Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلصِّيَامُ
berpuasa
كَمَا
sebagaimana
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَى
atas/terhadap
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَتَّقُونَ
kamu bertakwa
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلصِّيَامُ
berpuasa
كَمَا
sebagaimana
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَى
atas/terhadap
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مِن
dari
قَبۡلِكُمۡ
sebelum kalian
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَتَّقُونَ
kamu bertakwa
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) di antara umat manusia (agar kamu bertakwa) maksudnya menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 183-184
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika ada di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
Ayat 183
Melalui ayat ini Allah ﷻ ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah ﷻ. Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah. Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka.
Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat. Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183) Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan.
Seperti yang disebutkan di dalam hadits Shahihain, yaitu: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.”
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan.
Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan kemudian. Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, ‘Atha’, Qatadah, dan Adh-Dhahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya dengan puasa bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” (Al-Baqarah: 183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Suddi hal yang serupa.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadits Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.” Demikianlah nukilan dari sebuah hadits panjang, yang sengaja kami singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka shalat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang serupa di besok malamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan ‘Atha’ Al-Khurrasani.
‘Atha’ Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab. Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Suddi serta ‘Atha’ Al-Khurrasani hal yang serupa.
Ayat 184
Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Maka jika ada di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184) Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqada puasa yang ditinggalkannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya.
Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.
Karena itulah maka Allah ﷻ berfirman: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 184)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal yang menceritakan bahwa ibadah shalat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula.
Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah shalat ialah ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, maka beliau ﷺ shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah ﷻ menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah ﷻ memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama.
Mu'az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan shalat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih datang kepada Rasulullah ﷺ. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar), asyhadu alla ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).’ Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya shalat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ajarkanlah itu kepada Bilal”, lalu Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini.
Mu'az ibnu Jabar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua.
Mu'az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat shalat; mereka datang ketika Nabi ﷺ telah menyelesaikan sebagian dari shalatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang shalat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat shalat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan shalat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi ﷺ. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi ﷺ melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi ﷺ telah mendahuluinya dengan sebagian shalatnya. Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi ﷺ. Setelah Nabi ﷺ menyelesaikan shalatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari shalatnya, barulah ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari shalat.
Keadaan-keadaan atau tahapan-tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” sampai dengan firman-Nya “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah: 183-184)
Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya.
Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an” sampai dengan firman-Nya “Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh puasa.
Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan shalat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya.
Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah ﷺ melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau ﷺ bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa."
Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian" sampai dengan firman-Nya "kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari." (Al-Baqarah: 187). Hadits ini diketengahkan oleh Imam Abu Dawud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Al-Mas'udi dengan lafal yang sama.
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan: "Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura."
Imam Al-Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafal yang serupa.
Firman Allah ﷻ: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184) Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya. Telah diriwayatkan pula melalui hadits Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.
As-Suddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184) Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: "Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan." (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184) Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: "Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al-Baqarah: 185)
Imam Al-Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari ‘Atha’; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Hal yang sama diriwayatkan pula tidak hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Siwar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya jadi sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, "‘Atha’ masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'."
Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: "Karena itu, barang siapa di antara kalian berada (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Al-Baqarah: 185) Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadhanya.
Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini.
Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah ﷻ tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii.
Kedua, pendapat yang shahih dan dijadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal ladzina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Bukhari, karena Imam Al-Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.
Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun."
Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Al-Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafal yang sama. Abdu meriwayatkan pula melalui hadits Sittah, bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain."
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa guna mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para nabi terdahulu agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Kewajiban berpuasa itu beberapa hari tertentu pada bulan Ramadan. Maka barang siapa di antara kamu sakit sehingga tidak sanggup berpuasa, atau dalam perjalanan lalu tidak berpuasa, maka ia wajib mengganti puasa sebanyak hari yang ia tidak berpuasa itu pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya karena sakit berat yang tidak ada harapan sembuh atau karena sangat tua, wajib membayar fidyah atau pengganti yaitu memberi makan kepada seorang miskin untuk satu hari yang tidak berpuasa itu. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan lalu memberi makan kepada lebih dari seorang miskin untuk satu hari tidak berpuasa, maka itu lebih baik baginya. Dan kamu sekalian tetap berpuasa, maka pilihan untuk tetap berpuasa itu lebih baik bagi kamu dibandingkan dengan memberikan fidyah, jika kamu mengetahui keutamaan berpuasa menurut Allah.
Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.
Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya. Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman.
Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.
Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad ﷺ mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PUASA
Puasa bulan Ramadhan telah termasuk salah satu dari lima rukun (tiang) Islam. Dalam bahasa Arab, puasa disebut shiyam atau shaum, yang pokok Artinya, ialah menahan. Di dalam peraturan syara' dijelaskan bahwasanya shiyam itu menahan makan dan minum serta bersetubuh suami istri dari waktu fajar sampai waktu Maghrib karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka, setelah nenek moyang kita memeluk agama Islam kita pakailah kata “puasa" untuk menjadi arti dari shiyam itu. Ini karena memang sejak agama yang dipeluk terlebih dahulu, peraturan puasa itu telah ada juga. Maka, berfirmanlah Allah,
Ayat 183
“Wahai, orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu."
Abdullah bin Mas'ud, pernah mengatakan bahwa apabila sesuatu ayat telah dimulai dengan panggilan kepada orang yang percaya, sebelum sampai ke akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini akan mengandung suatu perihal yang penting ataupun suatu larangan yang berat. Sebab, Allah Yang Mahatahu itu telah memperhitungkan terlebih dahulu bahwa yang bersedia menggalangkan bahu buat memikul perintah Ilahi itu hanya orang yang beriman. Peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru diperbuat setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus saja, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu. Meskipun kitab Taurat tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada yang berkecil-kecil, tetapi di dalamnya ada pujian dan anjuran kepada orang supaya berpuasa.
Nabi Musa sendiri pernah puasa empat puluh hari. Sampai kepada zaman kita ini orang Yahudi masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu. Dalam kitab Injil pun tidaklah diberikan tuntunan puasa sampai kepada yang berkecil-kecil. Nabi Isa al-Masih menganjurkan berpuasa, tetapi jangan dilagakkan. Orang Hindu pun mempunyai puasa, demikian pula penganut agama Budha. Biksu (pendeta Budha) berpuasa sehari semalam, dimulai tengah hari, tetapi boleh minum. Dalam agama Mesir purbakala pun ada juga peraturan puasa, terutama atas orang-orang perempuan. Bangsa Romawi sebelum Masehi pun berpuasa. Di dalam surah Maryam kita lihat bahwasanya Nabi Zakaria dan Maryam, ibu Nabi Isa, pun mengerjakan puasa.
Dengan demikian, dapatlah kita kesimpulan bahwasanya puasa adalah syari'at yang penting di dalam tiap-tiap agama meskipun ada perubahan-perubahan hari ataupun bulan. Setelah Rasulullah ﷺ diutus ditetapkanlah puasa buat umat Islam pada bulan Ramadhan dan dianjurkan pula menambah (tathawwu') dengan hari-hari yang lain.
Maka, setelah diterangkan bahwasanya kewajiban berpuasa yang dipikulkan kepada orang-orang yang beriman telah juga dipikulkan kepada umat-umat yang sebelum mereka maka di ujung ayat diterangkanlah hikmah perintah puasa itu, yaitu:
“Supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa."
Dengan puasa, orang beriman dilarang makan dan minum serta dilarang bersetubuh, ialah karena hendak mengambil faedah yang besar dari larangan itu.
Selanjutnya firman Allah,
Ayat 184
“(Yaitu) beberapa hari yang dihitung."
Yaitu, selama hari yang terkandung dalam bulan Ramadhan yang kadang-kadang 29 dan kadang-kadang 30 hari. Dengan demikian, ditunjukkanlah Kasih dan Sayang Allah bahwasanya kewajiban itu tidak lama. Akan te-tapi, banyak di antara orang yang beriman menyambut pula Kasih Sayang Allah itu dengan hati terharu pula. Sebab itu, orang-orang yang taat berpuasa kerap kali merasa sedih hatinya ketika hari-hari bulan puasa telah hampir habis, sehingga untuk memuaskan keterharuan itu dianjurkan puasa tathawwu enam hari pada bulan Syawwal. Maka, pangkal ayat yang sedikit ini mengandung rahasia kasih sayang yang berbalasan di antara makhluk dengan Khaliqnya.
“Maka, barangsiapa di antara kamu yang keadaannya di dalam sakit atau dalam perjalanan maka perhitungan dari hari yang lain!' Meskipun puasa telah menjadi kewajiban yang tidak boleh dilalaikan sedikit jua pun, kalau badan merasa sakit atau dalam perjalanan, bolehlah diperhitungkan di hari yang lain.
Berapa hari yang ditinggalkan hitungkan baik-baik. Di mana telah sembuh atau telah kembali selamat dari perjalanan, pada waktu itu sajalah ganti."Dan atas orang-orang yang berat mereka atasnya, ialah fidyah memberi makan orang miskin" Orang yang berat mereka atasnya, ialah orang beriman yang tetap mempunyai keinginan mengerjakan puasa, tetapi kalau dikerjakannya juga sangAllah memberati dirinya, baik karena dia sudah terlalu tua maupun sakit yang berlarut-larut, sehingga waktu buat membayarnya di hari yang lain tidak ada karena di hari yang lain dia masih sakit juga. Maka, untuk hari-hari puasa yang terpaksa ditinggalkannya itu bolehlah digantinya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin. Makanan yang diberikan kepada fakir miskin itu pun tidak banyak, cukup untuk kenyang makan sehari. Di dalam hadits diterangkan bahwa fidyah itu hanya satu mudd, kira-kira satu liter beras. Memang orang makan untuk satu hari cukup satu liter beras.
Menurut tafsiran dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, orang yang keberatan atasnya itu ialah orang yang telah amat tua, yang tidak kuat lagi mengerjakan puasa. Maka, bolehlah dia berbuka saja dan memberi makan seorang miskin untuk tiap satu hari yang ditinggalkan itu.
Menurut hadits yang dirawikan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Anas bin Malik, di tahun dia akan meninggal dunia sudah lemah mengerjakan puasa maka dibuAllah makanan roti satu periuk besar lalu diberinya makan tiga puluh orang miskin.
Dan, menurut riwayat lagi dari Abdullah bin Humaid dan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, bahwa beliau, Ibnu Abbas, mengatakan kepada ibu anak-anaknya yang sedang hamil atau sedang menyusukan anak yang tidak sanggup pada waktu itu mengerjakan puasa, supaya berbuka saja lalu memberi makan kepada orang miskin dengan tidak usah meng-qadha.
Dan, riwayat lagi dari Abdullah bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim dan ad-Daruquthni yang diterima dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya salah seorang anak perempuan beliau mengutus seorang pesuruhnya untuk menanyakan kepada beliau dari hal puasa, padahal dia sedang mengandung. Maka, Abdullah bin Umar berkata, “Bukalah puasa dan beri makan seorang miskin buat tiap hari yang ditinggalkan itu."
Itulah riwayat-riwayat amalan sahabat-sahabat Nabi yang dapat dijadikan pedoman dan demikian juga pendirian beberapa orang tabi'in. Dan, dari keterangan riwayat cara yang dilakukan oleh Anas bin Malik tadi, kita dapat memahami bahwa boleh pula orang miskin itu diberi makan sekaligus tiga puluh orang.
“Akan tetapi, siapa yang menderma lebih, itu adalah baik untuknya." Meskipun yang diwajibkan hanya makanan sehari seorang miskin, kalau engkau orang mampu, apalah salahnya engkau berikan lebih menurut ke-sanggupanmu, Di akhir ayat berfirmanlah Allah,
“Dan bahwa berpuasa itu adalah lebih baik buat kamu jika kamu mengetahui."
Yang dimaksud dengan puasa lebih baik bukanlah buat orang yang telah diberi keizinan (rukhshah) karena sakit atau dalam perjalanan tadi. Dan, sekali-kali bukan pula untuk orang yang berat baginya memikul karena tua dan sakitlarutitu.Ujungayatini ialah mengingatkan kembali faedah puasa untuk menguatkan takwa tadi. Kalau badan tidak sakit dan tidak pula berat memikul lantaran tua atau sakit larut, sangAllah besarnya faedah puasa bagi jiwa. Janganlah hanya mengingatkan lapar dan hausnya, tetapi Ingatlah keteguhan jiwa yang akan didapat lantaran dia. Niscaya engkau akan menjadi seorang yang berpuasa dengan segenap kesungguhan dan taat-setia jika engkau ketahui betapa besar faedah ruhani yang akan engkau dapat dengan puasa. Apalah lagi kalau ayat yang sebelumnya tadi, yang berbunyi “tetapi siapa yang menderma lebih maka itu adalah baik untuknya", karena di sini kita artikan man tathawwa'a khairan dengan ‘siapa yang menderma lebih', padahal kalimat ini pun mempunyai arti yang lain, yaitu ‘tetapi siapa yang ber-tathawwu' lebih'. Tathawwu' bukan saja derma lebih, melainkan juga shalat lebih. Di samping shalat lima waktu, ada lagi shalat tathawwu', yaitu shalat-shalat sunnah. Dan, di samping Ramadhan ada lagi puasa-puasa tathawwu', seumpama puasa hari putih, puasa Senin dan Kamis, puasa Asyura atau Tasu'a, puasa enam hari Syawwal. Maka, jika kamu tambah pula dengan puasa-puasa yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui akan faedahnya.
Patut juga diterangkan bahwa diberi rukhshah kepada orang yang sakit berpuasa di hari yang lain saja. Tentang sakit ini, yang memutuskan ialah di antara orang itu sendiri dan Allah. Beratkah sakitnya atau hanya sakit kepala, terserah kepadanya. Sebab, pembukaan ayat ialah dengan menyeru orang beriman. Sebab, orang yang tidak beriman, walaupun badannya sehat segar bugar, tidak juga dia memedulikan puasa sebab yang dipertuhannya ialah hawa nafsunya.
Demikian juga orang dalam perjalanan, tidaklah ada batas perjalanan itu yang tetap, Asal sudah bernama musafir, bolehlah menggantinya di hari yang lain.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan sebab wahyu ini adalah dari Allah untuk hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman, “Maka, perhitungan dari hari yang lain." Tidak ditentukan bila hari akan mengganti puasa itu, apakah dalam batas tahun itu juga, dari mulai 2 Syawwal sampai 29 atau 30 Sya'ban. Terserahlah kepada kamu.
Seorang yang tinggi nilai kehormatan dirinya, tidaklah dia akan lupa kalau dia berutang. Sungguh, tidak ada orang yang lupa akan utangnya. Walaupun sudah bertahun-tahun utang itu belum juga terbayar, tetapi bila bertemu tempat dia berutang, dia teringat kembali. Apatah lagi seorang Mukmin dengan Tuhannya. Seakan-akan si Mukmin berkata, “Ya, Allah. Hamba-Mu ini tidak kuat puasa sekarang sebab hamba sakit!" Langsung Tuhan menjawab, “Obatilah sakitmu dahulu. Perkara puasa, kita bicarakan di hari lain saja. Hitung saja berapa yang ketinggalan." Seakan-akan demikianlah jawaban Allah kepada orang yang sakit itu. Ingatlah bandingan seorang budiman melawat orang sakit dan dia berpiutang kepada si sakit. Maka, berkatalah si sakit itu, “Saya berutang kepada saudara, belum lagi terbayar. Sekarang, saya sedang sakit." Dengan kontan pula si budiman itu menjawab, “BerobAllah dahulu sampai sembuh. Utang itu jangan kita bicarakan sekarang. Saya sekarang adalah melawat kamu sakit, bukan menagih piutang. Moga-moga engkau lekas sembuh."
Memang ada pendapat bahwa utang puasa Ramadhan tahun ini, kalau tidak dibayar tahun ini juga maka selepas Ramadhan tahun depan utang puasa itu wajib dibayar, tetapi ditambah dengan fidyah. Terlampau tahun bertambah fidyah, bertambah setahun lagi, lipat fidyahnya. Mungkin timbul ijtihad yang demikian karena mereka melihat banyak “orang yang tidak beriman" bermain dengan puasa.
Tentang orang yang berat memikul puasa tadi, yang telah dikhaskan seumpama orang tua dan sakit larut. Maka, menurut riwayat Ibnu Jarir dan ad-Daruquthni tadi bahwasanya Ibnu Abbas r.a. pernah berkata kepada ibu anak-anak yang sedang hamil atau menyusukan bahwa dalam keadaan demikian dia telah termasuk orang yang berat memikul puasa, sebab itu dia pun biarlah memberi makan fakir miskin (fidyah) saja, tidak usah qadha.
Yang mengqadha hanyalah orang yang haid. Orang nifas pun kalau anaknya tidak disusukannya sendiri atau mati sesudah lahir.
Di zaman modern sekarang ini, Syekh Muhammad Abduh pernah menanyakan pendapat bahwasanya buruh-buruh yang bekerja keras siang dan malam pada pertambangan dengan secara aplusan pun boleh membayar fidyah, tidak qadha. Sebab, ada di antara mereka yang masuk kerja tengah malam, baru keluar besoknya tengah hari. Dan, ada yang sehari, malam baru pulang. Ada yang semalam, pagi baru pulang. Mungkin termasuk juga di sini buruh-buruh kapal, kelasi-kelasi dan lain-lain seumpama itu. Orang kapal itu bukan saja musafir lagi, bahkan di kapal itulah mata hidup mereka sejak muda lalu tua sampai pensiun. Kalau sudah pensiun baru disuruh mengqadha, alangkah banyaknya mesti diqadha. Kelak saja kalau ada masa mereka cuti bertepatan dengan bulan Ramadhan, mereka puasakan sebulan penuh di rumah.
Keterangan Ustadz Imam Syekh Muhammad Abduh tadi amat penting kita perhatikan. Sebab, di dalam kitab-kitab fiqih yang lama hal ini tidak akan terdapat. Sebab, pada masa dahulu itu belum ada kehidupan industrialisasi sebagaimana sekarang, belum ada tukang arang di dalam kapal, yang selalu mesti memanaskan uap dengan memasukkan batu bara yang baru, dan belum ada buruh pekerja tambang. Padahal, agama kita dipakai terus, betapa pun hebatnya perubahan zaman. Dan, bahwa berijtihad itu tidak akan putus-putus selama-lamanya, sebab ini pun memenuhi pendirian ulama-ulama modern yang mengatakan bahwa berijtihad itu tidak akan putus-putus selama-lamanya. Sebab, soal-soal baru akan tetap timbul yang wajib diselesaikan oleh ulama-ulama yang disebut ikutan umat.
Kemudian, Allah menjelaskan mengapa bulan Ramadhan yang ditetapkan menjadi bulan buat mengerjakan puasa itu,
Ayat 185
“(Yaitu) sebulan Ramadhan."
Pada bulan itulah puasa itu diwajibkan."Yang diturunkan padanya Al-Qur'an" Yaitu mula turunnya Al-Qur'an yang mengandung 114 surah, terdiri atas 6.236 ayat itu ialah dalam bulan Ramadhan. Meskipun ada per-tikaian ahli-ahli hadits atau riwayat tentang tanggal dan harinya, tetapi tidak ada selisih bahwa permulaan turunnya ialah dalam bulan Ramadhan. Penting sekali Al-Qur'an yang mula turun di bulan Ramadhan itu bagi manusia, khususnya bagi orang yang beriman. Sebab, dia adalah “menjadi petunjuk bagi manusia" menuju Shirathal Mustaqim, menempuh sabilillah atau jalan Allah. Al-Qur'an itu yang membebaskan mereka dari meraba-raba dalam kegelapan."Dan penjelasan dari petunjuk!' Karena, Al-Qur'an adalah petunjuk yang dahulu daripadanya. Artinya, dia pun memberi penjelasan lagi dari isi ajaran Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Dan, juga dalam Al-Qur'an sendiri ada petunjuk yang umum sifatnya (ijmal), lalu datang uraiannya (tafshil). Apatah lagi akhlak Nabi ﷺ itu sendiri adalah menurut contoh yang dititahkan Al-Qur'an maka sikap hidup beliau pun membawa bayyinat, penjelasan dan keterangan daripada Al-Qur'an, “Dan pembeda", yaitu al-Furqan, penyisihkan dan penyaring dan penapis di antara yang hak dan yang batil, yang baik dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram. Lantaran itu, sesuai sekalilah apabila di bulan itu ditetapkan perintah ibadah puasa untuk orang yang beriman sebab hidup mereka adalah berpandukan Al-Qur'an."Maka, barangsiapayang menyaksikan bulan di antara kamu, hendaklah dia puasa" Artinya, orang yang hadir dan telah tahu bahwa bulan Ramadhan itu telah masuk hendaklah dia berpuasa. Di ayat ini ditegaskan bulan dengan kata syahr, yaitu hitungan masuknya Ramadhan, bukan hilal ataupun qamar. Sebab, sayangnya dalam bahasa kita sendiri (Indonesia Melayu), bulan yang kelihatan itu kita namai juga bulan, padahal di bahasa Arab dia disebut hilal (bulan sabit) atau qamar. Sedang hitungan sebulan kita namai bulan juga, padahal di bahasa Arab hitungan sebulan itu ialah syahr. Di ayat ini ialah syahr. Maka, barangsiapa yang telah menyaksikan atau telah mengetahui bahwa bulan Ramadhan telah ada dan dia ada waktu itu di tempatnya, mulailah puasa.
Dengan bunyi kata demikian, bertambah yakinlah kita bahwa Al-Qur'an memang wahyu, bukan buatan Muhammad. Dengan kata demikian, sama tercakuplah di antara orang yang berpuasa karena memercayai ru'yah hilal, yaitu pergi melihat bulan, ataupun menghitung masuknya bulan Ramadhan dengan hisab. Sehingga tidaklah mungkin semua orang pergi lebih dahulu melihat hilal, baru dia puasa. Dan, tidak semua orang mesti pandai berhisab lebih dahulu baru dia puasa. Akan tetapi, asal dia sudah menyaksikan atau mengerti bulan Ramadhan telah masuk, puasalah dia. Dan, yang lebih penting lagi dengan menyebut syahr itu, tidak ada lagi musykil tentang orang Islam yang tinggal di Kutub Utara atau Kutub Selatan, yang kadang-kadang enam bulan siang terus atau enam bulan malam terus. Sebab, meskipun enam bulan siang terus, enam bulan malam terus, tetapi di sana orang masih tetap memperhitungkan hari ini sebulan-sebulan. Di sana walaupun malam enam bulan lamanya, tetapi Januari dan Februari, atau Ahad, Senin, dan Selasa masih tetap ada. Di sana orang masih memakai kalender atau almanak, sebab itu orang Islam yang berdiam di sana, asal beriman, masih dapat menyaksikan bahwa bulan Ramadhan telah masuk. Dia wajib puasa. Bagaimana puasanya? Berijtihadlah dengan baik sebab Islam bukan agama beku!
Seorang teman dari Kedutaan Indonesia yang pernah tinggal di daerah Scandinavia menceritakan bahwa di waktu shalat lima waktu, dia tetap shalat. Di bulan Ramadhan dia tetap puasa meskipun matahari tidak pernah kelihatan sekian bulan lamanya."Kenapa bisa?" tanya kita. Dia menjawab, “Arloji kami berjalan seperti biasa. Saya shalat melihat bilangan jam dan saya puasa melihat edaran hari di almanak!" Sebab dia beriman.
Kemudian, diulang lagi kata tali agar lebih jelas, “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka hitungan di hah yang lain" Sekarang dijelaskan sebabnya, ialah, “Allah menghendaki keringanan untuk kamu, dan bukanlah Allah menghendaki kesukaran untuk kamu." Jangan kamu sampai terhalang mengerjakan ibadah kepada Allah karena perintah itu terlalu memberati dan merepotkan. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya tidak akan sampai menyuruh puasa orang yang sedang sakit. Dan, kasih sayang-Nya pun tidak akan sampai memberati berpuasa orang yang sedang repot dalam musafir. Makan berbuka atau makan sahur yang teratur tidaklah terjamin lancarnya dalam musafir."Dan hendaklah kamu sempurnakan hitunganyaitu hitungan sebulan itu, baik dia 29 hari ataupun 30 hari. Dan, jika ketinggalan beberapa hari karena sakit atau karena musafir itu, sempurnakanlah hitungan hari-hari yang ketinggalan itu pada hari yang Lain. Apatah lagi orang yang diberi rukhshah mengganti dengan fidyah; sudah demikian keringanan yang diberikan, janganlah hitungan hari itu diumpangkan. Hitung baik-baik karena mestinya engkau memberikan makanan kepada fakir miskin itu.
“Dan hendaklah kamu membesarkan nama Allah atas apa yang telah diberikan-Nya petunjuk akan kamu, dan supaya kamu bersyukur."
Maka, untuk mengisi perintah Allah di ujung ayat ini, Nabi kita ﷺ memberikan contoh, yaitu agar pada bulan Ramadhan memperbanyak ibadah, shalat tarawih (qiyamul lail), membaca Al-Qur'an, dan memperhatikan huruf-hurufnya (tadarus), dan memperbanyak pula berbuat baik, bersedekah, memberi makan menjamu walaupun hanya dengan seteguk air, sebutir kurma, sepiring nasi. Di penutupannya, dibagikan zakat fitrah dan shalat Idul Fitri dengan membacakan takbir (Allahu Akbar) dan tahmid (wa lillahil hamd), sebagai bentuk rasa syukur.