Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَوۡفُواْ
dan penuhilah
ٱلۡكَيۡلَ
takaran
إِذَا
apabila
كِلۡتُمۡ
kamu menakar
وَزِنُواْ
dan timbanglah
بِٱلۡقِسۡطَاسِ
dengan adil/neraca
ٱلۡمُسۡتَقِيمِۚ
lurus/benar
ذَٰلِكَ
demikian itu
خَيۡرٞ
lebih baik/utama
وَأَحۡسَنُ
dan lebih baik
تَأۡوِيلٗا
kesudahan
وَأَوۡفُواْ
dan penuhilah
ٱلۡكَيۡلَ
takaran
إِذَا
apabila
كِلۡتُمۡ
kamu menakar
وَزِنُواْ
dan timbanglah
بِٱلۡقِسۡطَاسِ
dengan adil/neraca
ٱلۡمُسۡتَقِيمِۚ
lurus/benar
ذَٰلِكَ
demikian itu
خَيۡرٞ
lebih baik/utama
وَأَحۡسَنُ
dan lebih baik
تَأۡوِيلٗا
kesudahan
Terjemahan
Sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang paling baik dan paling bagus akibatnya.
Tafsir
(Dan sempurnakanlah takaran) penuhilah dengan tepat (apabila kalian menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar) timbangan yang tepat (itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya.).
Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan patuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya. Dan sempurnakanlah takaran apabila kalian menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. Firman Allah ﷻ: Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa. (Al-Isra: 34) Maksudnya, janganlah kalian menggunakan harta anak yatim kecuali dengan niat untuk melestarikannya.
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakan) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada sahabat Abu Zar: Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihat dirimu orang yang lemah, dan sesungguhnya aku menyukai dirimu sebagaimana aku menyukai diriku sendiri. Janganlah kamu menjadi pemimpin atas dua orang, dan jangan pula kamu mengurus harta anak yatim.
Adapun firman Allah ﷻ: dan penuhilah janji. (Al-Isra: 34) Yakni janji yang telah kamu adakan dengan orang lain dan transaksi transaksi yang telah kalian tanda tangani bersama mereka dalam muamalahmu. Karena sesungguhnya janji dan transaksi itu, masing-masing dari keduanya akan menuntut pelakunya untuk memenuhinya. sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya. (Al-Isra: 34) Artinya, pelakunya akan dimintai pertanggungjawabannya. Firman Allah ﷻ: Dan sempurnakanlah takaran apabila kalian menakar. (Al-Isra: 35) Yakni kalian tidak boleh melipat (mengurangi)nya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran. (Al-A'raf: 85) dan timbanglah dengan neraca yang benar. (Al-Isra: 35) Qistas sewazan dengan lafaz qirtas (kertas); dapat dibaca qurtas.
artinya timbangan. Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qistas menurut bahasa Romawi artinya neraca timbangan. Firman Allah ﷻ: yang benar. (Al-Isra: 35) Yaitu neraca yang tidak miring, tidak melenceng, dan tidak kacau (bergetar). Itulah yang lebih utama. (Al-Isra: 35 Maksudnya, lebih utama bagi kalian daiam kehidupan dunia dan akhirat. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: dan lebih baik akibatnya. (Al-Isra: 35) Yakni lebih baik akibatnya bagi kehidupan akhirat kalian. Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah yang lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (Al-Isra: 35) Yakni lebih baik pahalanya dan lebih baik akibatnya.
Ibnu Abbas pernah berkata, "Hai para mawali (pelayan) sesungguhnya kalian diserahi dua perkara yang pernah mengakibatkan kebinasaan manusia di masa sebelum kalian, yaitu takaran dan timbangan ini." Dan Qatadah pernah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Tidak sekali-kali seseorang mampu berbuat hal yang haram, lalu ia meninggalkannya yang tiada lain karena takut kepada Allah, kecuali Allah menggantikan baginya dengan segera di dunia ini sebelum akhiratnya sesuatu yang jauh lebih baik daripada hal yang haram itu."
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, jangan mengurangi takaran untuk orang atau melebihkannya untuk dirimu, dan timbanglah dengan timbangan yang benar sesuai dengan ukuran yang ditetapkan. Itulah yang lebih utama bagimu, karena dengan demikian orang
akan percaya kepadamu dan tenteram dalam bermuamalah denganmu dan lebih baik akibatnya bagi kehidupan manusia pada umumnya di
dunia dan bagi kehidupanmu di akhirat kelak. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Jangan mengatakan sesuatu yang engkau tidak
ketahui, jangan mengaku melihat apa yang tidak engkau lihat, jangan
pula mengaku mendengar apa yang tidak engkau dengar, atau mengalami apa yang tidak engkau alami. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, adalah amanah dari Tuhanmu, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya, apakah pemiliknya menggunakan untuk kebaikan atau keburukan'.
Selanjutnya Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menyempurnakan takaran bila menakar barang dagangan. Maksudnya ialah pada waktu menakar barang hendaknya dilakukan dengan setepat-tepatnya dan secermat-cermatnya. Oleh karena itu, seseorang yang menakar barang dagangan yang akan diserahkan kepada orang lain sesudah dijual tidak boleh dikurangi takarannya karena merugikan orang lain. Demikian pula kalau seseorang menakar barang dagangan orang lain yang akan ia terima sesudah dibeli, tidak boleh dilebihkan, karena juga merugikan orang lain.
Allah ﷻ juga memerintahkan kepada mereka agar menimbang barang dengan neraca (timbangan) yang benar dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Neraca yang benar ialah neraca yang dibuat seteliti mungkin, sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada orang yang melakukan jual beli, dan tidak memungkinkan terjadinya penambahan dan pengurangan secara curang.
Allah ﷻ mengancam orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan ini dengan ancaman keras. Allah ﷻ berfirman:
Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (al-Muthaffifin/83: 1-3)
Di akhir ayat, Allah ﷻ menjelaskan bahwa menakar atau menimbang barang dengan teliti lebih baik akibatnya bagi mereka karena di dunia mereka mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat, dan di akhirat nanti akan mendapat pahala dari Allah dan keridaan-Nya, serta terhindar dari api neraka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEJUJURAN BERNIAGA
Ayat 35
“Dan sempurnakanlah sukaran apabila kamu menyukai."
Al-kail kita artikan saja dengan sukatan. Menurut yang lazim di negeri Melayu, satu sukatan adalah empat gantang dan satu ke-tiding adalah sepuluh sukat. Tetapi, pemerintah Republik Indonesia melanjutkan pemerintahan Belanda yang lama tidak lagi memakai sukat dan gantang sebagai ukuran resmi, melainkan memakai liter."Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus." Dalam hal timbangan yang besar kita di zaman sekarang memakai kilogram. Maka ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang Mukmin hendaklah secara jujur menggunakan sukatan dan timbangan, jangan ada kecoh dan tipu sehingga ada gantang atau liter pembelian lain pula gantang atau liter penjual. Anak timbangan demikian pula jangan sampai merugikan.
“Itulah yang baik, dan itulah yang seelok-elok kesudahan."
Itulah yang baik Sebab, dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak, baik yang menjual ataupun yang membeli keuntungan yang didapati ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati, yang membawa kemakmuran. Ahli-ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang sehat itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Namun, uang hasil dari kecurangan adalah uang panas. Lekas dapat, lekas musnah. Seelok-elok kesudahan adalah kemakmuran yang merata itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam.
Dengan ayat ini dapatlah kita mengambil kesan bahwa memakai cupak dan gantang, sukat dan ketiding, liter dan kilogram adalah bagian yang terbesar dari kegiatan hidup kita. Negeri Mekah sendiri tempat mula ayat-ayat ini diturunkan didiami oleh orang-orang kaya yang hidup dari perniagaan, membawa barang dengan kafilah di musim panas ke Thaif untuk perhubungan ke selatan dan di musim dingin ke Syam untuk hubungan ke sebelah utara.
Nabi kita sendiri ﷺ adalah seorang saudagar yang menjalankan barang kepunyaan istrinya, Khadijah, dalam usianya 25 tahun, sampai janda kaya itu meminangnya karena terbukti jujur padahal waktu itu beliau belum menjadi rasul.
Maka banyaklah peringatan tentang perniagaan dengan kejujuran itu dalam Al-Qur'an. Cerita Nabi Syu'aib dengan kaumnya penduduk Madyan ditekankan kepada peringatan bagi kaum itu karena kecurangan mereka pada sukatan dan timbangan hingga negeri mereka celaka. Dan sebuah surah yang khas menegur orang-orang yang disebut al-Muthaffifin, yang berarti orang-orang yang curang! “Yaitu orang-orang yang apabila menerima sukatan dari orang lain, mereka minta supaya dicukupkan. Tetapi apabila dia yang menyukat untuk orang lain, mereka rugikan orang."
Tegas di sini bahwa Islam menghendaki majunya iqtishad, ekonomi. Dan iqtishad atau ekonomi itu barulah mencapai yang sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran. Dan kejujuran itu mestilah timbul dari iman.
Menurut sabda Rasulullah saw, yang disampaikan oleh Hasan al-Bishri,
“Tidaklah sanggup seseorang laki-laki berbuat yang haram (curang), tetapi ditinggalkannya, tidak hanya karena takutnya ditinggalkannya, tidak lain hanya karena takutnya kepada Allah, melainkan pastilah akan diganti Allah segera di dunia ini sebelum akhirat, dengan yang lebih baik daripada keuntungan yang nyaris diharapkannya dari yang haram itu."
JANGAN HANYA MENURUT SAJA
Ayat 36
“Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya."
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja."Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.
Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak Turut itu demikian, “Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu."
Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Ke mana orang pergi, ke sana awak pergi. Ke mana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan,
“Sesungguhnya pendenganan dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya."
Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bidah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bidah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.
Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi, sekadar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai.
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan kalau kamu tidak tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
JANGAN SOMBONG
Ayat 37
“Dan janganlah engkau benjolan di atas bumi dalam keadaan sombong."
Marahan kita artikan sombong, yaitu orang yang tak tahu letak dirinya. Bersifat angkuh karena dia telah lupa bahwa hidup manusra di dunia ini hanyalah semata-mata karena pinjaman Allah. Lupa bahwa asalnya hanya dari air mani yang bergetah, campuran air si laki-laki dengan air si perempuan. Dan kelak dia mati, dia akan kembali masuk tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserak dan menakutkan. Lalu diperingatkan siapa sebenarnya diri manusia yang mencoba sombong itu."Sesungguhnya engkau sekali-kali tiada akan dapat membelah bumi."
Ini adalah kata kiasan yang tepat sekali buat orang yang sombong. Bagaimanapun se-seorang yang rantak tojak di atas bumi, menghardik, menghantam tanah, namun bumi itu tidaklah akan luak atau luka karena hantaman kakinya.
“Dan sekali-kali tidaklah akan sampai sebagai gunung tinggimu."
Ini pun suatu ungkapan yang tepat buat orang yang sombong. Dia menengadah ke langit laksana menantang puncak gunung dan melawan awan padahal puncak gunung itu akan melihat lucunya si kecil ini menantang dia, laksana senyumnya seorang manusia melihat seekor semut kecil mengangakan mulutnya hendak mematuk kakinya. Padahal, ditekan saja sedikit dengan ujung kuku, dia pun hancur lumat.
Oleh sebab itu, seorang Mukmin sejati ialah seorang yang tahu diri. Lalu diletakkannya diri itu pada tempat yang sebenarnya. Itulah yang disebut dalam kata Arab tawadhu. Atau tegaklah yang sederhana, ukurlah kekuatan diri, seperti hadits Rasulullah ﷺ,
“Tidaklah akan celaka seseorang yang mengerti kedudukan dirinya."
Ayat 38
“Tiap-tiap sesuatunya itu."
yaitu sejak dari mendurhakai ibu bapak, berkata kasar kepada keduanya, membuang -buang harta (mubazir), boros ataupun bakhil, mendekat kepada zina, membunuh anak karena takut miskin, mendekati harta anak yatim, kecurangan berniaga, melalaikan janji, menurut-nurut saja tanpa berpikir, dan sombong semuanya itu.
“Adalah kejahatannya kepada Allah, amat dibenci."
Sama sekali itu adalah budi yang rendah, akhlak tercela yang menunjukkan bahwa orang yang berperangai demikian belum dapat dimasukkan ke dalam hitungan orang yang beriman.
Akhirnya, sebagai pengunci peringatan-peringatan budi pekerti luhur yang terpuji atau budi rendah yang tercela, berfirmanlah Allah,
Ayat 39
“Demikian itulah setengah daripada hikmah yang diwahyukan oleh Tuhan engkau kepada engkau."
Artinya, itu barulah setengahnya, belum semua. Lalu diperingatkan lagi oleh Allah sumber sejati dari akhlak Muslim itu, yang dari-nyalah timbul segala cabang akhlak, yaitu Dan janganlah engkau jadikan beserta Allah Tuhan yang lain.
Ayat 22
“Ketika pedoman hidup ini dimulai menjelaskannya, dia telah dimulai lebih dahulu"
Dengan seruan itu juga, yaitu jangan dipersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau Allah dipersekutukan, engkau akan tercela, engkau akan terhina. Sekarang demikian jugalah halnya. Kalau engkau persekutukan yang lain dengan Allah,
“Niscaya dilemparkan engkau ke dalam Jahannam, dalam keadaan tercela lagi terbuang."
Dengan ayat 22 dimulai dan dengan ayat 39 disudahi satu peringatan dan hikmah Allah yang akan dijadikan pegangan dalam hidup. Oleh sebab itu, pandangan seorang Muslim terhadap akhlak bukanlah dia semata-mata etika atau sopan santun pergaulan hidup, agar kita dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, dimulai dengan keinsafan atas tujuan hidup kita, yaitu menyatukan hadapan pikiran kepada Zat Yang Maha Esa dan Kuasa.
Dari sana kita memulai langkah. Itu yang kita jadikan pedoman dalam perjalanan. Itu pulalah tujuan kita yang terakhir.
Dia hanya satu tiada Tuhan melainkan Dia.