Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
ءَامِنُواْ
beriman
كَمَآ
sebagaimana
ءَامَنَ
telah beriman
ٱلنَّاسُ
manusia
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَنُؤۡمِنُ
apakah kami beriman
كَمَآ
sebagaimana
ءَامَنَ
beriman
ٱلسُّفَهَآءُۗ
orang-orang bodoh
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
هُمُ
mereka
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang bodoh
وَلَٰكِن
akan tetapi
لَّا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
وَإِذَا
dan apabila
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
ءَامِنُواْ
beriman
كَمَآ
sebagaimana
ءَامَنَ
telah beriman
ٱلنَّاسُ
manusia
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَنُؤۡمِنُ
apakah kami beriman
كَمَآ
sebagaimana
ءَامَنَ
beriman
ٱلسُّفَهَآءُۗ
orang-orang bodoh
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
هُمُ
mereka
ٱلسُّفَهَآءُ
orang-orang bodoh
وَلَٰكِن
akan tetapi
لَّا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
Terjemahan
Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang picik akalnya itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang picik akalnya, tetapi mereka tidak tahu.
Tafsir
(Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain beriman!") yakni sebagaimana berimannya para sahabat Nabi. (Jawab mereka, "Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh?") Artinya kami tidak akan melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh itu. Maka firman Allah menolak ucapan mereka itu: (Ketahuilah, merekalah orang-orang bodoh tetapi mereka tidak tahu) akan hal itu.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 13
Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang lain telah beriman" mereka menjawab, "Apakah kami disuruh beriman seperti orang-orang bodoh itu beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Allah ﷻ berfirman, "Waidza qila" (apabila dikatakan), yakni kepada orang-orang munafik. Aminu kama amanan nasu, berimanlah kamu sekalian sebagaimana orang-orang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari berbangkit sesudah mati, surga dan neraka serta lain-lain yang telah diberitakan oleh Allah kepada orang-orang mukmin. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dalam mengerjakan semua perintah dan meninggalkan semua larangan. Qalu anuminu kama amanas sufaha-u; mereka menjawab, "Apakah kami disuruh beriman seperti orang-orang bodoh itu beriman?" Yang mereka maksudkan dengan "orang-orang bodoh" adalah para sahabat Rasul ﷺ, semoga laknat Allah atas orang-orang munafik. Demikian menurut Abul Aliyah dan As-Suddi di dalam kitab Tafsir-nya berikut sanadnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud serta sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan lain-lainnya, makna ayat adalah "apakah kami dan mereka sama derajat dan jalannya, padahal mereka adalah orang-orang bodoh?" As-sufaha adalah bentuk jamak dari lafal safihun, sama wazan-nya dengan lafal hukama, bentuk tunggalnya adalah hakimun dan hulama yang bentuk tunggalnya adalah halimun. As-safih artinya orang bodoh, lemah pendapatnya, dan sedikit pengetahuannya tentang hal yang bermaslahat dan yang mudarat, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam pengelolaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” (An-Nisa: 5). Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud dengan sufaha dalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak.
Kemudian Allah membantah semua yang mereka tuduhkan itu melalui firman selanjutnya, "Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh" (Al-Baqarah: 13). Allah ﷻ membalikkan tuduhan mereka, sesungguhnya yang bodoh itu hanyalah mereka sendiri. Pada firman selanjutnya disebutkan, "Tetapi mereka tidak menyadarinya" (Al-Baqarah: 13). Dengan kata lain, kebodohan mereka sangat keterlaluan hingga tidak menyadari kebodohannya sendiri, bahwa sebenarnya mereka berada dalam kesesatan dan kebodohan. Ungkapan ini lebih kuat untuk menggambarkan kebutaan mereka dan kejauhan mereka dari hidayah."
Dan apabila dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka, Berimanlah kamu dengan tulus ikhlas sebagaimana orang lain yang menyambut suara dan seruan akal sehat telah beriman, seperti yang dilakukan para sahabat pengikut Nabi Muhammad, mereka menjawab dengan penuh kesombongan dan nada menghina, Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman' Tidak pantas bagi kami untuk mengikuti orang-orang bodoh itu, sebab dengan begitu berarti kami sama bodohnya dengan mereka. Allah membantah kecongkakan mereka dengan mengingatkan orangorang mukmin, Ingatlah, sesungguhnya hanya mereka itulah orang-orang yang kurang akal dan bodoh, tetapi mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa kebodohan dan sifat kurang akal itu ada dalam diri mereka, dan mereka juga tidak menyadari kesesatan mereka itu. Dan apabila mereka, orang-orang munafik, berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, Kami telah beriman seperti yang kalian yakini tentang kebenaran Rasul dan dakwahnya. Mereka menyatakan beriman secara lisan untuk melindungi diri dan meraih keuntungan material. Tetapi apabila mereka kembali kepada teman-teman dan para pemimpin mereka yang menyerupai setan-setan dalam perilaku mereka yang selalu berbuat kerusakan dan kejahatan, mereka berkata, Sesungguhnya kami tidak berubah dan tetap bersama kamu di satu jalan dan satu perbuatan, kami hanya berolok-olok ketika kami mengatakan beriman di hadapan orang-orang mukmin.
Ayat ini melanjutkan keterangan sifat dan sikap orang munafik pada ayat yang dahulu. Kaum munafik itu bila diajak beriman, melaksanakan amar makruf, dan nahi mungkar, mereka menolak dengan alasan bahwa orang-orang yang beriman itu orang-orang yang lemah akalnya, padahal kenyataannya tidak demikian.
Orang-orang munafik memandang orang-orang yang beriman itu bodoh dan lemah akal, seperti terhadap orang Muhajirin yang meninggalkan keluarga dan kampung halaman, bahkan mereka bermusuhan terhadap keluarga-keluarga mereka sendiri dan hamba sahaya seperti Suhaib, Bilal, dan Khabbab. Orang-orang Ansar dipandang mereka juga bodoh karena mereka membagikan harta dan kekayaan mereka kepada orang muhajirin.
Allah menandaskan bahwa merekalah sebenarnya orang-orang yang lemah akalnya, karena mereka tidak menggunakan akal untuk menanggapi kebenaran dan mereka terpengaruh oleh kedudukan mereka dalam kaumnya. Mereka tidak mengetahui iman dan hakikatnya, karenanya mereka tidak mengetahui pula apakah orang-orang mukmin itu bodoh-bodoh atau pintar-pintar. Iman itu tidak akan sempurna diperoleh kecuali dengan ilmu yang yakin. Demikian pula kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai tujuan dari iman itu tidaklah dapat dimengerti kecuali oleh orang yang mengetahui hakikat iman.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 8-13
NIFAK (I)
Ayat 8
“Dan sebagian dari manusia ada yang berkata, Kami percaya kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal tidaklah mereka itu orang-orang yang beriman."
Sudah dibicarakan pada ayat yang lalu tentang orang yang kafir. Orang yang dengan tegas telah menyatakan bahwa dia tidak percaya. Betapa pun mereka diajak, diberi peringatan ancaman adzab kehancuran di dunia dan siksa neraka di akhirat, mereka tidak akan mau karena hati mereka sudah dicap. Dengan hanya dua ayat saja, hal itu sudah selesai. Namun, mulai ayat 8 ini sampai ayat 20 akan dibicarakan yang lebih sulit daripada kufur, yaitu orang yang berlain apa yang diucapkannya dengan mulutnya dengan pendirian hatinya yang sebenarnya. Sifat ini bernama nifak dan pelakunya bernama munafik. Mereka berkata dengan mulut bahwa mereka percaya; mereka percaya kepada Allah, percaya akan Hari Kemudian, tetapi yang sebenarnya adalah mereka itu orang-orang yang tidak percaya.
Inilah macam manusia yang ketiga; yang pertama tadi percaya hatinya, percaya mulutnya, dan percaya perbuatannya, tegasnya dibuktikan kepercayaan hatinya itu oleh perbuatannya. Itulah orang Mukmin.
Yang kedua, tidak mau percaya; hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan. Itulah orang yang disebut kafir.
Namun, yang ketiga ini menjadi golongan yang pecah di antara hati dan mulutnya.
Mulutnya mengakui percaya, tetapi hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan di hati.
Kalimat munafik atau nifak itu asal artinya ialah lubang tempat bersembunyi di bawah tanah. Lubang perlindungan dari bahaya udara disebut nafaq. Dari sinilah diambil arti dari orang yang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sebagai suatu pengicuhan atau penipuan,
Ayat 9
“Hendak mereka coba memperdayakan Allah dan orang-orang yang beriman."
Dengan mulut yang manis, kecindan yang murah, berlagak sebagai orang yang jujur, pura-pura sebagai orang yang beriman, fasih lidah berkata-kata, dihias dengan firman Tuhan, sabda Rasul, supaya orang percaya bahwa dia bersungguh-sungguh.
“Padahal tidaklah yang mereka percayakan, kecuali diri mereka sendiri, dan tidaklah mereka rasakan."
Sikap pura-pura itu sudah nyata tidak dapat memperdayakan Allah; niscaya Allah tidak dapat dikicuh. Mungkin sesama manusia dapat tertipu sementara, tetapi akan berapa lamanya?
Ayat 10
“Di dalam hati mereka ada penyakit."
Pokok penyakit yang terutama di dalam hati mereka pada mulanya ialah karena pantang kelintasan, merasa diri lebih pintar. Akhirnya “maka menambahlah Allah akan penyakit mereka!' penyakit dengki, penyakit hati busuk, dan penyakit penyalah terima. Tiap orang bercakap terasa diri sendiri juga yang kena, karena walaupun telah mengambil muka kian kemari, tetapi dalam hati sendiri ada juga keinsafan bahwa orang tidak percaya.
“Dan untuk mereka adzab yang pedih, dari sebeda mereka telah berdusta."
Kaum munafik itu mengatakan percaya kepada Allah dan Hari Akhirat; bahwa Allah ada dan Hari Akhirat pasti terjadi, adalah benar. Akan tetapi, karena sikap hidup selalu menyatakan bahwa mereka bukan orang yang beriman kepada Allah dan tidak ada bukti perbuatan yang menunjukkan bahwa kedua hal itu benar-benar keyakinannya, kian lama tampak jugalah dustanya. Orang pun akhirnya tahu dan dapat pula mengatur sikap menghadapi orang yang seperti ini. Mereka telah disiksa oleh dusta mereka sendiri. Apa saja yang mereka kerjakan menjadi serba salah.
Beginilah digambarkan jiwa orang munafik di Madinah seketika Islam mulai berkembang di sana. Kaum munafik itu dua corak. Pertama, munafik dari kalangan orang Yahudi, yang kian lama kian merasa bahwa mereka telah terdesak, padahal selama ini merekalah yang jadi tuan di Madinah, karena kehidupan mereka lebih makmur dari penduduk Arab asli dan merasa lebih pintar. Kian lama kian mereka rasakan bahwa kekuasaan Nabi Muhammad dan kebebasan Islam kian naik, sedangkan mereka kian terdesak ke tepi. Mereka inilah yang mengatakan kami percaya kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi sudah disengaja buat tidak menyebut bahwa mereka pun percaya kepada kerasulan Muhammad dan wahyu Al-Qur'an.
Munafik kedua ialah orang Arab Madinah sendiri, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Sebelum Nabi datang, dialah yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah yang terdiri atas persukuan Aus dan Khazraj. Akan tetapi, sedatang Nabi ﷺ dia kian lama ditinggalkan orang sebab kian nyata bahwa dia tidak jujur. Kerjanya hanya duduk mence-mooh-mencemooh dan memperenteng kepribadian Nabi ﷺ
Akan tetapi, berhadapan dengan orang tidak pula dia berani karena takut akan disisihkan. Beginilah gambaran umum dari golongan munafik pada masa itu.
Ayat 11
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu berbuat kemuakan di bumi,' Mereka menjawab, ‘Tidak lain kerja kami, hanyalah berbuat kebaikan.'"
Dengan lempar batu sembunyi tangan mereka berusaha menghalang-halangi perbaikan, pembangunan ruhani dan jasmani yang sedang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang yang beriman. Hati mereka sakit melihatnya, lalu mereka buat sikap lain secara sembunyi untuk menentang perbaikan itu. Kalau ditegur secara baik, jangan begitu, mereka menjawab bahwa maksud mereka adalah baik. Mereka mencari jalan perbaikan atau jalan yang damai. Lidah yang tidak bertulang pandai saja menyusun kata yang elok-elok bunyinya, padahal kosong isinya.
Ayat 12
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu perusak-perusak, akan tetapi mereka tidak sadar."
Dengan cara diam-diam, munafik Yahudi telah mencari daya upaya bagaimana supaya segala rencana Nabi kandas. Orang-orang Arab dusun yang belum ada kepercayaan, kalau datang ke Madinah, kalau ada kesempatan, mereka bisiki, mencemoohkan Islam. Padahal, sejak Nabi datang ke Madinah, telah diikat janji akan hidup berdampingan secara damai. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka itu merusak dan berbahaya, terutama pada kedudukan mereka sendiri, sebab Islam tidak akan lemah, tetapi akan bertambah kuat. Kalau ditanyakan, mereka menyatakan bahwa maksud mereka baik, mencari jalan damai. Jelaslah bahwa perbuatan mereka yang amat berbahaya itu tidak mereka sadari karena hawa nafsu belaka.
Nafsu yang pantang kerendahan. Kalau mereka berpegang benar-benar dengan agama mereka, agama Yahudi, tidaklah mungkin mereka akan berbuat demikian. Namun, setelah agama menjadi satu macam ta'ashshub, membela golongan, walaupun dengan jalan yang salah, tidaklah mereka sadari lagi apa akibat dari pekerjaan mereka itu. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berkumpul menjadi satu dengan munafik golongan Abdullah bin Ubay. Ayat ini sudah menegaskan: Alal Ketahuilah! Sesungguhnya, mereka itu perusak-perusak semua. Akan tetapi, mereka tidak sadar. Ayat ini telah membayangkan apa yang akan kejadian di belakang, yang akan membawa celaka bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari akibat di belakang.
Ayat 13
“Dan apabila dikatakan orang kepada Mereka, ‘Senimanlah sebagaimana telah beriman manusia (lain).' Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh-bodoh itu?' Ketahuilah, sesungguhnya Mereka itulah yang bodoh-bodoh, tetapi Mereka tidak tahu."
Inilah rahasia pokok. Merasa diri lebih pintar. Merasa diri turun derajat kalau mengakui percaya kepada Rasul, sebab awak orang berkedudukan tinggi selama ini, baik pemuka-pemuka Yahudi maupun Abdullah bin Ubay dan pengikutnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang telah menyatakan iman kepada Rasulullah itu bukanlah dari golongan orang-orang yang terpandang dalam masyarakat selama ini: Apa mereka tahu! Anak-anak kemarin! Belum ada kedudukan mereka dalam masyarakat!
Mereka tidak hendak menilai apa artinya beriman. Yang mereka nilai hanya kedudukan dari orang-orang yang telah menyatakan iman. Mereka pandang bahwa orang-orang yang menjadi pengikut Muhammad itu hanyalah orang bodoh-bodoh, sedangkan mereka orang pintar-pintar, lebih banyak mengerti soal agama sebab mereka mempunyai kitab Taurat.
Kesombongan inilah di zaman dahulu kala yang menyebabkan umat Nabi Nuh menentang Nabi Nuh. Mereka merasa pakaian mereka kotor kalau duduk bersama-sama dengan orang-orang yang telah percaya lebih dahulu kepada Nabi Nuh. Maka, bagi kaum munafik Yahudi ini, kepintaran mereka dalam soal agama tidak lagi untuk diamalkan, tetapi untuk dimegahkan. Namun, mereka sendiri tidak dapat bertindak apa-apa. Mereka terpecah-belah sebab masing-masing hendak mengatasi kepintaran. Lantaran sikap jiwa yang demikian, apakah yang dapat mereka perbuat selain dari mencemooh? Segala yang dikerjakan orang salah semua menurut mereka. Akan tetapi, mereka sendiri tidak dapat berbuat apa-apa.
Kadang-kadang, tentu keluar perkataan mereka mencela pribadi orang. Misalnya, mereka mengatakan bahwa ajaran Muhammad itu ada baiknya juga. Sayangnya, pengikutnya banyak si anu dan si fulan. Padahal, misalnya, orang-orang yang mereka cela dan hinakan itu keluar dan mereka masuk, mereka pun tidak akan dapat berbuat apa-apa selain dari mengemukakan rencana-rencana dan rancangan, tetapi orang lain yang disuruh mengerjakan karena mereka sendiri tidak mempunyai kesanggupan. Mereka mencap semua orang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti akan kebodohan mereka sendiri.