Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka bertanya kepadamu
عَنِ
tentang
ٱلۡأَهِلَّةِۖ
bulan baru/sabit
قُلۡ
katakan
هِيَ
ia (bulan sabit)
مَوَٰقِيتُ
tanda-tanda waktu tertentu
لِلنَّاسِ
bagi manusia
وَٱلۡحَجِّۗ
dan (ibadah) haji
وَلَيۡسَ
dan bukanlah
ٱلۡبِرُّ
kebaikan
بِأَن
bahwa
تَأۡتُواْ
kamu memasuki/datang
ٱلۡبُيُوتَ
rumah-rumah
مِن
dari
ظُهُورِهَا
belakangnya
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡبِرَّ
kebaikan
مَنِ
siapa/orang
ٱتَّقَىٰۗ
bertakwa
وَأۡتُواْ
dan masukilah
ٱلۡبُيُوتَ
rumah-rumah
مِنۡ
dari
أَبۡوَٰبِهَاۚ
pintu-pintunya
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
kamu beruntung
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka bertanya kepadamu
عَنِ
tentang
ٱلۡأَهِلَّةِۖ
bulan baru/sabit
قُلۡ
katakan
هِيَ
ia (bulan sabit)
مَوَٰقِيتُ
tanda-tanda waktu tertentu
لِلنَّاسِ
bagi manusia
وَٱلۡحَجِّۗ
dan (ibadah) haji
وَلَيۡسَ
dan bukanlah
ٱلۡبِرُّ
kebaikan
بِأَن
bahwa
تَأۡتُواْ
kamu memasuki/datang
ٱلۡبُيُوتَ
rumah-rumah
مِن
dari
ظُهُورِهَا
belakangnya
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلۡبِرَّ
kebaikan
مَنِ
siapa/orang
ٱتَّقَىٰۗ
bertakwa
وَأۡتُواْ
dan masukilah
ٱلۡبُيُوتَ
rumah-rumah
مِنۡ
dari
أَبۡوَٰبِهَاۚ
pintu-pintunya
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
kamu beruntung
Terjemahan
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Tafsir
(Mereka menanyakan kepadamu) hai Muhammad, (tentang bulan sabit). 'Ahillah' jamak dari 'hilal'. Pada permulaannya tampak kecil tipis kemudian terus bertambah hingga penuh dengan cahaya. Lalu kembali sebagaimana semula, maka keadaannya tidak seperti matahari yang tetap (katakanlah) kepada mereka, ("Ia adalah tanda-tanda waktu); mawaaqiit jamak dari miiqaat (bagi manusia) untuk mengetahui waktu bercocok tanam, berdagang, idah wanita, berpuasa, dan berbuka mereka (dan bagi haji) diathafkan atau dihubungkan kepada manusia, artinya untuk diketahui waktunya. Karena seandainya bulan tetap dalam keadaan yang sama, tentulah hal itu tidak dapat diketahui (Dan bukanlah kebaktian, jika kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya) yakni di waktu ihram, dengan membuat lubang di belakang rumah untuk tempat keluar masuk kamu dengan meninggalkan pintu. Hal itu biasa mereka lakukan dulu dan mereka anggap sebagai kebaktian, (tetapi kebaktian itu), maksudnya orang yang berbakti (ialah orang yang bertakwa) kepada Allah dengan tidak melanggar perintah-perintah-Nya, (dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya) baik sewaktu ihram maupun pada waktu-waktu lainnya, (dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beroleh keberuntungan").
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Yakni dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadits kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari ‘Atha’, Adh-Dhahhak, Qatadah, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Maka apabila awan menutupi kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari. Hadits riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Ibnu Abu Rawwad dengan lafal yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang tsiqah, ahli ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadits ini shahih sanadnya, tetapi Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya. Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah telah menciptakan bulan sabit. Maka apabila kalian melihat bulan sabit, berpuasalah; dan apabila kalian melihatnya lagi, berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadits Abu Hurairah, juga dari ucapan Ali ibnu Abu Talib Firman Allah Swt: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189) Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa pada mulanya di zaman Jahiliah apabila mereka telah melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya dari arah belakangnya.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189) Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa orang-orang Anshar pada mulanya bila mereka tiba dari perjalanannya, maka seseorang dari mereka tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, lalu turunlah ayat ini. Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa dahulu orang-orang Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka selalu masuk dari pintu-pintunya dalam ihram mereka; sedangkan orang-orang Anshar dan semua orang Arab dalam ihram mereka tidak memasukinya dari pintu.
Ketika Rasulullah ﷺ sedang berada di sebuah kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula bersamanya Qutbah ibnu Amir dari kalangan Anshar. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang pedagang, sesungguhnya dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." Maka Rasul ﷺ bertanya kepada Qutbah, "Apakah yang mendorongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab, "Aku melihat engkau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah engkau lakukan." Rasul ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang Ahmas." Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga adalah agamamu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189) Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Az-Zuhri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari kalangan ahli Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan suatu perjalanan, lalu ia keluar dari rumahnya memulai perjalanan yang ditujunya.
Kemudian sesudah ia keluar, timbul keinginan tetap tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya; maka dia tidak memasuki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian belakang. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189), hingga akhir ayat. Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak melakukan i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, maka Allah menurunkan ayat ini." ‘Atha’ ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apabila kembali dari hari raya mereka, mereka memasuki rumahnya masing-masing dari arah belakangnya, dan mereka berpendapat bahwa hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189) Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat bahwa hal tersebut lebih dekat kepada kebajikan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung. Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah bagi kalian. agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189) Yaitu kelak di hari kemudian. Bila kalian dihadirkan di hadapan Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala dan balasannya dengan lengkap dan sempurna."
Setelah pada ayat-ayat sebelumnya menerangkan masalah-masalah tentang puasa dalam bulan Ramadan dan hukum-hukum yang bertalian dengan puasa, maka ayat ini menerangkan waktu yang diperlukan oleh umat manusia dalam melaksanakan ibadahnya. Jika Mereka yakni para sahabatmu bertanya kepadamu wahai Muhammad tentang bulan sabit. Katakanlah kepada mereka, fenomena perubahan bulan Itu adalah sebagai penunjuk waktu bagi manusia untuk mengetahui waktu-waktu yang telah ditentukan Allah seperti waktu salat, puasa dan untuk melakukan ibadah haji. Dan bukanlah suatu kebajikan ketika berihram baik dalam haji maupun umrah memasuki rumah dari atasnya sebagaimana yang sering dilakukan pada masa jahiliyah, tetapi kebajikan adalah melakukan kebajikan sebagaimana orang yang bertakwa, menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Karenanya, ketika berihram, Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung sehingga memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.
Dan perangilah di jalan Allah, untuk membela diri dan kehormatan agamamu, orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas dengan tidak membunuh wanita, anak-anak, orang lanjut usia, tuna netra, lumpuh, dan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan perang. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dengan melanggar etika perang tersebut.
.
Pada ayat ini Allah mengajar Nabi Muhammad ﷺ menjawab pertanyaan sahabat tentang guna dan hikmah "bulan" bagi umat manusia, yaitu untuk keperluan perhitungan waktu dalam melaksanakan urusan ibadah mereka seperti salat, puasa, haji, dan sebagainya serta urusan dunia yang diperlukan. Allah menerangkan perhitungan waktu itu dengan perhitungan bulan kamariah, karena lebih mudah dari perhitungan menurut peredaran matahari (syamsiah) dan lebih sesuai dengan tingkat pengetahuan bangsa Arab pada zaman itu.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa banyak dari kaum Ansar, apabila mereka telah mengerjakan ihram atau haji, maka mereka tidak mau lagi memasuki rumah dari pintu yang biasa, tetapi masuk dari pintu belakang, dan itu dianggap sebagai suatu kebajikan.
Ayat ini menerangkan bahwa kebajikan itu bukanlah menurut perasaan dan tradisi yang berbau khurafat, seperti memasuki rumah dari belakang atau dari atas, ) tetapi kebajikan itu ialah bertakwa kepada Allah, dan ditetapkan kepada mereka agar memasuki rumah dari pintunya.
Menurut saintis, bulan adalah satelit bumi yang berukuran sekitar seperempat dari ukuran bumi. Ia beredar mengelilingi bumi pada jarak rata-rata 384,400 kilometer di bawah tarikan gaya gravitasi bumi. Akibat peredarannya inilah bulan mengalami fase-fase dan di antaranya terjadi fenomena bulan sabit, bulan purnama, bulan baru dan bulan mati. Semuanya terjadi karena posisi bulan dan bumi yang bergeser secara teratur terhadap posisi matahari. Ketika bulan berada diantara bumi dan matahari, sisinya yang gelap menghadap ke bumi sehingga bulan tidak terlihat oleh kita yang berada di bumi. Fase ini dinamakan fase bulan baru. Kemudian bergeser dari fase bulan baru ke fase bulan purnama dan dan dari fase bulan purnama menuju ke fase bulan mati. Pada fase bulan mati bulan kembali tidak nampak sama sekali.
Sementara bulan sabit terjadi antara fase bulan baru ke fase bulan separuh pertama (minggu pertama, sebelum bulan purnama) dan antara fase bulan separuh yang kedua (minggu ke empat, setelah purnama) menuju fase bulan mati.
Dari fase bulan baru menuju fase bulan purnama maka yang terjadi fase bulan sabit yang nampak seperti benang yang bisa kita lihat di langit barat sesudah matahari tenggelam. Lama kelamaan bulan sabit tersebut menjadi lebar hingga menjadi separuh. Fase bulan ini kita sebut dengan fase bulan separuh. Kemudian tujuh hari setelah fase bulan separuh, kita bisa melihat gambaran penuh dari bulan. Fase bulan ini kita sebut dengan bulan purnama. Tujuh hari kemudian penampakan bulan kembali menyusut sehingga kembali lagi kepada fase bulan separuh. Begitulah seterusnya hingga bulan kembali mengalami fase bulan sabit yang kemudian pada akhirnya dia menghilang. Fase ini kita sebut dengan fase bulan mati. Jadi fase bulan sabit terjadi 2 kali dalam sebulan, yakni di minggu pertama dan minggu ke empat.
Jarak antara fase bulan baru ke bulan baru berikutnya atau dari bulan purnama ke bulan purnama berikutnya adalah 29,5306 hari yang kita sebut dengan periode sinodik. Inilah menjadi dasar penanggalan yang dibuat dengan menggunakan sistem kalender peredaran bulan yang kita kenal dengan kalender kamariah. Maha Bijaksana Allah yang telah menciptakan bulan dengan hikmah yang luar biasa terkandung di dalamnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
DARI HAL HILAL DAN TANYAKANLAH SESUATU KEPADA AHLINYA
Dalam beberapa riwayat ada tersebut bahwa beberapa orang sahabat Nabi ﷺ datang bertanya kepada beliau tantang hilal, yaitu bulan sabit sejak hari permulaan bulan sampai kira-kira hari ketujuh. Menurut riwayat Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas, walaupun sanad haditsnya dhaif.yang datang bertanya itu ialah Mu'az bin jabal, sahabat Anshar yang terkenal dan Tsalabah bin Usman. Mereka bertanya, “Wahai, utusan Allah. Mengapa bulan sabit itu terbit dan naik mula-mula sangat halusnya, laksana benang, kemudian jadi bertambah besar dan lama-lama jadi penuh (purnama), kemudian surut lagi dan kurang lagi, sampai kecil pula sebagaimana keadaan semula; tidak tetap dalam satu keadaan saja?"
Abdullah bin Humaid dan Ibnu jarir membawakan pula riwayat semacam ini yang mereka terima dari Qatadah. Akan tetapi, tidak mereka sebutkan siapa nama orang-orang yang bertanya itu. Ibnu Abi Hatim membawakan riwayat semacam itu pula yang diterimanya dari Abui Aliyah. Demikian juga satu riwayat Ibnu Jarir yang diterimanya dari ar-Rabi' bin Anas. Maka, untuk menjawab pertanyaan yang bertanya itu datanglah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau dari hal bulan sabit. Katakanlah,
Ayat 189
“Dia itu adalah waktu-waktu yang ditentukan untuk manusia dan (untuk) haji."
Dapat dilihat di sini bahwa duduk pertanyaan lain, tetapi dijawab Nabi lain pula. Mereka menanyakan mengapa bulan begitu, bukan menanyakan apa faedah yang kita ambil dari keadaan bulan yang demikian. Ahli ilmu balaghah menyatakan bahwa jawaban Nabi ini sangAllah halusnya menurut ilmu balaghah. Sebab, jawaban itu dipimpin dan dijuruskan kepada hasil yang berfaedah dan yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai utusan Allah membimbing dan membawa petunjuk agama. Sebab, tidaklah pantas atau tidak pada tempatnya (moqam-nya) jika kepada Nabi ditanyakan apa sebab bulan itu mula-mula halus kecil laksana benang, lama-lama besar jadi purnama, akhirnya kembali kecil dan halus lagi sebagai semula. Mengapa tidak tetap saja begitu.
Menjawab pertanyaan yang seperti itu bukanlah kewajiban Nabi. Nabi bukan ahli ilmu falak. Sebab itu, beliau berikanlah jawaban yang sesuai dengan kewajiban beliau sebagai Rasul sehingga ke sanalah perhatian yang bertanya dibawa. Maka, beliau katakanlah bahwasanya bulan terbit dengan keadaan yang demikian itu membawa hikmah yang penting sekali bagi kita. Bulan sabit adalah untuk menentukan waktu bagi manusia. Dengan bulan yang demikian halnya, manusia sesama manusia dapat menentukan janji. Dengan bulan demikian, manusia dapat menentukan iddah perempuan setelah bercerai. Dengan bulan demikian, manusia dapat menentukan berapa purnama perempuan telah mengandung. Dan, dengan dia, dapat ditentukan waktu puasa, sampai kepada waktu hari raya dan mengeluarkan zakat sekali setahun, sampai kepada waktu mengerjakan haji.
Kemudian, datanglah sambungan ayat, “Dan tidaklah kebajikan itu bahwa kamu masuk ke rumah kamu dari belakangnya, tetapi yang kebajikan ialah barangsiapayang takwa." Menurut penafsiran dari penafsir Abu Ubaidah bahwa sambungan ini adalah senapas dengan yang sebelumnya, yaitu kalau hendak masuk ke rumahmu janganlah dari pintu belakang. Maksudnya kalau hendak menanyakan sesuatu hal kepada seseorang hendaklah pilih soal yang pantas dapat dijawab oleh orang itu. Kalau hendak menanyakan mengapa bulan mulanya laksana sabit, lama-lama penuh dan akhirnya kecil sebagai sabit lagi, janganlah hal itu ditanyakan kepada Nabi, tetapi tanya-kanlah kepada ahli falak. Samalah halnya bertanya begitu sebagai masuk rumah dari pintu belakang. Akan tetapi, kalau ditanyakan kepada Nabi apa hikmah yang dapat diambil dari peredaran bulan demikian, akan dapatlah dijawab oleh Nabi menurut yang selayaknya dan yang sepadan dengan beliau.
Akan tetapi, menurut Bukhari dan beberapa perawi hadits yang lain, yang mereka terima dari al-Baraa, di zaman jahiliyyah kalau orang-orang itu naik haji, kalau pekerjaan haji belum selesai, mereka selalu masuk rumah dari pintu belakang. Suatu hal yang tidak perlu dan tidak berasal dari manasik ajaran Nabi Ibrahim. Maka, yang penting bukanlah menambah peraturan haji satu lagi, pulang ke rumah melalui pintu belakang. Yang penting ialah menjaga takwa hati kepada Allah dalam mengerjakan ibadah itu. Selanjutnya, Allah berfirman,
“Dan datanglah ke rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan takwalah kepada Allah, supaya kamu beroleh kejayaan."
Dari sini tentu kita tidak akan ragu lagi bahwasanya Rasulullah ﷺ sekali-kali tidaklah mencegah umatnya mempelajari apa sebab alam bersedih atas kematian putra beliau yang tercinta itu. Meskipun waktu itu beliau dalam berduka cita, langsung beliau perbaiki kesalahan persangkaan itu dan beliau berkata, “Gerhana Matahari adalah salah satu daripada ayat-ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah. Bukanlah dia terjadi karena kematian seseorang" Memang Rasulullah ﷺ diutus Tuhan kepada suatu umat yang pada mulanya ummi, tak pandai tulis-baca, tidak berilmu. Akan tetapi, agama yang beliau bawa bukanlah untuk menetapkan agar mereka terus ummi saja.