Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِن
dan tidaklah
مِّن
dari
قَرۡيَةٍ
suatu negeri
إِلَّا
melainkan
نَحۡنُ
Kami
مُهۡلِكُوهَا
membinasakannya
قَبۡلَ
sebelum
يَوۡمِ
hari
ٱلۡقِيَٰمَةِ
kiamat
أَوۡ
atau
مُعَذِّبُوهَا
mengazabnya
عَذَابٗا
azab
شَدِيدٗاۚ
sangat keras
كَانَ
adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
kitab
مَسۡطُورٗا
tertulis
وَإِن
dan tidaklah
مِّن
dari
قَرۡيَةٍ
suatu negeri
إِلَّا
melainkan
نَحۡنُ
Kami
مُهۡلِكُوهَا
membinasakannya
قَبۡلَ
sebelum
يَوۡمِ
hari
ٱلۡقِيَٰمَةِ
kiamat
أَوۡ
atau
مُعَذِّبُوهَا
mengazabnya
عَذَابٗا
azab
شَدِيدٗاۚ
sangat keras
كَانَ
adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
kitab
مَسۡطُورٗا
tertulis
Terjemahan
Tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), kecuali Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduk)-nya dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz).
Tafsir
(Dan tak ada) tiada (suatu negeri pun) yang dimaksud adalah penduduknya (melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat) dengan mematikan mereka (atau Kami mengazabnya dengan azab yang sangat keras) dengan cara membunuhnya atau dengan cara yang lain. (Adalah yang demikian itu di dalam kitab) di Lohmahfuz (telah tertulis) telah tertera di dalamnya.
Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) Allah ﷻ memberitahukan, telah diputuskan dan telah dicatat di dalam Lauh Mahfuz yang ada di sisi-Nya, bahwa tidak ada seorang penduduk kampung pun melainkan Allah membinasakannya dengan cara mematikan semua penduduknya atau mengazab mereka. dengan azab yang sangat keras. (Al-Isra: 58) Adakalanya dengan membunuh mereka atau menimpakan cobaan menurut apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya hal itu terjadi tiada lain karena dosa-dosa dan keburukan-keburukan mereka.
Di dalam ayat yang lain Allah ﷻ menyebutkan kisah tentang umat-umat terdahulu: Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Hud: 101) Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. (Ath-Thalaq: 9) Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya. (Ath-Thalaq: 8), hingga akhir ayat.
Dan tidak ada suatu negeri pun yang durhaka penduduknya karena
kekufuran atau kejahatan perbuatannya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat dengan kematian atau Kami siksa penduduknya
dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu, yakni kebinasaan dan
siksa yang menimpa mereka, telah tertulis di dalam kitab Lauh Mahfudh. Orang-orang kafir Mekah berkata bahwa nabi-nabi dahulu dapat
melakukan perbuatan yang luar biasa, seperti mengarahkan angin
menurut kehendaknya atau menghidupkan orang mati, lalu mereka
meminta kepada Nabi Muhammad agar menunjukkan bukti kenabiannya dengan mengubah bukit Safa menjadi emas, maka turunlah wahyu
Allah, Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkankepadamu
tanda-tanda kekuasaan Kami yang dapat dilihat, melainkan karena tandatanda itu telah didustakan oleh orang terdahulu. Dan di antara tanda-tanda
yang telah Kami berikan kepada umat terdahulu yaitu tanda-tanda yang
Kami berikan kepada kaum Šamud, kaumnya Nabi Saleh, berupa unta
betina sebagai mukjizat yang dapat dilihat, sebagaimana yang diusulkan
oleh mereka, tetapi mereka menganiaya unta betina itu dengan membunuhnya. Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk
menakut-nakuti agar mereka beriman. Akan tetapi mereka tidak mau
beriman, walaupun telah Kami tunjukkan kepada mereka tanda-tanda
kekuasaan Kami yang bersifat indrawi yang mereka minta. Jika Kami
menunjukkan tanda-tanda itu kepadamu niscaya kamu akan mendustakan pula, dan dengan demikian akan berlaku pula ketentuan kami
menghancurkan penduduk negeri yang durhaka sebagaimana berlaku
kepada kaum sebelum kamu.
Allah ﷻ memberikan peringatan kepada kaum musyrikin Mekah yang mengingkari terjadinya hari kebangkitan, hari pembalasan, dan kerasulan Muhammad, bahwa tidak ada suatu negeri pun yang penduduknya durhaka, melainkan dibinasakan keseluruhannya, sebelum hari kiamat datang atau ditimpa bencana yang hebat karena dosa dan keingkaran mereka kepada nabi-nabi yang pernah diutus kepada mereka.
Allah ﷻ berfirman:
Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan (di akhirat). Sehingga mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka, itu adalah kerugian yang besar. (ath-thalaq/65: 8-9)
Allah ﷻ menjelaskan bahwa yang demikian itu telah tercantum dalam kitab Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari 'Ubadah bin shamit ia berkata, "Saya telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
Sebenarnya yang diciptakan pertama kali oleh Allah ialah qalam (pena), kemudian Allah ﷻ berfirman pada qalam itu, "Catatlah," lalu qalam itu berkata, "Apa yang akan saya catat?" Allah ﷻ berfirman, "Catatlah hal-hal yang telah ditentukan, dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat." (Riwayat Imam at-Tirmidzi dari 'Ubadah bin shamit).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SATU NEGERI DIBINASAKAN
Ayat 58
“Dan tidak ada satu pun negeri, melainkan Kami akan membinasakannya sebelum hari Kiamat."
Oleh karena ayat ini adalah lanjutan dari ayat yang sebelumnya, yaitu tempelak Allah kepada manusia yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, yang menyembah berhala atau mendewakan sesama manusia, maka dapatlah kita pahami negeri mana yang dituju Allah dengan ancaman di dalam ayat ini.
“Atau Kami akan mengadzabkan dengan suatu adzabyang perih." Atau seluruh negerinya jadi binasa. Dan kalau Allah menghendaki yang demikian itu, sebentar saja dapat terjadi. Atau didatangkan adzab sehingga penduduknya jadi musnah, dimusnahkan oleh wabah atau penyakit menular. Ancaman Allah ini wajar. Kerusakan suatu negeri, atau dalam sebutan kita di zaman sekarang suatu negara, ialah apabila nilai-nilai kebenaran tidak lagi diperhatikan, dan keadilan tidak lagi dijunjung tinggi, dan yang berkuasa sudah berbuat sekehendak hati, lupa akan kekuasaan yang paling tinggi, yaitu kekuasaan Allah. Bahkan, penguasanya telah mengangkat dirinya ke tempat Allah! Soal-soal nilai budi dan ruhari dicampakkan dan yang penting ialah benda dan kekayaan. Apatah lagi kalau hubungan laki-laki dengan perempuan sudah leluasa saja sehingga tidak tentu lagi ke mana si anu akan dibangsakan karena lahirnya di luar pernikahan. Negeri itu pasti binasa!
“Adalah yang demikian itu di dalam kitab telah tertulis."
Jatuhnya bahaya itu tidaklah dapat dielakkan karena itu telah tertulis di dalam kitab. Baik kitab dalam susunan sejarah atau di dalam kitab-kitab wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi ataupun di dalam kitab ilmu pengetahuan yang teratur, yang sekarang dapat dinamai filsafat sejarah ataupun sosiologi, ilmu kemasyarakatan.
Terjadinya PerangDuniayangbesar sampai dua kali di dalam hanya satu kurun masa, dalam zaman modern ini, adalah pembukaan satu lembaran dari beratus-ratus bahkan beribu halaman dari kitab yang telah tertulis itu. Kemajuan ilmu pengetahuan manusia dan kemudahan hidup rupanya tidak menjamin bagi kekalnya satu kekuasaan manusia kalau tuntunan Allah telah ditinggalkan.
MUKJIZAT
Ayat 59
“Dan tidak ada yang menghalangi Kami akan mengutus dengan tanda-tanda melainkan karena telah didustakan dianya oleh orang yang dahulu-dahulu."
Perbedaan perutusan Nabi Muhammad ﷺ membawa dakwah kepada manusia dengan nabi-nabi yang dahulu darinya ialah bahwa dalam dakwah Nabi Muhammad mukjizat atau keganjilan-keganjilan yang keluar dari kebiasaan tidak dijadikan sendi yang penting dari dakwah itu. Nabi Muhammad tidak disuruh membelah laut seperti Nabi Musa, dan Nabi Muhammad tidak disuruh membawa tongkat agar sewaktu-waktu dapat menjelma jadi ular untuk menundukkan kesombongan Fir'aun. Dan Nabi Muhammad tidak disuruh melompati api berkobar seperti Ibrahim yang tidak hangus dalam api itu. Dan beliau tidak diberi mukjizat menghidupkan orang mati atau mengobati orang sakit kusta seperti Nabi Isa.
Mengapa tidak? Karena menunjukkan mukjizat itu tidaklah sekaligus akan membawa orang beriman. Yang kafir tetap kafir juga; Fir'aun tetap menentang sampai dia tenggelam di laut. Demikian pula yang lain."Dan telah Kami datangkan kepada Tsamud seekor unta sebagai suatu penerangan. Tetapi mereka telah berlaku zalim kepadanya." Yang beriman juga yang iman, yang lain berlaku zalim, mereka bunuh unta itu,
“Dan tidaklah Kami mengadakan tanda-tanda, yaitu mukjizat, melainkan buat menakutkan."
Artinya, kalau mukjizat itu telah didatangkan, kalau mereka tidak juga percaya, siksaan dan kesengsaraan pasti diturunkan Allah.
Ayat ini bukan berarti meniadakan mukjizat sama sekali pada Nabi Muhammad. Yang dimaksud ialah, “Bukan mukjizat yang jadi dasar dakwah!"
Menurut riwayat al-Baihaqi di dalam ad-Dalail, diterimanya dari ar-Rabi bin Yunus, Imam Ahmad, an-Nasa'i, al-Bazzar, Ibnu fuzair, Ibnul Munzir, ath-Thabrani, al-Hakim dan di-shahihkannya, dan Ibnu Mardawaihi, semuanya menerima sanadnya dari Ibnu Abbas, kata riwayat ahli-ahli hadits itu, asal mula turun ayat 59 surah al-Israa' ini ialah pada suatu waktu penduduk Mekah pernah meminta kepada Nabi ﷺ supaya dia memperlihatkan mukjizatnya seperti nabi-nabi yang dahulu telah memperlihatkannya. Mereka minta supaya Bukit ash-Shafa dijadikan emas, dan supaya gunung-gunung di keliling Mekah yang terdiri atas batu-batu granit itu disuburkan sehingga bisa ditanami. Tetapi, Nabi ﷺ menyatakan kepada mereka, “Kalau saya mau, saya bisa memintakan itu kepada Allah, lalu dikabulkan Allah permintaan itu. Tetapi, kalau kamu durhaka kepada Allah sesudah permintaan kamu itu diperkenankan, kamu akan binasa semua."
Mendengar itu, mereka mundur. Jadi minta-minta mukjizat itu adalah berbahaya. Di dalam ayat, Allah ambil contoh yang dekat, yaitu akibat kezaliman kaum Tsamud. Hancur mereka kena adzab setelah membunuh unta itu. Dan bekas runtuhan negeri mereka dapat dilihat oleh orang-orang Mekah yang berkafilah ke Syam. Sebab tempatnya di pinggir jalan kafilah.
Pada ayat selanjutnya dikuatkan lagi,
Ayat 60
“Dan (ingatlah) tatkala Kami wahyukan kepada engkau bahwa sesungguhnya Tuhan engkau telah mengepung manusia."
Artinya, kalau Allah hendak inengadzab-kan manusia, tidaklah mereka dapat menge-lakkan atau melepaskan diri. Dari kiri dari kanan. Dari muka dari belakang. Dari atas dari bawah, adzab Allah itu mengepung mereka. Ini adalah sambungan dari ayat 59 yang menyatakan bahwa mukjizat-mukjizat seperti yang dinyatakan nabi-nabi dahulu itu tidak menjadi pokok dakwah Muhammad ﷺ. Mungkin mereka tetap durhaka juga, mereka pun binasa. Atau sesat seperti umat Nasrani pula, mereka katakan pula Nabi Muhammad Tuhan! Selanjutnya, Allah kemukakan contoh, “Dan tidaklah Kami jadikan penglihatan yang telah Kami unjukkan kepada engkau itu, melainkan sebagai percobaan
Sekalipun mukjizat bukan pokok dakwah, bukan berarti Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah ada mukjizat. Isra' dan Mi'raj adalah mukjizat. Diperlihatkan kepada beliau ketika Isra' dan Mi'raj itu hal-hal yang ganjil-ganjil, sejak berbelah dada, sampai mengendarai Buraq, sampai ke Baitul Maqdis, ke langit, ke Sidratul Muntaha, bertemu Jibril dalam rupanya yang asli, bertemu nabi-nabi pada tiap-tiap tingkat langit. Tetapi, setelah hal ini beliau ceritakan kepada mereka setelah pulang, bukankah yang kafir bertambah kafir, dan yang iman jua yang bertambah iman? Bukankah Abu Jahal mencemooh dan Abu Bakar mengakui? Jadi, kalau sekiranya Isra' dan Mi'raj jadi pokok dakwah, selesailah urusan hingga itu dan hancurlah Quraisy waktu itu juga karena pada waktu itu masih banyak yang belum percaya.
Tetapi, mukjizat Isra' dan Mi'raj itu bukan tujuannya semata-mata untuk menunjukkan keganjilan Isra' dan Mi'raj itu sendiri, melainkan untuk menerima perintah mengerjakan shalat lima waktu yang akan menjadi pegangan umat Muhammad sampai hari Kiamat.
Dengan keterangan bahwa mukjizat bukanlah pokok utama di dalam melakukan dakwah Muhammad ﷺ, bukanlah berarti bahwa beliau tidak diberi Allah pula mukjizat yang lain. Di dalam sejarah hidup beliau, baik yang disusun oleh Ibnu Ishaq atau yang diceritakan oleh al-Qadhi Iyadh di dalam kitabnya asy-Syifa atau Imam Ghazali di dalam al-ihya atau di dalam kitab-kitab riwayat yang lain banyaklah diuraikan tentang mukjizat Nabi Muhammad ﷺ itu. Di antaranya ialah:
(1) Ketika penduduk Mekah menuntut mukjizat, bulan telah kelihatan terbelah dua, disaksikan oleh mata banyak orang dan haditsnya dirawikan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Anas bin Malik.
(2) Memberi makan lebih dari 800 orang di rumah Jabir, semuanya kenyang, sedang yang ditanak hanya 4 gantang gandum, riwayat Bukhari dan Abu Na'im dan al-Baihaqi.
(3) Dimasukkan jarinya ke dalam timba, lalu melimbak-limbak air keluar sehingga da-patlah minum 1.400 tentara Islam di Hu-daibiyah dan dapat pula berwudhu.
(4) Perintahnya kepada Umar bin Khaththab memberi makan 400 orang dengan hanya sekepal kurma.
(5) Terdengar oleh sahabat-sahabat beliau pelepah kurma yang diambil jadi tiang mimbarnya menangis karena mimbar Rasulullah ﷺ telah ditukar dengan mimbar baru dan dia tidak akan dipakai lagi,
(6) Sehabis shalat Shubuh pagi-pagi beliau memberitahu kepada sahabat-sahabatnya bahwa tadi malam Najasyi (Negus) Raja Habsyi yang telah Islam itu telah meninggal dunia, lalu beliau ajak sahabat-sahabat itu melakukan shalat jenazah gaib bagi raja tersebut. Dan beberapa waktu kemudian memang datanglah berita dari Habsyi menyatakan bahwa raja itu memang telah meninggal pada malam tersebut.
(7) Dikejar dia dari belakang oleh Suraqah ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah karena hendak membunuh dia. Tetapi setelah dekat terbenamlah kaki kuda Suraqah ke dalam pasir sehingga tak dapat maju. Dan kejadian ini sampai tiga kali sehingga Suraqah mundur dengan sendirinya.
(8) Disebarkannya pasir ketika Peperangan Hunain kepada musuh yang banyak itu sehingga mata semuanya kena pasir dan tak dapat maju.
(9) Berita kematian nabi palsu yang bernama Aswad al-Insiy beliau terima hari itu juga sebagai kematian Najasyi itu juga.
(10) Terkaannya bahwa cucunya yang masih kecil sedang merangkak, yaitu Hasan bin Ali, kelak akan mendamaikan dua golongan orang Islam yang berselisih.
(11) Terkaannya bahwa Amar bin Yasir akan mati dibunuh oleh golongan yang durhaka.
Semuanya itu kejadian. Tetapi, ajaran Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak lah meng-gembar-gemborkan soal mukjizat ini. Al-Qur'an hanya mengajak orang berpikir dan merenung bahwa Allah itu adalah Esa, tidak bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dipesankan pula bahwa barangsiapa yang mendekatkan dirinya senantiasa kepada Allah, dia akan diberi berbagai kemuliaan dan keistimewaan oleh Allah! Siapa saja!
“Dan pohon yang dilaknat di dalam Al-Qur'an pun begitu" Kemudian, itu dilanjut-kanlah di dalam ayat tentang pohon kayu yang dikutuk di dalam Al-Qur'an, yaitu pohon kayu yang bernama zaqqum.
Pohon zaqqum ini tersebut di dalam surah al-Waaqi'ah ayat 52. Tersebut pula dalam surah ash-Shaaffaat, ayat 62. Dan tersebut pula dalam surah ad-Dukhkhan, ayat 43-44. Dan ketiga surah ini turun di Mekah belaka. Diterangkan bahwa zaqqum itu ialah pohon kayu berduri yang akan jadi makanan orang yang sangat berdosa. Disebutkan pula bahwa tiap-tiap rantingnya menjulur adalah serupa kepala setan.
Saat ayat-ayat yang menceritakan zaqqum ini dibacakan oleh Nabi Muhammad, datanglah Abu Jahal mencemoohkan. Dia berkata kepada orang yang telah beriman kepada Nabi Muhammad, “Kawan kalian itu mengatakan bahwa dari sangat panasnya api neraka, batu yang keras pun akan dibakarnya. Dan kawan kalian itu mengatakan bahwa dalam neraka itu ada kayu ajaib namanya zaqqum, pohon berduri memecah perut." Maka dengan senyum yang penuh cemooh disuruh nya budaknya perempuan mengambil sepiring berisi kurma dicampurnya dengan keju, lalu dihidangkannya kepada orang yang hadir dan katanya, “Inilah dia zaqqum, mari kita makan zaqqum ramai-ramai."
Maka datanglah ujung ayat,
“Dan kami hendak mempertakuti mereka, tetapi tidaklah menambah kepada mereka itu melainkan kesesalan yang besar jua."
Dengan ini nyatalah bahwa orang yang sengaja hendak menolak dan kufur akan mencari berbagai dalih atau sikap, walaupun telah diancam dan dipertakuti, masih melakukan cemooh yang sangat kasar. Dan akhir akibat dari Abu Jahal yang bersikap demikian sudah sama kita ketahui, yaitu kehancurannya sendiri dalam Peperangan Badar.
Tambahan penjelasan.
Sepotong ayat 60 ini, yang berbunyi,
Telah kita artikan, “Dan tidaklah kami jadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada engkau."
Ru'yaa (...) kita artikan penglihatan. Arainaka (...) kita artikan telah kami perlihatkan kepada engkau.
Kita artikan demikian karena kita cenderung kepada madzhab Sayyidina Abu Bakar Shiddiq bahwa Nabi kita ﷺ telah diisra' dan diMi'rajkan oleh Allah dengan tidak masuk membicarakan apakah dengan tubuh dan nyawa atau nyawa saja. Sebab golongan yang berpendirian bahwa Isra' dan Mi'raj berlaku nyawabeliausajamengartikanri/yoa itu mimpi.
Karena pendirian mereka yang demikian, mereka mengartikan ayat ini demikian, “Dan tidaklah Kami jadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepada engkau."
Maka arti yang telah kita pilih itu ialah yang telah dipilih terlebih dahulu oleh Ibnu Abbas.
Berkata Imam asy-Syaukani di dalam tafsirnya, “Menurut keterangan Abdurrazzaq dan Said bin Manshur, dan Imam Ahmad, dan Bukhari, dan Tirmidzi, dan an-Nasa'i, dan Ibnu Jarir, dan Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim, dan ath-Thabrani, dan al-Hakim, dan Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi dalam kitab haditsnya, Dalailun Nubuwwah, yang mereka terima dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas menafsirkan.
Artinya: Warna ja'almr ru'yaa sebagai tersebut di ayat itu, maa ialah penglihatan mata, yang diperlihatkan kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau di-Israa'kan ke Baitul Maqdis. Bukan mimpi ketika tidur." (Tafsir Fathul-Qadir, juz UI, him. 231)
Ada pula beberapa tafsir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ru'yaa di sini memang mimpi, tetapi bukan Isra' dan Mi'raj sebagai mimpi. Melainkan mimpi Rasulullah bahwa beliau mengerjakan umrah ke Mekah dengan selamat tiada kurang suatu apa, sampai bercukur dan bergunting. (Lihat surah al-Fath ayat 27). Kata ahli tafsir itu, beliau bermimpi sebagai tersebut dalam ayat 27 itu, mengerjakan umrah ke Mekah dengan selamat. Lalu, beliau lakukan menurut mimpi itu, berangkat pergi umrah bersama 1.400 kaum Muslimin pada tahun keenam Hijriyah. Tetapi, sampai di Hudaibiyah telah dihalangi oleh orang Quraisy sehingga tidak jadi umrah di tahun itu, barulah terjadi pada tahun depannya, yang dinamai Umratul-Qadhaa tahun ketujuh (lihat tafsirnya dan uraian cerita Perdamaian Hudaibiyah pada Juz 26).
Maka kata penafsir yang menguatkan pendapat itu, mimpi beliau itu adalah ujian juga pada umat, yang dinamai juga fitnah, guna menguji keteguhan iman. Ada di antara yang tergoncang imannya karena mimpi itu tidak bersua seperti tersebut dalam mimpi di tahun keenam, padahal di tahun ketujuh telah berlaku sebagaimana dimimpikan oleh Rasulullah ﷺ.
Tetapi, penafsiran ini tidak juga diterima seluruhnya dan kurang juga dapat diterima. Sebab ayat ini dan surah ini turun di Mekah, sebelum pindah ke Madinah. Padahal mimpi mengerjakan umrah itu ialah di tahun keenam sesudah hijrah ke Madinah.
Kesimpulannya ialah bahwa penglihatan Rasulullah ﷺ yang diperlihatkan kepada beliau ketika Isra' dan Mi'raj, ditambah lagi dengan cerita tentang pohon kayu yang dilaknat di dalam Al-Qur'an itu, keduanya adalah fitnah. Artinya pencobai iman mereka di waktu itu. Dan juga untuk menimbulkan kesadaran dan takut kepada Allah. Tetapi yang dekat juga yang bertambah dekat, yang kafir tetap menjauhkan diri.
Tersebutlah di dalam riwayat bahwa pagi-pagi besoknya, setelah Nabi ﷺ kembali dari Isra' dan Mi'raj itu Sayyidina Abu Bakar ditemui oleh seseorang dan orang itu berkata kepadanya, “Kawan kamu mengatakan bahwa dia tadi malam kembali dari Baitul Maqdis." Abu Bakar menjawab, “Kalau dia berkata begitu, benarlah katanya itu." Orang itu bertanya, “Apakah langsung engkau benarkan padahal belum engkau dengar sendiri dari dia?"
Abu Bakar menjawab, “Di mana akalmu? Sedangkan dia mengatakan menerima wahyu dari langit lagi saya akui kebenarannya, bagaimana tidak akan saya benarkan kalau dia mengatakan dia kembali dari Baitul Maqdis tadi malam? Padahal langit lebih jauh dari Baitul Maqdis?"
Dan kemudian seketika didengarnya sendiri Rasulullah ﷺ menceritakan Isra' dan Mi'raj itu kepadanya langsung, dia berkata, “Shaddaqta!" (Benar engkau!). Sejak itu, Nabi memberinya gelar “Shiddiq"."Yang selalu membenarkan!" Gelar yang mulia sekali.