Ayat
Terjemahan Per Kata
فَبَدَّلَ
maka telah mengganti
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
قَوۡلًا
perkataan
غَيۡرَ
selain
ٱلَّذِي
yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
فَأَنزَلۡنَا
maka Kami turunkan
عَلَى
atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
dzalim
رِجۡزٗا
siksa
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَفۡسُقُونَ
mereka berbuat fasik
فَبَدَّلَ
maka telah mengganti
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
قَوۡلًا
perkataan
غَيۡرَ
selain
ٱلَّذِي
yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
فَأَنزَلۡنَا
maka Kami turunkan
عَلَى
atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
dzalim
رِجۡزٗا
siksa
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَفۡسُقُونَ
mereka berbuat fasik
Terjemahan
Lalu, orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka, Kami menurunkan malapetaka dari langit kepada orang-orang yang zalim itu karena mereka selalu berbuat fasik.
Tafsir
(Lalu orang-orang yang aniaya mengubah) di antara mereka (perintah yang tidak dititahkan kepada mereka) mereka mengatakan, habbatun fi sya`ratin, bahkan mereka memasukinya bukan dengan bersujud tetapi merangkak di atas pantat mereka. (Maka Kami timpakan atas orang-orang yang aniaya itu) di sini disebutkan "atas orang-orang yang aniaya itu", yang sebenarnya cukup dengan kata ganti 'mereka' saja, dengan maksud sebagai kecaman (siksa) berupa penyakit taun (dari langit disebabkan kefasikan mereka) disebabkan mereka melanggar ketaatan. Maka dalam waktu satu jam ada 70 ribu orang atau mendekati jumlah itu di antara mereka yang mati.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 58-59
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, "Masuklah kalian ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah hasil buminya yang banyak lagi enak sesuka kalian, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari dosa,’ niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Karena itu Kami timpakan atas orang-orang zalim itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik."
Ayat 58
Allah berfirman mencela mereka karena mereka membangkang, tidak mau berjihad dan tidak mau memasuki Tanah Suci Baitul Maqdis, yaitu ketika mereka baru tiba dari negeri Mesir bersama Nabi Musa a.s. Mereka diperintahkan memasuki Tanah Suci Baitul Maqdis yang merupakan tanah warisan dari Israil, leluhur mereka. Mereka diperintahkan memerangi orang-orang Amaliqah yang kafir yang ada di dalamnya. Tetapi mereka membangkang, tidak mau memerangi mereka (orang-orang Amaliqah); dan mereka menjadi lemah dan patah semangat (pengecut). Maka Allah menyesatkan mereka di Padang Sahara tandus sebagai hukuman buat mereka, seperti yang dijelaskan di dalam surat Al-Maidah. Karena itu, menurut pendapat yang paling shahih di antara dua pendapat, tanah yang dimaksudkan adalah Baitul Maqdis; seperti yang dinaskan oleh As-Suddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, Abu Muslim Al-Asfahani dan yang lain.
Allah ﷻ berfirman mengisahkan ucapan Musa a.s., yaitu: “Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan oleh Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang” (Al-Maidah: 21) Menurut ulama tafsir lainnya, tanah suci tersebut adalah Ariha. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abdur Rahman ibnu Zaid, tetapi jauh dari kebenaran, mengingat Ariha bukan tujuan perjalanan mereka, melainkan yang mereka tuju adalah Baitul Maqdis. Pendapat lain yang lebih jauh lagi dari kebenaran adalah yang mengatakan bahwa negeri tersebut adalah negeri Mesir, seperti yang diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya.
Pendapat yang benar adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang mengatakan Baitul Maqdis. Hal ini terjadi ketika mereka keluar dari Padang Sahara sesudah tersesat selama empat puluh tahun bersama Yusya' ibnu Nun a.s. Kemudian Allah memberikan kemenangan kepada mereka atas Baitul Maqdis pada sore hari Jumat. Pada hari itu perjalanan matahari ditahan (oleh Allah) selama waktu tertentu hingga mereka beroleh kemenangan. Setelah mereka beroleh kemenangan, maka Allah memerintahkan mereka untuk memasuki pintu gerbang Baitul Maqdis sambil bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka berupa kemenangan dan pertolongan, hingga negeri mereka dapat direbut dari tangan musuh dan mereka diselamatkan dari Padang Sahara dan tersesat jalan di dalamnya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud” (Al-Baqarah: 58). Makna yang dimaksud adalah sambil rukuk.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan masukilah pintu gerbangnya sambil sujud” (Al-Baqarah: 58). Yakni sambil membungkuk rukuk melalui pintu yang kecil. Imam Hakim meriwayatkan hadits ini melalui hadits Sufyan dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya juga melalui hadits Sufyan, yakni Ats-Tsauri dengan lafal yang sama, hanya di dalam riwayatnya ditambahkan, "Maka mereka memasukinya dengan mengesotkan pantat mereka ke tanah."
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka diperintahkan bersujud pada wajah mereka ketika memasukinya. Akan tetapi, pendapat ini dinilai jauh dari kebenaran oleh Ar-Razi. Telah diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa makna yang dimaksud dengan bersujud dalam ayat ini adalah tunduk, mengingat sulit untuk diartikan menurut hakikatnya.
Khasif meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa pintu tersebut letaknya berhadapan dengan arah kiblat. Ibnu Abbas, Mujahid, As-Suddi, Qatadah, dan Adh-Dhahhak mengatakan bahwa Babul Hittah adalah salah satu pintu gerbang masuk ke kota Eliya Baitul Maqdis. Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama, bahwa yang dimaksud dengan pintu tersebut adalah salah satu dari arah kiblat. Khasif mengatakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa mereka lalu memasukinya dengan cara miring pada lambung mereka.
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Azdi, dari Abul Kanud, dari Abdullah ibnu Mas'ud. Dikatakan kepada mereka, "Masuklah kalian ke pintu gerbangnya dengan bersujud." Ternyata mereka memasukinya dengan menengadahkan kepala mereka, bertentangan dengan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Firman Allah ﷻ: "Dan katakanlah, ‘Bebaskanlah kami dari dosa’." (Al-Baqarah: 58). Menurut Imam Sauri, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna lafal ‘hittah’, artinya adalah 'ampunilah dosa-dosa kami'.
Diriwayatkan dari ‘Atha’, Al-Hasan, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas hal yang serupa. Menurut Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, makna kalimat ‘qulu hittah’ adalah ucapkanlah oleh kalian bahwa ini adalah kebenaran seperti yang diperintahkan kepada kalian!
Menurut Ikrimah, maknanya adalah ucapkanlah oleh kalian, "Tidak ada Tuhan selain Allah."
Al-Auza'i meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada seseorang yang tidak dia sebutkan namanya. Dia menanyakan tentang makna firman-Nya, "Qulu hittah." Lelaki itu menjawab suratnya yang isinya mengatakan bahwa makna kalimat tersebut adalah 'akuilah oleh kalian dosa-dosa kalian'.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud adalah gugurkanlah dosa-dosa kami. “Niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah: 58). Ayat ini merupakan jawab amar-nya. Dengan kata lain, apabila kalian mengerjakan apa yang Kami perintahkan kepada kalian, niscaya Kami ampuni dosa-dosa kalian dan akan Kami lipat gandakan pahala kebaikan bagi kalian.
Kesimpulannya dapat dikatakan bahwa mereka diperintahkan untuk berendah diri kepada Allah ﷻ di saat mereka beroleh kemenangan, hal tersebut direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan ucapan. Hendaknya mereka mengakui semua dosa mereka serta memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa tersebut, bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat-Nya saat itu, dan bersegera melakukan perbuatan-perbuatan yang disukai oleh Allah ﷻ sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Tobat” (An-Nasr: 1-3).
Sebagian sahabat menafsirkan banyak berzikir dan memohon ampun bila beroleh kemenangan dan pertolongan. Akan tetapi, Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ucapan belasungkawa kepada Nabi ﷺ yang menandakan bahwa ajal beliau telah dekat, dan penafsiran ini diakui oleh Khalifah Umar. Tetapi tidaklah bertentangan bila ditafsirkan bahwa Allah ﷻ memerintahkan hal tersebut bila kaum muslim beroleh kemenangan dan pertolongan Allah serta manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah ﷻ.
Ayat ini juga merupakan belasungkawa kepada ruh Nabi ﷺ yang sudah dekat saat wafatnya. Karena itu, tampak Rasul ﷺ begitu rendah hati sekali saat beroleh kemenangan. Disebutkan dalam suatu riwayat, ketika Nabi ﷺ berhasil memperoleh kemenangan atas kota Mekah, beliau memasukinya dari celah yang tertinggi; sedangkan beliau tampak benar-benar penuh dengan rasa rendah diri kepada Tuhannya, sehingga disebutkan bahwa janggut beliau benar-benar menyentuh pelana bagian depannya sebagai tanda syukur kepada Allah ﷻ atas karunia tersebut.
Kemudian ketika memasuki kota Mekah, beliau langsung mandi (dan wudu), lalu shalat delapan rakaat; hal itu dilakukannya di waktu duha. Maka sebagian ulama mengatakan bahwa shalat tersebut adalah shalat duha, sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa shalat tersebut adalah shalat kemenangan. Karena itu, imam dan amir bila beroleh kemenangan atas suatu negeri disunatkan shalat sebanyak delapan rakaat di negeri tersebut pada permulaan dia memasukinya, seperti yang dilakukan oleh Sa'd ibnu Abu Waqqas ketika memasuki kota Iwan Kisra. Dia shalat delapan rakaat di dalamnya. Menurut pendapat yang shahih, dalam shalatnya itu hendaklah dilakukan salam pada setiap dua rakaatnya sebagai pemisah. Menurut pendapat lain, shalat dilakukan hanya dengan sekali salam untuk seluruh rakaatnya.
Ayat 59
Firman Allah ﷻ: “Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 59). Imam Al-Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hamman ibnu Munabbih, dari Abu Hurairah , dari Nabi ﷺyang bersabda: Dikatakan kepada Bani Israil, "Masukilah pintu gerbangnya sambil sujud dan katakanlah, 'Ampunilah dosa-dosa kami'." Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, dan mereka mengganti ucapannya dengan mengatakan, "Habbah fi sya'rah" (biji dalam rambut). Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim, dari Abdur Rahman dengan lafal yang sama secara mauquf.
Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Ubaid ibnu Muhammad, dari Ibnul Mubarak sebagian darinya secara musnad sehubungan dengan firman-Nya, "Hittah." Disebutkan bahwa mereka menggantinya dengan ucapan lain, yaitu habbah (biji-bijian).
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih; dia mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah berfirman kepada kaum Bani Israil, "Masukilah pintu gerbangnya sambil sujud dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami ', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian" (Al-Baqarah: 58). Maka mereka mengganti perintah itu dan mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka mengatakan. "Habbah fi sya'rah." Hadits ini berpredikat shahih, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, dari Ishaq ibnu Nasr; dan oleh Imam Muslim, dari Muhammad ibnu Rafi'; dan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdur Rahman ibnu Humaid, semuanya meriwayatkan hadits ini melalui Abdur Razzaq dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, perubahan yang dilakukan mereka menurut yang diceritakan kepadaku dari Saleh ibnu Kaisan, dari Saleh maula Tau-amah, dari Abu Hurairah, juga dari orang yang tidak aku curigai, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Mereka memasuki pintu gerbang yang mereka diperintahkan untuk memasukinya sambil sujud dengan mengesot, seraya mengucapkan ‘Hintah fi sya'irah’."
Imam Abu Dawud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh dan telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Sa'id Al-Khudri , dari Nabi ﷺyang bersabda: Allah berfirman kepada Bani Israil, "Masukilah pintu gerbang-nya sambil bersujud, dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian." Kemudian Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, dari Hisyam hadits yang serupa. Demikian Abu Dawud meriwayatkan hadits ini secara menyendiri dengan lafal yang sama di dalam Kitabul Huruf secara ringkas.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnul Munzir Al-Qazzaz, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudaik, dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan: Ketika kami berjalan bersama Rasulullah ﷺdi malam hari dan kami berada di penghujung malam, kami melewati sebuah celah (lereng) yang dikenal dengan nama Zatul Hanzal, Rasulullah ﷺbersabda: "Tiada perumpamaan yang lebih tepat bagi celah ini di malam ini melainkan seperti pintu yang disebut Allah dalam kisah kaum Bani Israil, Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian."
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Al-Barra sehubungan dengan makna firman-Nya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata” (Al-Baqarah: 142). Yang dimaksud dengan manusia tersebut adalah orang-orang Yahudi. Karena pernah diperintahkan kepada mereka, "Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud," yakni sambil rukuk. Dikatakan kepada mereka, "Dan katakanlah, 'Ampunilah dosa kami,' yakni dengan ampunan yang seluas-luasnya. Ternyata mereka memasukinya dengan mengesot, lalu mereka mengatakan, "Hintatun hamra fiha sya'irah" (gandum merah di dalamnya terdapat sehelai rambut). Hal itu disebutkan di dalam firmanNya: “Lalu orang-orang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 59).
Ats-Tsauri meriwayatkan dari As-Suddi, dari Abu Sa'd Al-Azdi, dari Abul Kanud, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: “Dan katakanlah, ‘Khittah’." (Al-Baqarah: 58) Ternyata mereka mengatakan, "Hintah habbah hamra fiha sya'irah" (gandum bijinya merah, di dalamnya terdapat sehelai rambut). Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Lalu orang-orang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 59).
Asbat meriwayatkan dari As-Suddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya mereka (Bani Israil) mengatakan, 'Huttan sam'anan azbatan mazabba'." Terjemahannya menurut bahasa Arab adalah 'biji gandum merah berlubang, di dalamnya terdapat rambut hitam'. Demikian dikisahkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 59).
Ats-Tsauri meriwayatkan pula dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud” (Al-Baqarah: 58). Yang dimaksud dengan bersujud adalah sambil rukuk melalui sebuah pintu kecil, tetapi ternyata mereka memasukinya dengan mengesot. Mereka katakan hintah. Hal itu dinyatakan oleh firman-Nya: “Lalu orang-orang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 59). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh ‘Atha’, Mujahid, Ikrimah, Adh-Dhahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Yahya ibnu Rafi'.
Kesimpulan dari apa yang telah dikatakan oleh Mufassirin dan ditunjukkan oleh konteks ayat dapat dikatakan bahwa mereka mengganti perintah Allah yang menganjurkan kepada mereka untuk berendah hati melalui ucapan dan sikap. Mereka diperintahkan memasukinya dengan bersujud, ternyata mereka memasukinya dengan mengesot yakni dengan menggeserkan pantat seraya menengadahkan kepala. Mereka diperintahkan mengucapkan kalimat 'hiththah' yakni hapuskanlah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Tetapi mereka memperolok-olokkan perintah tersebut, lalu mereka mengatakannya hintah fi sya'irah. Perbuatan tersebut sangat keterlaluan dan sangat ingkar. Karena itu, Allah menimpakan kepada mereka pembalasan dan azab disebabkan kefasikan mereka yang tidak mau taat kepada perintah-Nya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Karena itu kami timpakan atas orang-orang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik” (Al-Baqarah: 59).
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setiap sesuatu yang disebut di dalam Kitabullah dengan ungkapan ar-rijzu artinya azab. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Al-Hasan, dan Qatadah; semua menyatakan bahwa ar-rijzu artinya azab.
Abul Aliyah mengatakan ar-rijzu artinya murka Allah.
Asy-Sya'bi mengatakan ar-rijzu adakalanya ta'un dan adakalanya dingin yang membekukan.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, ar-rijzu artinya ta'un. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibrahim ibnu Sa'd (yakni Ibnu Abu Waqqas), dari Sa'd ibnu Malik dan Usamah ibnu Zaid serta Khuzaimah ibnu Sabit. Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Penyakit ta'un merupakan azab yang telah ditimpakan kepada orang-orang sebelum kalian.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dengan lafal yang sama. Asal hadits di dalam kitab Shahihain berasal dari hadits Habib ibnu Abu Sabit, yaitu: “Apabila kalian mendengar adanya penyakit ta'un di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya.” Hingga akhir hadits.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul Ala, dari Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ia mendengar hadits berikut dari Amir ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas, dari Usamah ibnu Zaid, dari Rasulullah ﷺyang bersabda: “Sesungguhnya penyakit dan wabah ini adalah azab yang pernah ditimpakan kepada sebagian umat dari kalangan orang-orang sebelum kalian.” Asal hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Az-Zuhri dan hadits Malik, dari Muhammad ibnul Munkadir serta Salim ibnu Abu Nadr, dari Amir ibnu Sa'd dengan lafal yang serupa.
Setelah mengenyam berbagai kenikmatan itu, ternyata Bani Israil tetap ingkar kepada Allah. Sebagai balasan dari beragam anugerah tersebut, lalu orang-orang yang zalim itu bahkan mengganti perintah Allah yang disyariatkan untuk kebaikan mereka dengan mengerjakan sesuatu yang justru tidak diperintahkan kepada mereka. Di antara perbuatan yang mereka lakukan adalah mengganti perintah sujud dengan mengangkat kepala, tunduk sebagai bukti ketaatan dengan pembangkangan, dan rendah hati dengan sikap angkuh serta sombong. Maka, akibat dari keingkaran dan kesombongan ini, Allah menegaskan, Kami, melalui para malaikat atau bencana, turunkan malapetaka yang merupakan siksa yang amat pedih dari langit yang datangnya tidak terduga kepada orang-orang yang zalim itu. Hal yang sedemikian ini karena mereka selalu berbuat fasik, yaitu tidak pernah bersyukur dan selalu menyiratkan pembangkangan dan kesombongan.
Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang beragam anugerah yang dilimpahkan kepada Bani Israil. Selanjutnya pada ayat ini diingatkan pula tentang nikmat lain yang merupakan mukjizat Nabi Musa, yaitu ketersediaan air yang sangat diperlukan semua makhluk hidup. Dan sejalan dengan hal ini, ingatlah kamu sekalian ketika Musa memohon air untuk kaumnya pada saat mereka sedang kehausan di gurun Sinai, lalu Kami berfirman kepadanya, Pukullah batu yang ada di hadapanmu itu dengan tongkatmu yang merupakan mukjizatmu! Maka seketika itu memancarlah daripadanya, yaitu dari batu yang dipukul itu, dua belas mata air, sesuai dengan jumlah suku yang ada pada Bani Israil, yang merupakan keturunan dari dua belas anak Nabi Yakub. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Ara'f /7 : 160, yaitu bahwa setiap suku dari 12 suku dari Bani Israil mengetahui mata air mana yang menjadi bagian mereka. Karena itu, wahai Bani Israil, makan-lah dari anugerah Allah yang berupa al-mann dan as-salwa', dan minumlah air yang memancar dari batu sebagai rezeki yang diberikan Allah kepada kamu semua, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan tanpa tujuan yang jelas, apalagi dengan berbuat kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian dan hal-hal negatif bagi makhluk lainnya.
.
Dalam ayat ini diterangkan, bahwa Bani Israil tidak mau melaksanakan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-perintah tersebut, seolah-olah mereka tidak mengakui adanya segala perintah itu. Mereka mengatakan bahwa hal-hal sebaliknyalah yang diperintahkan kepada mereka. Demikianlah orang yang fasik dengan mudah memutarbalikkan kenyataan. Orang-orang yang durhaka senantiasa menyalahi perintah, apabila mereka ditugaskan melakukan pekerjaan yang terasa berat bagi mereka.
Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa karena sikap mereka yang ingkar dan tidak mematuhi perintah itu, Allah menurunkan azab kepada mereka. Dalam ayat ini tidak dijelaskan macam azab yang diturunkan itu. Allah menguji Bani Israil dengan bermacam-macam cobaan setiap kali mereka melakukan kefasikan dan kezaliman.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 57-61
Ayat 57
“Dan tidaklah Mereka yang menganiaya Kami, akan tetapi adalah Mereka menganiaya diri mereka sendiri."
Tegasnya, jika Allah Ta'aala mendatangkan suatu perintah dan menurunkan agama, bukanlah Tuhan menyia-nyiakan jaminan hidup bagi manusia, bahkan diberi-Nya perlindungan dan makanan cukup. Maka, sebagai tanda syukur kepada Ilahi, patutlah mereka beribadah kepada-Nya. Kalau nikmat Tuhan tidak disyukuri, sengsaralah yang akan menimpa. Maka, kalau sengsara menimpa, janganlah Tuhan disesali, tetapi sesahlah diri sendiri. Dan, Tuhan tidaklah akan teraniaya oleh perbuatan manusia. Misalnya, kalaupun manusia durhaka kepada Allah, tidaklah Allah akan celaka lantaran kedurhakaan manusia itu, melainkan manusialah yang mencelakakan dirinya.
Ayat 58
“Dan (Ingatlah) ketika Kami berkata, ‘Masuklah kamu ke dalam negeri ini, maka makanlah daripadanya sebagaimana yang kamu kehendaki dengan puas, dan masukilah pintu itu dengan merendah diri dan ucapkanlah kata permohonan ampun, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, dan akan Kami tambah (nikmat) kepada orang-orang yang berbuat baik."
Setelah mereka dikeluarkan dari tempat perhambaan di Mesir itu dan dijanjikan kepada mereka tanah-tanah pusaka nenek moyang mereka, yaitu bumi Kanaan atau tanah-tanah Mesopotamia yang sekarang ini: Palestina, sekeliling Sungai Yordaria.
Namun, masuk ke sana tidaklah secara melenggang saja, melainkan dengan perjuangan. Kepada mereka diberikan perintah bagaimana cara menaklukkan sebuah negeri; hasil bumi negeri itu boleh dimakan sebab sudah menjadi hak mereka. Sebab itu, boleh kamu makan dia dengan puas dan gembira. Dan, ketika masuk ke negeri itu hendaklah dengan budi yang baik, sikap yang runduk, jangan menyombong, jangan membangkitkan sakit hati pada orang lain, dan bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya dan kemenangan yang telah diberikan-Nya, dan ucapkanlah perkataan yang mengandung semangat mohon ampun kepada Ilahi. Kalau perintah ini mereka turuti, niscaya jikapun ada kesalahan mereka dalam peperangan atau dalam hal yang lain akan diampuni oleh Tuhan, dan kepada orang-orang yang sudi berbuat baik akan dilipatgandakan Tuhan nikmat-Nya.
Untuk melihat contoh teladan tentang me-naklukkandan memasuki negeri musuh dengan jalan begini, ialah teladan Nabi Muhammad sendiri seketika beliau menaklukkan Mekah, setelah sepuluh tahun beliau diusir dari negeri itu. Beliau masuk dengan muka tunduk, sampai tercecah kepala beliau kepada leher untanya yang bernama al-Qashwa' itu, tidak ada sikap angkuh dan sombong.
Ayat 59
“Maka menggantilah orang-orang yang durhaka dengan kata-kata yang tidak diperintahkan kepada mereka."
Maka, kata hiththah yang berarti permohonan ampun kepada Ilahi, mereka ganti dengan kata lain, yaitu hinthah yang berarti minta gandum kepada Ilahi. Artinya, bukanlah mereka merundukkan kepala dengan segala kerendahan hati kepada Tuhan, sebab negeri itu telah dapat ditaklukkan, melainkan hanya mengingat berapa puluh karung gandumkah yang akan mereka dapat dengan merampas kekayaan penduduk yang ditaklukkan.
Meskipun memang demikian ditulis oleh setengah penafsir, yang terang ialah bahwa tidak mereka lakukan sebagai yang diperintahkan, melainkan mereka ubah perintah Tuhan sekehendak hati, tidak sebenar-benar patuh jiwa mereka kepada disiplin Tuhan. Ada rupanya yang membuat langkah-langkah dan cara yang lain.
“Lalu Kami turunkanlah atas orang-orang yang zalim itu siksaan dari langit, oleh karena mereka melanggar perintah."
Maksud ayat ini sudah tegas, yaitu ada dalam kalangan mereka yang tidak setia menjalankan apa yang diperintahkan. Tidak menurut sebagaimana yang diinstruksikan. Disuruh tunduk, mereka menyombong. Disuruh memakai kata-kata yang berisi memohon ampun, mereka minta gandum. Disuruh makan baik-baik, mereka makan dengan rakus. Padahal itulah pantang besar dalam perjuangan. Karena tentara adalah alat semata-mata dari panglima yang memegang komando.
Oleh karena mereka mengubah-ubah perintah, mana yang mengubah itu atau yang zalim itu mendapAllah siksaan dari langit. Dengan memperingatkan ini kembali kepada Bani Israil di zaman Nabi, terbukalah rahasia kebiasaan mereka, yaitu tidak tulus menjalankan perintah, dan bagi Nabi ﷺ sendiri pun menjadi peringatan bahwa keras kepala adalah bawaan mereka sejak dari nenek moyang mereka. Kalau kita lihat catatan sejarah Bani Israi! ketika dibawa dan dibimbing Nabi Musa itu, dia sendiri pun kerap kali mencela mereka dengan memberikan cap keras kepala, keras tengkuk, dan sebagainya. Dan siksaan yang datang pun sudah bermacam-macam terhadap yang salah.
Kadang-kadang ditenggelamkan, kadang-kadang disapu oleh bahaya sampar.
Ayat 60
“Dan (Ingatlah) seketika Musa memohonkan air untuk kaumnya, lalu Kami katakan, ‘Pukullah dengan tongkatmu itu akan batu.'"
Dalam perjalanan jauh itu tentu bertemu juga dengan padang belantara yang kering dari air. Kalauberjumpa dengan keadaan yang demikian, Bani Israil itu sudah ribut, mengomel, dan melepaskan kata-kata yang menunjukkan jiwa yang kecil kepada Nabi Musa. Tiba di tempat yang kering kurang air, mereka mengomel, mengapa kami dibawa ke tempat ini. Mengapa kehidupan kami yang senang cukup air di Mesir disuruh meninggalkannya dan dibawa ke tempat yang kering ini. Apa kami disuruh mati? Musa pun memohonlah kepada Tuhan agar mereka diberi air.
Maka, Tuhan menyuruh Musa memukul batu dengan tongkat, “Maka memancarlah darinya dua belas mata air," sebanyak suku-suku Bani Israil, “yang sesungguhnya telah tahu tiap-tiap golongan akan tempat minum mereka Dan, sebagaimana rahmat turunnya manna dan salwa, disuruhkan juga kepada mereka agar nikmat ini diterima dengan syukur. Kalau bukanlah dengan mukjizat dan karunia Ilahi tidaklah mereka akan mendapat air di tempat sekering itu, padang pasir yang tandus. Sebab itu, Tuhan berfirman,
“Makanlah dan minumlah dari karunia Allah, dan janganlah kamu mengacau dan membuat kemuakan di bumi."
Ini diingatkan kembali kepada Bani Israil, demikian besar nikmat Tuhan atas mereka. Dan diperingatkan juga kepada manusia umumnya, janganlah sampai setelah nikmat bertimpa-tim-pa datang, lalu lupa kepada yang memberikan nikmat, lalu berbuat kekacauan dan kerusakan. Jangan hanya mengomel menggerutu ketika kekeringan nikmat lalu mengacau dan menyombong setelah nikmat ada.
Ayat 61
“Dan (Ingatlah) seketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, tidaklah kami akan tahan atas makanan hanya semacam."
Ini juga menunjukkan kekecilan jiwa dan kemanjaan. Mereka telah diberi jaminan makanan yang baik, manna dan salwa. Manna yang semanis madu dan daging burung, salwa yang empuk lezat. Dengan demikian, mereka tidak usah menyusahkan lagi makanan lain pada tanah kering dan tidak subur serta tidak dapat ditanami itu. Akan tetapi, mereka tidak tahan. Masih mereka lupa dari sebab apa mereka dipindahkan dari Mesir. Manakah perjuangan menuju tempat bahagia yang tidak ditebus dengan kesusahan? Lalu mereka mengeluh, “Sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhan engkau, supaya dikeluarkan untuk kami dari apa yang ditumbuhkan bumi." Kami telah terlalu ingin perubahan makanan, jangan dari manna ke manna, dari salwa ke salwa saja. Kami ingin “dari sayur mayurnya, dan mentimunnya dan bawang putihnya dan kacangnya dan bawang merahnya". Mendengar permintaan yang menunjukkan jiwa kecil dan kerdil itu, Nabi Musa jawab, “Berkata dia, ‘Adalah hendak kamu tukar dengan yang amat hina barang yang amat baik?'"
Mengapa Nabi Musa menyambut demikian? Memang, mereka meminta sayur sayur yang demikian ialah karena mereka teringat akan makanan mereka tatkala masih tinggal di Mesir, ada mentimun, ada bawang merah, ada kacang, ada bawang putih. Akan tetapi, dalam suasana apakah mereka di waktu itu? Ialah suasana perbudakan dan kehinaan. Sekarang, mereka berpindah meninggalkan negeri itu karena Allah hendak membebaskan mereka, tetapi karena tujuan terakhir belum tercapai, yaitu merebut tanah yang dijanjikan dengan keperkasaan, karena pengecut mereka juga, ditahanlah mereka di Padang Tih selama empat puluh tahun. Makanan dijamin, ransum disediakan. Itu pun bukan ransum sembarang ransum. Nabi Musa mengatakan tegas bahwa makanan yang mereka minta itu adalah makanan hina, makanan zaman perbudakan. Dan makanan yang mereka tidak tahan lagi itu adalah makanan zaman pembebasan. Makanan karena cita-cita.
Untuk misal yang dekat kepada kita, adalah keluhan orang tua-tua yang biasa hidup senang di zaman penjajah Belanda dahulu, mengeluh karena kesukaran di zaman perjuangan kemerdekaan. Mereka selalu teringat zaman itu yang mereka namai Zaman Normal. Dengan uang satu rupiah zaman itu sudah dapat beli baju dan lebihnya dapat dibawa pulang untuk belanja makan minum. Tetapi sekarang setelah merdeka, hidup jadi susah. Sampai ada yang berkata, “Bila akan berhenti merdeka ini!"—Lalu Musa berkata, “Pergilah ke kota besar. Maka sesungguhnya di sana akan kamu dapatkan apa yang kamu minta itu." Inilah satu teguran yang keras, kalau me-reka sudi memahamkan. Pergilah ke salah satu kota besar, apa artinya? Ialah keluar dari kelompok dan menyediakan diri jadi budak kembali. Atau melepaskan cita-cita. Laksana pengalaman kita bangsa Indonesia di zaman perjuangan bersenjata dahulu yang makanan tidak cukup, kediaman di hutan. Mana yang kita tidak tahan menderita, silakan masuk kota. Di kota ada mentega dan ada roti, cokelat dan kopi susu. Namun, artinya ialah meninggalkan perjuangan, menghentikan sejarah diri sendiri dalam membina perjuangan. Kalimat ihbithu mishran yang berarti pergilah ke kota besar, kalau menurut qiraat (bacaan) al-Hasan dan Aban bin Taghlib dan Thalhah bin Mushrif ialah ihbithu mishra dengan tidak memakai tanwin (baris dua). Menurut qiraat ini artinya ialah, “Pergilah kamu pulang kembali ke Mesir, di sana akan kamu dapati apa yang kamu minta itu!" Dengan demikian, perkataan Nabi Musa menjadi lebih keras lagi. Segala yang kamu minta itu hanya ada di Mesir. Kalau kamu ingin juga, pulanglah ke sana kembali menjadi orang yang hina, diperbudak kembali.
Akhirnya, berfirmanlah Tuhan tentang keadaan jiwa mereka, “Dan dipukulkaniah atas mereka kehinaan dan kerendahan, dan sudah layaklah mereka ditimpa kemurkaan dari Allah." Kehinaan ialah hina akhlak dan hina jiwa, tidak ada cita-cita tinggi. Jatuh harga diri, padam kehormatan diri, jatuhmoral. Itulahyangdikenal dengan jiwa budak (slavengeest). Apabila diri sudah hina, niscaya rendahlah martabat, menjadi miskin. Mata kuyu kehilangan sinar. Ukuran cita-cita hanya sehingga asal perut akan berisi saja, payah dibawa naik. Atau malas berjuang karena ingin makanan yang enak-enak saja. Dengan demikian, tentu tidak lain yang akan mereka terima hanyalah kemurkaan Allah.
Lalu, disebutnya penyebab utama, “Yang demikian itu, ialah karena mereka kufur kepada perintah-perintah Allah, dan mereka bunuh nabi-nabi dengan tidak patut" Sedangkan membunuh sesama manusia biasa lagi tidak patut, apalagi kalau sudah berani mengangkat senjata membunuh nabi-nabi yang menunjuki mereka jalan yang benar. Menurut riwayat selama riwayat Bani Israil, tidak kurang dari tujuh puluh nabi yang telah mereka bunuh. Itulah akibat dari jiwa yang telah jahat karena meninggalkan imam.
“Yang demikian itu ialah karena mereka lelah durhaka dan adalah Mereka melewati batas."