan pendapat menjadi bala bencana bagi kaum Muslimin setelah pintu ijtihad ditutup dan taqlid dijadikan kemestian.
Ayat 49
“Dan bahwa hendaklah engkau menghukum di antara mereka itu dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, dan berjaga dirilah engkau dari mereka, agar jangan sampai mereka fitnahi engkau dari setengah apa yang diturunkan Allah kepada engkau"
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dan aI-Baihaqi di dalam Dalaaihm Nubuw-wah dari Ibnu Abbas bahwa beberapa orang pemuka Yahudi, yaitu Ka'ab bin Asad, dan Abdullah bin Shuriya, dan Syaas bin Qais pernah bermufakat hendak menemui Nabi Muhammad ﷺ dengan maksud memfitnahi beliau dalam agamanya. Mereka datanglah menemui beliau, lalu berkata, “Ya Muhammad, engkau sudah tahu bahwa kami-kami ini adalah pendeta-pendeta Yahudi, lagi mulia dan berpengaruh dalam kalangan mereka. Kalau kami menuruti engkau, maka seluruh Yahudi akan menuruti jejak kami, dan tidak seorang yang akan membantah. Tetapi di antara kami sekarang ini ada perselisihan dengan kaum kami. Maka kalau suka menjatuhkan hukum yang memenangkan kami dan mengalahkan mereka, kami akan segera beriman dan mem-benarkan engkau." Dengan keras Nabi ﷺ telah menolak saran itu. Demikian bunyi riwayat sebab turun ayat ini.
Nabi Muhammad ﷺ tidak mau menerima usul itu. Masakan beliau mau mengubah kebenaran lantaran mengharapkan mereka masuk Islam? Apa gunanya masuk Islam dengan menempuh jalan yang salah? Niscaya Rasulullah akan memeriksa terlebih dahulu perselisihan dan dendam kesumat itu dengan saksama; kalau mereka mengaku hendak masuk itu ternyata di pihak yang salah, adakah mau beliau membela yang salah? Ayat ini pun datanglah membela pendirian beliau dan memperteguh tegak beliau. Perbuatan orang-orang itu bukanlah menghasilkan yang baik, melainkan menimbulkan fitnah yang lebih berakibat buruk.
Tentu saja mereka akan berpaling, tidak jadi mau masuk Islam karena permintaan mereka itu ditolak keras. Maka datanglah terusan ayat, “Maka sekiranya mereka berpaling, ketahuilah oleh engkau, bahwa Allah tidaklah mau, melainkan menyiksa mereka dengan setengah dari dosa-dosa mereka." Kalau permintaan mereka tidak dikabulkan, mereka akan berpaling. Sebab niat mereka itu nyatalah jahat adanya. Mereka pasti akan ditimpa Allah dengan siksaan batin yang hebat sekali karena dosa-dosa mereka yang semacam itu.
Orang-orang semacam itu memanglah orang yang telah rusak budi mereka. Mereka telah berani memutar hukum, lari dari Taurat kepada hukum Al-Qur'an karena mengharap mencari yang lebih ringan, sebab sudah terlalu banyak memakan uang suap. Sekarang mereka berani mengemukakan tawaran mau masuk Islam, asal dalam perselisihan mereka sama mereka, pihak mereka dimenangkan. Apa harganya orang seperti ini masuk Islam? Biarkan mereka berpaling. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka, karena kesudahan dari Langkah demikian tidak lain dari kehinaan diri mereka sendiri, kerusakan akhlak luar biasa. Biarkan mereka melanjutkan langkah mereka mempermainkan agama untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang begini tidak akan berubah, melainkan akhir kelaknya akan menerima kontan balasan langkah mereka,
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia adalah sungguh-sungguh fasik."
Memanglah banyak manusia yang seperti ini kerusakan jiwa mereka, telah mudah saja mencakapkan yang tidak-tidak, karena jiwa yang telah fasik. Orang-orang yang seperti ini apa guna diterima dalam Islam. Padahal Islam hendaklah ditegakkan di atas budi yang mulia dan luhur, ketaatan kepada Allah dan takwa, dan menegakkan keadilan dan kebenaran.
Ayat 50
“Apakah hukum secara jahiliyah yang mereka ingini? Padahal siapakah yang lebih baik daripada Allah hukum-Nya? Bagi kaum yang berkeyakinan?"
Hukum jahiliyyah ialah apa yang di zaman sekarang disebut Hukum Rimba yaitu memenangkan yang salah dan mengalahkan yang benar. Bukan berdasar atas keadilan, tetapi atas kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang di-benarkan, walaupun dia salah. Yang lemah dikalahkan, biarpun di pihak yang benar. Pengaruh karena ketinggian kedudukan, karena dia pemuka agama, karena dia bangsawan, karena dia berpangkat tinggi, karena dia disegani, semuanya menjadi fakta utama di dalam mempertimbangkan hukum. Sebab itu di zaman jahiliyyah tidaklah ada perlindungan yang kuat atas yang lemah. Itu sebabnya maka kerap terjadi perang kabilah, perang suku. Pemuka-pemuka Yahudi itu mau masuk Islam, asal mereka dimenangkan. Apakah itu yang mereka maui dari Islam? Astagfirullah! Apakah untuk mereka mau masuk Islam? Subhanallah! Yang ditegakkan oleh Rasulullah ialah hukum Allah, hukum keadilan, membenarkan yang benar, menyalahkan yang salah, walaupun fitnah apa yang akan diterima lantaran mempertahankan kebenaran Allah itu. Karena hukum Allah itulah yang benar, dan itulah pokok sekalian hukum. Ini hanya dapat dirasakan oleh kaum yang mempunyai keyakinan, yaitu kaum yang beriman.
Perhatikanlah sekali lagi! Ayat ini berupa pertanyaan, “Apakah dengan hukum secara jahiiiyah yang mereka ingini?" Berupa pertanyaan yang disebut tanya bantahan (istifham inkari) Artinya bahwa isi ayat me-ngandung keheranan mengapa mereka mengakui diri beragama Islam, mengikuti Nabi Muhammad ﷺ, padahal mereka masih menghendaki hukum jahiliyyah? Tidakkah ini terlalu? Apakah ini masuk akal? Apakah artinya jadi orang Islam, kalau shalat menurut Allah tetapi hukumnya bergantung kepada jahiliyyah? Dan boleh ditambah dengan banyak pertanyaan lagi! Semuanya bantahan!
Allah! Allahl-Teringat kita kepada penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi. Apakah segala yang manis-manis hanya khusus buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kitab. Buat Bani Israil? Bukanlah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu pada kita kaum Muslimin sendiri?
Kembali pada hukum jahiliyyah, bila kehendak Al-Qur'an berlawanan dengan hawa nafsu?
Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam. Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladan ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syaffi, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerap kali menderita.
Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.