Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذِ
dan ketika
ٱسۡتَسۡقَىٰ
memohon air
مُوسَىٰ
Musa
لِقَوۡمِهِۦ
untuk kaumnya
فَقُلۡنَا
Kami mengatakan
ٱضۡرِب
pukullah
بِّعَصَاكَ
dengan tongkatmu
ٱلۡحَجَرَۖ
batu
فَٱنفَجَرَتۡ
maka memancarlah
مِنۡهُ
daripadanya
ٱثۡنَتَا
dua
عَشۡرَةَ
belas
عَيۡنٗاۖ
mata air
قَدۡ
sungguh
عَلِمَ
mengetahui
كُلُّ
tiap-tiap
أُنَاسٖ
manusia
مَّشۡرَبَهُمۡۖ
tempat minum mereka
كُلُواْ
makanlah
وَٱشۡرَبُواْ
dan minumlah
مِن
dari
رِّزۡقِ
rizki
ٱللَّهِ
Allah
وَلَا
dan jangan
تَعۡثَوۡاْ
berkeliaran
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
مُفۡسِدِينَ
berbuat kerusakan
وَإِذِ
dan ketika
ٱسۡتَسۡقَىٰ
memohon air
مُوسَىٰ
Musa
لِقَوۡمِهِۦ
untuk kaumnya
فَقُلۡنَا
Kami mengatakan
ٱضۡرِب
pukullah
بِّعَصَاكَ
dengan tongkatmu
ٱلۡحَجَرَۖ
batu
فَٱنفَجَرَتۡ
maka memancarlah
مِنۡهُ
daripadanya
ٱثۡنَتَا
dua
عَشۡرَةَ
belas
عَيۡنٗاۖ
mata air
قَدۡ
sungguh
عَلِمَ
mengetahui
كُلُّ
tiap-tiap
أُنَاسٖ
manusia
مَّشۡرَبَهُمۡۖ
tempat minum mereka
كُلُواْ
makanlah
وَٱشۡرَبُواْ
dan minumlah
مِن
dari
رِّزۡقِ
rizki
ٱللَّهِ
Allah
وَلَا
dan jangan
تَعۡثَوۡاْ
berkeliaran
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
مُفۡسِدِينَ
berbuat kerusakan
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Musa memohon (curahan) air untuk kaumnya. Lalu, Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka, memancarlah darinya (batu itu) dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).
Tafsir
(Dan) ingatlah (ketika Musa memohon air) (untuk kaumnya) yakni ketika mereka telah kehausan di padang Tih (lalu firman Kami, "Pukulkanlah tongkatmu ke atas batu itu!") yaitu batu yang pernah membawa lari pakaiannya, bentuknya tipis persegi empat sebesar kepala manusia, batu lunak atau seperti keduanya lalu dipukulkannya (maka terpancarlah) terbelahlah batu itu lalu keluar air (daripadanya dua belas mata air) yaitu sebanyak jumlah suku Bani Israel (sesungguhnya telah mengetahui tiap-tiap suku) yakni tiap-tiap suku di antara mereka (tempat minum mereka) masing-masing hingga mereka tidak saling berebut. Lalu firman Kami kepada mereka, ("Makan dan minumlah rezeki yang diberikan Allah dan janganlah kamu berbuat keonaran di muka bumi dengan melakukan pengrusakan!") 'Mufsidiin' menjadi 'hal' yang memperkuat perbuatan pelaku '`atsiya' yang berarti berbuat keonaran.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 60
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
Allah berfirman, Ingatlah kalian kepada nikmat yang telah Kulimpahkan setelah Aku memperkenankan doa nabi kalian, yaitu Musa. Di kala dia meminta air minum kepada-Ku buat kalian hingga Aku mudahkan memperoleh air itu, dan Aku keluarkan air itu dari batu yang kalian bawa.
Aku pancarkan air darinya buat kalian sebanyak dua belas mata air, bagi tiap-tiap suku di antara kalian terdapat mata airnya sendiri yang telah diketahui. Makanlah salwa dan manna, dan minumlah air ini yang telah Kupancarkan tanpa jerih payah dan usaha kalian; dan sembahlah oleh kalian Tuhan yang telah menundukkan hal tersebut. Dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan (Al-Baqarah: 60) Yakni janganlah kalian membalas air susu dengan air tuba, kenikmatan kalian balas dengan kedurhakaan, karena akibatnya nikmat itu akan dicabut dari kalian.
Para Mufassirin membahas kisah ini secara panjang lebar dalam pembicaraan mereka, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa di hadapan mereka diletakkan sebuah batu berbentuk empat persegi panjang, lalu Allah memerintahkan Musa a.s. supaya memukul batu itu dengan tongkatnya. Lalu Musa a.s. memukulnya dengan tongkatnya, maka memancarlah dua belas mata air; pada tiap-tiap sudut batu tersebut memancar tiga buah mata air. Kemudian Musa a.s. memberitahukan kepada tiap-tiap suku itu mata airnya masing-masing buat minum mereka. Tiap kali mereka berpindah ke tempat lain mereka mengalami hal tersebut, seperti kejadian yang pernah terjadi di tempat yang pertama. Kisah ini merupakan satu bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim, yaitu hadits mengenai fitnah-fitnah yang cukup panjang.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan, dijadikan buat mereka sebuah batu yang besarnya sama dengan kepala banteng, lalu batu itu dimuat di atas sapi jantan. Apabila mereka turun istirahat, mereka menurunkan batu itu dan Musa a.s. memukul batu itu dengan tongkatnya, maka memancarlah dua belas mata air. Apabila mereka berangkat meneruskan perjalanan, mereka mengangkut batu itu ke atas punggung seekor sapi jantan, lalu airnya berhenti dengan sendirinya.
Usman ibnu ‘Atha’ Al-Khurrasani meriwayatkan dari ayahnya, bahwa kaum Bani Israil mempunyai sebuah batu, dan Nabi Harun yang selalu menurunkannya, sedangkan Nabi Musa a.s. yang memukul batu itu dengan tongkatnya.
Qatadah mengatakan bahwa batu tersebut berasal dari Bukit Tur, merekalah yang mengambil batu tersebut dan yang memikulnya (ke mana pun mereka pergi). Apabila mereka turun istirahat, Nabi Musa a.s. memukul batu itu dengan tongkatnya (agar keluar air darinya).
Az-Zamakhsyari mengatakan, menurut suatu pendapat batu tersebut adalah granit berukuran satu hasta kali satu hasta. Menurut pendapat lain, bentuknya sebesar kepala manusia. Menurut pendapat lain lagi batu tersebut berasal dari surga yang tingginya sepuluh hasta, sama dengan tinggi Nabi Musa a.s.; sedangkan batu tersebut mempunyai dua cabang yang kedua-duanya menyala dalam kegelapan, dan selalu dibawa di atas punggung keledai.
Menurut pendapat lain, batu tersebut dibawa turun oleh Nabi Adam dari surga, lalu diwarisi secara turun-temurun hingga sampai ke tangan Nabi Syu'aib, lalu Nabi Syu'aib menyerahkan batu itu bersama tongkatnya kepada Musa a.s.
Menurut pendapat lain, batu tersebutlah yang membawa lari pakaian Nabi Musa a.s. ketika sedang mandi. Lalu Malaikat Jibril berkata kepada Musa a.s., "Angkatlah batu itu, karena sesungguhnya pada batu itu terdapat kekuatan dan engkau mempunyai mukjizat padanya." Kemudian Nabi Musa a.s. membawanya pada pikulannya.
Az-Zamakhsyari mengatakan, bisa diartikan bahwa huruf Alif lam pada lafal al-hajar bermakna liljinsi, bukan lilahdi. Dengan kata lain dikatakan, "Pukullah suatu benda yang disebut batu!" Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Nabi Musa a.s. tidak diperintahkan memukul sebuah batu secara tertentu. Al-Hasan mengatakan, penafsiran seperti ini lebih menonjolkan mukjizat dan lebih menggambarkan tentang kekuasaan mukjizat.
Disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. memukul suatu batu, lalu memancarlah mata air darinya, setelah itu dia memukulnya lagi, maka berhentilah airnya dan kering. Kemudian mereka (Bani Israil) mengatakan, "Jika Musa kehilangan batu ini, niscaya kita akan kehausan." Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Musa a.s. yang memerintahkan agar berbicara kepada batu tersebut. Batu itu akan memancarkan air tanpa menyentuhnya dengan tongkat, dengan harapan mereka kelak mau percaya dan mengakuinya.
Yahya ibnun Nadr mengatakan bahwa dia pernah berkata kepada Juwaibir, "Bagaimanakah tiap-tiap suku mengetahui mata airnya masing-masing untuk minumannya?" Juwaibir menjawab, "Nabi Musa a.s. meletakkan batu tersebut, lalu masing-masing suku diwakili oleh seseorang dari kalangannya. Kemudian Nabi Musa a.s. memukul batu itu, maka memancarlah dua belas mata air. Tiap-tiap mata air memancar ke arah masing-masing wakil tersebut, selanjutnya tiap-tiap lelaki memanggil sukunya untuk mengambil air dari mata airnya masing-masing."
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika Bani Israil berada di padang pasir, Musa a.s. membelah batu untuk mereka sehingga terjadi mata air.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi di Padang Sahara; Musa a.s. memukul batu untuk mereka, maka memancarlah dari batu itu dua belas mata air, masing-masing suku meminum dari satu mata air.
Mujahid mengatakan seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Kisah ini mirip dengan kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf, hanya kisah yang ada di dalam surat Al-A'raf diturunkan di Mekah. Karena itu, pemberitaan tentang mereka memakai damir gaib, mengingat Allah ﷻ mengisahkan kepada Rasul-Nya apa yang telah mereka perbuat. Adapun kisah yang ada di dalam surat ini yakni Al-Baqarah diturunkan di Madinah. Untuk itu, khitab (konten) yang ada padanya langsung ditujukan kepada mereka (orang-orang Yahudi Madinah). Di dalam surat Al-A'raf diberitakan melalui firman-Nya: "Maka memancarlah darinya dua belas mata air." (Al-A'raf: 160) Yang dimaksud dengan inbijas adalah permulaan memancar, sedangkan dalam ayat surat Al-Baqarah disebutkan keadaan sesudahnya, yakni meluapnya air tersebut dalam pancarannya.
Maka sesuailah bila dalam ayat yang sedang kita bahas ini disebut istilah infijar, sedangkan dalam ayat surat Al-A'raf disebut dengan istilah inbijas. Di antara kedua ungkapan terdapat perbedaan ditinjau dari sepuluh segi lafzi dan maknawi. Hal tersebut disebutkan dengan panjang lebar oleh Az-Zamakhsyari di dalam kitab tafsirnya dengan ungkapan tanya jawab. Apa yang dikemukakannya itu mendekati kebenaran.
Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang beragam anugerah yang dilimpahkan kepada Bani Israil. Selanjutnya pada ayat ini diingatkan pula tentang nikmat lain yang merupakan mukjizat Nabi Musa, yaitu ketersediaan air yang sangat diperlukan semua makhluk hidup. Dan sejalan dengan hal ini, ingatlah kamu sekalian ketika Musa memohon air untuk kaumnya pada saat mereka sedang kehausan di gurun Sinai, lalu Kami berfirman kepadanya, Pukullah batu yang ada di hadapanmu itu dengan tongkatmu yang merupakan mukjizatmu! Maka seketika itu memancarlah daripadanya, yaitu dari batu yang dipukul itu, dua belas mata air, sesuai dengan jumlah suku yang ada pada Bani Israil, yang merupakan keturunan dari dua belas anak Nabi Yakub. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Ara'f /7 : 160, yaitu bahwa setiap suku dari 12 suku dari Bani Israil mengetahui mata air mana yang menjadi bagian mereka. Karena itu, wahai Bani Israil, makan-lah dari anugerah Allah yang berupa al-mann dan as-salwa', dan minumlah air yang memancar dari batu sebagai rezeki yang diberikan Allah kepada kamu semua, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan tanpa tujuan yang jelas, apalagi dengan berbuat kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian dan hal-hal negatif bagi makhluk lainnya.
Dan ingatlah pula sikap-sikap yang tidak menyenangkan, yaitu ketika kamu berkata kepada Nabi Musa, Wahai Musa! Kami sudah tidak tahan lagi bila hanya makan dengan satu macam makanan saja yang tetap dan tidak berubah-ubah yaitu al-mann dan as-salwa', maka mohonkanlah kepada Tuhanmu Yang Maha Pemurah untuk kami, agar Dia memberi kami yang sudah jenuh dengan makanan yang sama, apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah. Dia, Nabi Musa, dengan nada marah, menjawab, Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik dengan menukar al-mann dan as-salwa' yang merupakan anugerah Allah dengan jenis-jenis makanan yang disebutkan itu' Bila itu yang kamu kehendaki, tinggalkanlah tempat ini dan pergilah ke suatu kota yang kamu inginkan, pasti kamu di tempat itu akan memperoleh apa saja sesuai yang kamu minta. Akibat tidak adanya rasa syukur itu, kemudian mereka ditimpa kenistaan dalam hidup dan kemiskinan dari rezeki atau harta, dan mereka selanjutnya kembali mendapat kemurkaan dari Allah yang tidak senang dengan keingkaran mereka. Hal itu, yakni kenistaan dan kemiskinan dapat terjadi karena mereka tidak mau mensyukuri nikmat yang dianugerahkan, bahkan sering mengingkari ayat-ayat Allah yang ada di sekitarnya dan membunuh para nabi tanpa hak atau alasan yang benar. Yang demikian itu sebagai akibat dari sikap dan tingkah laku yang tidak terpuji, selain karena mereka juga selalu durhaka dan melampaui batas dalam segala tindak-tanduknya.
.
Pada permulaan ayat ini, Allah ﷻ mengisahkan bagaimana Nabi Musa a.s. berdoa kepada Allah untuk mendapatkan air minum bagi para pengikutnya yang terdiri dari dua belas suku. Allah mengabulkan doa tersebut, lalu memerintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke sebuah batu besar yang ada di padang pasir itu. Tiba-tiba memancarlah air dari batu itu sebanyak dua belas sumber, sehingga masing-masing suku dari kaum Nabi Musa itu mendapatkan air minum secukupnya. Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Musa untuk membuktikan kerasulannya, dan untuk menunjukkan kekuasaan Allah.
Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari batu, tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu, tetapi Allah hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat. Apabila mereka menginginkan sesuatu harus berusaha dan bekerja untuk mendapatkannya sesuai proses hubungan antara sebab dan akibat. Allah telah menyediakan rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di bumi ini, tetapi rezeki itu tidak datang sendiri, melainkan harus diusahakan, dan harus ditempuh cara-caranya. Siapa yang malas berusaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang diperlukan.
Di samping itu Allah telah menciptakan manusia mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga dia hanya dapat memahami yang berada dalam daerah jangkauan indera, pikiran, dan perasaannya. Apabila dia melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, dia berusaha untuk mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya. Bila dia tidak dapat memahaminya sama sekali, dia menjadi bingung, apalagi hal itu terjadi di hadapannya berulang kali. Maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah menyuruh mereka makan dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka dilarang untuk berbuat kezaliman.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 57-61
Ayat 57
“Dan tidaklah Mereka yang menganiaya Kami, akan tetapi adalah Mereka menganiaya diri mereka sendiri."
Tegasnya, jika Allah Ta'aala mendatangkan suatu perintah dan menurunkan agama, bukanlah Tuhan menyia-nyiakan jaminan hidup bagi manusia, bahkan diberi-Nya perlindungan dan makanan cukup. Maka, sebagai tanda syukur kepada Ilahi, patutlah mereka beribadah kepada-Nya. Kalau nikmat Tuhan tidak disyukuri, sengsaralah yang akan menimpa. Maka, kalau sengsara menimpa, janganlah Tuhan disesali, tetapi sesahlah diri sendiri. Dan, Tuhan tidaklah akan teraniaya oleh perbuatan manusia. Misalnya, kalaupun manusia durhaka kepada Allah, tidaklah Allah akan celaka lantaran kedurhakaan manusia itu, melainkan manusialah yang mencelakakan dirinya.
Ayat 58
“Dan (Ingatlah) ketika Kami berkata, ‘Masuklah kamu ke dalam negeri ini, maka makanlah daripadanya sebagaimana yang kamu kehendaki dengan puas, dan masukilah pintu itu dengan merendah diri dan ucapkanlah kata permohonan ampun, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, dan akan Kami tambah (nikmat) kepada orang-orang yang berbuat baik."
Setelah mereka dikeluarkan dari tempat perhambaan di Mesir itu dan dijanjikan kepada mereka tanah-tanah pusaka nenek moyang mereka, yaitu bumi Kanaan atau tanah-tanah Mesopotamia yang sekarang ini: Palestina, sekeliling Sungai Yordaria.
Namun, masuk ke sana tidaklah secara melenggang saja, melainkan dengan perjuangan. Kepada mereka diberikan perintah bagaimana cara menaklukkan sebuah negeri; hasil bumi negeri itu boleh dimakan sebab sudah menjadi hak mereka. Sebab itu, boleh kamu makan dia dengan puas dan gembira. Dan, ketika masuk ke negeri itu hendaklah dengan budi yang baik, sikap yang runduk, jangan menyombong, jangan membangkitkan sakit hati pada orang lain, dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya dan kemenangan yang telah diberikan-Nya, dan ucapkanlah perkataan yang mengandung semangat mohon ampun kepada Ilahi. Kalau perintah ini mereka turuti, niscaya jikapun ada kesalahan mereka dalam peperangan atau dalam hal yang lain akan diampuni oleh Tuhan, dan kepada orang-orang yang sudi berbuat baik akan dilipatgandakan Tuhan nikmat-Nya.
Untuk melihat contoh teladan tentang me-naklukkandan memasuki negeri musuh dengan jalan begini, ialah teladan Nabi Muhammad sendiri seketika beliau menaklukkan Mekah, setelah sepuluh tahun beliau diusir dari negeri itu. Beliau masuk dengan muka tunduk, sampai tercecah kepala beliau kepada leher untanya yang bernama al-Qashwa' itu, tidak ada sikap angkuh dan sombong.
Ayat 59
“Maka menggantilah orang-orang yang durhaka dengan kata-kata yang tidak diperintahkan kepada mereka."
Maka, kata hiththah yang berarti permohonan ampun kepada Ilahi, mereka ganti dengan kata lain, yaitu hinthah yang berarti minta gandum kepada Ilahi. Artinya, bukanlah mereka merundukkan kepala dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan, sebab negeri itu telah dapat ditaklukkan, melainkan hanya mengingat berapa puluh karung gandumkah yang akan mereka dapat dengan merampas kekayaan penduduk yang ditaklukkan.
Meskipun memang demikian ditulis oleh setengah penafsir, yang terang ialah bahwa tidak mereka lakukan sebagai yang diperintahkan, melainkan mereka ubah perintah Tuhan sekehendak hati, tidak sebenar-benar patuh jiwa mereka kepada disiplin Tuhan. Ada rupanya yang membuat langkah-langkah dan cara yang lain.
“Lalu Kami turunkanlah atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, oleh karena mereka melanggar perintah."
Maksud ayat ini sudah tegas, yaitu ada dalam kalangan mereka yang tidak setia menjalankan apa yang diperintahkan. Tidak menurut sebagaimana yang diinstruksikan. Disuruh tunduk, mereka menyombong. Disuruh memakai kata-kata yang berisi memohon ampun, mereka minta gandum. Disuruh makan baik-baik, mereka makan dengan rakus. Padahal itulah pantang besar dalam perjuangan. Karena tentara adalah alat semata-mata dari panglima yang memegang komando.
Oleh karena mereka mengubah-ubah perintah, mana yang mengubah itu atau yang zalim itu mendapAllah siksaan dari langit. Dengan memperingatkan ini kembali kepada Bani Israil di zaman Nabi, terbukalah rahasia kebiasaan mereka, yaitu tidak tulus menjalankan perintah, dan bagi Nabi ﷺ sendiri pun menjadi peringatan bahwa keras kepala adalah bawaan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Kalau kita lihat catatan sejarah Bani Israi! ketika dibawa dan dibimbing Nabi Musa itu, dia sendiri pun kerap kali mencela mereka dengan memberikan cap keras kepala, keras tengkuk, dan sebagainya. Dan siksaan yang datang pun sudah bermacam-macam terhadap yang salah.
Kadang-kadang ditenggelamkan, kadang-kadang disapu oleh bahaya sampar.
Ayat 60
“Dan (Ingatlah) seketika Musa memohonkan air untuk kaumnya, lalu Kami katakan, ‘Pukullah dengan tongkatmu itu akan batu.'"
Dalam perjalanan jauh itu tentu bertemu juga dengan padang belantara yang kering dari air. Kalauberjumpa dengan keadaan yang demikian, Bani Israil itu sudah ribut, mengomel, dan melepaskan kata-kata yang menunjukkan jiwa yang kecil kepada Nabi Musa. Tiba di tempat yang kering kurang air, mereka mengomel, mengapa kami dibawa ke tempat ini. Mengapa kehidupan kami yang senang cukup air di Mesir disuruh meninggalkannya dan dibawa ke tempat yang kering ini. Apa kami disuruh mati? Musa pun memohonlah kepada Tuhan agar mereka diberi air.
Maka, Tuhan menyuruh Musa memukul batu dengan tongkat, “Maka memancarlah darinya dua belas mata air," sebanyak suku-suku Bani Israil, “yang sesungguhnya telah tahu tiap-tiap golongan akan tempat minum mereka Dan, sebagaimana rahmat turunnya manna dan salwa, disuruhkan juga kepada mereka agar nikmat ini diterima dengan syukur. Kalau bukanlah dengan mukjizat dan karunia Ilahi tidaklah mereka akan mendapat air di tempat sekering itu, padang pasir yang tandus. Sebab itu, Tuhan berfirman,
“Makanlah dan minumlah dari karunia Allah, dan janganlah kamu mengacau dan membuat kemuakan di bumi."
Ini diingatkan kembali kepada Bani Israil, demikian besar nikmat Tuhan atas mereka. Dan diperingatkan juga kepada manusia umumnya, janganlah sampai setelah nikmat bertimpa-tim-pa datang, lalu lupa kepada yang memberikan nikmat, lalu berbuat kekacauan dan kerusakan. Jangan hanya mengomel menggerutu ketika kekeringan nikmat lalu mengacau dan menyombong setelah nikmat ada.
Ayat 61
“Dan (Ingatlah) seketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, tidaklah kami akan tahan atas makanan hanya semacam."
Ini juga menunjukkan kekecilan jiwa dan kemanjaan. Mereka telah diberi jaminan makanan yang baik, manna dan salwa. Manna yang semanis madu dan daging burung, salwa yang empuk lezat. Dengan demikian, mereka tidak usah menyusahkan lagi makanan lain pada tanah kering dan tidak subur serta tidak dapat ditanami itu. Akan tetapi, mereka tidak tahan. Masih mereka lupa dari sebab apa mereka dipindahkan dari Mesir. Manakah perjuangan menuju tempat bahagia yang tidak ditebus dengan kesusahan? Lalu mereka mengeluh, “Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya dikeluarkan untuk kami dari apa yang ditumbuhkan bumi." Kami telah terlalu ingin perubahan makanan, jangan dari manna ke manna, dari salwa ke salwa saja. Kami ingin “dari sayur mayurnya, dan mentimunnya dan bawang putihnya dan kacangnya dan bawang merahnya". Mendengar permintaan yang menunjukkan jiwa kecil dan kerdil itu, Nabi Musa jawab, “Berkata dia, ‘Adalah hendak kamu tukar dengan yang amat hina barang yang amat baik?'"
Mengapa Nabi Musa menyambut demikian? Memang, mereka meminta sayur sayur yang demikian ialah karena mereka teringat akan makanan mereka tatkala masih tinggal di Mesir, ada mentimun, ada bawang merah, ada kacang, ada bawang putih. Akan tetapi, dalam suasana apakah mereka di waktu itu? Ialah suasana perbudakan dan kehinaan. Sekarang, mereka berpindah meninggalkan negeri itu karena Allah hendak membebaskan mereka, tetapi karena tujuan terakhir belum tercapai, yaitu merebut tanah yang dijanjikan dengan keperkasaan, karena pengecut mereka juga, ditahanlah mereka di Padang Tih selama empat puluh tahun. Makanan dijamin, ransum disediakan. Itu pun bukan ransum sembarang ransum. Nabi Musa mengatakan tegas bahwa makanan yang mereka minta itu adalah makanan hina, makanan zaman perbudakan. Dan makanan yang mereka tidak tahan lagi itu adalah makanan zaman pembebasan. Makanan karena cita-cita.
Untuk misal yang dekat kepada kita, adalah keluhan orang tua-tua yang biasa hidup senang di zaman penjajah Belanda dahulu, mengeluh karena kesukaran di zaman perjuangan kemerdekaan. Mereka selalu teringat zaman itu yang mereka namai Zaman Normal. Dengan uang satu rupiah zaman itu sudah dapat beli baju dan lebihnya dapat dibawa pulang untuk belanja makan minum. Tetapi sekarang setelah merdeka, hidup jadi susah. Sampai ada yang berkata, “Bila akan berhenti merdeka ini!"—Lalu Musa berkata, “Pergilah ke kota besar. Maka sesungguhnya di sana akan kamu dapatkan apa yang kamu minta itu." Inilah satu teguran yang keras, kalau me-reka sudi memahamkan. Pergilah ke salah satu kota besar, apa artinya? Ialah keluar dari kelompok dan menyediakan diri jadi budak kembali. Atau melepaskan cita-cita. Laksana pengalaman kita bangsa Indonesia di zaman perjuangan bersenjata dahulu yang makanan tidak cukup, kediaman di hutan. Mana yang kita tidak tahan menderita, silakan masuk kota. Di kota ada mentega dan ada roti, cokelat dan kopi susu. Namun, artinya ialah meninggalkan perjuangan, menghentikan sejarah diri sendiri dalam membina perjuangan. Kalimat ihbithu mishran yang berarti pergilah ke kota besar, kalau menurut qiraat (bacaan) al-Hasan dan Aban bin Taghlib dan Thalhah bin Mushrif ialah ihbithu mishra dengan tidak memakai tanwin (baris dua). Menurut qiraat ini artinya ialah, “Pergilah kamu pulang kembali ke Mesir, di sana akan kamu dapati apa yang kamu minta itu!" Dengan demikian, perkataan Nabi Musa menjadi lebih keras lagi. Segala yang kamu minta itu hanya ada di Mesir. Kalau kamu ingin juga, pulanglah ke sana kembali menjadi orang yang hina, diperbudak kembali.
Akhirnya, berfirmanlah Tuhan tentang keadaan jiwa mereka, “Dan dipukulkaniah atas mereka kehinaan dan kerendahan, dan sudah layaklah mereka ditimpa kemurkaan dari Allah." Kehinaan ialah hina akhlak dan hina jiwa, tidak ada cita-cita tinggi. Jatuh harga diri, padam kehormatan diri, jatuhmoral. Itulahyangdikenal dengan jiwa budak (slavengeest). Apabila diri sudah hina, niscaya rendahlah martabat, menjadi miskin. Mata kuyu kehilangan sinar. Ukuran cita-cita hanya sehingga asal perut akan berisi saja, payah dibawa naik. Atau malas berjuang karena ingin makanan yang enak-enak saja. Dengan demikian, tentu tidak lain yang akan mereka terima hanyalah kemurkaan Allah.
Lalu, disebutnya penyebab utama, “Yang demikian itu, ialah karena mereka kufur kepada perintah-perintah Allah, dan mereka bunuh nabi-nabi dengan tidak patut" Sedangkan membunuh sesama manusia biasa lagi tidak patut, apalagi kalau sudah berani mengangkat senjata membunuh nabi-nabi yang menunjuki mereka jalan yang benar. Menurut riwayat selama riwayat Bani Israil, tidak kurang dari tujuh puluh nabi yang telah mereka bunuh. Itulah akibat dari jiwa yang telah jahat karena meninggalkan imam.
“Yang demikian itu ialah karena mereka lelah durhaka dan adalah Mereka melewati batas."