Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
ٱتَّخَذَ
mempunyai
ٱللَّهُ
Allah
وَلَدٗاۗ
anak
سُبۡحَٰنَهُۥۖ
Maha Suci Dia
بَل
bahkan
لَّهُۥ
milikNya
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۖ
dan bumi
كُلّٞ
tiap-tiap
لَّهُۥ
kepadaNya
قَٰنِتُونَ
mereka tunduk
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
ٱتَّخَذَ
mempunyai
ٱللَّهُ
Allah
وَلَدٗاۗ
anak
سُبۡحَٰنَهُۥۖ
Maha Suci Dia
بَل
bahkan
لَّهُۥ
milikNya
مَا
apa
فِي
di
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِۖ
dan bumi
كُلّٞ
tiap-tiap
لَّهُۥ
kepadaNya
قَٰنِتُونَ
mereka tunduk
Terjemahan
Mereka berkata, “Allah mengangkat anak.” Mahasuci Allah, bahkan milik-Nyalah apa yang di langit dan di bumi. Semua tunduk kepada-Nya.
Tafsir
(Dan mereka berkata) dengan wau atau tanpa wau, maksudnya orang-orang Yahudi dan Kristen serta orang-orang yang mengakui bahwa malaikat-malaikat itu anak-anak perempuan Allah, ('Allah mempunyai anak.') Allah berfirman, ("Maha Suci Dia) menyucikan-Nya dari pernyataan tersebut, (bahkan apa-apa yang ada di langit dan di bumi kepunyaan-Nya belaka) baik sebagai hak milik, sebagai makhluk, maupun sebagai hamba. Pemilikan itu bertentangan dengan pengambilan atau mempunyai anak. Di sini dipakai 'maa' artinya 'apa-apa untuk yang tidak berakal' karena 'taghlib', artinya untuk mengambil yang lebih banyak. (semua tunduk kepada-Nya.") Artinya menaatinya, masing-masing sesuai dengan tujuan diciptakan-Nya. Di sini lebih ditekankan kepada makhluk yang berakal.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 116-117
Dan mereka (orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah." Lalu jadilah ia.
Ayat 116
Ayat ini dan ayat berikutnya mengandung bantahan terhadap orang-orang Nasrani, semoga laknat Allah menimpa mereka, dan juga orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab, yaitu mereka yang menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah.
Allah membantah dakwaan mereka semuanya, demikian juga dakwaan mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah beranak. Untuk itu Dia berfirman, "Subhanahu," Maha Suci dan Maha Bersih serta Maha Tinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. “Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah.” (Al-Baqarah: 116) Yakni perkara yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang mereka buat-buat, sesungguhnya hanya milikNya-lah kerajaan langit dan bumi dan semua yang ada padanya.
Dialah yang mengatur mereka, yang menciptakan mereka, yang memberi mereka rezeki, yang menguasai mereka, yang menundukkan mereka, yang menjalankan mereka, dan yang menggerakkan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya. Semuanya merupakan hamba-hamba-Nya dan milik-Nya, maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka? Karena sesungguhnya seorang anak itu hanya dilahirkan dari dua spesies yang sama, sedangkan Allah ﷻ tiada yang menyamai-Nya dan tiada yang menyekutui-Nya dalam kebesaran dan keagungan-Nya; dan tiada istri bagi-Nya, maka mana mungkin Dia beranak? Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana mungkin Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (Al-An'am: 101)
“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.’ Sesungguhnya kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4)
Melalui ayat-ayat tersebut di atas Allah ﷻ menetapkan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Agung Yang tiada tandingan dan tiada persamaan bagi-Nya. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk-Nya yang menjadi hamba-hamba-Nya, maka mana mungkin Dia beranak dari mereka? Karena itu, dalam tafsir ayat ini Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Abdullah ibnu Abul Husain, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Jubair (yaitu Ibnu Mut'im), dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku tidak dapat menghidupkannya kembali seperti semula. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mempunyai istri atau anak." Hadits ini hanya diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari sendiri dari satu jalur.
Ibnu Mardawaih berkata, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Ath-Thurmuzi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Muhammad Al-Qarwi, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Anak Adam telah mendustakan Aku, padahal tidak layak baginya mendustakan Aku. Dan dia telah mencaci-Ku, padahal tidak patut baginya mencaci-Ku. Adapun kedustaan yang dilakukannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan, "Allah tidak akan membangkitkan aku seperti Dia menciptakan aku pada awal mulanya," padahal permulaan penciptaan tidaklah lebih mudah daripada mengembalikannya. Adapun caciannya terhadap-Ku ialah ucapannya yang mengatakan bahwa Allah telah mengambil anak (beranak), padahal Aku adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Di dalam kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau pernah bersabda: “Tiada seorang pun yang lebih sabar daripada Allah atas gangguan yang telah didengarnya; sesungguhnya mereka menganggap-Nya beranak. Akan tetapi, Dia tetap memberi mereka rezeki dan membiarkan mereka.”
Firman Allah ﷻ: “Semua tunduk kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 116)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna qanitun, yakni musallun (berdoa).
Menurut Ikrimah dan Abu Malik, artinya semua mengakui bahwa Dia wajib disembah.
Menurut Sa'id ibnu Jubair makna qanitun ialah ikhlas.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, qanitun artinya berdiri di hari kiamat.
Menurut As-Suddi artinya semua taat kepada-Nya di hari kiamat.
Khasif meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna qanitun, yaitu semua taat kepada-Nya. Bila dikatakan, "Jadilah kamu manusia," maka jadilah manusia. Dan bila dikatakan, "Jadilah kamu keledai," maka jadilah keledai.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid bahwa qanitun artinya mereka semuanya taat kepada Allah. Selanjutnya Mujahid mengatakan bahwa taat orang kafir ialah melalui bayangannya yang sujud kepada Allah, sedangkan diri orang kafir itu sendiri tidak suka.
Pendapat dari Mujahid ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Dari semua pendapat di atas Ibnu Jarir menyimpulkan bahwa tunduk, patuh, dan taat hanya kepada Allah merupakan hal yang diperintahkan oleh syariat. Hal ini telah diriwayatkan dalam hadits, sebagaimana disebutkan pula di dalam firman-Nya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (Ar-Ra'd: 15)
Telah diriwayatkan di dalam sebuah hadits yang mengandung penjelasan tentang lafal qunut dalam Al-Qur'an, bahwa yang dimaksud adalah taat, tunduk, dan patuh; seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim: Telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, bahwa Darraj yang dijuluki Abus Samah telah menceritakan hadits berikut dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Setiap lafal Al-Qur'an yang menyebutkan al-qunut artinya taat.” Hal yang mirip diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Hasan ibnu Musa, dari Ibnu Abu Luhai'ah, dari Darraj dengan sanad yang serupa, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Predikat rafa' hadits ini merupakan hal yang tidak dapat diterima, mengingat adakalanya hal ini merupakan perkataan seorang sahabat atau orang yang lebih rendah daripada dia. Banyak sekali tafsir yang mengetengahkan sanad ini, padahal di dalamnya terkandung hal yang diingkari. Maka janganlah Anda teperdaya olehnya, karena sesungguhnya sanad ini predikatnya dha’if.
Ayat 117
Firman Allah ﷻ: “Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 117) Yakni Allah yang menciptakan keduanya tanpa contoh terlebih dahulu.
Menurut Mujahid dan As-Suddi, lafal badi'un dalam ayat ini sesuai dengan makna lugah (bahasa)nya. Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan terhadap sesuatu yang merupakan kreasi baru dengan sebutan bid'ah. Seperti yang terdapat di dalam hadits shahih Muslim, yaitu: Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah. Bid'ah ada dua macam, yaitu adakalanya bid'ah menurut istilah syara' (yakni bid'ah sayyi'ah), seperti pengertian yang terkandung di dalam sabda Nabi ﷺ: Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid 'ah, dan setiap bid'ah itu sesat.
Yang kedua ialah bid'ah menurut istilah bahasa (yakni bid'ah hasanah) seperti perkataan Amirul Muminin Umar ibnul Khattab ketika melihat hasil jerih payahnya yang telah berhasil menghimpun kaum muslim melakukan shalat tarawih hingga mereka menjadikannya sebagai tradisi, yaitu: “Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yakni berjamaah shalat tarawih).”
Ibnu Jarir mengatakan, makna firman-Nya: “Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah: 117) Makna yang dimaksud ialah mubdi'uhuma (Pencipta keduanya), karena sesungguhnya bentuk asalnya hanyalah mubdi'aun, kemudian di-tasrif menjadi badi'un; sebagaimana di-tasrif lafal mu'limun menjadi 'alimun, dan lafal musmi'un menjadi sami'un. Makna yang dimaksud ialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Menjadikan tanpa ada seorang pun yang lebih dahulu menciptakan hal yang mirip dengan ciptaan-Nya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, "Oleh sebab itu, seorang yang membuat bid'ah dalam agama dinamakan mubtadi', karena dia menciptakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh orang lain dalam agama. Hal yang sama dikatakan pula terhadap orang yang membuat ucapan atau kreasi yang baru yang belum pernah dilakukan oleh pendahulunya." Orang-orang Arab menyebut orang yang berbuat demikian dengan nama mubtadi'; antara lain ialah seperti dalam perkataan A'sya ibnu Sa'labah yang memuji Hauzah ibnu Ali Al-Hanafi, yaitu: “Ia dikenal dengan sebutan pemimpin kaum laki-laki apabila timbul tekadnya yang bulat atau membuat kreasi yang dikehendakinya.” Yakni bila dia hendak membuat kreasi baru dari dirinya sendiri.
Makna ayat menurut Ibnu Jarir ialah seperti berikut: "Maha Suci Allah dari mempunyai anak, Dia adalah Raja semua apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya telah menyaksikan keesaan-Nya melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan semuanya mengaku taat kepada-Nya. Dialah yang menciptakan, yang mengadakan, dan yang menjadikan mereka tanpa asal-usul, juga tanpa contoh yang diikuti-Nya dalam penciptaan-Nya itu."
Hal ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa di antara orang-orang yang mengakui hal tersebut adalah Al-Masih yang mereka nisbatkan sebagai anak Allah, dan merupakan pemberitahuan dari Allah kepada mereka bahwa Dia Yang menciptakan langit dan bumi tanpa asal-usul dan tanpa contoh yang mendahuluinya, Dia adalah Tuhan Yang menciptakan Isa tanpa melalui seorang ayah, tetapi hanya dengan kekuasaan-Nya. Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan pendapat yang bagus dan benar.
Firman Allah ﷻ: Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya, "Jadilah" Lalu jadilah ia. (Al-Baqarah: 117)
Melalui ayat ini Allah ﷻ menerangkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kebesaran pengaruh-Nya. Dan bahwa apabila Dia menetapkan sesuatu, lalu Dia berkehendak akan mengadakannya, maka sesungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah kamu!" Yakni hanya sekali ucap. Maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya yang lain, yaitu: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah" Maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah" Maka jadilah ia.” (An-Nahl: 40)
“Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kedipan mata.” (Al-Qamar: 50)
Salah seorang penyair mengatakan: “Apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka sesungguhnya Dia hanya mengatakan kepadanya, "Jadilah!" Hanya dengan satu perkataan, maka jadilah ia.”
Melalui ayat ini Allah mengingatkan bahwa penciptaan Isa hanya dengan kalimat Kun (Jadilah!), maka jadilah Isa sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Allah ﷻ telah berfirman: "Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" (seorang manusia), maka jadilah dia." (Ali Imran: 59)
Dan mereka, kaum Yahudi dan Nasrani, berkata, Allah mempunyai anak. Mahasuci Allah dari perkataan mereka. Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pernyataan kaum Yahudi yang meyakini Uzair sebagai putra Allah, kaum Nasrani yang meng anggap Isa sebagai putra Allah, dan kaum musyrik Arab yang menganggap malaikat sebagai putri Allah. Bahkan milik-Nyalah, yakni Allah-lah pencipta dan pe milik apa yang di langit dan di bumi, termasuk di dalamnya Uzair, Isa, dan para malaikat itu. Semua tunduk, taat, dan patuh kepada-Nya, yakni kepada kebesaran, kekuasaan dan kehendak-Nya. Allah pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan, mengadakan, dan mewujud kan sesuatu, tidak ada halangan sedikit pun bagi-Nya, Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadi lah sesuatu itu.
.
Pengakuan lisan dan hati orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah mempunyai anak. Orang Yahudi mengatakan Uzair putra Allah, sedang orang Nasrani mengatakan bahwa Almasih putra Allah.
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Uzair putra Allah," dan orang-orang Nasrani berkata, "Almasih putra Allah." Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. (at-Taubah/9: 30)
Kedua kepercayaan itu pada dasarnya adalah sama, yaitu menyatakan bahwa Allah mempunyai anak dan berarti mereka mempersekutukan Allah, menyatakan bahwa Allah memerlukan pembantu dalam mengurus alam ini, menyatakan bahwa Allah mempunyai suatu cita-cita dan cita-cita itu akan dilanjutkan oleh putra-Nya seandainya Dia tidak ada lagi.
Kepercayaan dan ucapan orang-orang kafir itu tidak benar, mengherankan dan terlalu berani, Mahasuci Allah dari perkataan-perkataan yang demikian itu. Allah tidak memerlukan sesuatu pun, tidak memerlukan penolong dan pembantu dalam melaksanakan semua urusan-urusan-Nya, tidak memerlukan sesuatu pun untuk melanjutkan kehendak-Nya, karena Dia adalah kekal tidak berkesudahan.
Dari perkataan "Mahasuci Allah" dipahami bahwa pengakuan orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang Allah mempunyai anak adalah pengakuan yang dinilai sebagai dosa besar. Karena itu hamba-hamba yang terlanjur menyatakan pengakuan itu hendaklah bertobat kepada Allah. Hanya dengan bertobat, dosa besar seseorang hamba dapat diampuni oleh Allah.
Akhir ayat ini memberi pengertian bahwa Allah hendak membersihkan diri-Nya dari perkataan orang-orang kafir. Allah menyatakan yang demikian semata-mata untuk menjaga hak hamba-hamba-Nya, membersihkan kepercayaan hamba-hamba-Nya yang dapat merugikan mereka di dunia dan di akhirat nanti.
Bahkan Allah menegaskan bahwa seluruh alam ini adalah milik-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya. Tidak satu pun yang dapat mengurangi kehendak-Nya dan merugikan-Nya. Semua patuh dan tunduk kepada-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 115
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat"
Ahli tafsir al-Jalal menafsirkannya demikian, “Maka kepunyaan Allah-lah seluruh jagat ini," sebab di mana-mana ada timur dan di mana-mana ada barat. Apabila kita tegak menghadap ketepatan matahari terbit (masyriq) maka yang di belakang kita adalah barat, yang di kanan kita adalah selatan dan di kiri kita adalah utara.
“Maka ke mana jua pun kamu menghadap, di sana pun ada wajah, Allah; sesungguhnya Allah adalah Mahaluas, lagi Maha Mengetahui."
Inilah hikmat yang sebenarnya; ke mana pun kita menghadapkan muka ketika beribadah kepada Allah, ketika shalat pun, asal hati telah dihadapkan kepada Allah, diterimalah ibadah itu oleh Allah sebab timur dan barat, utara ataupun selatan, Allah jua yang empunya. Memang kemudiannya telah diatur oleh Rasulullah, dengan perintah firman Allah menentukan Ka'bah Masjidil Haram sebagai kiblat tetap, namun sekali-sekali ketika hari sangat gelap misalnya, sehingga kita tidak tahu arah kiblat, ke mana pun saja muka terhadap, sah jualah shalat kita, asal hati khusyu. Malahan kalau hati tidak khusyu terhadap wajah Allah walaupun telah menghadap ke kiblat Masjidil Haram, belum juga tentu shalat itu akan diterima Allah. Imam Ghazali berpendirian tidak sah shalat kalau tidak khusyu.
Ketika menafsirkan ayat 106 tentang nasikh dan mansukh, telah kita bayangkan juga khilafiyah ulama tentang adakah atau tidak suatu hukum yang mansukh di dalam Al-Qur'an? Adakah satu ayat yang tulisannya masih ada, tetapi hukumnya tidak berlaku lagi? Maka ayat 115 ini menjadi salah satu khilafiyah tentang adanya nasikh dan mansukh. Golongan yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh mengatakan bahwa ayat 115 ini telah mansukh sebab kemudiannya telah datang ayat 144 dan 149 dan 150 yang menentukan Masjidil Haram sebagai kiblat.
Maka dengan demikian, tidaklah sah lagi menghadapkan shalat ke penjuru yang lain kecuali ke Masjidil Haram dan kecuali kalau tidak tahu arah kiblat.
Segolongan yang mengatakan tidak ada nasikh tidak ada mansukh menguatkan bahwa ayat 115 tidak mansukh. Walaupun pada riwayat yang diterima dari Amir bin Rabrah seakan-akan tampak bahwa ayat 115 kemudian turun daripada ayat 144 dan 149 dan 150, dan diragukan keshahihan hadits ini oleh Tirmidzi, tetapi setelah disambungkan dengan hadits riwayat Ibnu Umar dan Jabir dan Abdullah tadi, teranglah bahwa ayat 115 tidak mansukh, tetapi tetap berlaku, yaitu untuk shalat-shalat tathawwu' di atas kendaraan atau di waktu tidak jelas di mana arah kiblat sebab hari gelap, atau di zaman modern kita sekarang ini, kita shalat yang sunnah atau yang wajib sedang di dalam kereta api, bahkan di dalam kapal udara, datang waktu shalat, padahal yang dituju kendaraan itu tidak tepat mengarah ke kiblat. Tentu bila waktu shalat telah datang, kita pun shalat. Kalau Nabi ﷺ naik tunggangan unta lalu shalat menghadap kiblat, niscaya sedang di atas kapal udara kita tidak dapat berbuat demikian, sehingga shalat yang maktubat pun dapat kita kerjakan dengan tidak menghadap ke Masjidil Haram, melainkan kita berpegang kepada ayat 115 ini “ke mana saja pun muka menghadap, tetapi di sana ada wajah Allah. Yang pokok ialah khusyu.
Ayat 116
“Dan mereka berkata, ‘Allah telah mengambil anak.'"
Ayat ini adalah pertaliannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Tempat beribadah kepada Allah hendaklah dimakmurkan dan jangan dihalang-halangi. Timur dan barat, utara dan selatan, seluruhnya kepunyaan Allah dan kepada-Nyalah menghadap yang sebenarnya. Tetapi hendaklah menetapkan benar-benar dalam hati siapa dan bagaimana yang sebenarnya Allah itu. Dia Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Hendaklah bersihkan kepercayaan kepada-Nya. Jangan dikatakan Dia beranak karena Allah itu bukan makhluk yang memerlukan keturunan untuk meneruskan atau menyambung kekuasaan-Nya kalau Dia mati. Allah itu hidup terus, tidak akan mati-mati."Mahasuci Dia." Tidak masuk dalam akal yang murni bahwa Dia beranak.
“Bahkan kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan bumi; semuanya kepada-Nyalah bertunduk."
Hanya satu Dia. Tidak ada anak-Nya. Yang selainnya ini, segala kandungan semua langit, segala kandungan bumi, semuanya di bawah kekuasaan-Nya. Dan semua patuh, menekur bertunduk kepada-Nya. Sama saja di antara makhluk yang beku dengan makhluk bernyawa. Malaikat bukan anak-Nya, manusia pun bukan anak-Nya, tetapi makhluk-Nya, yang terjadi karena diciptakan-Nya. Kamu orang musyrikin; kamu katakan malaikat anak Allah lalu kamu ambil kayu atau batu menjadi berhala dan patung lalu kamu sembah sebab katamu dia anak Allah! “Mahasuci Dial" Kamu orang Nasrani; Isa al-Masih yang lahir dengan kuat-kuasa Ilahi menurut jalan yang tidak terbiasa, kamu katakan pula anak Allah. Kalau kamu pikirkan hal itu dalam-dalam, kamu sendiri akan bingung dengan kepercayaanmu itu. Isa al-Masih itu makan dan minum sebagaimana manusia biasa, padahal Allah tidak makan dan tidak minum. Dan Isa al-Masih itu kalau mengantuk matanya, dia pun tidur, sedangkan Allah tidak pernah tidur.
Ayat 117
“yang menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan".
Di sana terdapat kalimat badi'. Arti badi' ialah penciptaan, yang mengeluarkan suatu ciptaan belum pernah didahului oleh orang lain. Sebab itu, ilmu ungkapan kata-kata yang indah dinamai dalam bahasa Arab: ilmu badi Allah mencipta alam adalah atas kehendak-Nya dan bentuknya pun atas piiihan-Nya sendiri. Tidak dapat didahului oleh siapa pun dan tak dapat disamai oleh siapa pun. Sebab itu pula, kalau ada seorang mencipta satu lukisan yang belum dicapai oleh orang lain, ciptaannya itu disebut juga badi'. Bahkan kata-kata bid'ah yang biasa terpakai dalam agama, juga ambilan dari kata badi'. Kalau ada orang menambah-nambah suatu amalan agama, yang tidak menurut teladan daripada Rasulullah, disebut pembuat bid'ah atau mubtadi'.
Itu pula sebabnya maka tidak mendapat kata lain buat menyatakan maksud dari ayat badi'us-samawati wal-ardhi “menciptakan semua langit dan bumi dengan tiada bandingan". Diberi ujung dengan “tiada bandingan" supaya jelas apa yang dimaksud dengan kata pencipta.
“Dan apabila Dia telah menentukan sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya, Jadilah!' Maka dia pun terjadi."
Dengan ayat ini jelas siapa Allah dan siapa makhluk-Nya. Allah berkekuasaan mutlak dan langsung, tidak memakai perantaraan. Bila Dia menghendaki sesuatu, diperintahkan-Nya saja supaya terjadi maka sesuatu itu pun terjadi. Bagaimana rahasia kejadian itu, berapa lamanya dan bila masanya, tidaklah kuat otak manusia buat berpikir sampai ke sana. Yang terang dengan ayat ini ialah bahwa Allah yang seperti itu Mahabesar kekuasaan-Nya tidaklah memerlukan anak.
“Mahasuci Dia." Dia Tunggal, Dia Khaliq! Yang selain-Nya adalah makhluk. Dengan ini maka bulatkanlah ibadah dan persembahan kepada-Nya saja karena Dia memang Esa, mustahil berbilang, mustahil beranak. Kepercayaan yang pecah, yang tidak tunggal, akan memecah pikiran sendiri. Dan pikirkanlah agama itu baik-baik sehingga dapat dikerjakan dengan pikiran murni.
Dengan kalimat kun artinya jadilah atau adalah, Allah berfirman “maka apa yang di-kehendaki-Nya pun terjadi". Kalimat itu Dia tujukan kepada yang belum ada supaya ada atau kepada yang telah ada supaya lebih sem-purna. Sebelum datang kalimat kun, barang itu belum ada. Maka takluk adanya sesuatu ialah kepada iradat-Nya (kehendak-Nya), Jika tidak dengan iradat-Nya, tidaklah jadi.
Ayat 118
“Dan berkata orang-orang yang tidak berpengetahuan itu, ‘Mengapa tidak bercakap-cakap Allah itu dengan kita, atau datang kepada kita satu tanda."
Selain dari mengatakan bahwa Allah beranak, satu waktu datang lagi kepada Rasulullah ﷺ suatu usul, yaitu kalau memang Allah itu ada dan Mahakuasa, mengapa Allah itu tidak datang bercakap-cakap dengan mereka atau Allah membuktikan bahwa Dia ada dengan menunjukkan suatu tanda. Di pangkal ayat sudah dinyatakan bahwa usul seperti ini timbulnya ialah dari orang-orang yang tidak berpengetahuan. Kalau orang itu berilmu, berpikir mendalam, tidak mungkin timbul usul seperti itu.
Maka, di sambungan ayat Allah berfirman, “Seperti itu jugalah kata-kata orang-orang yang sebelum mereka, seperti kata mereka itu pula." Artinya, usul kaum musyrikin Arab atau Yahudi yang sekarang, meminta supaya Tuhan Allah bercakap dengan mereka, bukanlah usul datang sekarangsaja. Umat-umat yang dahulu pun meminta demikian pula. Umat Nabi Musa mengemukakan berbagai permintaan kepada Musa; setengah permintaan itu dikabulkan Allah, tetapi mereka tetap keras kepala dan yang kafir bertambah kafir juga. Umat Nabi Shalih meminta didatangkan seekor unta sebagai mukjizat. Unta itu didatangkan, tetapi mereka langgar janji dan mereka bunuh unta itu. Maka datanglah sambungan ayat, “Bersamaan hati mereka" Baik Yahudi yang dahulu maupun Yahudi yang sekarang, baik umat yang dahulu maupun musyrikin yang sekarang, namun hati mereka sama saja, yaitu kekufuran kepada Allah, yang menyebabkan timbulnya berbagai usul yang tidak-tidak, yang bercakap asal bercakap. Sepintas lalu timbul pertanyaan, “Apakah permohonan mereka itu tidak akan dikabulkan Allah?" Allah telah menjawab, dengan ujung ayat,
“Sesungguhnya, telah Kami jelaskan ayat-ayat itu kepada kaum yang yakin."
Bagi orang yang yakin, ayat-ayat itu sudah tampak. Tidak perlu lagi menurunkan ayat baru. Tidak perlu lagi tercipta di tengah padang belantara sebuah istana indah bertatahkan emas dan ratna mutu manikam lalu tercipta lagi taman sari indah berseri, sungai mengalir laksana ular gerang; tidak perlu lagi ayat-ayat yang lain yang diminta itu, sebab bagi orang yang yakin, segala yang tampak ini adalah ayat belaka.
Dan pada tiap-tiap sesuatu adalah tanda bagi-Nya; yang menunjukkan bahwa Dia Esa adanya.
Orang-orang yang yakin pun telah bercakap-cakap dengan Allah di dalam munajatnya, di dalam doanya, di dalam shalatnya yang khusyu, dan di dalam segala tingkah laku perbuatannya. Dia selalu merasai bahwa dirinya tidak lepas dari tilikan Allah. Tetapi orang-orang yang bodoh, walaupun berapa banyaknya terbentang di hadapan matanya, tidak juga dia akan yakin.