Ayat
Terjemahan Per Kata
شَهۡرُ
bulan
رَمَضَانَ
Ramadhan
ٱلَّذِيٓ
yang
أُنزِلَ
diturunkan
فِيهِ
didalamnya
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Quran
هُدٗى
petunjuk
لِّلنَّاسِ
bagi manusia
وَبَيِّنَٰتٖ
dan penjelasan-penjelasan
مِّنَ
dari
ٱلۡهُدَىٰ
petunjuk
وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
dan Furqan (pembeda)
فَمَن
maka barang siapa
شَهِدَ
menyaksikan
مِنكُمُ
diantara kamu
ٱلشَّهۡرَ
bulan
فَلۡيَصُمۡهُۖ
maka hendaklah ia berpuasa
وَمَن
dan barang siapa
كَانَ
adalah ia
مَرِيضًا
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٖ
perjalanan
فَعِدَّةٞ
maka hitunglah (berpuasalah)
مِّنۡ
dari
أَيَّامٍ
hari-hari
أُخَرَۗ
lain
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
بِكُمُ
dengan/untuk kalian
ٱلۡيُسۡرَ
kemudahan
وَلَا
dan tidak
يُرِيدُ
dan tidak Dia menghendaki
بِكُمُ
dengan/untuk kalian
ٱلۡعُسۡرَ
kesukaran
وَلِتُكۡمِلُواْ
dan agar kamu mencukupkan
ٱلۡعِدَّةَ
bilangan
وَلِتُكَبِّرُواْ
dan hendaklah kamu mengagungkan
ٱللَّهَ
Allah
عَلَىٰ
atas
مَا
apa
هَدَىٰكُمۡ
Dia memberi petunjuk padamu
وَلَعَلَّكُمۡ
supaya kamu
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
شَهۡرُ
bulan
رَمَضَانَ
Ramadhan
ٱلَّذِيٓ
yang
أُنزِلَ
diturunkan
فِيهِ
didalamnya
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Quran
هُدٗى
petunjuk
لِّلنَّاسِ
bagi manusia
وَبَيِّنَٰتٖ
dan penjelasan-penjelasan
مِّنَ
dari
ٱلۡهُدَىٰ
petunjuk
وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
dan Furqan (pembeda)
فَمَن
maka barang siapa
شَهِدَ
menyaksikan
مِنكُمُ
diantara kamu
ٱلشَّهۡرَ
bulan
فَلۡيَصُمۡهُۖ
maka hendaklah ia berpuasa
وَمَن
dan barang siapa
كَانَ
adalah ia
مَرِيضًا
sakit
أَوۡ
atau
عَلَىٰ
atas/dalam
سَفَرٖ
perjalanan
فَعِدَّةٞ
maka hitunglah (berpuasalah)
مِّنۡ
dari
أَيَّامٍ
hari-hari
أُخَرَۗ
lain
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
بِكُمُ
dengan/untuk kalian
ٱلۡيُسۡرَ
kemudahan
وَلَا
dan tidak
يُرِيدُ
dan tidak Dia menghendaki
بِكُمُ
dengan/untuk kalian
ٱلۡعُسۡرَ
kesukaran
وَلِتُكۡمِلُواْ
dan agar kamu mencukupkan
ٱلۡعِدَّةَ
bilangan
وَلِتُكَبِّرُواْ
dan hendaklah kamu mengagungkan
ٱللَّهَ
Allah
عَلَىٰ
atas
مَا
apa
هَدَىٰكُمۡ
Dia memberi petunjuk padamu
وَلَعَلَّكُمۡ
supaya kamu
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
Terjemahan
Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya untuk pertama kali diturunkan Al-Qur'an pada lailatul qadar, yaitu malam kemuliaan, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang salah. Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada, yakni hidup, di bulan itu dalam keadaan sudah akil balig, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit di antara kamu atau dalam perjalanan lalu memilih untuk tidak berpuasa, maka ia wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dengan membolehkan berbuka, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dengan tetap mewajibkan puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dengan berpuasa satu bulan penuh dan mengakhiri puasa dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur atasnya.
Tafsir
Hari-hari tersebut adalah (bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Qur'an) yakni dari Lohmahfuz ke langit dunia di malam lailatulkadar (sebagai petunjuk) menjadi 'hal', artinya yang menunjukkan dari kesesatan (bagi manusia dan penjelasan-penjelasan) artinya keterangan-keterangan yang nyata (mengenai petunjuk itu) yang menuntun pada hukum-hukum yang hak (dan) sebagai (pemisah) yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil. (Maka barang siapa yang menyaksikan) artinya hadir (di antara kamu di bulan itu, hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain) sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya nasakh dengan diumumkannya 'menyaksikan bulan' (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesempitan) sehingga oleh karenanya kamu diperbolehkan-Nya berbuka di waktu sakit dan ketika dalam perjalanan. Karena yang demikian itu merupakan `illat atau motif pula bagi perintah berpuasa, maka diathafkan padanya. (Dan hendaklah kamu cukupkan) ada yang membaca 'tukmiluu' dan ada pula 'tukammiluu' (bilangan) maksudnya bilangan puasa Ramadan (hendaklah kamu besarkan Allah) sewaktu menunaikannya (atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) maksudnya petunjuk tentang pokok-pokok agamamu (dan supaya kamu bersyukur) kepada Allah Taala atas semua itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 185
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, agar supaya kalian bersyukur.
Ayat 185
Allah ﷻ memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadits bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.”
Telah diriwayatkan pula melalui hadits Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya. Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadits di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Mardawaih. Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus.
Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan.” (Al-Qadar: 1) “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.” (Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah ﷺ secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan tidak hanya oleh seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Suddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an.” (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3); serta firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan.” (Al-Qadar. 1) Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'.”
Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah.
Kemudian diturunkan kepada Rasulullah ﷺ selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi ﷺ melainkan Allah ﷻ mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya: "Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqan: 32-33)
Adapun firman Allah ﷻ: “Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185) Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah ﷻ sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.
Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan serta halal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah, ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah ﷻ. Tetapi katakanlah bulan Ramadan." Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan Muhammad ibnu Ka'b hal yang mirip dengan atsar di atas.
Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut. Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani adalah seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi dha’if (dalam periwayatan hadits); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadits darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadits ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan haditsnya ditolak oleh Al-Hafidzh Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadits ini.
Tetapi Imam Al-Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadits-hadits yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah hadits yang mengatakan: “Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampunkan semua dosanya yang terdahulu.” Dan hadits-hadits lainnya yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185) Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa. Ayat ini menasakh (menghapus mengganti) ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadhanya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan).
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185) Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, tetapi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi sehat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan meringankan kalian sebagai rahmat dari Allah ﷻ buat kalian.
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini.
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah ﷻ: “Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau ﷺ berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: “Maka (wajiblah baginya) berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan. Karena mereka pernah berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam bulan Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka.” Maka Nabi ﷺ tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau ﷺ mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah ﷺ sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Abu Darda yang menceritakan: “Kami berangkat bersama Rasulullah ﷺ dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah ﷺ sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.”
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ, seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang menceritakan bahwa beliau ﷺ pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab: “Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.” Di dalam hadits yang lain disebutkan: “Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadits Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Jika kamu ingin puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.” Hadits ini terdapat di dalam kitab Shahihain.
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadits Jabir yang mengatakan: Bahwa Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau ﷺ bersabda, "Bukanlah merupakan suatu kebajikan melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadits diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan: “Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.”
Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an. Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas.
Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka (wajiblah baginya) berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah 185) Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi ﷺ: “Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah.”
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi ﷺ, maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu beliau shalat. Setelah beliau selesai dari shalat-nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini melalui hadits Muslim ibnu Abu Tamim, dari ‘Ashim ibnu Hilal dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap ramahlah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.”
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahih masing-masing. Di dalam kitab Shahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah ﷺ mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya: “Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahlah dan janganlah mempersulit; dan saling bantulah dan jangan sampai berselisih pendapat.”
Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada kebenaran dan penuh dengan toleransi.”
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang lelaki yang sedang shalat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini shalat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak mengerjakan shalat'." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan."
Firman Allah Swt: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya.” (Al-Baqarah: 185) Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadanya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan kalian.
Firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.” (Al-Baqarah: 185) Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.
Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.” (Al-Baqarah: 200)
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (Al-Jumu'ah: 10)
Dan firman Allah ﷻ: “Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat.” (Qaf: 39-40)
Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan shalat lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya shalat Nabi ﷺ melainkan melalui takbirnya." Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian.” (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 185)
Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.
Firman Allah ﷻ:”Agar supaya kalian bersyukur.” (Al-Baqarah: 185) Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), mudah-mudahan kalian menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut."
Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya untuk pertama kali diturunkan Al-Qur'an pada lailatul qadar, yaitu malam kemuliaan, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang salah. Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada, yakni hidup, di bulan itu dalam keadaan sudah akil balig, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang sakit di antara kamu atau dalam perjalanan lalu memilih untuk tidak berpuasa, maka ia wajib menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dengan membolehkan berbuka, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dengan tetap mewajibkan puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dengan berpuasa satu bulan penuh dan mengakhiri puasa dengan bertakbir mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur atasnya.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu, Nabi Muhammad, tentang Aku karena rasa ingin tahu tentang segala sesuatu di sekitar kehidupannya, termasuk rasa ingin tahu tentang Tuhan, maka jawablah bahwa sesungguhnya Aku sangat dekat dengan manusia. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa dengan ikhlas apabila dia berdoa kepadaKu dengan tidak menyekutukan-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an dan diperinci oleh Rasulullah, dan beriman kepada-Ku dengan kukuh agar mereka memperoleh kebenaran atau bimbingan dari Allah.
Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Al-Qur'an diwahyukan. Berkaitan dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Al-Qur'an yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al-Qadar/97: 1, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pada malam yang penuh dengan kemuliaan atau malam qadar. Surah ad-Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.
Dari beberapa informasi Al-Qur'an ini, para ulama menetapkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun. Selanjutnya peristiwa penting ini ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap tahun di seluruh dunia.
Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat pertama diturunkannya Al-Qur'an, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17 Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi. Sedangkan yang kedua, sesuai dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadan.
Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah ﷺ telah bersabda:
Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu, (dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah" atau hitunglah bulan Sya'ban tiga puluh hari). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya'ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: Siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya'ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya. Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari. Begitu juga siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat, yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.
Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:
"Putusan pemerintah itu menghilangkan perbedaan pendapat."
Orang yang tidak dapat melihat bulan pada bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Mekah dimana daerah tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.
Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain. Pada penutup ayat ini Allah menekankan agar disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PUASA
Puasa bulan Ramadhan telah termasuk salah satu dari lima rukun (tiang) Islam. Dalam bahasa Arab, puasa disebut shiyam atau shaum, yang pokok Artinya, ialah menahan. Di dalam peraturan syara' dijelaskan bahwasanya shiyam itu menahan makan dan minum serta bersetubuh suami istri dari waktu fajar sampai waktu Maghrib karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka, setelah nenek moyang kita memeluk agama Islam kita pakailah kata “puasa" untuk menjadi arti dari shiyam itu. Ini karena memang sejak agama yang dipeluk terlebih dahulu, peraturan puasa itu telah ada juga. Maka, berfirmanlah Allah,
Ayat 183
“Wahai, orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu."
Abdullah bin Mas'ud, pernah mengatakan bahwa apabila sesuatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai ke akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini akan mengandung suatu perihal yang penting ataupun suatu larangan yang berat. Sebab, Allah Yang Mahatahu itu telah memperhitungkan terlebih dahulu bahwa yang bersedia menggalangkan bahu buat memikul perintah Ilahi itu hanya orang yang beriman. Peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru diperbuat setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus saja, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu. Meskipun kitab Taurat tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada yang berkecil-kecil, tetapi di dalamnya ada pujian dan anjuran kepada orang supaya berpuasa.
Nabi Musa sendiri pernah puasa empat puluh hari. Sampai kepada zaman kita ini orang Yahudi masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu. Dalam kitab Injil pun tidaklah diberikan tuntunan puasa sampai kepada yang berkecil-kecil. Nabi Isa al-Masih menganjurkan berpuasa, tetapi jangan dilagakkan. Orang Hindu pun mempunyai puasa, demikian pula penganut agama Budha. Biksu (pendeta Budha) berpuasa sehari semalam, dimulai tengah hari, tetapi boleh minum. Dalam agama Mesir purbakala pun ada juga peraturan puasa, terutama atas orang-orang perempuan. Bangsa Romawi sebelum Masehi pun berpuasa. Di dalam surah Maryam kita lihat bahwasanya Nabi Zakaria dan Maryam, ibu Nabi Isa, pun mengerjakan puasa.
Dengan demikian, dapatlah kita kesimpulan bahwasanya puasa adalah syari'at yang penting di dalam tiap-tiap agama meskipun ada perubahan-perubahan hari ataupun bulan. Setelah Rasulullah ﷺ diutus ditetapkanlah puasa buat umat Islam pada bulan Ramadhan dan dianjurkan pula menambah (tathawwu') dengan hari-hari yang lain.
Maka, setelah diterangkan bahwasanya kewajiban berpuasa yang dipikulkan kepada orang-orang yang beriman telah juga dipikulkan kepada umat-umat yang sebelum mereka maka di ujung ayat diterangkanlah hikmah perintah puasa itu, yaitu:
“Supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa."
Dengan puasa, orang beriman dilarang makan dan minum serta dilarang bersetubuh, ialah karena hendak mengambil faedah yang besar dari larangan itu.
Selanjutnya firman Allah,
Ayat 184
“(Yaitu) beberapa hari yang dihitung."
Yaitu, selama hari yang terkandung dalam bulan Ramadhan yang kadang-kadang 29 dan kadang-kadang 30 hari. Dengan demikian, ditunjukkanlah Kasih dan Sayang Allah bahwasanya kewajiban itu tidak lama. Akan te-tapi, banyak di antara orang yang beriman menyambut pula Kasih Sayang Allah itu dengan hati terharu pula. Sebab itu, orang-orang yang taat berpuasa kerap kali merasa sedih hatinya ketika hari-hari bulan puasa telah hampir habis, sehingga untuk memuaskan keterharuan itu dianjurkan puasa tathawwu enam hari pada bulan Syawwal. Maka, pangkal ayat yang sedikit ini mengandung rahasia kasih sayang yang berbalasan di antara makhluk dengan Khaliqnya.
“Maka, barangsiapa di antara kamu yang keadaannya di dalam sakit atau dalam perjalanan maka perhitungan dari hari yang lain!' Meskipun puasa telah menjadi kewajiban yang tidak boleh dilalaikan sedikit jua pun, kalau badan merasa sakit atau dalam perjalanan, bolehlah diperhitungkan di hari yang lain.
Berapa hari yang ditinggalkan hitungkan baik-baik. Di mana telah sembuh atau telah kembali selamat dari perjalanan, pada waktu itu sajalah ganti."Dan atas orang-orang yang berat mereka atasnya, ialah fidyah memberi makan orang miskin" Orang yang berat mereka atasnya, ialah orang beriman yang tetap mempunyai keinginan mengerjakan puasa, tetapi kalau dikerjakannya juga sangAllah memberati dirinya, baik karena dia sudah terlalu tua maupun sakit yang berlarut-larut, sehingga waktu buat membayarnya di hari yang lain tidak ada karena di hari yang lain dia masih sakit juga. Maka, untuk hari-hari puasa yang terpaksa ditinggalkannya itu bolehlah digantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin. Makanan yang diberikan kepada fakir miskin itu pun tidak banyak, cukup untuk kenyang makan sehari. Di dalam hadits diterangkan bahwa fidyah itu hanya satu mudd, kira-kira satu liter beras. Memang orang makan untuk satu hari cukup satu liter beras.
Menurut tafsiran dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, orang yang keberatan atasnya itu ialah orang yang telah amat tua, yang tidak kuat lagi mengerjakan puasa. Maka, bolehlah dia berbuka saja dan memberi makan seorang miskin untuk tiap satu hari yang ditinggalkan itu.
Menurut hadits yang dirawikan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Anas bin Malik, di tahun dia akan meninggal dunia sudah lemah mengerjakan puasa maka dibuAllah makanan roti satu periuk besar lalu diberinya makan tiga puluh orang miskin.
Dan, menurut riwayat lagi dari Abdullah bin Humaid dan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, bahwa beliau, Ibnu Abbas, mengatakan kepada ibu anak-anaknya yang sedang hamil atau sedang menyusukan anak yang tidak sanggup pada waktu itu mengerjakan puasa, supaya berbuka saja lalu memberi makan kepada orang miskin dengan tidak usah meng-qadha.
Dan, riwayat lagi dari Abdullah bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim dan ad-Daruquthni yang diterima dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya salah seorang anak perempuan beliau mengutus seorang pesuruhnya untuk menanyakan kepada beliau dari hal puasa, padahal dia sedang mengandung. Maka, Abdullah bin Umar berkata, “Bukalah puasa dan beri makan seorang miskin buat tiap hari yang ditinggalkan itu."
Itulah riwayat-riwayat amalan sahabat-sahabat Nabi yang dapat dijadikan pedoman dan demikian juga pendirian beberapa orang tabi'in. Dan, dari keterangan riwayat cara yang dilakukan oleh Anas bin Malik tadi, kita dapat memahami bahwa boleh pula orang miskin itu diberi makan sekaligus tiga puluh orang.
“Akan tetapi, siapa yang menderma lebih, itu adalah baik untuknya." Meskipun yang diwajibkan hanya makanan sehari seorang miskin, kalau engkau orang mampu, apalah salahnya engkau berikan lebih menurut ke-sanggupanmu, Di akhir ayat berfirmanlah Allah,
“Dan bahwa berpuasa itu adalah lebih baik buat kamu jika kamu mengetahui."
Yang dimaksud dengan puasa lebih baik bukanlah buat orang yang telah diberi keizinan (rukhshah) karena sakit atau dalam perjalanan tadi. Dan, sekali-kali bukan pula untuk orang yang berat baginya memikul karena tua dan sakitlarutitu.Ujungayatini ialah mengingatkan kembali faedah puasa untuk menguatkan takwa tadi. Kalau badan tidak sakit dan tidak pula berat memikul lantaran tua atau sakit larut, sangAllah besarnya faedah puasa bagi jiwa. Janganlah hanya mengingatkan lapar dan hausnya, tetapi Ingatlah keteguhan jiwa yang akan didapat lantaran dia. Niscaya engkau akan menjadi seorang yang berpuasa dengan segenap kesungguhan dan taat-setia jika engkau ketahui betapa besar faedah ruhani yang akan engkau dapat dengan puasa. Apalah lagi kalau ayat yang sebelumnya tadi, yang berbunyi “tetapi siapa yang menderma lebih maka itu adalah baik untuknya", karena di sini kita artikan man tathawwa'a khairan dengan ‘siapa yang menderma lebih', padahal kalimat ini pun mempunyai arti yang lain, yaitu ‘tetapi siapa yang ber-tathawwu' lebih'. Tathawwu' bukan saja derma lebih, melainkan juga shalat lebih. Di samping shalat lima waktu, ada lagi shalat tathawwu', yaitu shalat-shalat sunnah. Dan, di samping Ramadhan ada lagi puasa-puasa tathawwu', seumpama puasa hari putih, puasa Senin dan Kamis, puasa Asyura atau Tasu'a, puasa enam hari Syawwal. Maka, jika kamu tambah pula dengan puasa-puasa yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui akan faedahnya.
Patut juga diterangkan bahwa diberi rukhshah kepada orang yang sakit berpuasa di hari yang lain saja. Tentang sakit ini, yang memutuskan ialah di antara orang itu sendiri dan Allah. Beratkah sakitnya atau hanya sakit kepala, terserah kepadanya. Sebab, pembukaan ayat ialah dengan menyeru orang beriman. Sebab, orang yang tidak beriman, walaupun badannya sehat segar bugar, tidak juga dia memedulikan puasa sebab yang dipertuhannya ialah hawa nafsunya.
Demikian juga orang dalam perjalanan, tidaklah ada batas perjalanan itu yang tetap, Asal sudah bernama musafir, bolehlah menggantinya di hari yang lain.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan sebab wahyu ini adalah dari Allah untuk hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman, “Maka, perhitungan dari hari yang lain." Tidak ditentukan bila hari akan mengganti puasa itu, apakah dalam batas tahun itu juga, dari mulai 2 Syawwal sampai 29 atau 30 Sya'ban. Terserahlah kepada kamu.
Seorang yang tinggi nilai kehormatan dirinya, tidaklah dia akan lupa kalau dia berutang. Sungguh, tidak ada orang yang lupa akan utangnya. Walaupun sudah bertahun-tahun utang itu belum juga terbayar, tetapi bila bertemu tempat dia berutang, dia teringat kembali. Apatah lagi seorang Mukmin dengan Tuhannya. Seakan-akan si Mukmin berkata, “Ya, Allah. Hamba-Mu ini tidak kuat puasa sekarang sebab hamba sakit!" Langsung Tuhan menjawab, “Obatilah sakitmu dahulu. Perkara puasa, kita bicarakan di hari lain saja. Hitung saja berapa yang ketinggalan." Seakan-akan demikianlah jawaban Allah kepada orang yang sakit itu. Ingatlah bandingan seorang budiman melawat orang sakit dan dia berpiutang kepada si sakit. Maka, berkatalah si sakit itu, “Saya berutang kepada saudara, belum lagi terbayar. Sekarang, saya sedang sakit." Dengan kontan pula si budiman itu menjawab, “BerobAllah dahulu sampai sembuh. Utang itu jangan kita bicarakan sekarang. Saya sekarang adalah melawat kamu sakit, bukan menagih piutang. Moga-moga engkau lekas sembuh."
Memang ada pendapat bahwa utang puasa Ramadhan tahun ini, kalau tidak dibayar tahun ini juga maka selepas Ramadhan tahun depan utang puasa itu wajib dibayar, tetapi ditambah dengan fidyah. Terlampau tahun bertambah fidyah, bertambah setahun lagi, lipat fidyahnya. Mungkin timbul ijtihad yang demikian karena mereka melihat banyak “orang yang tidak beriman" bermain dengan puasa.
Tentang orang yang berat memikul puasa tadi, yang telah dikhaskan seumpama orang tua dan sakit larut. Maka, menurut riwayat Ibnu Jarir dan ad-Daruquthni tadi bahwasanya Ibnu Abbas r.a. pernah berkata kepada ibu anak-anak yang sedang hamil atau menyusukan bahwa dalam keadaan demikian dia telah termasuk orang yang berat memikul puasa, sebab itu dia pun biarlah memberi makan fakir miskin (fidyah) saja, tidak usah qadha.
Yang mengqadha hanyalah orang yang haid. Orang nifas pun kalau anaknya tidak disusukannya sendiri atau mati sesudah lahir.
Di zaman modern sekarang ini, Syekh Muhammad Abduh pernah menanyakan pendapat bahwasanya buruh-buruh yang bekerja keras siang dan malam pada pertambangan dengan secara aplusan pun boleh membayar fidyah, tidak qadha. Sebab, ada di antara mereka yang masuk kerja tengah malam, baru keluar besoknya tengah hari. Dan, ada yang sehari, malam baru pulang. Ada yang semalam, pagi baru pulang. Mungkin termasuk juga di sini buruh-buruh kapal, kelasi-kelasi dan lain-lain seumpama itu. Orang kapal itu bukan saja musafir lagi, bahkan di kapal itulah mata hidup mereka sejak muda lalu tua sampai pensiun. Kalau sudah pensiun baru disuruh mengqadha, alangkah banyaknya mesti diqadha. Kelak saja kalau ada masa mereka cuti bertepatan dengan bulan Ramadhan, mereka puasakan sebulan penuh di rumah.
Keterangan Ustadz Imam Syekh Muhammad Abduh tadi amat penting kita perhatikan. Sebab, di dalam kitab-kitab fiqih yang lama hal ini tidak akan terdapat. Sebab, pada masa dahulu itu belum ada kehidupan industrialisasi sebagaimana sekarang, belum ada tukang arang di dalam kapal, yang selalu mesti memanaskan uap dengan memasukkan batu bara yang baru, dan belum ada buruh pekerja tambang. Padahal, agama kita dipakai terus, betapa pun hebatnya perubahan zaman. Dan, bahwa berijtihad itu tidak akan putus-putus selama-lamanya, sebab ini pun memenuhi pendirian ulama-ulama modern yang mengatakan bahwa berijtihad itu tidak akan putus-putus selama-lamanya. Sebab, soal-soal baru akan tetap timbul yang wajib diselesaikan oleh ulama-ulama yang disebut ikutan umat.
Kemudian, Allah menjelaskan mengapa bulan Ramadhan yang ditetapkan menjadi bulan buat mengerjakan puasa itu,
Ayat 185
“(Yaitu) sebulan Ramadhan."
Pada bulan itulah puasa itu diwajibkan."Yang diturunkan padanya Al-Qur'an" Yaitu mula turunnya Al-Qur'an yang mengandung 114 surah, terdiri atas 6.236 ayat itu ialah dalam bulan Ramadhan. Meskipun ada per-tikaian ahli-ahli hadits atau riwayat tentang tanggal dan harinya, tetapi tidak ada selisih bahwa permulaan turunnya ialah dalam bulan Ramadhan. Penting sekali Al-Qur'an yang mula turun di bulan Ramadhan itu bagi manusia, khususnya bagi orang yang beriman. Sebab, dia adalah “menjadi petunjuk bagi manusia" menuju Shirathal Mustaqim, menempuh sabilillah atau jalan Allah. Al-Qur'an itu yang membebaskan mereka dari meraba-raba dalam kegelapan."Dan penjelasan dari petunjuk!' Karena, Al-Qur'an adalah petunjuk yang dahulu daripadanya. Artinya, dia pun memberi penjelasan lagi dari isi ajaran Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Dan, juga dalam Al-Qur'an sendiri ada petunjuk yang umum sifatnya (ijmal), lalu datang uraiannya (tafshil). Apatah lagi akhlak Nabi ﷺ itu sendiri adalah menurut contoh yang dititahkan Al-Qur'an maka sikap hidup beliau pun membawa bayyinat, penjelasan dan keterangan daripada Al-Qur'an, “Dan pembeda", yaitu al-Furqan, penyisihkan dan penyaring dan penapis di antara yang hak dan yang batil, yang baik dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram. Lantaran itu, sesuai sekalilah apabila di bulan itu ditetapkan perintah ibadah puasa untuk orang yang beriman sebab hidup mereka adalah berpandukan Al-Qur'an."Maka, barangsiapayang menyaksikan bulan di antara kamu, hendaklah dia puasa" Artinya, orang yang hadir dan telah tahu bahwa bulan Ramadhan itu telah masuk hendaklah dia berpuasa. Di ayat ini ditegaskan bulan dengan kata syahr, yaitu hitungan masuknya Ramadhan, bukan hilal ataupun qamar. Sebab, sayangnya dalam bahasa kita sendiri (Indonesia Melayu), bulan yang kelihatan itu kita namai juga bulan, padahal di bahasa Arab dia disebut hilal (bulan sabit) atau qamar. Sedang hitungan sebulan kita namai bulan juga, padahal di bahasa Arab hitungan sebulan itu ialah syahr. Di ayat ini ialah syahr. Maka, barangsiapa yang telah menyaksikan atau telah mengetahui bahwa bulan Ramadhan telah ada dan dia ada waktu itu di tempatnya, mulailah puasa.
Dengan bunyi kata demikian, bertambah yakinlah kita bahwa Al-Qur'an memang wahyu, bukan buatan Muhammad. Dengan kata demikian, sama tercakuplah di antara orang yang berpuasa karena memercayai ru'yah hilal, yaitu pergi melihat bulan, ataupun menghitung masuknya bulan Ramadhan dengan hisab. Sehingga tidaklah mungkin semua orang pergi lebih dahulu melihat hilal, baru dia puasa. Dan, tidak semua orang mesti pandai berhisab lebih dahulu baru dia puasa. Akan tetapi, asal dia sudah menyaksikan atau mengerti bulan Ramadhan telah masuk, puasalah dia. Dan, yang lebih penting lagi dengan menyebut syahr itu, tidak ada lagi musykil tentang orang Islam yang tinggal di Kutub Utara atau Kutub Selatan, yang kadang-kadang enam bulan siang terus atau enam bulan malam terus. Sebab, meskipun enam bulan siang terus, enam bulan malam terus, tetapi di sana orang masih tetap memperhitungkan hari ini sebulan-sebulan. Di sana walaupun malam enam bulan lamanya, tetapi Januari dan Februari, atau Ahad, Senin, dan Selasa masih tetap ada. Di sana orang masih memakai kalender atau almanak, sebab itu orang Islam yang berdiam di sana, asal beriman, masih dapat menyaksikan bahwa bulan Ramadhan telah masuk. Dia wajib puasa. Bagaimana puasanya? Berijtihadlah dengan baik sebab Islam bukan agama beku!
Seorang teman dari Kedutaan Indonesia yang pernah tinggal di daerah Scandinavia menceritakan bahwa di waktu shalat lima waktu, dia tetap shalat. Di bulan Ramadhan dia tetap puasa meskipun matahari tidak pernah kelihatan sekian bulan lamanya."Kenapa bisa?" tanya kita. Dia menjawab, “Arloji kami berjalan seperti biasa. Saya shalat melihat bilangan jam dan saya puasa melihat edaran hari di almanak!" Sebab dia beriman.
Kemudian, diulang lagi kata tali agar lebih jelas, “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka hitungan di hah yang lain" Sekarang dijelaskan sebabnya, ialah, “Allah menghendaki keringanan untuk kamu, dan bukanlah Allah menghendaki kesukaran untuk kamu." Jangan kamu sampai terhalang mengerjakan ibadah kepada Allah karena perintah itu terlalu memberati dan merepotkan. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya tidak akan sampai menyuruh puasa orang yang sedang sakit. Dan, kasih sayang-Nya pun tidak akan sampai memberati berpuasa orang yang sedang repot dalam musafir. Makan berbuka atau makan sahur yang teratur tidaklah terjamin lancarnya dalam musafir."Dan hendaklah kamu sempurnakan hitunganyaitu hitungan sebulan itu, baik dia 29 hari ataupun 30 hari. Dan, jika ketinggalan beberapa hari karena sakit atau karena musafir itu, sempurnakanlah hitungan hari-hari yang ketinggalan itu pada hari yang Lain. Apatah lagi orang yang diberi rukhshah mengganti dengan fidyah; sudah demikian keringanan yang diberikan, janganlah hitungan hari itu diumpangkan. Hitung baik-baik karena mestinya engkau memberikan makanan kepada fakir miskin itu.
“Dan hendaklah kamu membesarkan nama Allah atas apa yang telah diberikan-Nya petunjuk akan kamu, dan supaya kamu bersyukur."
Maka, untuk mengisi perintah Allah di ujung ayat ini, Nabi kita ﷺ memberikan contoh, yaitu agar pada bulan Ramadhan memperbanyak ibadah, shalat tarawih (qiyamul lail), membaca Al-Qur'an, dan memperhatikan huruf-hurufnya (tadarus), dan memperbanyak pula berbuat baik, bersedekah, memberi makan menjamu walaupun hanya dengan seteguk air, sebutir kurma, sepiring nasi. Di penutupannya, dibagikan zakat fitrah dan shalat Idul Fitri dengan membacakan takbir (Allahu Akbar) dan tahmid (wa lillahil hamd), sebagai bentuk rasa syukur.