Ayat
Terjemahan Per Kata
مَتَٰعٞ
kesenangan
فِي
di
ٱلدُّنۡيَا
dunia
ثُمَّ
kemudian
إِلَيۡنَا
kepada Kami
مَرۡجِعُهُمۡ
tempat kembali mereka
ثُمَّ
kemudian
نُذِيقُهُمُ
Kami rasakan kepada mereka
ٱلۡعَذَابَ
siksaan
ٱلشَّدِيدَ
keras/berat
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
mereka adalah
يَكۡفُرُونَ
mereka kafir
مَتَٰعٞ
kesenangan
فِي
di
ٱلدُّنۡيَا
dunia
ثُمَّ
kemudian
إِلَيۡنَا
kepada Kami
مَرۡجِعُهُمۡ
tempat kembali mereka
ثُمَّ
kemudian
نُذِيقُهُمُ
Kami rasakan kepada mereka
ٱلۡعَذَابَ
siksaan
ٱلشَّدِيدَ
keras/berat
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
mereka adalah
يَكۡفُرُونَ
mereka kafir
Terjemahan
(Bagi mereka) kesenangan (sesaat) ketika di dunia, selanjutnya kepada Kamilah tempat mereka kembali, kemudian Kami jadikan mereka merasakan azab yang keras karena mereka selalu kufur.
Tafsir
Bagi mereka (kesenangan) yang sedikit atau sementara (di dunia) yang mereka bersenang-senang dengannya selama hidup mereka di dunia (kemudian kepada Kamilah mereka kembali) dengan dimatikannya mereka (kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat) sesudah mati (disebabkan kekafiran mereka).
Tafsir Surat Yunus: 68-70
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, "Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kalian tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?
Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung.
(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang dahsyat, disebabkan kekafiran mereka.
Ayat 68
Allah ﷻ berfirman mengingkari orang-orang yang beranggapan bahwa Dia mempunyai anak.
“Maha Suci Allah, Dialah Yang Maha Kaya.” (Yunus: 68)
Yakni Maha Suci Allah dari apa yang mereka tuduhkan itu. Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan semuanya selain Dia sendiri, tetapi segala sesuatu berhajat kepada-Nya.
“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi.” (Yunus: 68)
Maka mana mungkin Dia mempunyai anak dari makhluk yang diciptakan-Nya, sedangkan segala sesuatu adalah milik-Nya dan merupakan hamba-Nya.
“Kalian tidak mempunyai hujah (argumen) tentang ini.” (Yunus: 68)
Maksudnya, kalian tidak mempunyai dalil atau bukti atas apa yang telah kalian katakan. Perkataan kalian itu hanyalah dusta dan buat-buatan saja.
“Pantaskah kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (Yunus: 68)
Ayat ini mengandung makna pengingkaran dan ancaman yang kuat serta peringatan yang keras, sama halnya dengan apa yang terkandung di dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.’ Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)
Ayat 69
Kemudian Allah mengancam orang-orang yang berdusta terhadap-Nya lagi berani membuat kebohongan terhadap-Nya dari kalangan orang-orang yang mendakwakan bahwa Allah mempunyai anak, bahwa mereka tidak beruntung di dunia dan di akhirat.
Adapun di dunia, Allah memenuhi semua cita-cita mereka dan membuat mereka senang sebentar. “Kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras.” (Luqman: 24)
Ayat 70
Dan dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: “(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia.” (Yunus: 70)
Maksudnya, dalam waktu yang pendek selama mereka hidup di dunia.
“Kemudian kepada Kami-lah mereka kembali.” (Yunus: 70)
Yakni kelak di hari kiamat.
“Kemudian Kami rasakan kepada mereka azab yang dahsyat.” (Yunus: 70)
Yaitu siksa yang menyakitkan lagi sangat pedih.
“Disebabkan kekafiran mereka.” (Yunus: 70)
Yakni disebabkan kekufuran, kedustaan, dan buatan-buatan mereka terhadap Allah dalam dakwaan mereka yang bohong lagi keji itu.
Kesenangan yang mereka rasakan hanyalah sesaat ketika di dunia, selanjutnya kepada Kamilah mereka kembali setelah kematian menghampiri mereka, kemudian di akhirat nanti akan Kami rasakan kepada mereka azab yang berat, karena kekafiran mereka ketika hidup di dunia.
Setelah ayat-ayat sebelumnya menjelaskan bahwa orang-orang yang membuat-buat kebohongan tentang Allah mereka akan mendapatkan azab yang berat, lalu dalam ayat ini dijelaskan tentang kisah Nabi Nuh dengan kaumnya dalam rangka menghibur Nabi Muhammad. Dan bacakanlah wahai Nabi Muhammad kepada mereka berita penting tentang Nuh ketika dia berkata kepada kaumnya, Wahai kaumku! Jika terasa berat bagimu aku tinggal bersamamu dan peringatanku kepadamu dengan ayatayat Allah, sebagai bukti tentang keesaan dan kekuasaan-Nya, maka kepada Allah aku bertawakal setelah berusaha secara maksimal. Karena itu bulatkanlah keputusanmu, yakni tindakan apa yang akan kamu ambil untukku dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu untuk membinasakanku, dan janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, karena Allah mengetahui apa pun yang kamu rahasiakan. Kemudian bertindaklah terhadap diriku sesuai kehendak kamu, dan janganlah kamu tunda lagi keputusan untuk membinasakanku. Aku yakin Allah bersamaku dan akan menolongku.
Allah memberikan penjelasan bahwa mereka itu memperoleh kesenangan sementara di dunia, tertipu oleh kenikmatan dunia yang fana. Kenikmatan dunia apabila dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat tidak ada artinya sama sekali. Kemudian pada hari kebangkitan mereka akan dikembalikan kepada Allah. Pada masa itulah mereka akan dikumpulkan di Padang Mahsyar, dan dimintai tanggung jawabnya atas semua perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Kemudian Allah akan memberikan siksaan yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu siksaan yang pedih yang tidak terperikan, disebabkan oleh keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan kedustaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ALLAH TIDAK BERANAK
Ayat 68
“Mereka katakan: Allah mempunyai anak!"
Ada yang mengatakan bahwa anak Allah itu banyak, sebagai kepercayaan musyrikin Quraisy tadi, dan semuanya dipuja di samping Allah. Ada yang mengatakan bahwa anak itu tunggal, kepercayaan Nasrani terhadap al-masih. Disusun kepercayaan ini demikian rupa sehingga di antara Bapa dengan Anak dan Ruhul Qudus dijadikan satu meskipun dia tiga, yaitu kepercayaan Trinitas atau Trimurti, sehingga bagi Kristen tidaklah boleh percaya kepada Allah saja sebagai Allah Yang Tunggal, tetapi mesti pula dipercayai bahwa Allah itu pun adalah al-Masih dan al-Masih itu adalah Allah dan Allah serta al-Masih itu adalah Ruhul Qudus. Tidak boleh ketiganya dipecah-pecah. Maka dengan kepercayaan kaum Quraisy atau kepercayaan kaum Nasrani itu teranglah bahwa kekuasaan Allah tidak satu padu lagi pada Zat-Nya sendiri, tetapi telah terpecah dengan yang lain. Maka berkatalah Allah pada sambungan ayat, “Mahasuci Dia", atau Subhanahu, yang berarti menyucikan Allah dan membersihkan-Nya daripada persekutuan. Karena bersekutu, baik dengan nama berteman atau dengan nama beranak, betapa pun susunannya, sekali-kali tidaklah layak bagi pertuhanan-Nya.
Mahasuci Dia! Tidak mungkin Dia berteman, bersekutu atau beranak. Sebab semuanya itu mengurangi keesaan-Nya yang mutlak. Dan dijelaskan sambungan ayat, “Dia kaya! Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi." Dia kaya! Sebab itu ada tidak memerlukan anak. Seluruh benda, snakyang lebih kecil dari zarrah, yang sebesar zarrah ataupun yang lebih besar dan zarrah, Do sendiri yang empunya dan Dia sendiri yang menguasai. Segala yang bernyawa di semua langit dan bumi adalah hambahamba-Nya belaka. budak-Nya belaka. Allah Yang Maha-fcava tidaklah memerlukan anak. Hanya kita manusia yang memerlukan anak. Banyak hal yang menyebabkan kita rindu sekali mendapat anak.
Pertama, karena ingin nama kita jangan hilang saja. Kita menginginkan keturunan buat menyambung nama kita, karena kita takut akan mati dengan tidak meninggalkan jejak. Sedangkan Allah ada selalu, tidak pernah mati, dan tidak takut nama-Nya akan hilang saja kalau tidak meninggalkan keturunan.
Kedua, orang merindukan banyak anak dan melihat anak itu beranak, bercucu dan berkeluarga besar, untuk menjadi kebanggaan dan perhiasan. Sedangkan Allah telah menciptakan seluruh alam ini sebagai bukti dari kekayaan dan kemegahan-Nya.
Ketiga, orang ingin beranak untuk membantunya pada hari tua. Sedangkan Allah tidak pernah tua dan tidak memerlukan pembantu.
Keempat, betapa pun kekayaan manusia, banyak berlimpah-limpah harta bendanya, kalau anak tidak ada menjadi tidak adalah nikmat pada harta itu. Itu sebabnya maka harta dan keturunan tidak dapat dipisahkan. Sedang Allah kaya raya, sebab semua Dia yang empunya, dan tidak merasa takut tidak berguna harta itu, sebab Dia tidak memerlukan sambutan dari anak-anak. Allah kaya pula Zatnya dan untuk Zat-Nya, selama-lamanya.
Kemudian, firman Allah selanjutnya, “Tidak ada pada kamu sedikit pun alasan tentang ini." Artinya, bahwa kamu yang mendakwakan Allah beranak itu, tidak ada mempunyai dasar pikiran atau alasan yang timbul dari pikiran teratur untuk menegakkan pendapat itu.
Sulthan di ayat ini diartikan alasan, padahal arti asal dari sulthan ialah kekuasaan. Mak-sudnya, kalau seseorang mempunyai pendapat pikiran yang benar, dia kuasa dan sanggup mempertahankannya. Dia mempunyai kekuasaan menegakkan itu. Tetapi, kalau pendirian itu tidak benar, tidak sehat menurut akal, jika datang bantahan yang tegas dengan pikiran sehat, dia akan gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab itu, kalau kita adakan pertukaran pikiran mendalam, sampai pada zaman kita ini dengan golongan-golongan yang mengatakan Allah beranak itu, akhirnya mereka sampai juga pada tauhid. Dan kalau mereka pertahankan juga pendirian Allah beranak, cara mempertahankannya pun menjadi berputar belit; “menegakkan benarg basah".
Selanjutnya datanglah ujung ayat,
“Apakah akan kamu katakan tentang Allah hal yang tidak kamu ketahui."
Mengatakan sesuatu perkara yang tidak diketahui, atau tidak timbul dari pengetahuan yang masuk akal, adalah satu kebodohan. Maka pertanyaan di ujung ayat ini adalah se-bagai suatu hardikan atas keburukan, jahil, bodoh dan kufur, terutama di dalam saat akal wajib dipergunakan buat menilai sesuatu.
Al-Baidhawi berkata di dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwasanya tiap per-kataan yang tidak berdalil beralasan adalah suatu kebodohan, dan suatu kepercayaan tak dapat tidak, mestilah yang tegas dan dapat dipertahankan. Sedang taklid, yaitu turut-tu-rutan saja di dalam soal kepercayaan, tidaklah dapat diterima."
Tentang peringatan atas kebodohan pendirian bahwa Allah beranak ini telah dibicarakan juga di dalam surah al-Baqarah, surah ali-Imran, surah an-Nisaa', surah al-Maa'idah, surah al-An'aam, sesudah itu di dalam surah Yuunus di ayat ini, dan dibantah lagi di dalam surah Maryam dan surah al-Anbiyaa'.
Oleh karena itu, kata ikhlas, tauhid dan Islam, demikian juga fitrah adalah mengandung satu maksud belaka, yaitu menyatukan pikiran kepada Keesaan Allah Yang Mutlak. Kalau sudah terdapat di dalam pikiran sesuatu gejala pikiran bahwa ada lagi yang lain yang berkuasa bersama Allah, di samping Allah, yang dinamai syirik niscaya rusaklah tauhid, ikhlas, Islam dan fitrah itu. Maka berfirman Allah selanjutnya,
Ayat 69
“Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan sesuatu kedustaan atas nama Allah."
Mengada-adakan, mengarang-ngarangkan, menjadikan suatu khayal pikiran sebagai ke-percayaan, mengarang-ngarang, bahwa Allah itu beranak, anak tunggal atau banyak, anak laki-laki atau perempuan; ataupun mengharamkan barang yang tidak ada nash yang sharih bahwa Allah mengharamkannya, atau menghalalkan barang yang nyata telah diharamkan Allah, atau menambah-nambah sya-ri'at dari apa yang telah tergaris dengan nyata dari Allah, atau menguranginya dan lain sebagainya. Seumpama berbagai macam gerakan tasawuf yang mengatakan kalau kita sudah yakin, kita tidak perlu beribadah lagi, ataupun mewajibkan membaca-baca bacaan sebagai wirid, padahal tidak ada keterangan daripada Al-Qur'an atau hadits; semuanya itu
“Tidaklah mereka akan menang."
Artinya, segala perbuatan mereka mengada-ada itu tidaklah akan berhasil untuk mencapai kemenangan akhirat. Tidaklah amal mereka akan diterima Allah. Khususnya tidaklah apa dan siapa yang mereka katakan bersekutu dengan Allah itu, atau apa yang mereka katakan Anak Allah itu akan dapat menolong mereka dan melepaskan mereka daripada siksaan api neraka di akhirat.
Ayat 70
“Kesenangan sementara di dunia."
Pangkal ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan yang mungkin timbul karena orang hanya melihat kenyataan yang lahir saja. Terutama pada zaman ayat ini mulai turun. Orang-orang Quraisy yang mempertahankan kemusyrikan, yang mengatakan, berhala adalah perlambang daripada anak perempuan Allah, atau orang Nasrani mengatakan bahwa al-Masih anak Allah yang tunggal.
Di dalam ayat tersebut ditegaskan, seluruh keyakinan yang mengada-adakan dusta atas nama Allah tidaklah akan beroleh kejayaan atau kemenangan. Padahal dalam ke-nyataannya waktu itu, hidup mereka senang, kekayaan mereka berlimpah-limpah. Karena memang orang yang pikirannya dangkal, hanya melihat kenyataan yang terlihat mata, dan tidak memikirkan kelanjutan. Seumpama di zaman kita ini ada orang yang berkata, “Kalau tidak berani menipu, tidak akan dapat hidup senang. Cobalah lihat si anu, kekayaannya banyak sebab dia berani korupsi. Tetapi si fulan melarat, tidak sedang menyedang, sebab dia terlalu jujur."
Oleh karena itu, datanglah pangkal ayat 70 ini menjawab keraguan itu bahwa itu ialah semata-mata mata'un fid elunya. Kita artikan mata'un itu ialah kesenangan sementara. Oleh sebab itu masanya tidaklah lama, sebab dia hanya semata-mata kesenangan dunia. Kesenangan dunia ini amat terbatas waktunya. Sepanjang-panjangnya hanyalah sekadar di kala manusia itu hidup. Sesudah dia mati, habislah. Atau ketika dia masih muda. Setelah dia tua, habislah. Atau ketika dia masih sehat; setelah dia sakit, habislah."Kemudian itu, kepada Kamilah tempat kembali merekaMati dan pulang kembali kepada Allah. Di kala nyawa telah bercerai dengan badan, segala kesenangan sementara atau mata' tadi pun habislah, tidak ada lagi yang akan dibawa ke akhirat, Segala kebesaran, kemegahan, pang-kat dan kedudukan, pengaruh dan kekuasaan, kekayaan dan kelebihan-kelebihan yang telah menyilaukan mata orang yang terpesona tadi, habislah pada hari itu. Bangkai manusia yang telah tergelimpang, tidak ada artinya lagi kalau dipakaikan kepada pakaian tersalut emas.
“Kemudian itu akan Kami nasakan kepada mereka adzab yang sangat sekali, dari sebab apa yang telah mereka kufurkan itu."
Dapatlah dipahamkan mengapa adzab yang pedih yang akan diderita pada saat kelak kembali kepada Allah itu. Sebabnya ialah karena mengada-adakan sesuatu kedustaan atas nama Allah ialah mendustai jiwa murni sendiri. Mendustai fitrah. Orang yang selalu berusaha menyesuaikan kehendaknya dengan fitrahnya sehingga halus perasaannya dan bersih hati nuraninya, di dunia ini saja pun akan merasai suatu tekanan batin apabila dia telah berdusta. Dia akan disiksa oleh dustanya sendiri. Apabila kita telah mati, artinya berpindah daripada hidup di dunia yang fana kepada hidup yang kekal, atau hidup yang sebenarnya, tentu akan merasai lebih hebat lagi tekanan batin itu. Sebab itu kalau orang kena adzab karena dosanya, sebab dosa itu seluruhnya adalah kedustaan atas diri sendiri, terutama puncak-puncak dari sekalian dosa, yaitu mempersekutukan Allah, maka adzab yang diterimanya itu adalah hal yang wajar. Allah tidak melakukan aniaya kepada hamba-hamba-Nya.
Lantaran itu beranilah kita mengemukakan suatu misal. Misalkanlah seseorang yang terlebih dahulu melemparkan sekalian agama dari dirinya, membuang sekalian kepercayaan. Baik Budha, Kristen, Yahudi, Hindu, Islam dan sekalian ajaran agama yang ada dalam dunia ini. Kemudian dia hendak mencari satu kepercayaan saja, dengan menyaring kembali segala inti sari sekalian agama itu dengan mempergunakan akal murni. Dan dia mencari dengan jujur. Niscaya akhirnya dia akan sampai kepada hakikat dari segala agama itu, yaitu, memang ada yang menjadikan alam
ini dan mengaturnya, dan tidak mungkin dia berbilang. Dia mesti satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak bersekutu dengan yang lain. Dengan demikian dia menjadi Islam kembali.