Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
بَعَثۡنَٰكُم
Kami bangkitkan kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مَوۡتِكُمۡ
matimu
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
ثُمَّ
kemudian
بَعَثۡنَٰكُم
Kami bangkitkan kamu
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
مَوۡتِكُمۡ
matimu
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
Terjemahan
Kemudian, Kami membangkitkan kamu setelah kematianmu agar kamu bersyukur.
Tafsir
(Setelah itu Kami bangkitkan kamu) maksudnya Kami hidupkan kembali kamu, (setelah kematian kamu agar kamu bersyukur) atas nikmat karunia Kami itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 55-56
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang," karena itu kalian disambar halilintar, sedangkan kalian menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur.
Ayat 55
Allah ﷻ berfirman: "Ingatlah akan nikmat Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu Aku hidupkan kalian kembali sesudah kalian mati tersambar halilintar, ketika kalian sebelumnya meminta agar dapat melihat-Ku secara terang-terangan, padahal hal tersebut tidak akan mampu kalian lakukan dan tidak pula bagi orang-orang seperti kalian." Demikian menurut tafsir yang dikatakan oleh Ibnu Juraij.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, makna jahratan adalah terang-terangan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman, dari Abbad ibnu Ishaq, dari Abul Huwairis, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: "Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami dapat melihat Allah dengan terang" (Al-Baqarah: 55). Yang dimaksud dengan lafal jahrah adalah terang-terangan. Dengan kata lain, kami baru mau beriman kepadamu bila kami dapat melihat Allah dengan terang.
Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: "Hatta narallaha jahratan." Yang dimaksud dengan jahratan adalah 'ayanan (terang-terangan tanpa aling-aling). Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas. Mereka yang mengatakan demikian berjumlah tujuh puluh orang, yaitu mereka yang dipilih oleh Nabi Musa a.s.; lalu mereka berangkat bersama Nabi Musa. Ar-Rabi' ibnu Anas melanjutkan kisahnya, bahwa mereka hanya mendengar kalam saja, lalu mereka berkata: “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang” (Al-Baqarah: 55). Kemudian mereka mendengar suara pekikan yang dahsyat, akhirnya mereka mati semua.
Marwan ibnul Hakam, ketika sedang berkhutbah di atas mimbar Mekah, antara lain mengatakan bahwa makna as-sa'iqah adalah suara pekikan yang dahsyat dari langit. As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Karena itu kalian disambar halilintar” (Al-Baqarah: 55). Menurutnya, yang dimaksud dengan as-sa'iqah adalah api (yang turun dari langit).
Urwah ibnu Ruwayyim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sedangkan kalian menyaksikannya” (Al-Baqarah: 55). Sebagian dari mereka disambar halilintar, sedangkan sebagian yang lain melihat peristiwa tersebut. Kemudian mereka yang tersambar halilintar itu dihidupkan kembali, lalu sebagian yang lain lagi tersambar halilintar pula.
As-Suddi mengatakan bahwa firman-Nya: "Karena itu kalian disambar halilintar" (Al-Baqarah: 55) lalu mereka mati. Maka berdirilah Nabi Musa seraya menangis dan berdoa kepada Allah serta mengatakan, "Wahai Tuhanku, apakah yang akan kukatakan kepada Bani Israil jika aku kembali menemui mereka, sedangkan Engkau telah binasakan orang-orang terpilih dari mereka." Musa berkata pula seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau hendak membinasakan kami karena perbuatan orang-orang bodoh di antara kami?” (Al-A'raf: 155).
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. yang isinya mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu termasuk orang-orang yang menyembah anak sapi. Setelah itu Allah menghidupkan mereka; mereka bangkit dan hidup seorang demi seorang, sedangkan sebagian dari mereka melihat sebagian yang lain dalam keadaan dihidupkan. Demikianlah makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Sesudah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur” (Al-Baqarah: 56). Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa kematian mereka itu merupakan hukuman bagi mereka, kemudian mereka dihidupkan kembali sesudah mati untuk menunaikan ajal (sisa umur)nya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq yang mengatakan bahwa tatkala Musa kembali kepada kaumnya dan dia melihat apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembah anak sapi, dan dia mengatakan apa yang telah dikatakannya kepada saudaranya (Harun), juga kepada Samiri, lalu dia membakar patung anak sapi itu dan menaburkan abunya ke laut, kemudian dia memilih tujuh puluh orang lelaki terbaik dari kalangan kaumnya.
Dia berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Allah, bertobatlah kalian kepada Allah atas apa yang telah kalian perbuat, dan mohonlah tobat kepada-Nya atas orang-orang yang kalian tinggalkan di belakang kalian dari kalangan kaum kalian. Berpuasalah kalian, bersucilah, dan bersihkanlah pakaian kalian." Kemudian Musa a.s. berangkat membawa mereka menuju Bukit Tursina pada waktu yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya.
Musa tidak pernah datang kepada-Nya kecuali dengan seizin dan restu dari-Nya. Menurut riwayat yang sampai kepadaku, ketujuh puluh orang itu di saat mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Musa dan mereka berangkat untuk menjumpai Allah, mereka berkata kepada Musa, "Wahai Musa, mohonkanlah untu kami kepada Tuhanmu agar kami diperkenankan dapat mendengar kalam Tuhan kami." Musa menjawab "Baiklah." Ketika Musa mendekati bukit tersebut, maka datanglah awan yang menaunginya hingga menutupi seluruh bukit, lalu Musa mendekat dan masuk ke dalam awan tersebut, setelah itu ia berkata kepada kaumnya, "Mendekatlah kalian." Musa a.s. apabila diajak bicara oleh Allah, maka memancarlah dari keningnya nur (cahaya) yang cemerlang, tiada seorang pun dari Bani Adam yang mampu memandangnya; maka Allah membuat hijab (penutup) bagi nur tersebut.
Lalu kaumnya pun mendekat. Ketika mereka masuk ke dalam awan tersebut, mereka menyungkur sujud dan mereka mendengar suara Allah yang sedang berbicara kepada Musa a.s. memerintah dan melarangnya dengan ucapan, "Lakukanlah," atau "Janganlah kamu lakukan." Ketika Allah ﷻ selesai berbicara kepada Musa, tersingkaplah awan tersebut, dan Musa menghadap ke arah mereka; ternyata mereka berkata kepada Musa a.s., seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang” (Al-Baqarah: 55). Maka mereka tertimpa oleh gempa dahsyat yaitu sa'iqah hingga mereka mati semuanya.
Lalu Musa a.s. bangkit meminta tolong kepada Tuhannya dan berdoa, memohon kepadanya seraya berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini” (Al-A'raf: 155). Mereka benar-benar tidak mengerti, apakah Engkau membinasakan orang-orang yang berada di belakangku dari kalangan Bani Israil karena perbuatan orang-orang bodoh dari kalangan kami? Dengan kata lain, sesungguhnya hal ini merupakan kebinasaan bagi mereka. Aku memilih tujuh puluh orang terbaik dari kalangan mereka agar aku kembali nanti bersama mereka, sedangkan sekarang tiada seorang pun dari mereka yang tersisa. Apakah yang menjadi bukti bagiku buat mereka agar mereka mau percaya kepadaku dan beriman kepadaku sesudah peristiwa ini? Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau.
Musa a.s. terus-menerus memohon kepada Tuhannya dan meminta hingga Allah mengembalikan ruh mereka kepada mereka, lalu Musa a.s. memohon kepada Allah ampunan dan tobat bagi Bani Israil yang telah menyembah anak sapi. Maka Allah berfirman, "Tidak, kecuali jika mereka membunuh diri mereka sendiri." Demikianlah menurut konteks (lafal) yang diketengahkan oleh Muhammad ibnu Ishaq.
Ismail ibnu Abdur Rahman As-Suddi Al-Kabir mengatakan, "Setelah kaum Bani Israil tobat dari menyembah anak sapi dan Allah menerima tobat mereka dengan cara sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka, lalu Allah memerintahkan kepada Musa agar datang membawa semua orang dari kalangan Bani Israil untuk memohon maaf kepada Allah atas penyembahan mereka terhadap anak sapi. Musa a.s. membuat suatu perjanjian dengan mereka, lalu memilih tujuh puluh orang dari kalangan mereka, yaitu orang-orang yang ditunjuknya secara tertentu. Kemudian ia berangkat bersama mereka untuk meminta maaf kepada Allah." Hingga akhir hadits.
Konteks hadits ini memberikan pengertian bahwa khithab (konten) yang terdapat di dalam firman berikut ditujukan kepada Bani Israil, yaitu: "Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman sebelum kami melihat Allah dengan terang’." (Al-Baqarah: 55). Makna yang dimaksud adalah, mereka yang tujuh puluh orang tersebut yaitu yang dipilih oleh Musa a.s. dari kalangan mereka. Kebanyakan ulama tafsir tidak meriwayatkan kisah ini selain dari Ismail ibnu Abdur Rahman sendiri.
Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya menilai garib (aneh) kisah yang menceritakan perihal ketujuh puluh orang tersebut, yaitu setelah mereka dihidupkan kembali oleh Allah, mereka berkata, "Wahai Musa, sesungguhnya kamu tidak sekali-kali meminta sesuatu kepada Allah kecuali Dia memberimu, maka doakanlah semoga Allah menjadikan kami sebagai nabi-nabi-Nya." Kemudian Musa a.s. berdoa memohon hal itu kepada Allah, dan Allah memperkenankan doanya. Riwayat ini sangat garib, mengingat di masa Nabi Musa tidak ada nabi lain kecuali Harun, kemudian Yusya' bin Nun. Kaum ahli kitab keliru pula dalam klaim mereka yang mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu telah melihat Allah ﷻ dengan terang-terangan. Karena sesungguhnya Musa yang diajak bicara oleh Allah ﷻ sendiri pernah meminta hal tersebut, tetapi ditolak, mana mungkin permintaan tersebut diperkenankan bagi mereka.
Pendapat kedua mengenai makna ayat ini disebutkan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam tafsir ayat ini, bahwa tatkala Musa kembali dari sisi Tuhannya kepada kaumnya dengan membawa lauh-lauh yang padanya termaktub kitab Taurat, maka dia menjumpai mereka sedang menyembah anak sapi. Maka ia memerintahkan kepada mereka agar membunuh diri mereka sendiri dan mereka melakukannya, lalu Allah menerima tobat mereka.
Musa berkata kepada mereka, "Sesungguhnya lembaran-lembaran ini berisikan Kitabullah, di dalamnya terkandung urusan kalian yang diperintahkan oleh Allah dan larangan-Nya yang harus kalian jauhi." Mereka bertanya, "Siapakah yang mau percaya kepada omonganmu itu? Tidak, demi Allah, kecuali jika kami dapat melihat Allah dengan terang hingga Allah sendirilah yang menyerahkannya kepada kami, lalu Dia berfirman, 'Inilah Kitab-Ku, maka ambillah oleh kalian!' Maka mengapa Allah tidak mau berbicara kepada kami sebagaimana Dia berbicara kepadamu, wahai Musa?"
Abdur Rahman ibnu Zaid membacakan firman-Nya: “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang” (Al-Baqarah: 55) dan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Allah murka, lalu terjadilah halilintar sesudah tobat mereka, kemudian mereka disambar oleh halilintar itu hingga semuanya mati.
Ayat 56
Setelah itu Allah menghidupkan mereka kembali. Abdur Rahman Ibnu Zaid membacakan firman-Nya: “Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur” (Al-Baqarah: 56). Musa a.s. berkata kepada mereka, "Ambillah Kitabullah ini!" Mereka menjawab, "Tidak." Musa a.s. berkata, "Apakah yang telah menimpa kalian?" Mereka menjawab, "Kami mengalami mati, kemudian kami dihidupkan kembali." Musa a.s. berkata, "Terimalah Kitabullah ini." Mereka menjawab, "Tidak." Maka Allah mengirimkan malaikat, lalu malaikat mencabut bukit dan mengangkatnya di atas mereka.
Konteks riwayat ini menunjukkan bahwa mereka dikenakan taklif (paksaan) untuk mengamalkan kitab itu sesudah mereka dihidupkan kembali. Al-Mawardi meriwayatkan dua pendapat sehubungan dengan masalah ini: Pertama, taklif (paksaan) tersebut tidak ada, mengingat mereka telah menyaksikan perkara tersebut secara terang-terangan, sehingga terpaksa mereka mempercayainya. Kedua, mereka dikenakan taklif agar tiada seorang pun yang berakal melainkan terkena taklif. Al-Qurthubi mengatakan bahwa pendapat yang kedua inilah yang benar, karena kesaksian mereka terhadap perkara-perkara yang menakjubkan bukan berarti menggugurkan taklif dari pundak mereka, mengingat kaum Bani Israil memang telah menyaksikan banyak perkara besar yang bertentangan dengan hukum alam. Akan tetapi, sekalipun demikian mereka tetap dikenakan taklif dalam hal tersebut.
Peristiwa disambar halilintar itu adalah peristiwa dahsyat sehingga layak sekali bila dikatakan itu adalah peristiwa kematian yang dapat menghancurkan kehidupan generasi mereka secara keseluruhan. Namun demikian, Allah masih tetap mencurahkan rahmat-Nya. Sesudah peristiwa halilintar itu, generasi kaum Bani Israil masih dibangkitkan lagi di dunia ini oleh Allah. Kemudian, setelah terjadinya peristiwa halilintar tersebut, Kami membangkitkan kamu, yakni generasi yang selamat dari peristiwa, setelah sebagian besar dari kamu mati, agar kamu bersyukur atas nikmat Allah tersebut. Generasi tersisa Bani Israil yang dibangkitkan itu diriwayatkan terse-sat selama 40 tahun di padang pasir dataran Sinai yang sangat panas. Mereka tersesat karena enggan memerangi orang-orang yang durhaka di Syam. Dan Kami menaungi kamu dengan awan, sehingga kamu ti-dak merasa kepanasan lagi di tengah padang pasir yang terik itu, dan Kami menurunkan kepadamu mann, makanan sejenis madu, dan salwa', burung kecil sejenis puyuh yang dapat dibakar untuk dimakan. Ma-kanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sehingga kamu tidak perlu lagi bersusah-payah mencari bahan makanan di padang pasir itu. Kedurhakaan yang dilakukan oleh Bani Israil itu sedikit pun tidak mencederai Allah. Mereka tidak menzalimi Kami, dan bahkan sedikit pun tidak menodai keagungan Allah. Ditaati atau tidak ditaati, didurhakai atau tidak didurhakai, Allah tetap Allah dengan Kemahaagungan-Nya. Oleh sebab itu, bukan Allah yang teraniaya, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri karena merekalah yang akan menanggung akibat kedurhakaan mereka itu.
.
Dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Bani Israil yang ada pada masa Nabi Muhammad ﷺ bahwa setelah banyak di antara mereka itu mati karena azab tersebut di atas, maka keturunan mereka yang masih tinggal kembali berkembang biak, padahal tadinya mereka mengira jumlah mereka akan semakin berkurang. Allah telah menakdirkan mereka berkembang kembali, agar mereka dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang pahit itu, sehingga mereka mau mensyukuri nikmat-nikmat Allah.
Allah menceritakan hal itu kepada kita dengan menghadapkan pembicaraan kepada Bani Israil yang ada ketika datangnya Nabi Muhammad ﷺ untuk menunjukkan bahwa umat manusia ini pada hakikatnya adalah satu. Segala cobaan yang telah diturunkan-Nya, berupa kebaikan atau musibah, nikmat atau kesengsaraan, semuanya merupakan pelajaran bagi umat yang datang kemudian dengan menerangkan yang telah terjadi atas umat-umat terdahulu, agar manusia mengetahui bahwa semua bangsa di dunia ini mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya. Kebahagiaan seseorang sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan orang lain. Demikian pula kesengsaraan yang dideritanya. Setiap pribadi akan tertimpa kesengsaraan akibat perbuatan dosa yang telah meluas di lingkungannya, walaupun ia sendiri tidak ikut melakukan dosa-dosa tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 51-56
Ayat 51
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami janjikan kepada Musa empat puluh malam, kemudian kamu ambil anak lembu sepeninggalnya; dan adalah kamu orang-orang yang aniaya."
Ingatlah tatkala telah selamat kamu diseberangkan, dilepaskan dari penindasan dan kehinaan, Tuhan Allah telah memanggil Musa menghadap Allah atau bersunyi diri membuat hubungan jiwa dengan Allah di lembah Thuwa di Pegunungan Thur! Sebab apabila kamu telah selamat diseberangkan, kehendak Tuhan ialah supaya kamu diberi pimpinan. Sebab kemerdekaan saja belumlah cukup. Yang lebih penting ialah, apakah yang harus kamu kerjakan sesudah merdeka. Mana jalan yang akan kamu tuju, apa peraturan yang wajib kamu pakai.
Sebab itu, Tuhan memanggil Musa menghadap, empat puluh hari lamanya, supaya diterimanya perintah-perintah Tuhan untuk keselamatan kamu. Dan, disuruhnya kamu menunggu dia pulang kembali dengan sabar, di bawah pimpinan Harun. Akan tetapi, apa yang telah kamu perbuat setelah Musa pergi? Kamu telah berbuat suatu perbuatan yang sangat jahat; kamu ambil perhiasan emas perempuan-perempuan kamu lalu kamu lebur menjadi sebuah patung anak lembu, kamu sembah itu dan kamu katakan bahwa itulah Tuhan!
Alangkah jahatnya perbuatanmu itu, hai Bani Israil! Padahal kamu telah dibebaskan dari kehinaan, karena Fir'aun itu sendiri menganggap dirinya jadi Tuhan. Dan, kamu berbuat kejahatan besar itu belum lama sesudah Kami dibebaskan. Ini menunjukkan bahwa kamu tidak juga mengerti guna apa kamu dibebaskan.
Ayat 52
“Kemudian telah Kami beri maaf kamu sesudah itu, supaya kamu bersyukur."
Kamu diberi maaf sesudah berbuat kesalahan besar itu, bukan pula karena kamu umat yang istimewa atau suku pilihan Allah, melainkan karena kebodohan kamu, belum Allah hendak menghancurkan kamu seluruhnya. Karena kejadian itu ialah sebelum Musa pulang membawa Hukum Taurat dan syari'at untuk kamu. Supaya kamu bersyukur kepada Tuhan sebab kepadamu masih diberikan kesempatan buat memperbaiki diri.
Dengan peringatan-peringatan begini, patutlah insaf Bani Israil yang kena peringatan di zaman Rasulullah itu bahwa memang sejak bermula mereka telah keras kepala, sombong, tetapi bodoh, tinggi hati, tetapi goblok.
Ayat 53
“Dan (Ingatlah) seketika Kami datangkan kepada Musa akan Kitab itu dan Pemisahan; supaya kamu beroleh petunjuk."
Ingatlah olehmu hai Bani Israil bahwa setelah Nabi Musa a.s. menghadap Tuhannya empat puluh hari lamanya, dia pun pulang kembali kepadamu. Dia telah membawa Kitab itu, yaitu kitab Taurat disertai dengan al-Furqaan, ialah peraturan-peraturan dan beberapa perundangan yang harus kamu jalankan, sampai kepada peraturan puasa, kurban, dan sebagainya. Gunanya ialah untuk pimpinan bagi kamu dan untuk petunjuk yang wajib kamu jalankan. Al-Furqan yang berarti pemisahan, juga menjadi nama dari Al-Qur'an, juga menjadi nama dari akal, sebab dia pemisah di antara yang hak dan yang batil.
Menurut keterangan Mujahid, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnu Jarir, al-Furqaan ialah keempat kumpulan kitab suci: Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an.
Ayat 54
“Dan (Ingatlah) seketika berkata Musa kepada kaumnya, Wahai, kaumku! Sesungguhnya, kamu telah menganiaya diri kamu (sendiri) dengan kamu mengambil anak lembu itu."
…menjadi Tuhan. Kamu telah diberi maaf karena mungkin kamu belum mengerti benar-benar perbedaan agama kita yang diturunkan Tuhan dengan paham-paham yang dianut oleh orang Mesir dengan Fir'aunnya itu sehingga kamu sangka bahwa Tuhan Allah kita serupa juga dengan berhala yang disembah kaum Fir'aun. Kamu lihat orang Mesir menyembah berhala anak lembu yang bernama Apis; lalu itu hendak kamu tiru pula. Sekarang, aku telah datang membawa Kitab dan Pemisahan, ajaran pokok dasar dan ajaran peraturan hidup sehari-hari. Dan kamu telah paham siapa Dia Tuhan kita yang sebenarnya. Setelah kamu paham akan hakikat pegangan dan anutan kita, niscaya mengertilah kamu bahwa kamu yang memuja berhala anak lembu itu telah bersalah besar. Dan kalau telah insaf bahwa bersalah, niscaya tidak ada lain jalan melainkan bertobat; mintalah ampun kepada Allah. Dan oleh karena kamu sendiri pun telah mengerti bahwa kesalahanmu ini sangat besar, maka tobatnya pun bukan sembarang tobat. Tobatnya ialah dengan membunuh dirimu sendiri. Siapa yang merasa bersalah, turut campur membuat berhala anak lembu, dan menyembahnya menjadikannya Tuhan, hendaklah dia bersedia membunuh dirinya sendiri. Dengan demikian, barulah benar tobatmu, “Maka tobatlah kamu kepada Maha Penciptamu, dan bunuhlah diri kamu. Itulah yang lebih baik buat kamu pada sisi Maha Penciptamu, niscaya akan diberi-Nya tobat atas kamu." Kalau hanya tobat-tobatan begitu saja, kamu anggap ringanlah perkara ini. Kamu telah dibebaskan dari Mesir karena kita tidak suka penyembahan berhala, padahal setelah keluar dari Mesir kamu membuat berhala. Obat buat membersihkan ini tidak lain hanya tobat dengan mencabut nyawa sendiri. Hidup karena ini tidak berguna lagi. Kalau sudah begitu, barulah tobat kamu benar-benar tobat,
“Sesungguhnya, Dia adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Memang beginilah pimpinan yang harus diberikan Musa pada waktu itu. Agar menjadi iktibar buat selanjutnya. Kesalahan yang lain mungkin akan banyak timbul, namun kesalahan mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidaklah habis dengan minta maaf saja. Tuhan pun telah memberi maaf, sebagai tersebut pada ayat 52 tadi. Tetapi kalau maaf Allah itu diterima demikian saja, umat itu akan lupa lagi.
Dengan begini, barulah sepadan pemaaf Allah dengan tobat nashuha hamba-Nya. Di dalam kitab Taurat yang ada sekarang (Keluaran, Pasal 32, ayat 28) bahwa yang membunuh diri karena tobat itu adalah sebanyak 3.000 orang. Sedang Al-Qur'an sendiri tidaklah menyebut berapa jumlah itu sebab yang penting bukanlah jumlah orang yang mati, melainkan betapa hebat dan kerasnya pimpinan Musa dalam melakukan tobat.
Taubat dengan membunuh diri dalam syari'at Musa ini adalah berlaku sebagai hukuman. Dengan demikian, bukan berarti bahwa seorang yang merasa dirinya bersalah besar, dibolehkan membunuh dirinya dengan kehendak sendiri, terutama dalam syari'at Nabi Muhammad ﷺ.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ali bin Abi Thalib, kata beliau, kaum itu bertanya kepada Nabi Musa, “Bagaimana caranya kami tobat?" Nabi Musa menjawab, “Yang setengah kamu, yaitu yang tidak bersalah, membunuh yang bersalah." Maka mereka ambillah pisau-pisau lalu saudara membunuh saudaranya, ayahnya, dan anaknya, sehingga matilah sampai 70.000 orang dengan tidak ambil pusing lagi siapa yang terbunuh. Setelah itu, datanglah wahyu kepada Nabi Musa menyuruh berhenti sebab kewajiban itu telah selesai, yang bersalah telah mati, dan yang tinggal sudah diberi tobat.
Berdasarkan riwayat yang dua ini, lebih jelas lagi bahwasanya bunuhlah diri-diri kamu berarti bapak membunuh anak, anak membunuh bapak, saudara membunuh saudara. Artinya, sama dengan membunuh diri sendiri, sebab yang dibunuh itu ialah dirimu juga, belahan diri, satu darah, satu turunan.
Ayat 55
“Dan (Ingatlah) tatkala kamu berkata kepada Musa, Wahai, Musa. Tidaklah kami mau percaya kepada engkau, sehingga kami lihat Allah itu dengan tenang."
Ingatlah hai Bani fsrail bahwa setelah nenek moyang kamu itu membuat berhala anak lembu sampai disuruh tobat dengan membunuh diri, janganlah kamu sangka bahwa mereka telah berhenti hingga itu saja. Patutlah hal itu menjadi peringatan bagi yang lain. Namun, tidak! Kesalahan yang lain berulang lagi; ada pula yang berani berkata kepada
Nabi Musa, tidak beberapa lama sesudah itu bahwa mereka belum hendak percaya kepada apa yang diperintahkan oleh Musa sebelum Musa memperlihatkan Allah itu terang-terang kepada mereka.
Apakah lantaran mereka tidak juga percaya bahwa Allah Ta'aala itu ada? Mereka telah percaya, tetapi kepada Musalah mereka tidak mau percaya kalau Musa tidak mau mempertemukan mereka pula dengan Allah, sebagaimana Musa sendiri telah bertemu. Mengapa Musa dan Harun saja yang boleh bertemu dengan Allah dan bercakap dengan Allah terang-terangan? Bukankah nikmat Allah itu harus rata? Semua kita ini keturunan Israil, dari Ishaq dan dari Ibrahim; mengapa maka Musa dan Harun saja harus lebih? Kami pun berhak, sebagai keturunan Ibrahim, Ishaq, dan Ya'kub, untuk melihat Allah terang-terangan.
Perkataan ini mereka nyatakan lagi setelah Nabi Harun meninggal dan hanya tinggal Nabi Musa menghadapi mereka. Akhirnya tentu kamu masih ingat, hai Bani Israil bahwa moyang-moyangmu yang berani berkata demikian mendapat hukum setimpal dari Allah,
“Maka … timpalah kamu oleh gempa, dan kamu pun melihat sendiri."
Di dalam Kitab mereka (Kitab Bilangan, Pasal 16) disebutkan bahwa setelah mereka mengucapkan kata demikian, murka Allah turun, bumi pun belah, maka tenggelamlah orang-orang yang ingin melihat Allah itu ke dalam belahan bumi itu dan menyalalah api dari sudut yang lain, nyala api itu menjilati kemah dan banyaklah pula yang mati terbakar. Yang lain, yang tidak turut dalam gerak yang jahat itu, menyaksikan sendiri segala kejadian itu.
Ayat 56
“Kemudian Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur."
Ada riwayat setengah ahli tafsir bahwa orang-orang mati dihantam gempa atau nyala api yang timbul dari dalam bumi itu dihidupkan kembali; maka bersyukurlah mereka lantaran mereka dihidupkan kembali. Ada lagi tafsir mengatakan bahwa mereka mati betul-betul, tetapi sudah hampir mau mati, mungkin karena kontak listrik yang timbul dari bumi yang menimbulkan gempa dahsyat itu. Setelah gempa berhenti, mereka pun berangsur di-bangunkan dan bersyukur kepada Tuhan mereka dihidupkan untuk bertobat kembali.
Dalam surah al-A'raaf (7): 143 terkisah bahwa setelah Tuhan tajalli di puncak gunung, Nabi Musa pingsan.
“Tersungkurlah Musa dalam keadaan pingsan." (al-A'raaf: 143)
Di ayat itu tertulis sha'iqan, Musa pingsan. Di ayat yang tengah kita tafsirkan ini, orang-orang yang ingin melihat Tuhan dengan terang itu pun kena sha'iqan, jadi pingsan. Jadi, setengah mati. Berdasar kepada pengertian itu—kata ahli tafsir itu—teranglah bahwa mereka bukan terus mati. Setelah hilang geseran listrik dari sebab gempa itu, mereka pun siuman, bangun kembali.