Ayat

Terjemahan Per Kata
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
يَثۡنُونَ
mereka membusungkan
صُدُورَهُمۡ
dada mereka
لِيَسۡتَخۡفُواْ
untuk menyembunyikan diri
مِنۡهُۚ
daripadanya
أَلَا
ingatlah
حِينَ
di waktu
يَسۡتَغۡشُونَ
mereka menyelimuti diri
ثِيَابَهُمۡ
pakaian mereka
يَعۡلَمُ
(Allah) mengetahui
مَا
apa
يُسِرُّونَ
mereka sembunyikan
وَمَا
dan apa
يُعۡلِنُونَۚ
mereka lahirkan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia/Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِذَاتِ
dengan yang ada/isi
ٱلصُّدُورِ
dada/hati
أَلَآ
ingatlah
إِنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
يَثۡنُونَ
mereka membusungkan
صُدُورَهُمۡ
dada mereka
لِيَسۡتَخۡفُواْ
untuk menyembunyikan diri
مِنۡهُۚ
daripadanya
أَلَا
ingatlah
حِينَ
di waktu
يَسۡتَغۡشُونَ
mereka menyelimuti diri
ثِيَابَهُمۡ
pakaian mereka
يَعۡلَمُ
(Allah) mengetahui
مَا
apa
يُسِرُّونَ
mereka sembunyikan
وَمَا
dan apa
يُعۡلِنُونَۚ
mereka lahirkan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia/Allah
عَلِيمُۢ
Maha Mengetahui
بِذَاتِ
dengan yang ada/isi
ٱلصُّدُورِ
dada/hati
Terjemahan

Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka menutupi (apa yang ada dalam) dada mereka untuk menyembunyikan diri dari-Nya. Ketahuilah bahwa ketika mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Dia mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka nyatakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (segala) isi hati.
Tafsir

Ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a. diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang merasa malu untuk membuang air besar atau merasa malu berjimak karena kemaluan mereka terlihat dari atas langit. Akan tetapi menurut pendapat yang lain dikatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perihal orang-orang munafik (Ingatlah sesungguhnya orang-orang munafik itu memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripada-Nya) daripada Allah (Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain) menutupi dirinya dengan kain (Allah mengetahui) Maha Tinggi Allah (apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan) sehingga sembunyi mereka tidak ada gunanya lagi (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati) artinya Dia mengetahui semua apa yang ada di dalam hati.
Tafsir Surat Hud: 5
Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri darinya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka tidak suka bila menghadapkan kemaluan mereka ke arah langit di saat mereka melakukan senggama (jimak). Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini. Imam Al-Bukhari meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dari Muhammad bin Abbad bin Ja'far, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka. (Hud: 5), hingga akhir ayat.
Lalu aku bertanya, "Hai Ibnu Abbas, apakah yang dimaksud dengan memalingkan dada mereka?" Ibnu Abbas menjawab, "Lelaki yang sedang menyetubuhi istrinya, lalu ia merasa malu; atau dia sedang membuang hajatnya, lalu merasa malu," maka turunlah firman-Nya: Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dadanya. (Hud: 5) Menurut lafaz yang lain, Ibnu Abbas mengatakan bahwa dahulu ada orang-orang yang merasa malu bila membuang hajatnya karena akan kelihatan dari langit, begitu pula bila mereka menyetubuhi istri-istri mereka dengan menghadap ke arah langit.
Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka. Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dadanya untuk menyembunyikan diri darinya. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain. (Hud: 5) Imam Al-Bukhari dan lain-lainnya meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa makna firman-Nya, "Yastagsyuna," ialah 'menutupi kepala mereka dengan kainnya'.
Menurut riwayat lain, dalam tafsir ayat ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengartikannya dengan pengertian ragu kepada Allah dan mengerjakan keburukan-keburukan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya. Dengan kata lain, mereka memalingkan dadanya di kala mengucapkan sesuatu atau mengerjakan sesuatu, dengan dugaan bahwa dengan berbuat demikian mereka dapat menyembunyikan dirinya dari Allah subhanahu wa ta’ala Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa di waktu mereka menutupi dirinya dengan kain saat mereka tidur di malam hari: Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (Hud: 5) Yakni perkataan yang mereka sembunyikan.
dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (Hud: 5) Maksudnya, Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati mereka, yakni semua niat buruk dan rahasia mereka. Alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh Zuhair bin Abu Salma dalam Mu'allaqah-nya yang terkenal itu, yaitu: ....... Jangan sekali-kali kalian menyembunyikan apa yang tersimpan dalam hati kalian dari Allah, dengan maksud agar Allah tidak mengetahuinya.
Betapapun kamu sembunyikan dari Allah, Dia Maha Mengetahui. Dia menangguhkan, lalu mencatatnya di dalam kitab catatan (amal) untuk disimpan buat (dibeberkan nanti) pada hari perhitungan, atau Dia menyegerakan pembalasan-Nya (di dunia). Penyair Jahiliah ini telah mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, memiliki pengetahuan tentang segala yang terinci, juga tentang hari kembali (hari kiamat), hari pembalasan, dan catatan amal perbuatan di dalam kitab-kitab catatan amal yang akan dibeberkan di hari kiamat nanti. Abdullah bin Syaddad mengatakan, "Apabila salah seorang dari mereka bersua dengan Rasulullah ﷺ, maka ia memalingkan dadanya dan menutupi kepalanya (agar tersembunyi) dari Nabi ﷺ Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya berkenaan dengan hal tersebut." Akan tetapi, bila damir dikembalikan kepada Allah (bukan kepada Nabi ﷺ) adalah lebih utama, karena firman selanjutnya mengatakan: Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan. (Hud: 5) Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Ingatlah, sesungguhnya mereka memalingkan dadanya. (Hud: 5) Lafaz sudurahum dibaca rafa' hingga menjadi suduruhum, yakni tasnuna suduruhum, karena dianggap menjadi fa'il; bacaan ini dekat dengan makna yang dimaksud.
[Akhir Juz 11]"
Setelah menjelaskan bahwa seluruh manusia akan kembali dan menghadap Allah pada Hari Kiamat nanti, lalu ayat ini menjelaskan bahwa pengetahuan Allah meliputi apa saja yang ditampakkan maupun
yang disembunyikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka, yaitu orang-orang
munafik, memalingkan dada dari kebenaran agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad, untuk menyembunyikan sesuatu dalam diri, yakni
permusuhan dan kemunafikan mereka dari dia, yakni Nabi Muhammad. Ingatlah, ketika mereka dengan sungguh-sungguh menyelimuti, menutupi diri-nya dengan kain agar tidak terlihat oleh Allah dan Nabi Muhammad, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang
mereka nyatakan, yakni tampakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati dan segala yang tersembunyi. Dan tidak satu pun makhluk bergerak dan bernyawa, yang melata, merayap atau berjalan di muka bumi ini melainkan semuanya telah dijamin
Allah rezekinya. Semua makhluk itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezeki sesuai dengan fitrah kejadiannya. Dia mengetahui
tempat kediamanya ketika hidup di dunia dan mengetahui pula tempat
penyimpanannya setelah mati. Semua itu sudah tertulis dan diatur serapirapinya dalam Kitab yang nyata, yaitu Lauh Mahfudh, perihal perencanaan
dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan
sempurna.
Dalam ayat ini Allah memperingatkan dan menuntut perhatian manusia untuk mengambil pelajaran dan sifat orang yang menolak kebenaran. Mereka itu tidak mau mendengarkan dakwah dan ajaran agama, lalu mereka menundukkan kepala untuk menyembunyikan mukanya karena malu. Wajah mereka tidak kuat menghadapi sinar kebenaran (Al-Qur'an) sewaktu dibacakan kepada mereka, tetapi sinar-sinar itu menembus jiwa mereka sehingga mereka menyembunyikan muka mereka dari Rasul ﷺ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH HUUD
(NABI HUD A.S.)
SURAH KE-ll, 123 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-123)
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
ALIF LA AM RAA
Oleh karena ketika menafsirkan surah al-Baqarah, ketika menguraikan dari hal huruf-huruf di pangkal surah, telah agak panjang kita bicarakan rahasia-rahasia huruf-huruf itu atau tidak ada rahasia sama sekali, maka di sini tidaklah akan kita ulangi lagi menafsirkan maksud huruf-huruf itu, sudilah para peminat memerhatikan kembali pada Juz 1 tafsiran Alif Lam Mim di awal al-Baqarah,
“(Inilah Kitab) yang telah dikukuhkan ayat-ayatnya." Uhkimat kita artikan telah dikukuhkan, artinya tidak dapat dibanding lagi, tidak terdapat kelemahannya dari sudut mana pun dia dipandang. Jika dipandang dari sudut lafal yang keluar dari mulut, maka kukuhlah pilihan hurufnya sehingga dia menjadi kata-kata yang fasih dan tepat Dan dipandang dari segi maknanya, maka kenalah pilihan lafal untuk mencakup makna, sehingga lekas dapat dipahamkan oleh semua orang yang berakal; sempurna dalam bentuk kata dan tiada taranya dalam uraian kata."Kemudian diterang-terangkan dia!' atau dijelaskan satu demi satu, diperincikan, sehingga tidak ada yang meragukan lagi, diuraikan sehingga dapat dipahamkan.
Maka dapatlah dipahamkan bahwasanya ayat-ayat diturunkan dengan kukuh dan kemas, lalu datanglah Rasulullah ﷺ memberinya tafshil atau perincian dan penguraian. Misalnya perintah mengerjakan shalat. Itu adalah muhkamat atau uhkimat, telah mengan-dung pokok hukum. Kemudian datanglah fiishshilat, bagaimana mengerjakan shalat itu. Perincian itu ialah dari Nabi ﷺ sebagai Rasulullah. Bersabdalah beliau,
“Shalatlah sebagaimana kamu lihat aku shalat."
Maka cara Nabi mengerjakan shalat, berdiri, menghadap kiblat, takbir, rukuk, sujud, i'tidal, duduk di antara dua sujud, duduk tawarruk dan duduk iftiraj, semuanya ini adalah tafshil, perincian cara yang dibawakan Nabi. Maka tidaklah sah kita mengerjakan shalat berbeda dari tafshil yang diberikan Nabi itu.
“Langsung dari Yang Mahabijaksana, Yang Amat Mengetahui."
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad ﷺ dan kepada sekalian nabi dan rasul adalah langsung (min ladun) dari Allah, maka bukanlah dia dari Jibril. Jibril hanyalah Ruhul Amin, Ruh Besar, yang diperintahkan menyampaikan wahyu itu kepada Muhammad ﷺ dan tidak pula dari buah pikiran Muhammad ﷺ sendiri.
Wahyu adalah perintah atau larangan, penggembiraan ataupun ancaman. Allah yang Mahabijaksana lebih mengetahui keadaan manusia yang akan dituruni wahyu, bagaimana suasana mereka dan bagaimana pula tingkat kecerdasan mereka, dan Dia pun Maha Mengetahui dan Mahateliti tentang keadaan makhluk-Nya, Sebab itu, turunnya setiap wahyu ialah menurutkebijaksanaan Ilahi belaka. Itulah pula sebabnya maka wahyu turun tidaklah sekaligus, tetapi berangsur menurut keadaan dan kenyataan umat pada suatu masa, sehingga apabila Al-Qur'an telah menjadi mushaf, umat yang datang di belakang pun dapat memasangkan setiap ayat dengan keadaan umat pada waktu itu, dengan terlebih dahulu mengetahui asbabun nuzul, sebab-sebab turun ayat. Supaya ahli-ahli memakai kebijaksanaan dan pengetahuan yang teliti pula.
Kemudian datanglah ayat yang kedua menjelaskan inti sari dari wahyu yang turun di dalam kitab yang kukuh dan rapi itu,
Ayat 2
“Supaya janganlah kamu menyembah, kecuali kepada Allah."
TAUHID
Yang disembah hanya Allah saja, tidak ada yang lain. Pemusatan pemujaan kepada Yang Esa, tiada la berserikat dan bersekutu dengan siapa saja dan barang mana saja. Maka kalau diteliti 6.236 ayat dalam Al-Qur'an yang tergabung di dalam 114 surah, nyatalah bahwa maksud tujuan hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah. Segala pemujaan dan per-sembahan kepada yang lain tidak ada yang diterima. Karena yang lain itu hanyalah makh-luk belaka dari Allah Yang Tunggal.
“Sesungguhnya, aku ini adalah dari Dia, pemberi ancaman dan penggembirakan bagi kamu."
Pangkal ayat menjelaskan tujuan hidup beragama, yaitu menyembah Allah Yang Satu. Ujung ayat menjelaskan bahwa sesungguhnya aku ini adalah utusan, buat menyampaikan ancaman bagi barangsiapayangtidakmematuhi peringatan wahyu ini, dan memberikan pula kabar gembira, kabar bahagia bagi barangsiapa yang mematuhinya dan menerimanya. Adapun kabar ancaman dan warta berita gembira itu
bukanlah bikinanku sendiri; demikian dijelaskan oleh Nabi ﷺ, melainkan min-hu, yaitu dari Dia juga, dari Allah.
Ayat 3
“Dan bahwa hendaklah kamu memohon ampun kepada Allah kamu, kemudian tobatlah kepada-Nya, niscaya akan dianugenahi-Nya kamu satu kesenangan yang baik, sampai waktu yang tertentu."
Dapatlah kita pahami susunan ayat sejak ayat 1 sampai ayat 3 ini. Manusia diseru agar meninggaikan persembahan yang lain dan tujuan persembahan hanyalah kepada Allah, Yang Satu, tiada berserikat. Padahal selama ini mereka itu telah hidup dalam dosa dan kesesatan, yaitu menyembah berhala dan yang lain-lain. Dan dalam hati kecilnya, mereka mengakui bahwa pencipta seluruh alam itu hanyalah Allah Ta'aala saja. Sebab itu, per-buatan mereka selama ini jelas berlawanan dengan hati sanubari mereka sendiri. Sekarang datanglah rasul mengajak mereka kembali kepada jalan yang benar. Untuk itu, hendaklah terlebih dahulu mereka memohonkan ampun kepada Allah Yang Esa itu sebab selama ini Dia telah dipersekutukan dengan yang lain. Dan hendaklah mereka tobat. Arti tobat ialah kembali. Maka hendaklah mereka kembali ke dalam jalan yang benar. Maka orang yang telah insaf akan kesalahannya, mohon ampun dan tobat, permohonannya itu akan dikabulkan oleh Allah. Selanjutnya dijelaskan Allah di sini, apabila mereka telah kembali ke jalan yang benar, mereka akan menempuh hidup yang baru, hidup yang bahagia, karena keluar dari gelap gulita syirik, berganti dengan medan yang luas dari iman. Itulah kesenangan yang menghayati seluruh hidup, sampai datang ajal, atau janji waktu yang tertentu, yaitu maut. Iman sejati kepada Allah sebagai ganti dari kegelapan dosa, adalah kebahagiaan hidup yang sejati. Kalau suasana ini telah didapat, tidaklah ada lagi keraguan, ketakutan, dan kedukacitaan menempuh hidup ini. Mati pun tidak mengapa, “Dan niscaya akan diberi-Nya kepada tiap-tiap orang yang empunya keutamaannya (pula)!'
Pada lanjutan ayat ini teranglah tingkat-tingkat penyempurnaan yang ditempuh oleh seorang yang beriman. Pertama dia memohon ampun atas kesalahannya selama ini, zaman jahiliyyah, disertai meminta tobat Dengan pengakuannya bahwa Allah cuma satu, tiada bersekutu dengan yang lain, yang diungkapkannya dengan pengakuan (syahadat) “laa ilaha illallah", telah memohon ampun dan tobatlah dia dari dosa yang besar selama ini. Kemudian diikutinya lagi dengan pengakuan (syahadat kedua) “Muhammadar Rasulullah", menjadilah dia seorang Islam dan beroleh limpah karunialah jiwanya, merasakan kesenangan yang baik, lepas dari perhambaan benda. Kemudian dilanjutkanlah hidupnya sebagai seorang Muslim, yaitu bahwa iman diikutinya dengan amal yang saleh, jelaslah bahwa amal yang saleh itu membuat orang jadi utama. Orang yang beramal ialah orang yang utama. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang yang beramal adalah orang yang utama. Maka Allah akan mengakui keutamaan itu. Allah akan memberikan penghargaan kepadanya lantaran keutamaannya.
Di dalam hadits-hadits disebutkan bahwasanya orang yang berbuat suatu kebajikan akan diberi pahala sepuluh, sedangkan kalau dia telanjur berbuat salah, ganjaran dosa atas kesalahannya itu hanya satu.
Maka berlombalah manusia Mukmin itu berbuat pekerjaan yang utama menurut bakatnya masing-masing, menurut kecenderungannya. Amalnya itu dilihat oleh Allah, dilihat oleh Rasul, dan dilihat pula oleh orang yang beriman. Timbullah penghargaan. Penghargaan dari Allah dan Rasul bukanlah membuat sombongnya seorang Mukmin, melainkan menambah kegiatannya lagi buat berbuat utama lebih banyak. Maka bahagialah dunia ini oleh halsil usaha orang-orang yang utama.
Cobalah lihat betapa Rasulullah ﷺ menghargai keutamaan sahabat-sahabatnya. Keutamaan Abu Bakar ialah karena dia membenarkan seratus persen apa pun yang di-sampaikan oleh Rasul. Ketika orang ragu-ragu akan kebenaran berita Nabi ﷺ bahwa beliau Isra' dan Mi'raj, Abu Bakar sendiri saja yang mengatakan, “Walaupun lebih dari itu yang dikatakannya, saya tetap percaya. Saya percaya!" Sebab itu, diberi dia gelar utama oleh Rasulullah “ash-Shiddiq".
Demikian juga Umar bin Khaththab yang beroleh gelar al-Faruq, yang berarti orang yang selalu dapat membedakan di antara yang hak dan yang batil.
Karena gagah perkasa menjadi panglima perang, Khalid bin Walid diberi panggilan utama “Saifullah", Pedang Allah.
Ada juga gelar anumerta, dianugerahkan setelah meninggal di dalam perjuangan. Hamzah diberi gelar “Sayyidusy-Syuhada", tuan dari sekalian orang yang mati syahid. Ja'far bin Abi Thalib, karena kedua tangannya putus dalam pertempuran di Mu'tah, diberi gelar utama “Dzul Jahanahain", yang empunya dua sayap, sebab kedua tangannya diganti Allah dengan dua sayap di dalam surga kelak.
Maka bertambah martabat iman, bertambah pula martabat amal, bertambahlah keutamaan seseorang dan diberilah pengakuan keutamaannya itu oleh Allah: tidak ada yang dilupakan dan disia-siakan.
“Dan jikalau kamu berpaling! maka sesungguhnya aku takut akan menimpa atas kamu azab hati yang besar."
Suku pertama dari ayat 3 ini adalah bujukan, rayuan, kabar gembira untuk orang yang memohon ampun atas kesalahan selama ini, diiringi dengan tobat. Hidup akan berbahagia, dunia dan akhirat. Keutamaan seseorang akan dihargai oleh Allah. Tetapi kalau terus-menerus saja dalam kufur, berpaling dan tidak mau mengacuhkan seruan kebenaran, takut aku— kata Nabi—bahwa kamu kelak akan ditimpa oleh adzab yang pedih pada hari yang besar itu, yaitu hari Kiamat Sebab hidup itu bukanlah sehingga ini saja. Di belakang hidup yang sekarang, yang amat pendek ini, ada lagi hidup yang di hari esok, hidup yang sebenarnya.
Rasulullah menyatakan bahwa beliau takut karena beliau kasihan kepada kaumnya. Sebab itu, disampaikannya peringatan itu dari sekarang. Maka kecintaan Rasulullah ﷺ itu meliputilah kepada seluruh manusia di dalam alam ini, sampai kepada hari Kiamat. Kasih Rasul kepada umat pada hakikatnya adalah limpahan kasih Allah kepada makhluk-Nya. Selamat hendaknya makhluk menempuh perjalanan hidupnya, selamat hendaknya mereka di dunia dan di akhirat.
Amat menarik hati sekali sebuah hadits shahih dari Nabi kita ﷺ tentang orang yang sesat jalan dan kehilangan kendaraan, di tengah padang serenjana mata memandang. Seorang musafir mengendarai seekor unta di tengah padang pasir yang luas. Setelah payah lelah berjalan, berhentilah dia di satu perhentian di tengah padang itu hendak melepaskan lelahnya dan dilepaskannya pula untanya supaya dia mencari makanannya pula dan istirahat. Dalam berhenti itu dia tertidur sebentar. Ketika dia tersentak bangun, matahari telah condong dan sudah patut dia berangkat pula. Lalu dijemput untanya itu ke tempat dia lepaskan tadi. Rupanya unta itu tidak bertemu, padahal itulah kendaraan satu-satunya. Dicarinya ke mana-mana di keliling padang itu, namun dia tidak juga bertemu. Sampai sudah payah pula dia dan nyaris putus harapan. Dan karena sudah terlalu payah bernaunglah dia ke satu tempat bernaung, dengan perasaan putus asa. Bagaimana dia akan melanjutkan perjalanan? Padahal kendaraan hilang? Bilakah kafilah lain akan lalu supaya dia dapat menumpang? Dan makanan yang jadi bekal tergantung di punggung unta itu pula? Apa lagi akal?
Akan diteruskan sendiri perjalanan, tidak tahu ke mana hendak ditempuh. Awak sudah tersasar dan tenaga tidak ada lagi.
Dengan setengah putus asa dia pergi berteduh, melepaskan lelah, dan tidak tahu lagi apa yang akan diperbuat.
Tiba-tiba sedang pikirannya menerawang langit, memikirkan bahaya yang akan menimpa kalau hari sampai malam di tempat yang sunyi sepi itu, yang di sana pun banyak binatang buas, tiba-tiba untanya yang hilang itu telah berdiri di kalang-hulunya. Dia terkejut dan sangat gembira, dan bersyukur kepada Allah karena dia telah dilepaskan dari bahaya besar yang tengah mengancam, sehingga dari sangat gembiranya tidak teratur lagi ucapan syukurnya kepada Allah, dia berkata,
“Tuhanku, engkau hambaku dan aku ini Tuhanmu. Aku bersyukur!"
Kata hadits itu, “Tersenyum Allah mendengar ucapannya itu?
Maka dapatlah inti sari dari hadits ini, karena gembira terlepas dari bahaya, gembira berjumpa yang tadinya disangka akan hilang, gembira doa dikabulkan Allah walaupun tak tentu lagi yang akan disebut, sehingga terka-takan Tuhan hambanya dan dia Tuhan dari Tuhan. Sedang Allah pun gembira atas rasa syukur yang ikhlas murni dan hamba-Nya itu walaupun tidak teratur lagi apa yang hendak dikatakan. Sebagaimana kata orang kampung penulis, “Lantaran gembira, tidak tentu lagi apa yang akan kusebut (indak tantu lai a nan ka den sabuik
Setelah itu, ditunjukkanlah dengan jelas, kita ini hendak ke mana,
Ayat 4
“Kepada Allah-lah tempat kembali kamu, dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa."
Apa yang kita rasakan dengan membaca ayat ini? Tak ubahnya kita dengan seorang peng-gemar ikan dalam aquarium melihat ikan itu keliling berkawan-kawan, aneka warna dengan gembira di dalamnya. Sekali-kali dilemparkan makanan, dia pun berebut makan. Alangkah jernih air dan alangkah senangnya ikan itu. Tetapi kitalah, manusia yang memeliharanya, yang lebih tahu akan nasib mereka, aquarium tempat mereka hidup itu terbatas, air bisa kita keringkan dan dia pun bisa kita tangkap. Untung mujur dan untung malang mereka bergantung kepada kita. Maka demikianlah misal kecil tentang kita hidup di dunia ini, merasa diri kita bebas, padahal terbatas. Mereka gembira, padahal pedang Izrail selalu mengancam, rezeki sudah diagakkan. Keliling dan keliling, namun kembali kepada Allah juga. Sedang gembira takdir mengintip dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sedang panas terik, hujan tiba-tiba turun. Sedang gembira bermayapada, terlolong menangis tidak disangka. Hanya keinsafan bahwa kita akan kembali kepada Allah jualah yang akan menjadikan kita dapat tenang menghadapi keadaan.
Ayat 5
“Ketahuilah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka karena hendak bersembunyi dari-Nya."
Pada ayat ini diberitahukan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya orang-orang yang kafir itu tidak sudi mendengarkan kebenaran wahyu yang turun dari Ilahi karena mereka hendak berkeras bertahan pada pendirian yang tidak benar itu. Tiap-tiap ayat turun, mereka selalu memalingkan dada. Mereka berpaling karena takut bahwa panahan kebenaran itu akan tepat mengenai sasarannya, yaitu hati mereka sendiri, sedangkan mereka bertahan dalam kesalahan.
Ini akan selalu bertemu di dalam kehidupan manusia. Orang-orang yang berpendirian yang salah itu hanya mau benar sen
diri! Tidak mau menghadapkan dadanya buat menerima dan mempertimbangkan kebe-naran orang lain.
“Ketahuilah, di waktu mereka memakai pakaian mereka." Mereka memakai pakaian buat menutup dan menyembunyikan dada, buat berpaling. Mereka bungkus diri dengan pakaian."Dia pun tahu apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka terangkan." Artinya, biarpun ditutup dengan berbagai bentuk pakaian, untuk menyembunyikan yang di dalam, Allah mengetahuinya juga.
“Sesungguhnya, Dia adalah amat tahu apa yang ada di dalam tiap-tiap dada."
Berpaling atau menghadapkan dada, berpakaian atau bertelanjang, namun Allah tidaklah dapat ditipu dan didustai.
Dalam ayat ini disebutkan dan ditegaskan perkara pakaian. Karena di dalam pergaulan hidup manusia, kerap kali pengaturan pakaian dijadikan orang untuk menyembunyikan hakikat pribadi yang sebenarnya. Ada pakaian khusus bagi raja-raja, bagi orang besar-besar, bagi penglima-panglima perang. Kadang-kadang dihiasi dengan bintang-bintang untuk menambah gagah dan menanamkan pengaruh. Manusia biasanya memang dapat dipengaruhi dan dipertakuti dengan pakaian seperti demikian. Tetapi apa yang terselubung di balik pakaian? Nafsu-nafsu jahat, angkara murka, yang dapat disembunyikan terhadap manusia, tidaklah dapat disembunyikan dari hadapan Allah. Pakaian-pakaian kebesaran itu tidaklah akan senantiasa dipakai. Sampai di rumah, dia akan ditanggalkan kembali. Pakaian kebesaran tidak akan dipakai sampai tidur atau sampai ke dalam kamar mandi. Bila dia ditanggalkan, akan kelihatan seorang insan sebenarnya. Sedang mata Allah menembus sampai ke batang tubuh dan langsung ke dalam celah tenunan baju dan jahitan celana, buat sampai ke batang tubuh dan langsung ke dalam sudut hati sanubari.
Maka ayat kelima ini, yang mulanya hanya untuk membuka rahasia hati orang-orang musyrikin yang keras kepala, tidak mau atau takut menghadapi kenyataan dengan dada terbuka, lalu membungkus diri dengan pakaian kebesaran karena hendak menanamkan pengaruh, berlakulah juga menjadi peringatan pada setiap zaman, bagi orang yang mau benar sendiri. Berani mencela, tetapi lari menyembunyikan dada karena tidak mau ditangkis. Kadang-kadang bertahan pada kekuasaan karena merasa diri lebih dari orang lain. Orang lain saja yang salah, dia benar selalu.