Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَقُولُواْ
kamu berkata
رَٰعِنَا
peliharalah kami
وَقُولُواْ
dan katakanlah
ٱنظُرۡنَا
perhatikan kami
وَٱسۡمَعُواْۗ
dan dengarkanlah
وَلِلۡكَٰفِرِينَ
dan bagi orang-orang kafir
عَذَابٌ
siksaan
أَلِيمٞ
yang pedih
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَقُولُواْ
kamu berkata
رَٰعِنَا
peliharalah kami
وَقُولُواْ
dan katakanlah
ٱنظُرۡنَا
perhatikan kami
وَٱسۡمَعُواْۗ
dan dengarkanlah
وَلِلۡكَٰفِرِينَ
dan bagi orang-orang kafir
عَذَابٌ
siksaan
أَلِيمٞ
yang pedih
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Rā‘inā.” Akan tetapi, katakanlah, “Unẓurnā” dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan) kepada Nabi (raa`inaa) artinya perhatikanlah kami; 'raa'inaa' diambil dari kata 'muraa`ah', tetapi orang-orang Yahudi biasa mengatakan 'raa`unah' yang dalam bahasa mereka berarti 'teramat bodoh' sebagai ejekan kepada Nabi, maka orang-orang mukmin dilarang mengucapkan kata-kata itu, (dan katakanlah) yakni sebagai gantinya, (unzhurnaa) artinya lihatlah kami; (dan dengarlah olehmu) apa-apa yang dititahkan dengan kesediaan untuk mematuhinya (dan bagi orang-orang kafir disediakan siksaan pedih) yang menyakitkan sekali, yaitu neraka.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 104-105
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina" tetapi katakanlah, "Unzurna" dan, "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkan sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Ayat 104
Melalui ayat ini Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupakan diri dengan orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan.
Demikian itu karena orang-orang Yahudi selalu menggunakan ucapan-ucapan yang di dalamnya terkandung makna sindiran untuk menyembunyikan maksud sebenarnya, yaitu menghina Nabi ﷺ; semoga Allah melaknat mereka. Untuk itu apabila mereka hendak mengatakan, "Sudilah kiranya Anda mendengar (memperhatikan) kami," maka mereka mengatakannya menjadi ra'ina; mereka menyindirnya dengan kata-kata yang berarti kebodohan (ketololan), diambil dari akar kata ar-ra'inah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau patuh.'' Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), "Raina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan patuh serta dengarlah dan perhatikanlah kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 46)
Demikian pula disebutkan oleh hadits-hadits yang menceritakan bahwa mereka itu (orang-orang Yahudi) apabila mengucapkan salam, sesungguhnya yang mereka ucapkan hanya berarti As-samu 'alaikum, sedangkan makna as-samu ialah kebinasaan atau kematian.
Karena itulah bila menjawab salam mereka kita diperintahkan menggunakan kata-kata wa 'alaikum. Karena sesungguhnya yang diperkenankan oleh Allah hanyalah buat kita untuk kebinasaan mereka, sedangkan dari mereka yang ditujukan kepada kita tidak diperkenankan. Tujuan ayat ini ialah Allah melarang kaum mukmin menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatannya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Raina" tetapi katakanlah, "Unzurna," dan "Dengarlah." Dan bagi orang-orang kafir azab yang pedih. (Al-Baqarah: 104)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sabit, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Munib Al-Jarasyi, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Aku diutus sebelum hari kiamat dengan membawa pedang hingga hanya Allah semata yang disembah, tiada sekutu bagi-Nya; dan rezekiku dijadikan di bawah naungan tombakku, serta kenistaan dan kehinaan dijadikan bagi orang yang menentang perintahku. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Usman ibnu Abu Syaibah, dari Abun Nadr Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ibnul Qasim dengan lafal yang sama, yaitu:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”
Di dalam hadits ini terkandung larangan, peringatan, dan ancaman yang keras meniru-niru orang kafir dalam ucapan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, ibadah mereka, serta perkara-perkara lainnya yang tidak disyariatkan kepada kita dan yang kita tidak mengakuinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Ibnu Ma'an dan Aun atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berilah aku pelajaran." Ibnu Mas'ud menjawab, "Apabila kamu mendengar Allah ﷻ berfirman, 'Wahai orang-orang yang beriman,' maka bukalah lebar-lebar telingamu (perhatikanlah) karena sesungguhnya hal itu merupakan kebaikan yang diperintahkan, atau kejahatan yang dilarang."
Al-A'masy meriwayatkan dari Khaisamah yang pernah berkata, "Apa yang kalian baca di dalam Al-Qur'an yang bunyinya mengatakan, 'Wahai orang-orang yang beriman,' maka sesungguhnya hal itu di dalam kitab Taurat disebutkan, 'Wahai orang-orang miskin'."
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna kalimat ra'ina. Ia mengatakan, artinya ialah 'perhatikanlah kami dengan pendengaranmu'.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya mereka mengatakan kepada Nabi ﷺ, "Bukalah pendengaranmu lebar-lebar untuk kami. Sesungguhnya ucapan ‘ra'ina’ ini sama dengan ucapanmu ‘Alinna’."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abul Aliyah dan Abu Malik serta Ar-Rabi' ibnu Anas, Atiyyah Al-Aufl dan Qatadah.
Mujahid mengatakan, makna la taqulu ra'ina ialah janganlah kalian mengatakan hal yang bertentangan.
Menurut riwayat lain disebutkan, "Janganlah kamu katakan, 'Perhatikanlah kami, maka kami akan memperhatikanmu'."
‘Atha’ mengatakan bahwa ra'ina adalah suatu dialek di kalangan orang-orang Anshar, maka Allah melarang hal tersebut. Al-Hasan mengatakan bahwa ucapan ra'ina artinya kata-kata ejekan, mengingat ar-ra'inu minal qauli artinya kata-kata yang digunakan untuk tujuan tersebut. Allah ﷻ melarang mengolok-olok ucapan Nabi ﷺ dan seruan beliau yang mengajak mereka masuk Islam. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa dia mengatakan hal yang serupa.
Abu Sakhr mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina," tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104) Pada mulanya apabila ada seseorang dari kalangan kaum mukmin mempunyai suatu hajat (keperluan) kepada Nabi ﷺ, sedangkan Nabi ﷺ telah beranjak pergi dari mereka, maka mereka memanggilnya dengan ucapan, "Sudilah kiranya engkau memperhatikan kami." Hal ini terasa kurang enak oleh Rasulullah ﷺ bila ditujukan kepada diri beliau.
As-Suddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa' yang dikenal dengan nama Rifa'ah ibnu Zaid sering datang kepada Nabi ﷺ. Apabila Rifa'ah berjumpa dengannya, lalu mereka berbincang-bincang. Rifa'ah mengatakan, "Dengarkanlah aku, semoga engkau tidak mendengar apa-apa" (dengan memakai dialeknya), sedangkan kaum muslim menduga bahwa para nabi terdahulu dihormati dengan ucapan tersebut. Maka salah seorang kaum muslim ikut-ikutan mengatakan, "Dengarkanlah, semoga engkau tidak mendengar, semoga engkau tidak berkecil hati." Kalimat inilah yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Maka Allah ﷻ memerintahkan kepada kaum mukmin, janganlah mereka mengucapkan kata-kata ra'ina kepada Nabi ﷺ.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam meriwayatkan pula hal yang serupa. Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar menurut kami sehubungan dengan masalah ini ialah Allah melarang kaum mukmin mengatakan kepada Nabi-Nya ucapan raina. Karena kalimat ini tidak disukai oleh Allah ﷻ bila mereka tujukan kepada Nabi-Nya. Pengertian ayat ini sama dengan makna yang terkandung di dalam sabda Nabi ﷺ, yaitu: "Janganlah kalian sebutkan buah anggur dengan nama ‘Al-Karam’, melainkan sebutlah ‘Al-Habalah’; dan janganlah kalian sebutkan, ‘Hambaku’ melainkan sebutlah, ‘Pelayanku’." Dan lain-lainnya yang serupa.
Ayat 105
Firman Allah ﷻ: “Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah: 105)
Melalui riwayat ini Allah menjelaskan (kepada Nabi-Nya) permusuhan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik yang sangat keras (terhadap diri Nabi ﷺ). Mereka adalah orang-orang yang kaum mukmin diperingatkan oleh Allah ﷻ agar jangan menyerupai mereka, sehingga terputuslah hubungan intim di antara kaum mukmin dan mereka. Kemudian Allah ﷻ mengingatkan kaum mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa syariat yang sempurna yang telah Dia turunkan kepada nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-Nya: "Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Al-Baqarah: 105)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, Ra''ina',2 yang berarti, Peliharalah dan jagalah kami, kepada Rasulullah karena kata itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang Yahudi untuk berolokolok yang menyerupai kata ra'unah, yang berarti bebal dan sangat bodoh, tetapi katakanlah, Undhurna' (Perhatikanlah kami), dalam mempelajari agama dan dengarkanlah serta taatilah perintah-perintah Allah kepadamu dan janganlah kamu menyerupai orang-orang Yahudi yang berkata, Kami mendengar dan kami ingkar. Dan orang-orang kafir dari kaum Yahudi itu akan mendapat azab yang pedih akibat olokolok mereka kepada Rasulullah. Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan, salah satunya Al-Qur'an sebagai kebaikan yang paling tinggi dari Tuhanmu, karena kedengkian dan rasa iri dalam diri mereka. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya, berupa kenabian, wahyu, kenikmatan, dan kebaji kan kepada orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, misalnya kepada Nabi Mu hammad. Dan Allah pemilik karunia, nikmat, dan kebajikan yang besar.
.
Para sahabat Nabi dilarang mengucapkan kata-kata "ra'ina" yang biasa mereka ucapkan kepada Nabi yang kemudian ditiru oleh orang Yahudi dengan mengubah bunyinya sehingga menimbulkan pengertian yang buruk, guna mengejek Nabi.
Ra'ina, seperti diterangkan di atas, artinya perhatikanlah kami. Tetapi orang Yahudi mengubah ucapannya, sehingga yang mereka maksud ialah ra'unah yang artinya bodoh sekali, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh sahabat-sahabat menukar ra'ina dengan undhurna yang sama artinya dengan ra'ina. Allah mengajarkan kepada orang mukmin untuk mengatakan undhurna, yang mengandung maksud harapan kepada Rasulullah ﷺ agar dapat memperhatikan keadaan para sahabat.
Allah juga memperhatikan orang-orang mukmin untuk mendengarkan sebaik-baiknya pelajaran agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ yang mengandung pula perintah untuk tunduk dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Nabi, serta menjauhi larangannya. Kemudian Allah dalam ayat ini mengingatkan bahwa orang kafir, yang tidak mau memperhatikan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad ﷺ akan mendapatkan siksaan yang pedih.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 104
SOPAN SANTUN KEPADA RASULULLAH ﷺ
Setelah demikian banyak kata dihadapkan kepada Bani Israil, sekarang dihadapkan tuntunan bagi orang yang Mukmin sendiri, pengikut setia daripada Rasul, agar mereka menjaga sopan santun. Karena salah satu sebab keruntuhan jiwa Bani Israil itu ialah kerusakan akhlak mereka, terutama terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul mereka. Di antara sopan santun itu ialah kesopanan memilih kata-kata yang akan diucapkan. Pilihlah kata-kata yang halus dan tidak bisa diartikan salah,
Ayat 104
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu berkata …, tetapi katakanlah … dan dengarkanlah baik-baik"
Sepintas lalu arti ra'irta ialah gembalakan-lah kami atau bimbinglah kami, dari kata ri'ayah dan yang digembalakan itu ialah ra'iyyah (dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat). Namun, dia bisa pula berarti lain, yaitu ru'iy-na, yang berarti tukang gembala kami. Satu kali jadi fi'il amar, tetapi satu kali bisa pula menjadi ismfa'ii. Mohon supaya kami digembalakan, bisa ditukar artinya menjadi engkau ini adalah tukang gembala kepunyaan kami. Dan bisa pula dari ambilan kata ra'unah, yaitu orang yang tidak baik perangainya. Maka orang-orang lain yang berniat jahat bisa saja dengan sengaja membawa arti kata itu kepada yang bukan kamu maksud. Dan ada pula artinya yang lain yang lebih buruk, yaitu, “Hai, orang bodoh! Tunggu sebentar." Oleh sebab itu, hendaklah kamu pilih kata yang artinya tidak dapat diputar-putar kepada maksud buruk. Kata itu adalah unzhurna, artinya pandanglah kami, tiliklah kami. Pandangan mata pun boleh, pandangan hati pun boleh, namun kami tidak lepas dari bimbingan engkau. Dan dia pun berarti beri peluanglah kami dan juga berarti dengarkanlah perkataan kami. Dengan kata unzhurna tidak ada sudut buruk buat orang masuk! Begitulah hendaknya sopan santun orang yang beriman terhadap Rasul-Nya, yang juga menjadi ayah bagi seluruh Mukmin dan menjadi guru.
“Dan bagi orang-orang yang kafir adalah siksaan yang pedih."
Artinya, apabila orang yang beriman tidak lagi menjaga sopan santunnya kepada nabinya, berkata sembarang kata, bercakap sembarang cakap, disamakannya saja percakapan dengan orang biasa, alamat runtuhlah budinya. Apabila budi telah runtuh, niscaya kian lama tertutup pintu iman dan terbukalah pintu kufur. Dan kalau telah kufur, siksa yang pedihlah yang akan diderita, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Adapun kepada guru yang mengajar kita, hilanglah berkat apa yang dipelajari kalau kita bercakap tidak dengan hormat kepadanya, apatah lagi kepada Nabi Muhammad ﷺ Perhatikanlah bagaimana jauhnya dari kesopanan seketika Bani israil itu berkata kepada Musa, “Hai Musa, cobalah tanya kepada Tuhan engkau itu, lembu betina yang macam mana yang dikehendakinya dari kami." Apakah mereka tidak mempunyai kata lain yang lebih sopan dari itu terhadap seorang rasul yang telah menyeberangkan mereka dari Mesir, membebaskan mereka dari perbudakan Fir'aun?
Dan, ayat ini pun menuntun kita, baik dalam pergaulan murid terhadap gurunya, rakyat terhadap pimpinan negaranya, maupun dalam pergaulan sesama sendiri, supaya dalam bercakap pilihlah kata-kata yang baik lagi jitu dengan niat yang baik dan jitu. Sebagaimana nabi orang Cina, Khong Hu Cu, pernah juga mengatakan, “Sebelum aku mengurus hal negara, lebih dahulu aku hendak menyelesaikan pengertian dari tiap kata yang dipakai."
Voltaire pujangga Prancis pun berkata, “Sebelum dua orang bertukar pikiran, hendaklah terlebih dahulu mereka bersepakat tentang arti kalimat yang hendak mereka bicarakan."
Ayat ini pun menjadi tuntunan bagi kita dalam memilih kalimat-kalimat di dalam surat-surat perjanjian (kontrak) dan lain-lain. Jangan dicampurkan kata-kata yang bisa disalahartikan atau berlain pengertian.
Di dalam surat-surat perjanjian bangsa yang kuat berkuasa terhadap bangsa yang lemah terjajah, seumpama bangsa Belanda ketika memasukkan pengaruhnya kepada raja-raja bangsa Indonesia zaman lampau, diperbuat perjanjian itu dalam dua bahasa, satu naskah dalam bahasa Belanda dan satu naskah lagi dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah Jawa, Makassar, dan lain-lain. Tetapi di dalam surat itu pun diterangkan bahwa jika terdapat perselisihan pengertian, naskah yang ditulis dalam bahasa Belandalah yang berlaku.
Kalimat-kalimat yang dipakai hendaklah yang tegas, yang maknanya dapat diartikan dengan jujur, bukan kalimat yang dapat disalahartikan.